RSKOJakartaAvatar border
TS
RSKOJakarta
Pentingnya Kenali Diri Bagi yang Punya Hubungan

Manusia diciptakan sebagai makhluk sosial yang artinya membutuhkan kehadiran orang lain untuk dapat saling membantu dan saling melengkapi dalam menjalani hidup.

Tentunya kita semua berharap dapat memiliki hubungan yang langgeng dan harmonis baik dengan keluarga, lingkungan masyarakat maupun di tempat kerja, sehingga penting untuk memiliki keterampilan interpersonal yang baik.

Hal yang perlu disadari dari masing-masing kita adalah bahwa dalam sebuah hubungan dapat muncul konflik atau pun perbedaan pendapat, dan hal tersebut adalah sesuatu yang normal terjadi, karena manusia diciptakan sebagai individu yang unik sehingga dapat memiliki pemikiran, pendapat dan kebiasaan yang berbeda-beda.

Disisi lain, ada sebagian individu yang selalu memiliki kesulitan untuk memulai suatu hubungan atau dalam menjalani sebuah hubungan, baik yang terkait dengan hubungan pertemanan, pekerjaan atau pun hubungan romantis.

Seandainya dapat memulai suatu hubungan, hari-hari yang mereka lalui selalu penuh konflik bahkan ada yang sampai memutuskan untuk berpisah dengan pasangannya, berganti-ganti pasangan atau pindah-pindah tempat kerja karena merasa tidak cocok dengan atasan atau rekan kerjanya, serta segudang masalah lainnya yang terkait dengan masalah relasi.

Apabila Anda termasuk individu yang sering mengalami konflik dengan teman, rekan kerja atau bahkan atasan Anda, karena sering merasa pemikiran anda kurang dihargai, diabaikan, tidak didengar dan sebagainya sehingga membuat anda sensitif, marah, menentang, atau malah menarik diri dan menghindar dari lingkungan. 

Atau mungkin Anda merasa sering konflik dengan pasangan, sulit untuk dapat mempercayai pasangan, sehingga bawaannya merasa curiga, merasa kurang diperhatikan, posesif dan selalu ingin tahu kemana, dimana dan dengan siapa pasangan Anda berada, dan lain sebagainya. Ada baiknya jika Anda mencoba untuk memahami pola atau gaya kelekatan (attachment style) yang Anda miliki.

Beberapa contoh konflik dalam hubungan interpersonal dapat terjadi karena adanya attachment style yang tidak aman (insecure attachment) yang terbentuk saat seseorang masih kecil dan berlanjut sebagai sebuah model mental (internal working model) yang digunakan dalam membina relasi saat individu tersebut dewasa. Definisi Attachment style itu sendiri adalah kelekatan hubungan seseorang dengan pengasuh utamanya (primary caregiver) yang umumnya adalah ibunya. 

Namun demikian, ada juga beberapa kasus dimana individu memiliki kelekatan dengan pangasuh selain ibu, misalnya nenek, tante atau asisten rumah tangganya.

Pola attachment yang dimiliki seseorang mempengaruhi berbagai aspek hubungan mulai dari bagaimana individu tersebut memilih teman dan pasangan hidup, sampai bagaimana sebuah hubungan berjalan atau bahkan berakhir.

Kemudian, jika seseorang sudah terlanjur memiliki pola attachment yang insecure, apakah dapat diperbaiki?  Jika individu tersebut mau , maka tentu saja jawabannya bisa, walaupun memang tidak mudah dalam menjalani prosesnya serta perlu adanya usaha dan tekad yang kuat.  

Itulah mengapa, penting sekali untuk dapat mengenali dan memahami pola attachment seperti apakah yang kita miliki selama ini, sehingga diharapkan dapat membantu kita dalam memperbaiki hubungan  dengan orang lain maupun pasangan hidup kita dikemudian hari.

Teori tentang attachment pertama kali dikembangkan oleh John Bowlby pada tahun 1973, yang kemudian seiring perjalanan waktu mengalami perkembangan. Simpson (dalam Helmi, 1999) mengatakan bahwa model mental yang terbentuk dari pola kelekatan pengasuh dan anak, berisi pandangan individu terhadap diri sendiri dan orang lain, yang merupakan organisasi dari persepsi, penilaian, kepercayaan, dan harapan individu akan responsivitas dan sensitivitas emosional dari figur lekat, yang berpengaruh terhadap pikiran, perasaan, dan perilaku.

Model mental, dengan demikian terdiri atas dua komponen yaitu model mental “diri” dan “dunia sosial”. Model mental diri yaitu apakah diri dinilai sebagai orang yang berharga dan dicintai.

Model mental sosial yaitu pandangan anak terhadap orang lain itu apakah orang lain akan menilai dirinya sebagai orang yang memberikan perlindungan, penghargaan, dan dorongan. 

Terdapat 4 pola attachment yang dimiliki seseorang, yaitu : Secure Attachment, Anxious Preoccupied Attachment, Dismissive Avoidant Attachment dan Fearful Avoidant Attachment. Ketiga pola terakhir merupakan bentuk pola insecure attachment, berikut penjelasan dan masing-masing pola attachment  tersebut:

1. Secure Attachment (Kelekatan yang aman) : Pola ini merupakan kondisi ideal hubungan kelekatan yang didapat oleh anak dengan orangtua /pengasuhnya. Anak-anak yang memiliki kelekatan aman dengan orang tuanya akan memiliki pandangan positif terhadap orang lain dan lingkungan sekitarnya, serta memandang dirinya sendiri berharga sehingga anak-anak ini memiliki kemandirian dan kepercayaan diri yang lebih untuk meraih keberhasilan dalam hidupnya. 

Individu dewasa yang memiliki  kelekatan yang aman (secure attachment) cenderung memiliki  kepuasan dalam hubungan sosialnya maupun dalam hubungan romantik dengan pasangannya. Ia juga dapat menunjukkan perasaan aman dan saling percaya, walaupun mereka memiliki kebebasan menjalani aktivitas masing-masing.

Selain itu, individu yang merasa aman mampu memberikan dukungan saat pasangannya sedang merasa distress. Begitupun   sebaliknya, merasa nyaman untuk meminta bantuan apabila sedang ada masalah dan butuh dukungan dari orang lain. Mereka bisa saling terbuka dan setara dalam menjalani hubungan.

2. Anxious Preoccupied Attachment : anak dengan pola ini justru sangat bergantung pada pengasuh utamanya dan memiliki kepercayaan diri yang rendah. Hal ini terjadi sebagai bentuk kurangnya kelekatan terhadap orangtua di masa kecilnya. Tidak jarang individu ini akan tumbuh menjadi pribadi yang mudah marah, cemburu, penuntut, dan bergantung pada orang lain. 

Individu yang memiliki kelekatan cemas cenderung membentuk hubungan fantasi (fantasy bond), sehingga mereka selalu merasa haus akan rasa kasih sayang, perhatian dan cinta, serta sulit percaya terhadap pasangannya atau orang-orang disekitarnya. Seringkali mereka menuntut agar orang lain dapat selalu menolong atau membantunya. 

Meskipun ia selalu menuntut rasa aman (safe and secure) dari pasangan atau rekan dengan menggantungkan dirinya, namun sering kali perilakunya malah membuat pasangan atau rekan mereka menjauh karena sikapnya yang menuntut dan psosesif. Misalnya, jika pasangan mereka mulai bersosialisasi lebih banyak dengan teman, mereka mungkin berpikir, “Lihat? Dia tidak benar-benar mencintaiku. Ini berarti dia akan meninggalkan saya. Keputusan saya benar untuk tidak mempercayainya. ”.

3. Dismissive Avoidant Attachment : Anak-anak dengan pola kelekatan ini seringnya akan menghindari interaksi sosial seolah-olah tidak membutuhkan orang lain dalam hidupnya, menarik diri dari pergaulan, serta menolak meminta bantuan orang lain atau menjaga jarak. Perilaku “kemandiriannya” tersebut merupakan upaya anak dalam berjaga-jaga kemungkinan terjadinya stres yang pernah menimpa dirinya saat membuka diri terhadap orang lain. Gangguan perkembangan kelekatan yang dialami biasanya berupa penolakan dari orang tua di masa kecilnya. 

Orang dengan kelekatan menghindar dan meremehkan ini memiliki kecenderungan untuk secara emosional menjauhkan diri dari pasangan atau rekan kerjanya. Mereka mungkin mencari isolasi dan merasa mandiri namun ternyata semu ("pseudo-independent") dan suka mengambil peran sebagai single fighter (orangtua tunggal). 

Mereka sering terlihat fokus pada diri mereka sendiri dan mungkin terlalu memperhatikan kenyamanan dirinya. Bahkan dalam situasi yang memanas atau emosional, mereka mampu mematikan perasaan mereka dan tidak bereaksi. Misalnya, jika pasangan mereka tertekan dan mengancam untuk meninggalkan mereka, mereka akan menjawab dengan mengatakan, "Saya tidak peduli."

4. Fearful Avoidant Attachment : Pola ini merupakan campuran atau ambivalen. Anak dengan pola kelekatan ini terkadang melihat orang lain sebagai ancaman sehingga menimbulkan perilaku-perilaku agresif-defensif. Biasanya anak dengan pola ini tumbuh di lingkungan keluarga yang lazim dengan tindakan kekerasan. 

Alih-alih mendapatkan kasih sayang dari orang tua, upayanya mencari afeksi justru membuatnya menerima perilaku kasar atau bahkan pukulan. Anak akan tumbuh dewasa menjadi individu yang pada umumnya cepat mengalami perubahan suasana hati, satu waktu ia merasa cemas sangat ingin disayangi namun berubah merasa tidak pantas disayangi. 

Hal ini berdampak pada sulitnya mereka membangun suatu hubungan yang sehat dengan orang lain. Orang dengan pola kelekatan Fear Avoidance, mereka takut terlalu dekat atau terlalu jauh dari orang lain. Mereka berusaha untuk menjaga perasaan mereka tetapi tidak mampu. Mereka tidak bisa menghindari kecemasan mereka atau lari dari perasaan mereka. 

Sebaliknya, mereka kewalahan oleh reaksi mereka dan sering mengalami badai emosional. Perasaan mereka cenderung campur aduk atau tidak terduga dalam suasana hati mereka. Mereka butuh orang lain untuk memenuhi kebutuhannya namun juga khawatir apabila terlalu dekat, mereka akan disakiti. 

Dengan kata lain, orang yang ingin mereka dekati untuk memberikan rasa aman adalah orang yang sama yang mereka takuti. Akibatnya, mereka tidak memiliki strategi yang terorganisir untuk memenuhi kebutuhan mereka.

Sebagai orang dewasa, orang-orang ini cenderung menemukan diri mereka dalam hubungan yang dramatis, dengan banyak suka dan duka. Mereka sering takut ditinggalkan tetapi juga berjuang untuk menjadi intim. 
Mereka mungkin berpegang teguh pada pasangan mereka ketika mereka merasa ditolak, kemudian merasa terjebak ketika mereka dekat. Seringkali, waktunya sepertinya tidak tepat antara mereka dan pasangannya. Seseorang dengan pola kelekatan Fear Avoidance ini bahkan mungkin berakhir dalam hubungan yang kasar.
--...---
Dari penjelasan diatas, diharapkan kita semua dapat memahami dan menyadari pola kelekatan  yang selama ini dimiliki, apakah secure attachment ataukah insecure attachment, dan sejauh mana hal tersebut telah mempengaruhi kehidupan kita di masa dewasa dalam berinteraksi baik dengan pasangan maupun dengan rekan kerja.

Gaya kelekatan yang kita kembangkan sebagai seorang anak berdasarkan hubungan kita dengan orang tua atau pengasuh awal, tidak harus menentukan cara kita berhubungan dengan orang-orang yang kita cintai dalam kehidupan di masa dewasa.

Kita dapat belajar untuk mengembangkan diri baik dengan mencontoh cara-cara yang tepat, atau dengan membaca buku-buku pengembangan diri tentang bagaimana menjalin hubungan yang positif. Bahkan apabila diperlukan, dapat melakukan konsultasi dengan psikolog klinis karena mungkin ada pengalaman masa lalu yang dirasakan traumatis terkait hubungan Anda dengan orangtua/pengasuh.

Semoga kita semua dapat mengambil pelajaran dari pengalaman selama ini dan tetap semangat untuk mengembangkan diri. Selamat mencoba dan Salam sehat jiwa.
----
Blogpost ini diupload oleh Instalasi Humas dan PKRS RSKO Jakarta
Penulis : Dian Fatmawati, M.Psi., (Psikolog Klinis Rumah Sakit Ketergantungan Obat Jakarta)
Terima kasih, Salam Hangat RSKO Jakarta
Facebook (DISINI) - Twitter (DISINI) - Instagram (DISINI) - Web (DISINI)



0
277
0
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Health
Health
icon
24.6KThread9.8KAnggota
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.