• Beranda
  • ...
  • Sports
  • Nilai Semangat Juang Yang Patut Dicontoh Dari Everton dan SPAL

FootballStoryAvatar border
TS
FootballStory
Nilai Semangat Juang Yang Patut Dicontoh Dari Everton dan SPAL

Masuk ke era Premier League, Everton dikenal sebagai tim kuda hitam yang sering merusak persaingan tim² papan atas di kasta teratas Liga Inggris. Bahkan pada musim 2004/05 mereka berhasil menempati tangga keempat klasemen akhir, sekalipun hampir terdegradasi dimusim sebelumnya. Nama-nama seperti Tim Cahill, Mikel Arteta, Leon Osman mulai diperhitungkan permainannya berkat mereka tergabung bersama Everton.

Dua musim beruntun menduduki posisi 5 pernah mereka rasakan (2007/08, 2008/09), Everton masuk dalam jajaran top six Premier League bersama Spurs. Akan tetapi seiring perjalanan sepakbola yang dibarengi dengan para pebisnis yang ada didalamnya, Everton perlahan mengalami kemunduran walau tidak signifikan. Kedatangan Arab Money di Manchester City menjadi salah satu alasannya, yang menjadi kekuatan baru di Inggris hingga sekarang ini.

Everton jelas kalah saing dengan City yang menata kehidupan barunya dengan gelontoran uang. Sepakbola yang bukan lagi sekedar olahraga melainkan tuntutan industri yang menekan finansial berimbas kepada para atlet didalamnya yang barang tentu mengalami inflasi harga namun belum tentu kualitasnya melejit, terutama di Eropa. Pemilik klub sebelumnya, Kenwright tidak memiliki dana sebesar presiden klub lain yang bisa membawa tim nya ke level yang lebih elit. Hingga akhirnya presiden baru kekuatan dari Iran datang bernama Farhad Moshiri.

Pada 2017 awal menjadi waktu sibuknya dapur keuangan Everton. Mereka memboyong Schneiderlin yang dilepas United senilai 22 juta pounds. Ademola Lookman yang menjadi talenta muda Inggris, juga didaratkan ke Goodison Park pada Januari. Total 31 juta paun, 2017 adalah bursa transfer tengah musim paling boros yang dilakukan Everton.

Hasilnya tidak begitu mengecewakan. The Toffees kembali merangkak ke 10 besar klasemen setelah 2 musim sebelumnya secara beruntun mereka menduduki peringkat 11 klasemen akhir. Sejauh ini Richarlison yang diboyong pada musim panas 2018 menjadi pembelian yang cukup tepat. Namun rasanya, tidak bisa bilang kata "cukup" untuk liga se-progresif Premier League. Wolverhampton, Bournemouth, dan Watford bahkan masih berada di atas Everton. Ini menandakan persaingan liga semakin ketat, kehadiran uang yang segambreng mesti menurutsertakan konsistensi dan progres permainan suatu klub. Hal tersebut mungkin tidak menjadi prioritas suporter Everton, hasil instanlah yang mereka mau saat itu padahal dalam sepakbola progres adalah segalanya, perlu contoh? Tottenham adalah contoh terbaik yang bisa dipelajari fans maupun manajemen Everton, mereka pernah membantai Everton 6-2 yang merupakan kesebelasan yang sama sekali tidak merekrut siapapun pada awal musim, dan mereka berhasil mendarat di 3 besar klasemen.

David Moyes yang sudah bertahun-tahun membangun tim sekelas Everton dengan dana terbatas. Ketika menukangi United yang sudah terbiasa dengan dana besar, dirinya malah terlihat kebingungan dalam manajemen keuangan. Fellaini dibawa dari Everton senilai 30jt pounds. Padahal musim sebelumnya, van Persie yang direkrut dari Arsenal bernilai lebih murah dari seorang Fellaini. Kondisi yang sama juga dialami oleh Everton kala itu. Meski di musim sebelumnya mereka berhasil mendatangkan Deulofeu dari Barca senilai 6jt pounds pada 2017/18, Ademola Lookman yang baru sekedar potensi dan bahkan sekarang namanya tidak secerah Greenwood atau Martinelli mereka boyong seharga 8jt pounds. Masalah makin rumit kala Everton secara jorjoran mendatang 4 striker sekaligus kenamaan Rooney, Walcott, Klaassen, dan Sigurdsson, alhasil persaingan tempat utama dilini depan semakin ketat.

Farhad Moshiri memberi kepercayaan pada Ronald Koeman untuk menukangi Everton. Koeman memang diakui kehebatannya saat masih sebagai pemain. Tapi rekornya sebagai manajer tak begitu mentereng, padahal mereka harus bersaing dengan tim yang ditangani pelatih sekelas Klopp, Guardiola, Mourinho.

Ambisi besar Farhad Moshiri untuk mensejajarkan Everton dengan top six Liga Inggris perlu diacungi jempol. Ia rajin menyuntikan dana besar kepada klub, memperbesar sahamnya di Everton menjadi 68,6%, dan berencana membangun stadion baru. Namun perlu diingat, mengganti 3 manajer dalam kurun waktu 2 tahun dan merekrut lebih dari 10 pemain dalam 3 musim, sepertinya menjadi evaluasi penting untuk The Toffees. Suporter Everton akhir² ini mengaku mulai tidak suka dengan cara Moshiri. Investor lain dalam nama Alisher Usmanov bahkan sempat dirumorkan tertarik untuk mengambil alih kursi paling atas manajemen Everton.

Kisah tak kalah heroik yang menggambarkan perjuangan sebuah klub ada pada bentuk SPAL, mereka yang pernah mengalami 3x kebangkrutan bisa menjadi hikmah bagi sebuah tim kecil untuk mengelola manajemen mereka dengan baik.

Saat masih berkutat di Serie-B, SPAL merupakan tim yang paling berbeda, dari 25 pemain yang mereka miliki semuanya adalah berdarah Italia. Artinya mereka satu-satunya kesebelasan yang tidak menggunakan jasa pemain luar Italia. Spesialnya, mereka berhasil tembus ke kasta teratas sepakbola negeri pizza, hal tersebut merupakan pencapaian yang luar biasa dari tim yang awalnya untuk serikat buruh ini.

Apalagi ketika kita mengkaji kerasnya perjalanan SPAL dari tahun 1907, krisis finansial seringkali menimpa klub ini sehingga total 3x mereka dinyatakan bangkrut. Bisa dikatakan wajar ketika klub semacam SPAL didera kebangkrutan, pasalnya SPAL sendiri merupakan klub sepakbola serikat para buruh. SPAL merupakan singkatan dari Società Polisportiva Ars et Labor, atau Persatuan Klub Olahraga Para Buruh. Jadi sedari awal terbentuknya, mereka hidup dari kalangan para buruh.

Hingga lebih dari 110 tahun usianya, tercatat SPAL pernah dinyatakan bangkrut sebanyak 3x. Badai kebangkrutan pertama terjadi pada 2005. Resmi dinyatakan bangkrut mereka pun memulai lagi dari Serie-D dengan mengubah nama mereka menjadi SPAL 1907. Namun SPAL 1907 kesusahan dalam persaingan, alhasil mereka hanya bisa bertahan di Serie-C. Lama tidak terdengar, mereka kembali dirundung kebangkrutan pada 2012.

Kebangkrutan kedua ini sekaligus mengubah nama mereka untuk awal musim 2012/13 menjadi Real SPAL. Namun baru satu musim di Serie-D, mereka kembali menerima kenyataan pahit bahwa kursi manajemen yang baru kesulitan menjalani bisnis yang baik sehingga mereka mengalami hattrick kebangkrutan.

Di akhir musim 2012/13 tersebut, sang presiden klub, Roberto Benasciutti, berusaha semaksimal mungkin agar Real SPAL bisa tetap berkompetisi di sepakbola italia. Hingga solusi yang diterapkan ia menemui persiden klub peserta Serie-D lainnya, AC Giacomense yaitu Colombarini. Saat itu Giacomense juga kerap kesulitan
bersaing di Serie-D dan menjadi langganan di papan bawah klasemen.

Pertemuan antara Benasciutti dan Colombardini mendapat satu mufakat yaitu SPAL dan Giacomense melakukan merger tim. Dibarengi negosiasi yang cukup alot, akhirnua Giacomense-lah yang mengalah untuk tidak menggunakan sejarah Giacomense dalam penggabungan tim ini, melainkan menggunakan sejarah SPAL karena SPAL lebih tua dari Giacomense yang baru terbentuk lebih muda 50 tahun dari SPAL. Nama baru pun diresmikan menjadi SPAL 2013.

Namun Benasciutti tak lagi menjabat sebagai pemilik SPAL 2013 ini. Kepemimpinan manajemen dipimpin oleh petinggi klub Giacomense sebelumnya yaitu Walter Mattioli.

Ternyata penerapan merger ini menghasilkan prestasi yang cukup signifikan, SPAL 2013 rajin menapaki tangga promosi. Di musim pertamanya di Serie D, mereka berhasil naik kelas ke Serie C melalaui babak play-off. Dimusim pertama mereka di Serie C, mereka nyaris langsung promosi ke Serie B namun mereka gagal dalam fase play-off. Baru pada musim kedua mereka di Serie C mereka otomatis promosi ke kasta kedua Liga Italia setelah menjadi kampiun di Serie C Girone B. Pencapaian yang cukup tinggi bagi mereka mengingat terakhir kali mereka menghuni Serie B adalah pada tahun 1992/93.

Sekarang mereka nampaknya betah menghuni Serie A walaupun belum ada gebrakan yang mentereng dari SPAL 2013, namun SPAL terkadang menyiutkan nyali tim² papan atas Serie A seperti AS Roma yang baru 2 laga dilatih Ranieri harus mengakui keunggulan SPAL 2-1, dan tim yang baru² ini menjadi kuda hitam di UCL ialah Atalanta yang posisinya diklasemen pernah dirusak keganasan SPAL, tim Elang Roma (Lazio) yang awal musim ini dikalahkan SPAL, serta sang langganan Scudetto Juventus pernah dikalahkan 2-1 oleh SPAL pada musim lalu walaupun laga tersebut dimainkan tanpa Ronaldo, serta menahan imbang tim sekaliber Napoli. Tapi mereka sekarang harus berjuang kembali mengingat posisi mereka ada di jurang degradasi (19).

Quote:


Bagaimana Tentang Usaha Kedua Klub Demi Mendapatkan Tempat Di Liga Teratas? Diskusikan Dibawah!
emoticon-Rate 5 Staremoticon-Cendol Gan

m4ntanqvAvatar border
HernandezJoeAvatar border
tien212700Avatar border
tien212700 dan 22 lainnya memberi reputasi
23
4K
50
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Sports
Sports
icon
22.9KThread10.9KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.