evywahyuniAvatar border
TS
evywahyuni 
Di Pucuk Rindu Ramadhan Kulepas Suka Cita Lebaran

Ramadhan, mengapa harus merangkai kisah yang seperti alur tak berbentuk karena kesatuan setiap unsur menjadi tercerai berai?

Kujalani hari-hari di bulan Ramadhan ini dengan senda gurau yang semakin bermakna, kulalui penuh dengan seribu alasan kebersahajaan, kala pandemi Covid19 ikut dalam euforia Ramadhanku kali ini, sesak? Iya ....

Kau yang disana, demi menjaga keutuhan dan keselamatan keluarga, terpaksa menahan segala keinginan dan hasrat untuk kembali bersama, aah ... Ramadhan yang kunanti bakal ceria bersamamu, ternyata hanyalah berupa untaian penantian yang kini berujung di akhir Ramadhan.

"Bersabarlah, Umi. Tetaplah tawakkal pada ketentuan yang telah digariskan," katamu saat suara khas itu menyapa lamunanku yang terisak rindu.

"Berharap sajalah, pandemi ini segera berlalu dan kita bisa bersama kembali."

Duh, hanya senyuman yang menguatkan dan doa yang terikat di balik sajadah panjang, teruntuk dirimu yang jauh disana. Ramadhan kali ini, begitu penuh kesederhanaan. Baik dari pola tingkah laku, kebiasaan yang dulu sering dilakukan menjelang akhir Ramadhan, dan juga kegembiraan menjelang lebaran seperti memasuki fase yang berbeda dari tahun-tahun sebelumnya.


Sekolah menjadi sepi dibarengi suara tarawih di mesjid yang semakin menghilang. Apakah pandemi Covid19 ini mulai melunturkan semangat islamiyah? Aku yang terus berdiam di rumah, hanya berusaha menjaga diri dan kehormatan Bulan yang penuh berkah nan ampunan ini.

Di belahan kehidupan yang lain, aku begitu kagum pada banyak wanita muslimah yang melalui Ramadhan dengan menjaga lisan dari segala ghibah dan khusnudzon, tinggal berdiam diri di rumah saja melakukan berbagai aktifitas yang melalaikan lisan dari melakukan fitnah dan ghibah. Setiap saat lisannya hanya berkata yang baik, melafazkan ayat-ayat suci Alquranul Kariim dan terus menambah pahala kebaikan dengan melakukan sedekah jariah. Bukan mengikis habis pahala Ramadhan dengan sesuatu yang merusaknya.

"Abi, jangan khawatir ... Umi bukan wanita seperti itu," kataku ketika lelakiku memberi nasehatnya.

"Bagaimana kabar anak-anak? Tetap berpuasakah mereka?"

"Tentu saja, alhamdulillah ... sampai detik ini puasa mereka tetap terjaga, Abi."

"Masya Allah! Alhamdulillah wa syukurillah, semoga istiqomah."

"Aamiin allahumma aamiin."

"Jadi, bagaimana lebaran nanti, Abi tetap tidak bisa pulang?" tanyaku.

"Bersabarlah, Umi."

Jawaban yang cukup memberi penegasan, bahwa memang Ramadhan-ku di tahun ini membawa banyak perubahan yang mendasar.

Haruskah suka cita lebaran bulan ini berakhir hanya di rumah saja?

emoticon-Matabelo

Sementara itu, tradisi akhir Ramadhan mulai mengusik ketentraman setiap toples dan kotak-kotak kue kering, saling bergesekan seakan hendak menimbulkan suara gemerincing ketukan oven dan kompor, memancing adukan bahan cemilan kering itu ke dalam wadah plastik disertai berisik suara mixer yang tertawa riang.

"Umi, tidak bikin kue, ya?" tanya si sulung, saat melihat aktifitas kompor dan oven yang hanya terdiam membisu menatap kami berdua.

"Entahlah, Nak. Akankah physical distancingini masih berlaku setelah lebaran?"

"Memangnya tidak ada yang akan datang massiara', Umi?"

(massiara', adalah bahasa bugis yang mewakili ajang silaturahmi setelah lepas salat idul fitri)

"Mungkin tak ada, Nak. Larangan berkerumun masih berlaku dan belum dicabut oleh pemerintah."

"Bikin sajalah, Umi. Setidaknya kue Umi biar dimakan kita-kita saja di rumah," ajak sulungku yang cerdas.



Setelah persoalan kue kering selesai, muncul lagi pertanyaan baru. Atas tampilan media sosial yang entah terusik karena pemasukan dari bidang garmen nihil sehingga menjelang akhir Ramadhan semuanya seperti berlomba-lomba memamerkan baju baru di tiap gantungan di lapak mereka yang memanggil-manggil dompet di balik laci lemari, mengusik ketenangan setiap lembaran rupiah yang terjaga rapi sebagai tameng mengatasi pandemi corona untuk persoalan kebutuhan primer.

"Umi ... beliin baju baru dong," desak si bungsu, merajuk karena ingin terlihat gagah pas lebaran nanti.

"Kita lebarannya di rumah saja, Nak? Tak pakai baju baru juga kita tetap lebarannya di rumah saja?" jawabku.

"Masa tidak pakai baju baru? Tidak serulah, Umi?" Matanya mulai menyorot pesimis, alhasil pasti ngambek nih, pikirku.

"Nak, merayakan lebaran tak harus pake baju baru, pakai baju yang lama juga bisa, lagipula baju yang kemaren dipake salat itu juga masih baru? Allah SWT tidak melihat ibadah seseorang itu dari pakaian fisiknya, tak harus pakai baju baru, jika ibadah Ramadhanmu hanya setengah takar saja. Jadi, biarpun pakai baju lebaran yang lama asal hatimu ikhlas menyambut lebaran, maka Allah akan memberi banyak berkah, Nak," ujarku panjang lebar.

"Apa karena corona sampai kita cuma lebaran di rumah ya, Umi?"

"Iya, Nak. Sabar, ya? Anak sholeh pasti bisa mengerti ucapan Umi," kataku sambil mengusap kepalanya.

Dia pun mengangguk, seakan paham dengan situasi yang kini terjadi. Lalu berlalu dengan senyuman ke kamarnya.



Bukan tak ingin membelikan anak-anak baju baru, prinsip lebaran di tahun-tahun kemarin 'tak apa orangtua tak memakai baju baru, asal anak-anaknya bisa mendapat baju baru untuk berlebaran itu sudah cukup', ternyata tidak bisa diamalkan di Ramadhan tahun ini.

Kebutuhan primer harus didahulukan sebelum memikirkan kebutuhan tersier dan hikmah berlebaran di bulan pandemi Covid19 ini mengajarkan satu(1) hal, bahwa tak selamanya berlebaran itu harus dimaknai dengan memakai baju baru dan semua penampilan yang serba baru.

Cukup perbaharui hati dan prilaku, bersihkan lisan dan sucikan kehidupan kita dengan kembali mengintrospeksi diri lebih bertafakur ke dalam diri kita sendiri, sudah berbuat baik apakah kita untuk orang lain, sudah bersihkah lisan kita dari menghujat dan mengghibah oranglain?

Quote:

Setiap kata dan kalimat yang kuuntaikan juga menjadi pelajaran bagiku, agar tidak tergelincir ke dalam dosa yang tidak bisa kucuci, bukan ingin menggurui, tetapi sebaiknya hal-hal baik banyak yang menunggu untuk dikerjakan daripada membuang waktu hanya untuk menambah kekhilafan lisan dan pikiran.

Akhirnya di malam kemarin, persoalan THR pun mengusik ingatan, akankah di tahun ini pembagian THR ditiadakan? Kenapa belum ada kabar kalau memang ada?

Dari kantor tempat kukerja juga belum ada tanda-tanda alarm THR berbisik mesra di telinga dan dilayar gawai, jika dalam bentuk barang ... segeralah diberikan agar bisa membuat hati ini bernyanyi riang, jika memang tak ada, maka shalawat badar pun akan tetap mengalun merdu.

Tak tahan menunggu, kusampaikan uneg-uneg dan curhat ini ke lelaki yang selalu sabar menerima opiniku.

"Abi, THR adakah?"

Jawabannya yang singkat padat dan jelas kembali membungkam lisanku untuk bertanya lebih lanjut, cukuplah hanya aku yang tahu. Setidaknya, di pucuk rinduku pada Ramadhan kali ini kulepas dengan segala suka cita menyambut lebaran nanti.

Doa kembali termunajat, semoga kita bisa bertemu dengan bulan Ramadhan di tahun depan dan di tahun-tahun berikutnya. Semoga berkah dan kebaikan bulan yang penuh ampunan ini memberikan kesucian hati bagi siapa yang memaknainya dengan kesederhanaan dan keikhlasan yang tiada berbatas, semoga pula pandemi Covid19 bisa segera berakhir, aamiin ya robbal 'alamiin.


Sumber gambar dari Pinterest

emoticon-Maaf Aganwatiemoticon-Maaf Aganwatiemoticon-Maaf Aganwati


Spoiler for Bukti SS Cendol:
Diubah oleh evywahyuni 17-05-2020 07:04
putramelankolisAvatar border
indrag057Avatar border
nona212Avatar border
nona212 dan 26 lainnya memberi reputasi
27
2.7K
295
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
icon
31.5KThread41.5KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.