Kaskus

Story

Pengaturan

Mode Malambeta
Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

Β© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

Leny.KhanAvatar border
TS
Leny.Khan
Ta'aruf Kedua
#Ta'aruf_Kedua

Oleh : Leny Khan

πŸ’œπŸ’œπŸ’œπŸ’œπŸ’œ

"Jadi ... kita batalkan ta'aruf ini?" tanyaku setengah berbisik.

Pria itu mengangguk lemah. "Maaf," lirihnya.

Kutelan ludah dengan susah payah. Tenggorokan rasanya sakit sekali. Ini ta'aruf kedua dan ... haruskah kutelan pil pahit ini kembali?

"Boleh aku tahu alasannya?" Pertanyaan yang sedikit memaksa, tapi kali ini aku tidak mau menyerah begitu saja. Aku harus tahu alasan yang jelas, kenapa Rahman membatalkan ta'aruf yang tinggal separuh jalan ini. Bukankah dia sudah sangat mengenalku? Lalu apa yng membuatnya ragu? Tak cukupkah mengenalku 3 tahun semasa aliyah? Bukankah seorang guru sangat paham bagaimana muridnya?

"Entah, tiba-tiba saja aku ragu." Rahman melempar pandangan ke halaman rumahku yang tak begitu luas.

"Apa yang membuatmu ragu, Da? Bukankah Uda sendiri yang datang pada orang tuaku, dan melamarku pada mereka?"

"Iya, itu memang benar, tapi ...." Rahman menghentikan ucapannya.

"Tapi apa, Da? Tolong jelaskan biar aku paham!" desakku tak sabar.

"Kamu masih belum bisa melupakan lelaki yang pertama kali mejalankan ta'aruf denganmu, bukan?"

Aku terperangah. "Apa?"

Lalu ingatanku langsung tertuju pada sesosok lelaki yang kini entah di mana keberadaannya. Lelaki yang menghilang saat proses ta'aruf sudah berjalan 85 persen. Ketika sama-sama istikharah, dia pergi tanpa kabar. Meninggalkan kekecewaan mendalam untukku yang sudah memantapkan hati untuk menerimanya. Akan tetapi, aku beruntung. Nama Himam tak begitu membekas di hatiku. Kecuali rasa kecewa.

"Himam, kamu tentu takkan lupa dengan sosok itu."

Aku terperanjat. Bagaimana guruku ini bisa tahu tentang dia?

"Tidak usah kaget, aku mengenal Himam dengan baik. Sayangnya, aku baru tahu semua kemarin siang. Bahwa dia pernah melamarmu, lalu menghilang begitu saja."

"Aku tidak paham, tolong jelaskan!"

"Himam adalah adikku."

Lagi-lagi aku terkejut. Seakan jantung ini siap terlepas dari tempatnya. Namun aku berusaha bersikap tenang. Menunggu penjelasan yang lebih detail dari lelaki ini.

"Sebelum memutuskan untuk pergi ke Mesir, dia bercerita bahwa dia pernah melamar seorang gadis, tapi sayangnya ... dia harus meninggalkannya tanpa kabar. Sebab ada hal yang tidak bisa ia katakan pada gadis itu tentang kondisinya. Lalu ... Himam menunjukkan fotomu, yang masih ia simpan di galeri ponselnya."

Ya Allah, kejutan apa lagi ini?

"Lalu?" Suaraku terdengar parau.

"Aku memutuskan mundur, sebab aku tak ingin menyakiti hati Himam. Aku juga tak ingin bayang-bayang Himam menjadi pemicu retaknya rumah tangga kita nanti."

"Meskipun ... aku korbannya?" lirihku dengan mata berkaca-kaca.

Rahman menghela napas. "Maafkan aku, Nazhifah, aku tidak ingin hubunganku dengan Himam menjadi renggang ... aku ...."

"Cukup! Tidak usah diteruskan. Aku sudah paham. Kalian berdua sama saja!" cecarku. Kutahan agar air mata tidak tumpah di depannya.

"Terima kasih atas harapan indah yang telah diberikan padaku. Sampaikan salamku pada Uda Himam. Maaf, Ustadz ... mungkin panggilan itu tidak boleh berubah menjadi Uda. Mungkin ... aku hanya boleh berstatus murid untukmu, baik sekarang ... atau sampai kapan pun." Kucoba tersenyum walau tahu akan terlihat patah.

"Kalau tidak ada yang perlu dibicarakan lagi, pulanglah! Tidak usah temui orang tuaku ke dalam, biar aku saja yang menjelaskan pada mereka." Aku bangkit dan bersiap hendak masuk.

"Tapi, aku masih ingin dipanggil Uda!"

Pernyataan Rahman mengurung langkahku.

"Ujianmu telah selesai, aku mau menemui orang tuamu sebelum pulang. Untuk menentukan kapan orang tuaku bisa ke sini menentukan tanggal pernikahan kita."

Aku memutar badan, kuberanikan diri menatap pria yang tak pernah mau melihatku dengan seksama itu. "Apa ini?"

"Surprise!"

Tiba-tiba saja Himam muncul dari balik tembok pembatas teras rumahku. Bagaimana caranya dia bisa muncul dari situ aku pun tidak tahu.

"Uda Himam?"

"Iya, kenapa? Kaget, ya?" Ia cengengesan.

"Apa maksud kalian ini?"

"Maaf, Nazhifah, aku terpaksa melakukan semua ini demi permintaan abangku ini. Dia memintaku untuk menyelidikimu, tapi aku tak punya akses untuk mendekati keluargamu, jadi ... hanya itu cara yang kupunya. Sekali lagi maafkan aku. Percayalah, abangku ini sudah menaruh hati padamu sejak kamu menjadi muridnya. Dia tak pernah terniat menikah dengan wanita manapun. Dia rela menunggumu hingga kamu tamat kuliah," tutur Himam menjelaskan.

Entah, apa yang harus kuperbuat. Aku merasa dipermainkan. Namun, aku juga tak kuasa menampik sebuah rasa yang muncul untuk Rahman. Menerima, ataukah kulepaskan begitu saja?

πŸ’œBukittinggi, 14 April 2020πŸ’œ
4iinchAvatar border
NadarNadzAvatar border
nona212Avatar border
nona212 dan 17 lainnya memberi reputasi
18
1K
8
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
KASKUS Official
32KThreadβ€’45.1KAnggota
Urutkan
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Ikuti KASKUS di
Β© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.