budy31574Avatar border
TS
budy31574
Bidadari Bercadar Pilihan Tuhan #Part_01

"Maafin aku, Kak!" kata seorang gadis di sampingku dengan mata berkaca-kaca. "Aku harus menuruti kemauan papa!" tambahnya, sesekali menahan diri agar tidak menangis.

Aku hanya diam tanpa suara. Tidak tahu akan menjawab apa. Tiba-tiba mulutku terasa kaku untuk digerakkan walau tak sedingin embun setelah hujan. Aku terus mencoba untuk bersikap lebih hangat. Namun, tidak bisa sebab luka yang begitu menyayat.

Dengan datar ku hadapkan wajah ke depan. Menatap mentari yang mulai tenggelam ke dasar lautan. Aku tersenyum ironi pada diri sendiri. Mencoba untuk menikmati takdir menyakitkan ini.

Sesekali mengatur napas yang tak beraturan, bibirku kembali terangkat dengan mata tetap terpaku ke bentang lautan. Berharap, dengannya gadis di sampingku ini tidak dapat melihat netra yang sudah tak kuat lagi membendung air mata kepedihan.

Debur ombak yang menghantam batu karang seolah sedang menertawakanku. Padanya, dulu aku pernah mengadu tentang seorang gadis yang menjadi ratu. Padanya pula, aku mengadu tentang rindu ketika kami harus dipisahkan oleh waktu. Namun, setelah pertemuan dari penantian panjang itu, aku malah mendapat derita baru.

Yah, tidak salah apabila ombak menertawakanku. Sebab, dulu aku adalah pria yang selalu membanggakan gadisku. Dengan suara lantang dan penuh keyakinan, aku berteriak pada ombak waktu itu bahwa kami berdua akan selalu bersatu.

Namun, melihat kenyataan yang tak seindah pengharapan, sejujurnya aku malu pada ombak lautan. Entah, mengapa dulu diriku terlalu yakin pada hubungan yang bahkan baru terjalin satu tahun dari awal Desember. Nyatanya, terlalu bahagia telah membuatku tersekap lara. Kelewat cinta tak pelak membuatku harus merasakan luka.

Setiap yang datang pasti pergi. Itulah ketentuan dari banyak ketentuan Ilahi. Seperti mentari yang datang di waktu pagi. Lalu kembali ke peraduannya ketika malam hari.

Dan aku juga percaya, Tuhan akan mengirimkan pengganti pada sesuatu yang ditinggal pergi. Seperti fajar yang menggantikan senja di pagi hari. Pun senja yang datang di waktu sore untuk menggantikan fajar yang termakan sinar mentari.

Aku menolehkan kepala, menghadapkan wajah pada gadis di sampingku dengan ekspresi sama seperti waktu memandang Bagaskara. Karena datar bukan berarti tegar. Sama dengan senyuman yang tidak selalu melambangkan kebahagiaan. Terkadang kita harus berpura-pura ceria untuk menyembunyikan luka. Sebagaimana awan yang menurunkan hujan di langit cerah.

"Apa kamu yakin akan melakukan itu?" tanyaku setenang mungkin untuk memastikan jika gadisku menentukan pilihannya dengan yakin.

"Aku juga tidak tahu, Kak. Namun, melihat ayah yang selalu memintaku menikah dengan anak temannya, aku tidak mempunyai kekuatan untuk menolak!"

Masih seperti tadi, gadisku berbicara dengan mata berkaca-kaca. Sungguh, melihat itu aku semakin terluka. Aku tahu, ia terpaksa menuruti kemauan ayahnya. Sebab, di dunia ini sang ayah adalah satu-satunya permata yang ia memiliki. Mamanya telah berpulang satu tahun silam akibat penyakit jantung yang tidak bisa disembuhkan.

Perlahan, kutundukkan kepala. Air mata menetes tanpa disuruh. Lalu lenyap terbawa ombak yang terus menggeliat manja di bawah kaki. Tidak lama setelah itu aku berdiri. Mungkin saat ini adalah waktunya mengikhlaskan dia pergi.

"Baiklah jika itu pilihanmu. Tidak usah menghiraukan aku, apalagi menganggapku terluka. Percayalah, aku turut bahagia jika melihatmu bahagia. Ayahmu adalah satu-satunya orang yang kamu miliki saat ini. Jadi, buatlah beliau bahagia dengan caramu memenuhi keinginannya. Perihal cinta kita ...."

Aku menggantung ucapan sejenak. Memperkuat hati agar setelah ini air mata tidak menetes kembali. Mengatakan sesuatu yang tidak pernah ingin kita katakan memang sangat menyakitkan. Terlebih jika telah bersangkutan dengan hubungan. Percayalah, hal itu lebih menyakitkan daripada dimarahi orang tua ketika tidak lulus ujian.

Aku menarik napas dalam-dalam, bersiap untuk melanjutkan sesuatu yang hendak aku katakan tadi.

".... kamu tahu bukan? Kita berdua hanyalah sepasang hati yang mencoba untuk saling memiliki. Jika tidak bisa, mau bagaimana lagi? Kita harus sama-sama tabah menghadapi takdir tak menyenangkan ini."

Setelah berkata demikian, aku langsung melangkah pergi. Tidak kuat rasanya jika harus bertahan lebih lama lagi dengan hati yang perih. Biarlah cadas pantai yang menemaninya di tempat berpasir putih ini. Akan kutitipkan ia pada gunung-gunung tinggi yang berhadapan langsung dengan peraduan mentari.

Karena setelah ini senja akan pergi, akan ada nyala api milik turis luar negeri. Dia tidak sendirian di tempat berpasir ini. Masih banyak pohon kelapa yang menjulang tinggi ke angkasa. Juga roftoop-roftoop sederhana milik para pencari nafkah. Itulah yang membuatku tega meninggalkan dia begitu saja.

Jika aku terus di sana, hati akan semakin bertambah luka. Sebab, setelah aku mengatakan kalimat penutup itu, gadisku tidak bisa membendung air matanya lagi. Ia menangis. Yah, menangis. Dan pertanyaannya, lelaki mana yang tega melihat kekasihnya menangis?

Dengan perasaan kacau, aku mengambil motor di parkiran. Memasang helm, lalu melajukannya menerobos jalan raya. Selama perjalanan, air mata terus mengalir di balik terpaan angin malam. Namun, mulutku terkatup untuk tetap bungkam. Karena sebagai lelaki tidaklah pantas apabila terisak dalam tangisan.

Aku tidak boleh kalah pada kenyataan pahit ini. Sebab, semenjak aku lepas dari rahim ibu pahitnya hidup telah lebih dulu menggerogotiku.

Yah, waktu aku terlahir ke dunia papaku lebih dulu kembali ke sisi yang Maha Kuasa. Sejak saat itulah aku menjadi anak yatim. Dan terus bertahan hidup dari jerih payah ibu yang menjadi tulang punggungku.

Aku bukanlah orang kaya. Tidak seperti Widia yang mempunyai banyak harta. Latar belakang keluargaku juga sangat sederhana. Berbeda dengan keluarga Widia yang mempunyai segalanya. Jadi, tidak mengherankan jika ayah Widia menjodohkan anaknya dengan anak temannya yang juga kaya.

Berbeda denganku, papa Widia tidak pernah memberi restu. Selama ini, kami berdua menjalani hubungan secara sembunyi-sembunyi. Dan seperti kata pepatah ‘sepandai apa pun kita menyembunyikan bangkai, akan tercium juga baunya. Ayah Widia tahu hubungan kami berdua. Semenjak saat itulah beliau memaksa anaknya untuk segera menikah.

Dan sebentar lagi kenyataan itu benar-benar akan terjadi. Maka, aku harus sungguh-sungguh melupakannya mulai detik ini. Tapi ingat, melupakan bukan berarti tak cinta. Sebab, itu adalah jalan satu-satunya yang bisa dilakukan ketika hubungan tidak bisa lagi dipertahankan.

***
Diubah oleh budy31574 10-04-2020 02:31
4iinchAvatar border
NadarNadzAvatar border
nona212Avatar border
nona212 dan 15 lainnya memberi reputasi
16
1.2K
10
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Heart to Heart
Heart to Heart
icon
21.6KThread27.1KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.