bukhoriganAvatar border
TS
bukhorigan
[SFTH][Trilogy] Tersesat dalam Sesat II | Thriller Short Story
"mimpi yang selalu terikat, akan selalu menagih janjinya."

===
Terhimpit
===

"mengapa semua ini terjadi ?" sejak tadi, Aku bertanya-tanya dalam hati, sambil berjalan perlahan bersama Bagas.

Kami mulai melangkah ke setiap sudut ruangan ini, untuk mencari jalan keluar, gelap yang sudah menyelimuti kita membuat segalanya tidak terlihat, seperti berjalan tanpa arah, walaupun penglihatan kita berdua benar-benar terbatas kita tetap harus keluar dari tempat ini.

"Lyana dengarkan Aku, tidak penting kenapa semua ini terjadi, kita sudah tahu kenapa kita disini dan sekarang kita harus mencari jalan keluar, dan berharap menemukan teman-teman kita." ucap Bagas tenang, ah dia benar-benar pandai mengendalikan situasi

Aku dan Bagas hanya mampu meraba-raba sekitar, melangkah sedikit demi sedikit, memeriksa dinding yang terkelupas dari tempatnya yang sudah rapuh berjamur. Bagas menuntunku, dia di depan dengan posisi siap menjadi tameng dengan apapun yang terjadi, dia begitu peduli padaku, Aku melingkarkan tangan pada tangan kirinya, aku percaya segalanya akan aman jika bersamanya.
Langkah kita terhenti pada sebuah Gorden buludru tebal menutup dinding, Bagas menahan langkahku dari depan, mengisyaratkan dia menemukan sesuatu, kemudian dia membuka gorden itu perlahan.

"Lya, sepertinya ini pintu, aku bisa merabanya jelas, dan . . ah iya ini daun pintunya, pantas saja tidak terlihat karena terhalang gorden ini." ucap Bagas senang.

"cklek . . trettt . . " terdengar pintu berkarat itu terbuka.

"Gas ? terbuka ?" timpaku semangat.

"iya, Aku bisa merasakan angin berhembus, aku rasa ini jalan kelu . ."

"bukkk !" tiba-tiba ada yang menghantam dari depan.

Aku dan Bagas terpental ke belakang, tersungkur jatuh hingga terpelanting kesakitan, Aku jatuh ke samping, sedangkan Bagas sama sekali tidak terlihat jelas, namun dia seperti meringis tanda begitu sakit, kacamataku terlepas dan jatuh entah kemana, Aku berusaha bangkit dan meraba raba lantai, mencari-cari benda itu.

"krr krr krr, kalian seharusnya tidak bersama." terdengar suara di kegelapan.

"trap trap trap . ." seperti langkah seseorang memakai Bots.

Aku berusaha menenangkan diri walau jantung berdetak kencang, mencari kacamataku dan meraba keberadaan Bagas, tapi Aku sangat yakin jika ada seseorang diantara kita yang masuk ruangan ini.
Cahaya bulan mulai menampakan wujudnya, menerangi tempat ini seketika, sesuatu yang tidak nampak mulai terlihat jelas di sekitar ruangan, Aku bisa melihat Bagas dengan jelas walau sedikit samar, dia memegang kepalanya, berusaha bangkit walau sepertinya dia terluka karena terbentur keras, apa yang terjadi ? lalu siapa orang itu ? astaga !
Benar saja, jika tadi ada seseorang yang menghantam kita di muka pintu, Orang itu berperangai lusuh, rambut panjang berdebu, tersambung bersama kumis serta janggut yang menjulang sampai dadanya, pakaian yang dikenakan tidak jelas, sepertinya setelan jas yang kotor dan robek, dia memakai bots semata kaki, melangkah menuju bagas, dan apa yang dipegangnya itu ? sebuah godam ? atau palu ? ini mimpi buruk !
 
"Lyana, pergilah, cepat !" ucap Bagas sambil merintih kesakitan, Aku benar-benar membeku dengan keadaan, tidak mengerti dengan perkataan Bagas.

"diam kau bajingan !" balas Pria lusuh itu, dia bersiap mengayunkan benda tumpul itu lagi.

dengan cekatan, Bagas mencoba menghindar, namun ayunan Pria itu lebih cepat, sepetinya tahu kemana Bagas menghindar, menuju posisiku yang hanya mampu duduk ketakutan !

"Bukkk !" sebuah hantaman yang terdengar cukup keras.

"Ahgkk . . " Bagas berteriak, Aku melihatnya terhempas.

"Bagasssss !" aku berteriak kencang berbarengan ambruknya Bagas ke lantai.

Aku tidak kuasa menahan air mata yang keluar, segera aku menuju Bagas, memegang kepalanya, apa ini ? apakah ini darah ?

"Bagas kamu berdarah, Bagas . ." rengeku.

"Trap trap trap . ." terdengar Pria itu mulai menghampiri kami lagi.

"Lyana ? uhh . . mungkin saja tadi Aku bisa menghindar, tapi Aku menemukan kacamatamu." jawab Bagas, demi kacamataku dia rela berkorban.

"seharusnya kamu jangan dulu pedulikan . ."

"sudahlah ! ini tidak penting, sekarang cepatlah pergi, selamatkan dirimu." bentak Bagas memotong.

Aku menangis melihat Bagas, menangis karena hanya menjadi beban.

"Bagas ayo kita pergi bersama, tolong." timpaku dengan hendak berdiri bersamanya.

"krr krr, sudah kubilang kalian tidak seharusnya bersama, kalian sudah menghancurkan masa depan Anak ku." Pria itu datang dengan cepat, memegang kaki Bagas, apa maksudnya ?

"Bagas !" Aku terkejut.

"Grap !" Pria itu memegang kaki Bagas, denga tenaga diluar akal, dia menggusur Bagas dengan cepat.

"Lyana pergilah ! ughkk . ." badan Bagas terangkat, Pria itu mengangkat tubuh Bagas dengan mudah.

"tolong jangannn !" teriaku lalu berdiri menghampirinya, namun terlambat dia melempar tubuh Bagas ke ujung ruangan ini, biadab !

"Brakkk !!!" badan Bagas terhempas menuju retakan yang aku lalui sebelumnya, dinding yang rapuh itu hancur seketika, badan Bagas tersungkur di kamar tidur tadi.

Aku mengenakan kacamataku, lalu sesegera mungkin berlari menuju Pria itu, berharap bisa menghentikannya, Aku ingin sekali menolong Bagas.

"tolong jangan !" teriaku menghampirinya.

"diam !" Pria itu mendorongku sekuat tenaga, Aku kembali tersungkur.

"ughk Lyana ? aghk . . tolong Pergilah, nalar Pria ini sudah hancur, pergilah cari teman-teman kita, selamatkan dirimu !" terdengar suara Bagas dari kejauhan yang mulai melemah.

"Bagas, aku tidak akan meninggalkanmu !" teriaku dengan menangis sejadinya.

"tolong Lyana, jika kamu menyayangiku, pastikan dirimu selamat !" pinta Bagas memohon.

Pria itu melangkah dengan cepat, menuju ruangan Bagas yang tersungkur, namun celah dinding tadi menghalangi tubuh dia yang tinggi, Pria itu mulai menghantam dinding, mungkin memang berniat menghabisi Bagas secepatnya.

"Brak ! Bruk ! Brak !" Pria itu menghantam dinding dengan cepat.

"krr krr . ." Aku benar-benar takut akan dengusannya, orang gila yang sesat.

"berani-beraninya kamu masuk kamar tidur ini, ini kamar pengantin anak ku dengan perempuan itu !" teriak Pria itu, apa maksudnya ? kamar itu kamar pengantin untuk ku dan anaknya ?

Aku bergegas menuju meja makan, melempar piring ke Pria itu, apapun ku lempar, apapun ku lakukan untuk melindungi teman dan orang terdekatku, akan kulakukan jika ini bisa menghentikannya.

"Prang ! Prang !" pecahan piring berterbangan.

"hentikan semua ini !" Aku berlari menuju Pria itu, dengan memegang pisau yang ku ambil dari meja makan.

"Jleb !" dengan bergetar dan menangis, Aku menusuk punggungnya, bukan hanya sekali tapi berkali-kali.

"Jleb Jleb Jleb !" terlihat darah keluar deras, membasahi cardigan ku, bercak darah menutup kacamataku.

"laknat ! apa yang kamu lakukan menantuku !?" Pria itu berteriak lantang.

Pria itu mendorongku keras, sambil merintih kesakitan dia melepas palu yang dari tadi dia pegang, dia memegang punggungnya dengan berteriak kesana kemari kemudian jatuh tersungkur.
Aku menangis, gemetar, darahku berdesir, belum kulakukan hal demikian seumur hidupku, Aku lepas pisau yang ku pegang, berlari menuju kamar tidur tadi berharap Bagas baik-baik saja, seraya memikirkan kenapa dia menganggapku menantunya ?

"akan ku balas kau jalang !" Pria itu mampu bertahan, namun luka itu sedikit menghambat pergerakannya.

"Bagas !" Aku menghampiri Bagas yang mulai melemah, terlihat potongan plafon dinding menancap perutnya.

"Lyana ? a . . apa yang . . kamu lakukan ? seharusnya kamu . . cepat pergi . ." Bagas mengalami pendarahan serius.

Aku berusaha membopongnya untuk berdiri, walau dia meringis kesakitan, Aku harus menuntunnya berjalan dan segera pergi dari tempat ini bersama Bagas.
Dengan cepat aku menuntunnya berjalan dengan melingkarkan tangannya pada pundaku, Aku melihat Pria lusuh tadi masih tersungkur dan berusaha berdiri.

"hendak kemana kalian hah ?!" teriak Pria itu masih bersimpuh, memegang punggungnya, namun Aku tidak mempedulikannya, dan berjalan secepat mungkin.

Aku berhasil keluar dari ruang makan, sambil bercucuran air mata, dan lumuran darah dimana mana, Aku tetap harus melanjutkan langkah sampai kita menemukan bantuan, kita sampai pada koridor yang panjang, koridor yang gelap sampai ujung.
Aku berusaha melangkah dengan cepat, tidak peduli dengan apa yang menanti di depan, sesekali Bagas meringis memegang perutnya, benda yang menancap di perutnya tidak terlalu besar dan dalam, namun sepertinya mengganggu ketika kakinya melangkah, kepalanya bercucuran darah, terhantam palu dengan keras, air mataku semakin tak terbendung, Bagas maafkan aku tidak bisa berbuat banyak.

Sambil melangkah, aku menatap sekitar, atap koridor ini terbengkalai, terbuka retak dan terkelupas, terdapat retakan yang membuka sedikit cahaya rembulan, batu dan kayu berserakan dimana mana, air hujan yang mengendap dilantai dipenuhi lumut yang sesekali membuat langkah kami sedikit licin, walaupun begitu kami tetap harus berjalan lebih cepat, berharap Pria tadi tidak mengikuti kami.
Dari kejauhan Aku melihat sesosok Perempuan memakai gaun putih, mengangkat tangannya, tanda langkah kami disambut, semakin kaki-kaki kami mendekat maka Aku menyadari satu hal, dia bersama anak kecil yang sebelumnya ada di ruang makan tadi, anak itu bersembunyi dibalik gaunnya yang indah jatuh sampai ke mata kaki, gaun itu menutup pijakannya.
Langkahku sempat terhenti, kenapa ada sesosok Perempuan paruh baya di tempat seperti ini, lalu apakah ini Ibu dari anak itu ?

"ma . . maaf apa Ibu penghuni rumah ini ? bisakah Ibu menolong kami ?" Aku berbicara cepat sambil berdiri gugup, menatapnya penuh ragu, Bagas hanya terdiam tanda dia kelelahan karena mengeluarkan cukup banyak darah, diam membisu.

Perempuan itu hanya tersenyum, memegang kepala anaknya dibelakang.

"Benar kata Billy, kamu memang cantik, tangguh, berani, dan begitu setia." ibu itu berkata lembut, sedikit datar dengan wajah yang pucat namun berbicara dengan nada hangat.

Apa yang dimaksudnya itu Aku atau siapa ? tapi tunggu dulu, dia mengenal Billy ? apa Billy ada disekitar sini ?

"Ibu mengenalku ? Billy ? Ibu melihat teman kami disini ? ada dimana mereka ? apa Ibu tahu jalan keluar ?" tanyaku antusias.

"tentu saja aku mengenal Billy, dia adalah Anak semata wayangku." jawabnya, sambil mengusap-usap kepala anaknya.

Aku terpaku sambil menatap anak itu, jadi maksudnya anak itu Billy ? atau adiknya ? Aku semakin kebingungan.

"Apa Ibu bercanda ? Billy adalah teman kami, sebaya dengan kami, karena kami satu kelas." Aku membalas dengan terheran heran menatap anak itu.
"Lalu siapa Pria tadi ? mereka menyerang kami bertubi-tubi ?" Aku menimpa pertanyaan tadi, memang banyak hal yang harus Aku tanyakan.

"Dia adalah Ayah Billy, maafkan perbuatan dia Lyana." Ibu tadi menunduk, tanda penyesalan.

"Jadi maksud Ibu ? tadi adalah Suami Ibu ?" Aku tersentak kaget, dan memasang badan, takut dia melakukan hal yang sama.

"Lyana, kamu adalah satu-satunya harapan Billy, Saya tidak mempunyai waktu banyak untuk menjelaskan, jadi Saya bersedia membantu untuk menemukan teman kalian, namun kalian harus berjanji membantu Billy dikehidupan nyata." Dia tidak menjawab pertanyaan sebelumnya, dan menjawab penuh ambigu, harapan ? kehidupan nyata ? apa maksudnya ?

"Lyana ? Ka . . Kamu berbicara dengan siapa ? Aku ingin duduk dulu." Bagas meracau pelan, berusaha untuk duduk karena lelah berdiri, Aku membantunya perlahan.

"Bagas Aku menemukan seseorang yang bersedia membantu kita, dia mengenal Billy." Aku berbicara senang sambil menunjuk kepada Ibu dan Anak itu, namun tetap perhatianku teralih pada Bagas.

"Dimana ? Siapa ? ah Lyana, aku tidak melihat apapun, Aku hanya ingin mengatakan bahwa sepertinya Aku tidak mampu bertahan lebih lama." Bagas berbicara dengan keringat bercampur darah, tercucur dari Dahi sampai Lehernya.

"Lyana . . Lya . . na . ." Bagas ambruk tergeletak.

Aku melihat Bagas kaget tidak percaya, apa dia meninggal ? Aku memegang tangannya erat, segera ku tempelkan telingaku pada dadanya, masih berdetak namun lemah, Aku membuka baju yang menutup lukanya perlahan-lahan, kumelihat darah keluar sedikit demi sedikit tertancap serpihan plafon, memang mengering tapi luka Bagas membuat pendarahan yang dideritanya mengalami infeksi parah, ditambah kepalanya yang terluka serius terhantam benda tumpul.
Aku hanya mampu menyeka air mata yang keluar perlahan, merasa tidak berguna di saat situasi seperti ini.

"Lyana kamu adalah dokter, kenapa tidak mencoba mengobatinya ?" sapa lembut Ibu itu, kemudian anak yang tadi terdiam melangkah memberikan sebuah kotak dengan aksen warna putih, meletakannya di hadapanku.

"Dokter ? maksud kalian ?" Aku terdiam kebingungan.

Aku menatap kotak itu secara seksama, terdapat tulisan 'dr. Lyana Faradhesi', kemudian aku terhentak kaget, benar ! Aku ini seorang Dokter, kenapa Aku begitu lambat mengingatnya ?

"dulu kalian semua adalah teman sekelas, setelah lulus, hanya kamu yang mengambil jurusan Dokter." Perempuan tadi duduk bersimpuh sambil tersenyum, masih terlihat pucat, Anak tadipun turut tersenyum sambil berlindung di belakang Ibunya.

Segera ku membuka kotak itu, melihat peralatanku dengan teliti, terdapat disinfektan, gunting operasi, perban, jarum suntik, dan lainnya, ah iya aku harus menemukan obat pereda sakit, tapi dimana ku meletakannya ?
Aku membalikan kotak itu, semua peralatan ambruk jatuh seketika dan menyebar, Aku meraba-raba satu persatu peralatanku dengan tergesa-gesa.

"nak Lyana, pasti mencari ini." Ibu tadi memberikan botol kecil, terlihat seperti Morphine, drugs pereda sakit !

"ah iya, terimakasih." aku mengambilnya dengan cepat, tidak sengaja menyentuh tangan Ibu tadi, dingin dan pucat, ah aku tidak memperhatikannya.

"tolong jauhkan benda-benda itu dari Billy kelak." Ibu itu menimpa, tidak jelas yang apa yang dimaksudkannya.

Aku merasa kacamata yang kukenakan kotor luar dalam, darah yang menyembur dari Pria itu membuat lensanya terdapat bercak darah dan tercampur debu, Aku melepasnya dan menarik cardigan ku, membersihkannya dengan cepat.

"Lyana memang pintar, Ibu bangga Billy bisa mengenalmu nak, Saya pamit dulu, pasti sebentar lagi teman-temanmu datang, hanya kamu yang mengetahui jalan keluar dari tempat ini, tenang saja." Ibu Billy berkata lembut.

"ah iya Ibu sama-sama tanpa Ibu pasti Aku . ." Aku meliriknya dan . . dia menghilang ? dengan tegang kacamataku terlepas dari tanganku.

Aku berdiri melihat sekitar, Ibu itu benar-benar menghilang bersama anaknya, kemudian Aku menunduk terburu-buru mengambil kacamataku lagi, mengenakannya, itu dia Aku melihat Ibu itu berjalan pergi menuju ujung koridor yang gelap, dia melirik ku untuk sesaat dan tersenyum.

"Berhati-hatilah memakai kacamata itu, itu adalah pintu penglihatan antara batas dunia ini dan dunia lain." Ibu itu berbicara, dan menggema di koridor ini, dan perlahan hilang menuju ujung yang gelap, sambil menuntun anaknya, Billy.

Aku terpaku, keringat mulai bercucuran, apa ini nyata ?

"maksudnya . . maksud Ibu . . ?" Aku terbata-bata, jadi Ibu dan Anak tadi ?

"Lya . . na ? kamu berbicara dengan siapa tadi ?" Bagas mulai meracau, tanda kesadarannya mulai pulih.

"Bagas, aku lupa tadi ada . . ah maaf lupakan, tolong bertahanlah." Aku langsung menunduk dan bergetar dengan perasaan yang tidak menentu, tidak percaya apa yang terjadi sebelumnya.

bodohnya Aku mengabaikan Bagas, Aku mengambil jarum suntik dan botol morphine, lalu mengambil dosis yang pas serta sebungkus kapas yang tercampur alkohol, kemudian menggosok lengannya perlahan.

"bertahanlah Bagas !" Aku menyuntikan Morphine perlahan.

"Lyana ? Lya . . na ?" Bagas mulai meracau.

Kemudian Aku mengusap lembut kepalanya dengan kapas, berharap bisa membungkusnya dengan perban, terkadang sambil melirik ke arah perutnya, Aku harus bisa mencabut benda itu, menjahitnya segera.
Koridor ini mulai tertelan gulita lagi, awan sepertinya menutup rembulan dengan cepat sehingga gelap dan lembab mulai mengelilingi kita, penglihatanku kembali terganggu, parahnya terdengar percikan yang menetes di kepalaku.

"Tik . . Tik . . " tetes hujan menembus atap, jatuh di lantai koridor.

Secepatnya aku mengambil gunting juga botol antiseptik, mengguyur perutnya, berharap hujan tidak turun serentak dan membuyarkan operasi kecil ini, tapi operasi tidak mungkin dilakukan jika tanpa adanya cahaya, terlebih lagi mataku yang terganggu dan buram.

"Lya . . na ? cepat pergilah." ucap Bagas lemas.

Aku hanya menangis bergetar melihat Bagas, ditekan keadaan, Aku terhimpit waktu dan pikiran yang melayang-layang, tentang tempat ini, Bagas, Pria jahat tadi, juga Istri dan Anaknya, lalu kemana teman-temanku berada ? apa mereka masih hidup ?

"Trap . ." ah itu ?

"Trap . . Trap . . " suara langkah kaki Pria tadi !

"Tik . . Tik, Tik, Tik . . " tempo hujan semakin cepat, membahasahi tubuh Bagas, sedangkan Aku hanya menangis sambil memegang kapas.

"Cracash . ." langkah kaki Pria itu terhenti menginjak genangan air, terlihat menyeramkan dari kejauhan.

"Grep . ."

"Lyana ? Lyana ? bangun, ayo bangun, kamu tidak apa-apa ?" tiba-tiba tangan Bagas memegang tanganku, membelai lembut wajahku yang bercucuran air mata dan bercampur air hujan.

"Bagas ?" Aku menunduk dan memeluknya, segalanya berubah gelap sejauh mata memandang.

Aku ketakutan, terhimpit dengan kedatangan Pria itu.

ah, setidaknya bersama Bagas bukan ?

"Lyana ? Lyana ?" ucap Bagas lembut.

. . .

"Lyana ?" terdengar Perempuan memanggilku.

"Lyana ayo bangun." apa itu Bagas ?

Aku membuka mata, sekitar terlihat buram namun cahaya sudah masuk ruangan, tanda pagi sudah menyapa, perlahan Aku bangun dari tidurku, ada apa ini ?

"Kamu tidak apa-apa ?" sapa Bagas lembut.

"Aku ada dimana ?" Aku masih bingung dengan yang terjadi, lalu Bagas kamu baik-baik saja ? Aku melihat banyak orang mengelilingiku.

"lu ga kenapa-napa sis ? oi Eri berikan dia kacamata." terdengar Perempuan dengan nada cempreng dan melengking.

"Lya pakai ini." seraya memegang tanganku, sepertinya itu Eri.

Aku meraba kacamata ini, ah ini kacamataku yang sempat hilang semalam, Aku terbiasa memakai kacamata ini sejak lulus SMA, begitu berharga karena pemberian Ayahku, tidak terdapat ukiran apa-apa seperti kacamata yang ku temukan . . oh iya benar, dimana kacamata yang kutemukan semalam ? ah kepalaku masih runyam memikirkannya.

"sepertinya Demamnya membaik, tapi sebaiknya tetap istirahat sampai pulih." ucap Pria di ujung sana.

Setelah mengusapnya perlahan, Aku mengenakan kacamataku, terlihat dengan jelas Bagas disampingku dengan senyuman hangatnya.
di atas kasur ada Eri yang memegang kompresan dan sebotol paracetamol, dia selalu peduli denganku, dia sahabat terbaiku sejak SMA, dia melipat setelan kemejanya, lalu memegang keningku sesekali.
disamping Eri ada Harni yang berdiri dengan tenang, tersenyum lebar sambil memegang lolipop kesukaannya, dia selalu mengenakan setelan tank-top dan hotpants, tidak mencerminkan usianya sekarang, tapi Aku membalas senyumannya.

"oi Tion, panggil Arkan dan Billy." bentak Harni.

"tenang aja, mereka udah disini kok." jawab Tion mengangkat jempolnya.

Tion berdiri sambil bersandar pada dinding, dia melihatku sambil tersenyum lega serta melambaikan tangannya padaku, Tion mengenakan rompi dan topi kesukaannya, dia sahabat baik Bagas, lalu Bagas melihatnya sambil menahan tawa karena selalu di bentak Harni.

"Lyana ? Aku bermimpi kita terkurung pada suatu tempat, dalam mimpi itu aku terikat pada kursi, entahlah Aku lupa lagi, saat itu hujan dan terakhir kali kamu memelukku erat." ucap Bagas pelan, sedangkan yang lain berbicara satu sama lain.

"Bagas ? kemana Billy ?" Aku langsung menimpa perkataannya, Billy adalah kunci mengenai Mimpi semalam.

mungkin ini terdengar gila, tapi Mimpi semalam mengikat kita sampai ke Dunia nyata !

to be continued

Spoiler for image source:
ExstradaxxxAvatar border
DheaafifahAvatar border
terbitcomytAvatar border
terbitcomyt dan 39 lainnya memberi reputasi
38
3.1K
18
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
icon
31.4KThread41.4KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.