bukhorigan
TS
bukhorigan
[SFTH][Trilogy] Tersesat dalam Sesat I | Thriller Short Story
"terkadang kenyataan bisa terhubung lewat mimpi, jadi apa ini sebuah kenyataan ?"

===
Terbangun
===

"Aku ada dimana ?"
"Kenapa begitu gelap ?"
"Apa yang terjadi ?"

Aku merasa ada tangan yang mencoba membangunkan dengan mengusap lembut pipiku, tangan yang halus namun dingin.

"Lyana bangun, kamu harapan Aku satu-satunya." Sapa seorang Pria yang sepertinya aku kenal.

Kuperlahan membuka mata namun masih tergeletak lemas, aku mencoba menerka apa yang sebenarnya terjadi, dan mencoba mengingat mimpi yang Aku alami tadi, tapi semakin ku mencoba untuk mengingat maka semakin samar terbayang.
Aku rasakan lantai begitu lembab lalu ditambah angin malam yang mengurai lewat jendela ruangan, menjadikan suasana begitu dingin yang mencengkram tulang. Aku hanya mengenakan blouse dibalut cardigan, rok selutut, juga stocking tipis sampai ke mata kaki yang terbungkus sepatu kets, apa yang aku kenakan tidak banyak membantu untuk menghangatkan badanku. Sambil mengingat apa yang terjadi, ku silangkan tangan di dada, mencoba bangkit dan berusaha mengetahui ada dimana keberadaanku ini.
Mataku minus, ini menjadikan penglihatan disekitar ruangan bukan hanya gelap tapi begitu samar, Aku hanya dibantu cahaya malam yang tembus dari jendela, terang bulan yang masuk lewat lubang pecahan kaca di jendela itu sedikit membantu penglihatanku, aku lupa bagaimana kacamataku bisa terlepas dan kenapa aku ada disini, sendirian di ruangan gelap.
Setelah beberapa menit akhirnya kepalaku sadar seutuhnya lalu bangkit berdiri, membuat penglihatan yang tadinya samar perlahan mulai semakin jelas, namun karena mataku yang buram kucoba meraba raba sekitar dengan menelusuri dinding yang berlumut, ku menelusuri dinding ini hingga sampai terhenti pada meja berdebu, terlihat samar pernak-pernik antik yang tertutup jaring laba-laba termakan usia dan waktu.
Setelah berpegangan di pinggiran meja dan mulai meraba-raba, aku menemukan sebuah kacamata diatasnya, apa ini kacamataku ? ku coba mengangkat kacamata itu. Lensa kacamata ini berbentuk bundar dan terasa usang, terdapat ukiran klasik yang terpahat di setiap lengkung bingkainya, aku rasa ini bukan kacamata modern pada umumnya, ku coba mengenakannya perlahan, dan ternyata ada retakan kecil di bagian lensa kanan, setidaknya kacamata ini sangat pas di kepalaku juga mempunyai lensa minus yang sesuai dengan mataku, ku melepaskan kembali untuk membersihkan debu yang menempel di kacamata ini.
Ternyata, ruangan ini sangat usang dan menyeramkan seperti gudang Museum Jakarta, cat putih mulai menguning kecoklatan, terdapat kasur yang sudah reyot dan robek seperti dimakan tikus, meja yang Aku pegang-pun sudah berdebu dan rapuh dimakan rayap, lalu diujung sana daun pintu khas victoria menempel di dinding yang terkelupas, sudah tidak simetris lagi dengan tempatnya, aroma ruangan inipun sedikit amis dicampur wangi debu yang berterbangan.
tepat di atas kasur, Sebuah Lukisan besar menempel di dinding, ku melihat potret keluarga yang mungkin dilukis oleh pelukis berbakat, terlihat jelas di setiap sudutnya, aksen warna khas, juga paduan garis yang bertemu, lalu terpasang dengan bingkai mewah, membuat lukisan ini bukan hanya sekedar karya seni, tapi sebuah potret dari keluarga bangsawan.
Aku semakin mendekat dan melihat lukisan itu yang didalamnya terdapat sosok berdiri seorang Ayah dengan jambang dan kumis yang terawat, setelan Tuxedo mahal, tegas dan berwibawa, dia tersenyum sambil memegang pundak Istrinya, memang Istrinya tidak semewah Suaminya, tapi gaun putih yang terurai sampai lantai membuat sosok dia lebih sederhana namun tetap berkelas, kedua orang tersebut melingkarkan tangannya pada satu orang anak, dengan tatapan polos anak-anak pada umumnya, mengenakan setelan khas borjuis dengan aksen berkelas, ah kenapa Aku menatap mereka terus, bukankah aku harus mencari jalan keluar dari ruangan ini.
Aku bergegas menuju daun pintu, mencoba membuka pintu ini tapi sepertinya terkunci dari luar, Aku terheran lalu segera menuju bingkai jendela, mengintip apa yang ada diluar melalui celah kaca jendela yang pecah, aku hanya mampu melihat padang rumput yang meninggi termakan waktu, hutan lebat mengelilingi tempat ini, sebenarnya Aku dimana ? langkahku tidak berhenti dan menuju pintu kembali, Aku mengepalkan tangan dan mendobrak sekuat tenaga, berharap ada orang yang mendengarku.

"drup ! drup ! drup !" Suara terpantul.

"halo apa ada orang disana ?" aku berusaha berteriak dengan nada lirih walau haus dan lapar mulai menganggu tenaga pita suaraku.


"Lyana ? apakah itu kau ?" tiba-tiba terdengar Pria menyahut di sebelah ruangan ini.

hah Lyana ? oh iya namaku Lyana, kenapa aku baru mengingatnya sekarang.

"iya ini aku Lyana, siapa disana ?" ku berkata-kata sambil meraba-raba dinding ruangan, menerka dimana keberadaan suara itu.

"ini aku Bagas, Aku terikat di kursi, ikuti arah suaraku, posisi kita berdekatan." teriak Pria tersebut.

Sambil memegang kepalaku yang mulai runyam, Aku sedikit terheran-heran dengan situasi ini khususnya Pria tersebut, siapa Bagas ? Aku tidak memperdulikan pertanyaan itu, mungkin dia akan membantuku,
ku melangkah sedikit demi sedikit menelusur asal suaranya, menempelkan telingaku pada dinding, akhirnya aku mendengar sedikit suara di sebelah ruangan ini.

"Ckrit ! Ckrit !" terdengar suara gesekan kursi pada lantai.

"ah sialan aku tidak bisa bergerak."
"Lyana ? apa kamu masih disana ?" teriak Bagas.

"ah iya Aku masih disini." sambutku.

Sepertinya dia berusaha menggeser posisinya agar lebih dekat denganku, ah iya dia bilang terikat pada sebuah kursi, aku harus cepat ke sana.
Langkahku terhenti di meja usang tadi, penglihatanku yang mulai jelas ini memberikan sedikit petunjuk, jika melihat secara seksama dibalik meja ini terdapat retakan kecil yang terlihat menjulang membuat celah ke ruangan lain, aku menjulurkan tangan pada retakan itu dan ternyata benar ada angin yang berhembus, aku harus menggeser meja ini untuk memastikannya.

"Srettt Ckrittt !" walau lemas, aku berhasil menggeser meja ini perlahan-lahan.

aku menemukannya, retakan itu terbelah cukup besar, mungkin badanku bisa masuk melalui celah itu, lalu setelah menundukan badan, dari posisi ini ruangan sebelah itu terlihat begitu gelap dan hanya diterangi lilin remang-remang, terlihat bayangan orang yang duduk bersimpuh pada kursi, pasti itu Bagas.

"Bagas ? kamu masih mendengarku ? aku kesana sekarang." Teriaku sambil berjalan jongkok menuju ruangan itu.

"Lyana hati-hati." Sahut Bagas.

dan sampai, Aku melihat Bagas duduk bersimpuh penuh keringat, dengan tangan terikat ke belakang, dan kaki yang juga terikat pada pijakan kursi.
segera Aku menuju belakang kursi tersebut, aku terisak sambil berusaha membuka ikatan tangan Bagas.

"Lyana kamu perempuan tangguh, Aku selalu tau itu." Lirih Bagas memujiku.

"A . . A . . Aku tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi." Aku terisak sambil terbata-bata, tanganku mengerayangi ikatan tersebut, dalam situasi ini aku benar-benar kebingungan dan takut yang dalam.

setelah ikatan tangan Bagas mulai terbuka, dia menunduk berusaha membuka kakinya yang terikat, Aku duduk sambil bersandar pada dinding dengan pikiran yang melayang, sebenarnya apa yang terjadi padaku dan dia.

"Lyana terimakasih, kamu sudah datang, kamu adalah harapan Aku disaat-saat seperti ini." Ucap Bagas seraya meraih tanganku yang lemas.

Harapan ? Mimpi ? ah iya, Aku ingat akan Pria yang berkata mirip, apakah itu dia ? mana mungkin, suaranyapun jauh beda.

"Sebenarnya kita ada dimana ?" Mataku mulai meleleh dengan air mata, tidak setangguh dengan apa yang dia pikirkan.

"Sudah, tolong jangan panik, jangan pernah takut, ada Aku disini." jawab Bagas, sambil memegang tanganku, mengelap air mataku, mengajak diriku yang rapuh untuk berdiri lalu mendekap hangat tubuhku.

"Aku sayang kamu Lyana, maafkan Aku tidak berusaha mencarimu dulu." Ucap Bagas sambil membelai rambutku.

"Aku takut." balasku, lalu kacamataku mulai Goyah dengan dekapan Bagas, dia mulai sedikit meregangkan pelukannya.

"Tenang, jangan takut, sekarang jawab pertanyaanku Lyana, apa kamu tahu apa yang terjadi ? apa bisa mengingat kenapa kamu ada disini ?" sambil memegang pipiku.

"Aku tidak tahu, ingatanku buyar." ucapku lirih.

"Berarti kita sama, yang aku ingat adalah Aku tertidur sambil memikirkanmu, lalu anehnya terbangun di tempat ini, terikat pada kursi, ada sebuah Cawan berisi Lilin yang menyala, dan tujuh piring, gelas, dan masing-masing sepasang garpu juga pisau." ucap Bagas terheran heran, sambil menunjuk pada sebidang meja panjang.

Aku rasa ini ruang makan keluarga, terlihat meja panjang coklat terbentang dari ujung ruangan ke ujung lain yang hampir tidak terlihat karena termakan gelap, beberapa lemari terpajang rapih, guci yang pecah, tempat perapian yang tertutup jaring laba-laba, aku mencium bau amis yang menyengat, dan aroma bangkai tikus berhembus.
Bagas mulai mengusap-ngusap bahuku, berusaha menenangkan diriku dengan hangat, Aku benar-benar lupa sosok dia, tapi Aku yakin jika kita begitu dekat.

"Aku hampir tidak mengingat siapa diriku, tapi ketika mendengar suaramu, pikiranku langsung teringat bahwa kamu adalah Lyana, dan mengingat bahwa namaku adalah Bagas, lalu perasaanku semakin yakin ketika melihat dirimu seutuhnya." ucap Bagas yakin.

setelah menyimak dengan apa yang dikatakan Bagas, aku perlahan mulai paham dengan apa yang terjadi, dan perlahan mengingat siapa aku, dan siapa Bagas.
sambil mengerenyitkan kepala aku bisa mengambil petunjuk sederhana atas situasi ini, ada sebuah kejanggalan yang mengikat kita, pertama kita lupa dengan diri kita, kedua ingatan tersebut kembali seperti semula jika memori yang spesifik terlihat ataupun terdengar, khususnya yang mempunyai kenangan dengan kita.

"Bagas, apa kamu mengingat dengan pemberian kamu padaku, atau benda yang aku beri padamu ?"

"Maksudmu ? ya aku memakai sepatu, ini pemberian darimu Lyana." Gumam Bagas.

Aku melihat sepatu yang dipakai Bagas, sepasang sepatu skate hitam dengan insole putih, dan ah perlahan aku mengingat dengan jelas siapa Bagas, kenangan-kenangan itu, memori indah itu.

Aku langsung memeluk Bagas dengan erat, seperti seseorang yang tidak bertemu sejak lama.

"Bagas, maafkan aku." ucapku lirih dengan kesedihan, mataku meleleh kembali.

"Lyana ada apa ?." Bagas sedikit bingung.

"Maafkan aku, bisa-bisanya Aku lupa siapa dirimu, kamu adalah kekasihku." aku merengek meminta maaf.

Bagas tidak mengucapkan apa-apa, dia hanya membalas pelukanku dengan belaian hangat di kepala.
Situasi sendu itu melupakan ketakutanku yang tersesat di entah berantah yang perlahan sirna, terasa aman bersamanya, terasa segalanya akan berjalan baik. Sambil memeluk Bagas di ujung ruangan itu Aku melihat sosok anak kecil yang diterangi cahaya lilin, sedikit samar tapi Aku tahu itu adalah sesosok Manusia, apa mungkin dia penghuni rumah ini ? tapi mana mungkin ?

"Bagas, dibelakangmu." sambil melepas pelukanku, Aku menunjuk ke ujung ruangan tersebut dan Bagas menoleh kebelakang.

"Aku tidak melihat apapun."

"Benar itu ada anak kecil." aku berusaha meyakinkan Bagas.

"Lyana apa kamu sakit ? masih merasakan pusing ?" ucap Bagas sambil memegang keningku.

Aku perlahan meninggalkan posisi Bagas, dan menuju anak kecil tersebut, langkah demi langkah membuat Aku semakin ragu dan segan, tapi jika ini salah satu cara mengetahui ada dimana keberadaan kita, maka ini harus dilakukan, Aku harus menanyakan hal ini pada anak itu.

"Lyana ? Kamu hendak kemana ?" Tanya Bagas.

anak kecil tersebut hanya berdiri diam, sedikit pucat, namun menatap penuh arti padaku, kacamataku sedikit samar karena air mata, lalu Aku melepaskannya sesaat berusaha membersihkan bercak air yang menutup penglihatanku. Setelah memakainya lagi, aku terkejut melihat anak itu menghilang di telan gelap, aku mundur beberapa langkah, melirik Bagas yang masih kebingungan.
Keringat dingin langsung turun dipermukaan pipiku, apa yang terjadi ? Aku berlari menuju Bagas dengan perasaan yang masih terheran-heran.

"Ada apa Lyana ? kamu baik-baik saja ?" tanya Bagas.

"A . . Apa kamu yakin tidak melihat seseorang ?" Jawabku, sambil memegang dada Bagas.

"Yakin, Aku sama sekali tidak melihat dengan apa yang kamu katakan tadi." Lirik Bagas ke ujung ruangan itu.

Bagas bergegas melihat-lihat ruangan ini, melirik sekitar, mencari anak itu, dan mungkin ada petunjuk atau jalan keluar yang bisa menolong kita saat ini, sedangkan Aku langsung duduk di kursi meja makan, masih tidak percaya dengan apa yang terjadi sebelumnya.
Rasa haus dan laparku daritadi semakin menyerang, Aku benar-benar tidak kuat untuk berdiri kembali, Aku hanya mampu melihat Bagas yang mengelilingi ruangan ini, dia hanya mengenakan kaos hitam polos, jeans panjang, penampilannya sedikit lusuh karena keringat yang tercampur debu. Perlahan cahaya lilin mulai mencairkan batangnya, mungkin sebentar lagi akan gelap gulita.
Ruangan ini hanya menerima cahaya alami dari atas, tertutup atap kaca yang dipenuhi lumut ditambah cahaya rembulan yang tertutup oleh awan, sehingga cahaya tidak masuk sepenuhnya, ketika lilin ini mulai padam, mungkin Aku akan kehilangan cahaya di ruangan ini.
Tapi mugkin tidak, cahaya bagiku adalah keyakinanku ditambah Bagas yang akan senantiasa melindungiku, aku melihat sepatu pemberianku lebih lama, melihat kaki jengjangnya melangkah, sesekali dia meliriku hangat, dengan keringat yang bercucur, dia terus mengelilingi ruangan perlahan, memeriksa setiap lemari. Sepertinya dia juga merasakan apa yang Aku rasakan, sama-sama tersesat, sama-sama cinta, sama-sama mencari jalan keluar, juga sama-sama lapar dan haus.

langkah Bagas terhenti pada sebuah lemari di sudut ruangan, dekat dengan celah tempat Aku masuk tadi, dia menemukan teko antik yang berisi air, juga makanan kaleng, dia menuju meja makan, mengambil pisau dan gelas, sambil tersenyum dia meliriku penuh arti dan bergegas menuju tempatku.

"Lyana, maafkan Aku, disaat seperti inipun aku masih belum bisa memberi yang terbaik untukmu." ucap Bagas sedih.

Dia sadar air tersebut tersisa dikit, dan hanya ada sekaleng Makanan kacang kedelai, dia hanya membawa satu gelas, satu pisau, dan satu garpu.
perlahan dia menuang isi gelas, memberikannya padaku, lalu membuka paksa makanan kaleng dengan pisau tadi, setelah terbuka dia menunggu aku minum.

"ayo minumlah, ruangan ini sedikit pengap dan hanya ada satu ventilasi di atas, pasti kamu merasa gerah." ucap Bagas peduli.

"terimakasih Bagas." aku meneguknya perlahan, walaupun air ini tercampur debu yang mengendap, aku merasakan kesegaran di leherku, seperti meminum Air di tengah Oasis.

"makan ini juga, aku melihat Makanan kaleng ini masih layak makan, walalupun sepertinya sudah basi dan berkarat, namun jenis kacang-kacangan mempunyai daya tahan yang lebih lama, rasanya sedikit hambar tapi masih layak kok untuk dimakan." sambil menaruh garpu ke dalam kaleng tersebut.

"kamu makan duluan, aku juga menyisakan sedikit air buatmu Gas." sambil memberikan gelas pada Bagas.

"aku tidak haus Lya, habiskan saja." bantah Bagas.

"Bagas, kamu masih ingat dengan perkataanku dulu tentang hubungan ? duduk sama rendah, berdiri . ."

". . sama tinggi, iya aku ingat itu." ucap Bagas memotong perkataanku.

"artinya apapun keadaan kita, susah atau senang, kita harus menikmatinya bersama." gumamku sambil memberikan gelas ini pada Bagas dengan kesal, dia sedikit ragu, namun tetap meminum air itu.

"gluk . . gluk . ." dahaga Bagas mulai terisi, lehernya terlihat maskulin sekali jika mendongak ke atas.

"aku menyisakan sedikit air untukmu Lyana." senyum Bagas.

"sekarang kita makan bersama, aku suapin kamu Gas." ucapku, aku mulai menancapkan garpu ke dalam kaleng, melihat isinya yang sedikit berjamur, dan memakan suapan pertama, memang hambar dan sedikit kecut.

"sekakarang giliranmu." aku memberikan suapan kepada Bagas, dia membuka mulutnya perlahan.

kita saling melempar senyum, kita saling berbagi air, dan kita berbagi makanan bersama, walaupun tidak layak dan tidak mewah, tapi aku merasakan bahwa hubungan seperti ini yang memberikan ketenangan di tengah situasi seperti ini, pikiranku langsung melayang dengan kejadian sebelumnya.
suara yang membangunkanku, anak kecil yang mirip dengan lukisan yang aku temui sebelumnya, sepatu Bagas, lalu sekarang makan bersama, dan ah akhirnya aku mengingat sesuatu.

"uhuk . . uhuk " aku tersedak karena mengingat sesuatu.

"pelan-pelan Lyana." sambil mengusap-ngusap bahuku.

"sebentar, aku ingin menanyakan sesuatu, aku mengingat bahwa makanan kaleng ini hanya diproduksi eksklusif di tahun tertentu, edisi spesial akhir tahun, aku pernah membelinya hampir bersamaan dengan sepatu yang kamu kenakan, kamu masih ingat kan kapan aku memberikannya padamu Gas ?" tanyaku pelan.

"Aku tidak ingat dengan pasti, tapi jika makanan kaleng ini pernah kamu beli, dan sekarang sudah basi, maka artinya ?" mata Bagas melayang.

"jangan bilang aku sudah tua." balasku dengan cemberut.

"bisa jadi." senyum Bagas hendak tertawa.
"tapi bukan itu maksudku Lya, Aku hanya heran karena Aku mulai mengingat bahwa kamu memberikan sepatu ini kira-kira seminggu lalu, jadi mana mungkin kamu bisa membeli dengan makanan kaleng yang seminggu kemudian bisa kadaluwarsa seperti ini ? janggal bukan ? apa Kamu yakin pernah membeli makanan ini ?" tanya Bagas bertubi-tubi.

"iya aku yakin sekali, aku membelinya bersama Eri dan Harni, kita bertiga membeli keperluan untuk pergi liburan ke Bogor, ke Villa milik teman sekelas kita, Billy." jawabku meyakinkan Bagas, menatapnya tanpa keraguan.

"Eri, Harni, Bogor, Vila milik Billy ?" Bagas menerawang, lalu kita saling menatap, sebuah tanda memori kita mulai kembali.

"Bagas . . !" , "Lyana . . !"
ucap kita bersamaan, kita akhirnya mengetahui ada dimana keberadaan kita.

ditengah situasi itu tiba-tiba cahaya langsung redup, lilin yang daritadi menyala mulai padam, sebuah tanda sumbu sudah sampai ke dasar cawan, akhirnya ruangan ini langsung termakan gulita, tertelan gelap tanpa ujung.
aku langsung mendekap dada Bagas, dan merasakan bulu kuduk ku berdiri, teringat dengan sosok anak kecil tadi, angin malam perlahan berhembus mengelilingi dinding ruangan, menambah suasana kian mencekam, namun ada satu percakapan antara Aku dan Bagas yang harus dilanjutkan.

"tidak apa-apa Lyana, ada aku disini."

"aku takut Gas." aku memejamkan mata.

"Tenanglah, aku berhasil mengingat sesuatu lagi, jadi sebelum kamu datang aku melihat tujuh piring, dan perkataanmu tadi menyadarkan aku pada satu hal, kita ke sini bersama teman kita." ucap Bagas sambil memeluk ku.

"Aku, Kamu, Eri, Harni, Arkan, Tion, dan Billy yang mengajak kita ke Villanya di Bogor." ucap Bagas dengan nada lancar.

"kamu memberikan Sepatu ini sesaat sebelum kita berangkat Lyana, sebelum kita masuk Mobil Billy." ucap Bagas lembut, mengingat kejadian itu.

Aku mulai tersadar, seperti seseorang yang tersengat listrik, tiba-tiba memori itu muncul di benak ku seketika, wajah teman, kapan dan dengan apa kita berangkat, terbayang dengan jelas, aku menemukan cahaya di tengah kegelapan ruangan ini, titik-titik terang yang terpisah kini tersambung dan mengikat, membuat simpul misteri yang perlahan mulai terbuka dan terjawab.

namun ada satu pertanyaan utama dari serangkaian peristiwa ini ? sebuah pertanyaan yang sama antara Aku dan Bagas.

"kenapa semua ini terjadi ?"

to be continued

Spoiler for image source:
Diubah oleh bukhorigan 06-04-2020 07:27
Dheaafifahchiiammu02terbitcomyt
terbitcomyt dan 53 lainnya memberi reputasi
54
5.5K
32
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
icon
31.3KThread40.9KAnggota
Terlama
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.