anasabila
TS
anasabila
Mencekam : Guest House dan Arwah Yang Tak Ingin Dikunci!




Written by : @anasabila


"Udah baikan, Bu Bila?"

Pertanyaan itu ditujukan padaku saat tubuh ini muncul dari pintu kamar utama yang langsung terhubung ke ruang tamu. Entah bagaimana bentuk air muka ini saat menatap Pak Rivan, sang pemilik pertanyaan. Pasti sangat semerawut karena ketakutan. Namun, jelas dapat terbaca wajah dari Kolega Kerjaku itu menerbitkan rasa cemas. Segera pertanyaannya tadi kujawab dengan anggukan pelan. Begitu juga dengan langkah kaki ini, lambat menuju sofa.

"Mohon maaf, Bu, saya telat datang karena tadi masih menghadiri meeting."

"Nggak apa, Pak Rivan." Aku membalas sambil menghempaskan tubuh ke sofa.

"Bu Bila nggak keberatan kalau nanti Security Komplek saya minta jaga di teras rumah?"

Lagi, aku mengangguk, tapi dengan ragu. "Apa nggak masalah?"

"Pos Security cuma 10 meter dari sini. Jadi, saya pikir nggak masalah. Nanti saya kontak Pimpinan Security."

"Okay. Terima kasih, Pak Rivan."

"Saya yang terima kasih, Bu Bila mau mengerti dan memaklumi kondisi kita di sini. Saran saya, istirahat saja biar tenang. Besok pagi saya ke sini sekalian jemput Bu Bila."
Pak Rivan tak mau berbasa-basi lebih banyak, segera berdiri dan menyalamiku untuk pamit.
Setelah mengantar beliau sampai ke teras depan, aku terburu-buru kembali ke kamar dan mengunci diri.

Bulan ke-empat aku mulai bekerja, dan ini adalah perjalanan kerja yang ke-sembilan. Memang tugas kerja mengharuskan untuk berkeliling ke setiap cabang perusahaan yang tersebar pada berbagai kota di Indonesia. Sudah lima hari berlalu dalam masa kunjunganku ke cabang perusahaan di salah satu kota pada Provinsi Sumatera Selatan.

Umumnya, setiap cabang sudah menyediakan Rumah Khusus Tamu alias Guest House. Begitu juga dengan rumah yang sedang aku tempati sekarang untuk waktu yang cukup panjang. Uniknya, semua rumah di area komplek cabang ini berbentuk kuno dan masih ada sentuhan infrastruktur Belanda bercampur adat lokal. Aku sangat hapal dengan bentuk, termasuk atap yang memiliki jendela. Itu sangat khas dengan bangunan Eropa tempo dulu, yang mana memiliki banyak pintu. Tak heran juga, sebab cabang di kota ini adalah lokasi pabrik produksi milik perusahaan yang tertua, sudah puluhan tahun berdiri.

(denah rumah : dokpri)

Rumah ini posisinya sekitar 3 kilometer dari kantor cabang. Tentunya masih di areal Komplek Perumahan Karyawan. Dan, baru kali ini aku mendapat Rumah Tamu yang paling bermasalah. Sialnya, sedang tak ada rumah pengganti. Padahal sudah beberapa kali aku mendapati beberapa kejadian aneh.

Hari pertama, dengan jelas aku bermimpi melihat seorang pria menggendong sosok yang terbalut kain putih bercorak bunga-bunga. Tragisnya, mimpi itu berlatar di rumah ini. Sang Pria tak dikenal itu berjalan dari ruang tamu melintasi kamar ini melalui pintu utama yang terbuka lebar. Ia lalu menuju sepasang daun pintu satu lagi yang juga terhubung dengan kamar ini pada sisi berseberangan dari pintu utama. Sepasang pintu yang kenyatannya sekarang terkunci itu, menuju kamar sebelah yang kosong. Pada satu set kunci rumah di tanganku, tak ada satupun anak kunci yang cocok dengan sepasang pintu tersebut.

Lalu kejadian kedua, tepat dua jam sebelum ini, aku dikagetkan dengan anjing-anjing tak bertuan yang masuk rumah. Kejadiannya sekitar jam 3 sore. Komplek perumahan yang sangat luas ini memang terdapat banyak anjing tak bertuan. Puluhan ekor, aku yakin.
Ada 5 ekor anjing tak bertuan yang tiba-tiba nyelonong masuk saat aku melihat-lihat tanaman di taman depan. Sialnya, aku tak menutup pintu depan, juga pintu kamar. Itu pun baru tersadar saat terdengar bunyi mereka menyalak dari dalam rumah. Ketika itu sempat kaget, dan semakin panik saat memburu asal suara yang ternyata dari dalam kamar.
Anjing-anjing tersebut seperti hendak memaksa untuk masuk ke kamar yang kosong. Mereka menggaruk-garuk lantai sambil mengendus-endus celah pintu. Beruntung, sebagai anjing tak bertuan yang mungkin memiliki trauma di dekat manusia, mereka terkejut saat aku muncul sambil berteriak histeris untuk mengusir. Seketika anjing-anjing itu berlari.

Dug ... Dug!
Suara ketukan itu terdengar lagi. Aku tersentak bangun. Ini adalah hal mengganggu yang ke-tiga, tentu saja. Dari arah ruang tamu, pada sudut ruangan yang berseberangan dari pintu kamar, jelas terdengar suara ketukan.
Suara tersebut berasal dari guci tanah liat kuno yang besar dengan corak seni merupa seekor naga. Bentuknya mirip seperti gentong pada umumnya.
Pada hari pertama dan kedua, aku sampai membuka piring raksasa dari tanah liat yang menjadi tutup mulut guci tersebut. Nihil.
Isinya sampah, seperti kertas-kertas dokumen yang kalau dicermati, adalah dokumen perusahaan. Milik para tamu yang dulu pernah menginap di sini, aku rasa.

Kala itu juga sempat ada jump scare, karena saat fokus pikiran teralihkan dengan lembaran kertas di dalam guci, suara ketukan itu muncul lagi. Jelas sekali jika memang itu suara ketukan pada guci yang sedang berada tepat di depan mata. Suara antah berantah yang tak terlihat penyebabnya.
Takut? Tidak juga. Tapi entah kenapa, saat itu aku merasa desiran dalam dada, dan semua bulu kuduk berdiri beriringan. Karena itulah segera muncul keputusan untuk menyudahi rasa penasaran. Kembali menutup guci, dan membiarkan suara tersebut sesekali muncul.

Kali ini, setelah sekian hari aku diamkan, rasa penasaran kembali hadir. Ranjang dari anyaman rotan berderit saat tubuh ini bangkit dan kaki turun menapak pada lantai.
Namun, saat aku hendak menuju pintu utama ... Deg! Ada lompatan rasa di dada.
Sadar jika ada cercahan bayangan tampak menembus dari bawah celah sepasang pintu yang menuju kamar sebelah. Cahaya dari kamar tersebut mampu menerobos ke ruangan ini karena berbeda bias warna, sebab aku mematikan lampu utama dan menghidupkan lampu tidur yang berwarna kekuningan.

"Siapa?" Spontan bertanya. Itu karena memang aku bukan orang yang memikirkan takhayul dengan berat.
Tak ada jawaban atas pertanyaan itu. Hening.

Perlahan aku mendekati sepasang pintu tersebut, dan tanpa ragu mengintip dari celah-celah susunan kayu pada pintu yang membentuk ornamen ventilasi bergaya tempo dulu.

(ilustrasi bentuk pintu, sumber : di siniedit via Picsay)

Tapi tak ada siapapun yang berdiri di dekat pintu. Lagi pula, arah pandangan dari ventilasi hanya menuju ke atas. Tampak langit-langit kusam dan lampu 10 watt yang menyala 24 jam nonstop.
Aku mengganti pandangan ke arah lantai, masih sangat jelas ada bayangan yang menutupi cahaya dari kamar sebelah.

"Siapa?" Lagi, aku bertanya dengan suara yang lebih keras.

Karena tak ada jawaban, aku menunduk hingga pipi menyentuh lantai. Tak ada penampakan fisik apapun. Tapi diri ini yakin sedang tak berhalusinasi jika ada sesuatu di dekat pintu hingga tercipta sebuah klise bayangan. Dan, ketika mata sedang fokus memperhatikan ...

"A-aa ..." Jeritanku melengking dengan singkat, karena tiba-tiba bayangan tersebut bergerak!

Panik, aku sampai bangkit karena takut, dan berlari keluar sambil menelepon. Tapi ketika sampai di teras, ada seorang Pak Tua berbadan tambun dengan jaket tebal dan celana hitam, berjalan masuk pekarangan. Bapak itu tersenyum ramah sambil melepas topi kupluk-nya.

"Bu Bila?"

"I-iya ..."

"Saya Septo, security yang ditugaskan untuk jaga Bu Bila selama di sini. Mohon kerja sama, Bu." Bapak tua menjulurkan tangan.

"Aduh, Pak Septo terima kasih. Kebetulan rumah ini memang nggak aman." Aku langsung mengadukan kondisi sambil menjabat tangan Pak Septo.

"Nggak aman?"

"Iya... Ada orang di kamar sebelah yang kosong, Pak! Maling atau mau mengintip mungkin?"

"Tenang, Bu Bila. Saya jamin nggak ada siapa-siapa." Kata Pak Septo yang mengikutiku kembali menuju rumah.
Tapi beliau terhenti, dan memilih duduk di teras.

"Nggak cek ke kamar itu dulu, Pak? Saya yakin kok, memang ada orang tadi. Karena dengan jelas saya lihat bayangannya bergerak!"
Pak Septo tersenyum mendengar penjelasanku.

"Gini aja, Bu Bila silahkan istirahat. Nanti saya jaga. Kalo takut, jangan kunci pintu!" Pak Septo masih sangat tenang menjelaskan dengan logat daerahnya yang kental.

Aku memperhatikan Pak Septo yang tetap tersenyum. Pikiran menuntun tangan untuk merapikan posisi kerah piyama. Pikiranku mulai melenceng. Bukan maksud men-judge beliau. Tapi, apa salahnya waspada. Mata dengan awas memperhatikan pakaian beliau yang sedikitpun tak melambangkan seorang security.

"Baik. Pak Septo bisa tidur di ruang tamu, tapi kamar saya kunci!" Aku tegaskan itu agar beliau tahu, aku bukan wanita bodoh yang mudah membuka kesempatan walau dalam kondisi dan situasi tak kondusif.

Tanpa meminta konfirmasinya, aku hendak berlalu dan membiarkan pintu ruang tamu tanpa terkunci. Namun, baru saja hendak merapatkan pintu, Pak Septo menahan. Tenaga wanita jelas kalah. Belum sempat aku menjerit ...
"Tenang Bu Bila. Tapi, tolong ingat saran saya, jangan kunci pintu!"

Walau nafas menderu karena jeritan yang batal, aku coba untuk tak panik dan langsung meninggalkan beliau. Ketika masuk ke dalam kamar, dengan sengaja tangan ini memperkuat suara saat menutup pintu, lalu menguncinya dengan gerakan cepat.

Malam semakin larut dan tidurku tak nyenyak. Sesekali suara ketukan pada guci masih terdengar. Perasaanku semakin tak menentu. Pukul 2:30 dini hari.
Aku menghela nafas sambil terus mencoba tenang. Dalam keheningan, kecuali deru mesin dari area pabrik dan nyanyian serangga malam, kudapati satu suara janggal. Bukan suara ketukan pada guci, karena aku setidaknya mulai terbiasa.

Seseorang berbicara sayup-sayup sambil mengisak tangis. Dan tebak? Ya! Ini adalah keanehan ke-empat. Aku sering mendengar suara orang menangis. Tapi kali ini jantung berdegup, saat coba memfokuskan pikiran untuk mempertajam pendengaran.

"Hu-hu ... Jangan dikunci ..."


Jelas, sangat jelas walaupun sayup-sayup terdengar suara rintihan yang aku yakin berasal dari seorang wanita.

"Siapa yang menangis tiap malam-malam begini?" Hati ini mulai bertanya-tanya. Apalagi aku yakin suaranya dari arah belakang.

Kaki mulai beranjak, tapi sangat pelan. Agar tak berderak dengan kuat suara dari anyaman pada ranjang rotan. Aku mengintip teras depan dari sela-sela ventilasi jendela kamar.

"Sial... Kemana Pak Septo?" batinku.

Aku memutuskan untuk mengintip ke arah ruang tamu dari pintu utama. Tapi lagi-lagi mata ini menangkap bayangan aneh dari sepasang pintu yang menuju kamar sebelah.

Jantungku mulai berdegup kencang. Semakin kencang saat perlahan menundukkan kepala, coba untuk mengintip dari celah bawah pintu.

Aku tersentak, lalu segera teduduk. Hendak menjerit tapi entah kenapa tak mampu keluar suara ini. Jelas yang terlihat kali ini. Itu adalah selimut putih dengan corak-corak bunga yang sangat mirip dengan penampakan dalam mimpiku pada hari pertama menginap. Padahal yakin sebelumnya diri ini tak melihat apapun.

Aku bangkit dan memberanikan diri mengintip.
"Siapa?" bisikku. Hening. Tak ada jawaban.

Penasaran, aku merapat dan ketika mengintip dari celah ventilasi pintu. Kali ini aku merasa mual karena lonjakan darah yang seketika deras mengalir di otak.

(dokpri : sticker by Picsay)

"Rambut?" Hanya itu yang terlihat dan aku tak berani melanjutkan.
Ada sosok samar dengan juntaian rambut panjang tersandang pada bahu, dan sekujur tubuh berbalut selimut bercorak bunga tadi. Tanpa sadar, tubuhku bergerak mundur. Pertanda ada rasa takut menghampiri. Tapi, baru satu langkah aku menjauh.

"Buka ... Jangan dikunci!"

Sangat jelas terdengar sosok itu berbisik.

Duak!
Spontan, kakiku menerjang kuat ke arah pintu.
"Sialan! Mau bikin akunya takut?"

Begitulah. Kalau sudah terlalu takut, refleksku adalah melawan. Karena lebih yakin jika itu pasti orang yang hendak menakut-nakuti.

Tok ... Tok! Pintu utama diketuk. "Bu Bila? Ada apa, Bu?" Pak Septo sepertinya merespon suara pintu yang kutendang.

"Ini sudah aku bilang tadi. Ada orang di kamar sebelah! Jangan bilang ternyata Pak Septo bersekongkol!"

"Maksudnya apa, Bu?"

"Eh, Pak. Orang yang ada di kamar sebelah ini sama dengan Pak Septo, bilang pintu jangan dikunci. Sengaja bikin akunya takut, yaahh! Biar akunya buka kunci terus kalian mau niat jahat, kan?"

"Bu ... Harus gimana toh saya menjelaskan. Nggak ada orang di kamar sebelah, Bu Bila!"

"Oh ... Masih mau main orang baik dan orang jahat kalian berdua? Aku udah curiga dengan pakaian Pak Septo. Ngaku aja Pak Septo bukan Security, kan?"
Terdengar helaan nafas Pak Septo setelah mendengar tuduhanku.

"Terserah, Bu Bila mau nuduh gimana, tapi percaya saya, jangan kunci pintunya!"

Aku diam tak menjawab. Setelah menghidupkan lampu, segera tangan meraih HP. Kutelepon Pak Rivan berulang kali. Tak diangkat. Karena itu hanya pesan yang kukirimkan dengan mengisyaratkan situasi darurat dan minta dijemput segera.

Mataku terus waspada memperhatikan bayangan dari celah sepasang pintu. Terkadang ada, atau tak nampak. Suara ketukan pada guci masih sesekali terdengar, dan suara tangisan juga tetap samar muncul dan hilang, mendayu-dayu.
Sekitar 30 menit lamanya menunggu dalam rasa cemas, deru mesin mobil terdengar berhenti di depan rumah. Disusul dengan pesan singkat dari Pak Rivan, bahwa Team Security telah meluncur dan memintaku agar tak panik.

Aku mengintip dari jendela, ada sosok 2 orang berpakaian security tiba, dan satu orang berpakaian bebas. Team penjaga keamanan tersebut terlihat bersalaman formal dengan Pak Septo yang menyambut kedatangan mereka.

"Maaf Bu Bila, ini saya Herdi, Kepala Bagian Security. Mohon maaf kalau Bu Bila merasa tak aman. Tolong kerjasama untuk membuka pintu, Bu Bila!" Seseorang mendekat ke arah jendela.

"Tunjukin ID Pak Herdi, sama tolong menunduk biar saya juga bisa melihat muka Bapak!" Aku meminta dengan tegas.

Beliau menunduk sambil mendekatkan wajahnya ke ventilasi jendela yang bersekat-sekat ke arah bawah jika dilihat dari dalam kamar. Wajah beliau juga sesuai dengan ID yang ditunjukkan.

Aku segera membuka kunci pintu kamar dan menjumpai mereka. Pak Herdi menjelaskan bahwa beliau akan mengantarku ke Hotel terdekat. Tapi Pak Septo menyanggah dan memintaku tidur di rumah ini, tapi tanpa mengunci pintu kamar.

"Tak ada pilihan, tapi saya tetap serahkan sama Bu Bila." Pak Herdi berkomentar atas permintaan Pak Septo.

"Jelasin dulu, karena sepertinya gestur Bapak-Bapak sekalian ada menutupi sesuatu. Kalo sudah jelas, baru saya bisa memutuskan mau ke Hotel atau ikut saran Pak Septo." balasku.

"Mau bagaimana lagi. Susah juga mau ditutup-tutupi." Pak Herdi bercanda sopan dengan Pak Septo.

"Kita ke dalam saja, saya ndak masalah kalo diceritakan." Dengan gaya khas yang tenang dan tutur halusnya Pak Septo mengajak kami untuk ke ruang tamu.

(bersambung ke : klik ====> post 2...)
Diubah oleh anasabila 02-04-2020 14:25
sirluciuzenzepieterantondwikusumad
dwikusumad dan 52 lainnya memberi reputasi
49
8.3K
185
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
The Lounge
The Lounge
icon
922.4KThread81.2KAnggota
Terlama
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.