evihan92
TS
evihan92
Bukan Cinta Buta
Part 1



Bergaun hijau muda, motif abstrak. Tinggi seratus tujuh puluh sentimeter. Berat lima puluh lima koma tiga kilogram. Warna rambut coklat. Warna mata hijau. Oh, jadi gaunnya sesuai warna matanya. Cantik. Ya, kurasa itu gadis cantik yang baru lewat di sampingku, dan kini duduk tiga meter di depan.

Beberapa saat berlalu, aku menangkap gerakan-gerakan kecil dengan frekuensi cukup tinggi. Di bawah meja, kakinya bergoyang-goyang hampir tanpa henti. Di meja, tangannya berkali-kali berpindah dari kanan ke kiri, ke atas, kembali ke meja lagi. Apakah gadis itu sedang gelisah hingga tak bisa diam?

Aku meneguk minuman dingin di gelas yang kupegang. Segar. Seketika konsentrasi meningkat. Ya, yang kuminum ini memang nutrisi khusus untuk memulihkan sel-sel otak dan tubuh yang lelah.

“Hai, Ruben.” Sebuah tepukan di pundak membuatku menoleh. “Maaf, terlambat sedikit. Parkir penuh, aku harus menunggu beberapa waktu untuk bisa mendarat.”

Aku mengangguk. Biasalah itu. Sekarang ini hampir setiap orang dewasa punya flying car sendiri, tetapi masalahnya adalah tempat parkir jadi selalu penuh.

“Tak masalah, Nora,” sahutku malas.

Aku justru berharap dia tak jadi datang saja, setelah mendeteksi keberadaan si cantik bergaun hijau motif abstrak. Sayang sekali harapan tak terkabul, gadis bawel itu sekarang sudah duduk di depanku.

“Mama menanyakan kapan kau akan melamarku,” tutur Nora to the point.

Aku menghela napas. Belum, belum saatnya. Maksudku, belum ada niat itu. Apa lagi yang harus kukatakan sebagai alasan, kali ini?

Sejujurnya, Nora cantik. Suka berpakaian warna terang. Tinggi seratus tujuh puluh tiga sentimeter. Berat lima puluh tujuh koma lima kilogram. Warna rambut hitam. Warna mata coklat tua.

Namun, ada hal yang membuatku tidak juga berniat untuk menikahinya. Dia manja, juga egois. Tertarik padaku karena tahu, aku pewaris tunggal Wiriadinata--seorang pengusaha sukses di kota kami. Dengan apa yang Papa miliki, aku bisa tampil tak jauh berbeda dari pemuda-pemuda keren penggemar Nora.

Setidaknya, itulah kesan yang kudapat. Dulu, dia sama sekali tak peduli. Padahal kami kuliah di tempat yang sama, jurusan yang sama pula. Setelah Papa mengajakku menghadiri suatu acara dan bertemu Nora juga di sana, barulah gadis itu mulai menunjukkan perhatian, bahkan mengejar dan menempel tanpa rasa malu. Siapa, sih, yang tidak kenal Papa di kota ini?

“Ruben?” panggil Nora lagi.

Aku masih tak berminat menanggapinya.

“Kalau kau tak juga memberi kepastian, kita putus saja!”

Eh? Itu ancaman? Mungkin maksudnya begitu. Namun, di telingaku terdengar berbeda. Itu berita gembira.

“Maaf, Nora,” kataku tenang, “aku belum berniat untuk menikah.”

Nora bangkit berdiri, tangannya bergerak terulur ke samping kiri. Lalu seseorang datang dengan cepat. Berdiri di sampingnya.

Laki-laki. Berpakaian warna abu-abu tua. Tinggi seratus delapan puluh sentimeter. Berat tujuh puluh koma delapan kilogram. Warna rambut pirang. Warna mata biru.

“Ruben, kenalkan ini Leandro Sanchez, mahasiswa Papa dari Spanyol.”

Laki-laki itu mengulurkan tangan ke depan. “Leandro Sanchez.”

Aku berdiri menyambutnya. “Ruben Wiriadinata.”

Nora dan Leandro membuat gerakan-gerakan kecil entah apa. Tak terdengar suara.

Aku duduk kembali, menikmati sisa minuman yang tinggal setengah.

“Baiklah, Ruben, tak perlu banyak basa-basi,” kata Nora kemudian. “Aku akan menikah dengan Leandro. Dia lebih segalanya darimu. Dan tidak buta.”

Deg!

Cukup sudah! Perempuan ini sungguh keterlaluan! Darahku serasa mendidih, amarah memuncak sampai di ubun-ubun. Pelipisku sampai berdenyut-denyut. Dada turun naik mencoba menormalkan napas yang mulai memburu.

Untunglah, sebelum aku melontarkan caci-maki yang pasti akan memerahkan telinga, dia sudah pergi dengan si Leandro itu.

Memang benar, kedua mataku buta. Alat bantu berupa kacamata ultrasonik yang dipesan Papa secara khusus, membantuku mengenali benda-benda di sekeliling. Akan tetapi, tetap saja berbeda rasanya.

Gelombang ultrasonik pada kacamata ini membantu mengenali ukuran dan posisi benda-benda. Selain itu ada sensor warna yang menggunakan teknologi hasil pengembangan TCS3200 dan Arduino Nano. Juga dilengkapi sensor panas hasil pengembangan Thermal Imaging.

Semua hasil sensor itu dikirim dengan sinyal elektrik langsung ke otak, membuat gambaran-gambaran. Dengan alat ini aku bisa mendeteksi banyak benda di sekeliling, tetapi bukan berarti bisa melihat sebaik dengan mata.

Melihat dengan mata sehat jelas lebih mudah, lebih indah, lebih nikmat. Aku kehilangan semua itu dalam suatu kecelakaan hebat beberapa tahun lalu, saat seorang pemabuk menabrak flying car-ku tanpa ampun.

Namun, aku tetap bersyukur. Setidaknya, hatiku tidak ikut buta. Tidak tertipu saat si matre Nora berpura-pura mencintaiku.

***
Diubah oleh evihan92 30-03-2020 15:23
NadarNadzembunsucinona212
nona212 dan 52 lainnya memberi reputasi
49
5.7K
210
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
icon
31.3KThread40.9KAnggota
Terlama
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.