fitrijunita
TS
fitrijunita
Samba Dewa, Pertanda Bunian Datang. Mitos atau Nyata?


Daerah tempat tinggal kami ini masih disebut perkampungan lama penduduk asli. Bangunan rumah dan surau, masih khas banget dengan adat minang. Sungai-sungai kecil di pinggiran mengikuti jalan setapak, dengan rerumputan liar sebagai pembatas. Mungkin di beberapa orang, ada kuburan di pekarangan atau halaman belakang rumah itu terlihat menyeramkan atau aneh. Kalau di sini, nggak, ya biasa aja gitu.

Ceritanya, tetangga sebelah gang, ada salah satu rumah kosong yang baru sebulanan diisi ama keluarga kecil dari seberang pulau. Perantau gitu deh. sepasang suami istri yang cukup berusia dan dua orang anaknya laki-laki dan padusi (perempuan). Mereka semua terlihat baik, ramah dan cantik atau ganteng.

Tiba-tiba, entah gimana awal ceritanya, menjelang maghrib, salah satu tetangga baru tersebut, (sebut aja namanya Mbak Lastri) datang ke rumahku dengan raut muka sedikit panik atau khawatir.

“Ta, lihat Putra lewat sini nggak, ya?” tanya wanita yang berusia sekitar sepuluh tahun di atasku ini.

“Nggak, Mbak. Gimana?” tanyaku balik karena sedikit ikut merasakan kekhawatiran yang terlihat jelas di wajah Mbak Lastri.

“Nggak papa, Cuma kok, tumbenan gitu, udah mau maghrib gini, Putra belum pulang juga.” Putra adalah salah satu anak dari Mbak Lastri yang baru berusia setara murid SMP, mungkin sekitar tiga belas atau empat belas.

Fyi, putra itu anak pertama Mbak Lastri dan Mas Eko suaminya. Putra adalah anak yang cukup ramah, sopan dan tampan untuk anak-anak seusianya. Setiap kali ketemu orang, remaja itulah yang selalu menyapa terlebih dahulu. Ya ... bisa dibilang, semua tetangga sini menyukainya, termasuk aku.

“Memang, nggak pamitan tadi, Mbak?” tanyaku lagi memcoba menenangkan beliau. Ya kali aja gitu, sepasang suami istri tersebut lupa, kalau mungkin anaknya udah pamitan sebelum pergi tadi. who knows kan? Lagipula, anak laki-laki pulang agak terlambat, masih wajar bukan?

“Tadi siang sih memang pamitan, mau main ke rumah temen barunya di sekolah. Tapi udah Mbak pesenin juga, sore harus udah pulang.” Mbak Lastri menjawab sambil mengingat-ingat ke mana anak bujangnya pergi.

“Coba datangi, rumah temannya, Mbak.” Aku mencoba memberi saran yang mungkin masih terdengar masuk akal olehnya.

“Itu dia, Ta. Mbak nggak tau persis di mana rumah temen barunya itu.” Kini terlihat jelas kekhawatiran di suara Mbak Lastri yang seperti menahan isak tangis. Tak lama, muncul laki-laki dewasa yang cukup matang menghampiri kami, “Ayo, Bund. Udah mau maghrib. Nanti kamu ikutan hilang juga kayak Putra, nambah cemas aku,” kata Mas Eko yang langsung menjemput istrinya dan pulang setelah berpamitan terlebih dahulu kepadaku.

Aku menatap kedua punggung itu berjalan menjauh menuju rumah mereka, tapi indera penciumanku tersadar saat suara kecil mungil dari dalam rumah mengatakan, “Ma, mau kentang goreng juga,”

Kentang goreng? Ya harum ‘Samba Dewa’ kenapa bisa ada ya sedangkan aku tak memasak makanan yang berbahan kentang. Apa mungkin salah satu tetangga kanan kiriku?



***

Keesokan pagi harinya, saat ingin ke kedai yang menjual lontong sayur dan aneka panganan sarapan lainnya. Aku bertemu dengan Mbak Lastri. Kucolek lengan kanannya sembari tersenyum kepadanya. “Udah pulang Putra, Mbak?” 

Tiba-tiba senyumnya sedikit memudar dan tak lama beliau pun menggelengkan kepalanya sebagai jawaban atas pertanyaanku tadi.

“Rencananya nanti mau ke sekolahan Putra aja dulu, tanya ama temen atau gurunya sekalian minta alamat rumah temannya yang kemaren dia datangi, Ta,” jelas wanita yang berparas khas orang Jawa ini.

“Semoga Putra cepat ketemu ya, Mbak,” ucapku mencoba berempati kepadanya. Tak lama, senyuman cantiknya kembali terbit, meski tak secantik biasanya. Mbak Lastri pun pamit setelah ia mendapatkan apa yang ingin ia beli.

“Ba a, Ta?”(Kenapa, Ta?) tanya seorang tetangga sepuh di kampung kami -Mak Zur- matanya melirik ke arah Mbak Lastri yang telah jauh dari kami.

“Entah, keceknyo, sih Putra alun pulang lai, Mak,”(Nggak tau, katanya, sih Putra belum pulang lagi, Mak) jawabku singkat dengan mengangkat kedua bahuku ke arah Mak Zur. Terlihat wanita yang berusia lebih setengah abad ini sedang memikirkan sesuatu. Semoga semuanya baik-baik saja.

Waktu berlalu seperti biasa dengan aktifitas warga kampung sehari-hari, tak jarang di antara amak-amak jika sedang berkumpul siap menyelesaikan pekerjaan rumah tangga masing-masing. Ada saja yang jadi topik pembicaraan mereka. Baik yang terjadi di pemerintahan atau di kalangan kampung kami sendiri. ya, selalu hangat di perbincangkan.

“Eh, Ba a anak Mbak Lastri iko? Alah baliak nyo, Ta?” (Eh, gimana anaknya Mbak Lastri? Udah balik dia, Ta?) tanya Mak Zur ulang kepadaku saat tak lama aku ikut bergabung dengan amak-amak dari berbagai generasi ini.

“Sepertinyo, alun lai, Mak. Ibo ati awak mencaliak Mbak Lastri ko.” (Sepertinya belum lagi, Mak. Kasihan lihat Mbak Lastri itu)

“Alah ditanyoan ke sekolahe ndak?” (Udah ditanya ke sekolahannya kan?)

Alah, Mak. Tapi itulah, ndak ado yang tau, di ma a Putra.” (Udah, Mak. Tapi ya itu, nggak ada yang tau di mana Putra)

“Eh, alah beberapa hari ko, nampaknyo ado yang masak kentang goreang ndak? Harum bana.” (Eh, udah beberapa hari ini, kayaknya ada yang masak kentang goreng ya? Wangi bener.) Tiba-tiba salah seorang wanita muda seumuran denganku yang merupakan seorang warga pendatang juga seperti Mbak Lastri tapi hanya berbeda pulau, mengalihkan pembicaraan sekaligus menyadarkan sebuah hal yang antara mungkin dan tak mungkin bagi kami.

Tiba-tiba, mata Mak Zur melirik ke arahku dengan tatapan penuh tanya, dan tak lama, suara seorang marbot surau yang telah berusia lanjut, mengalihkan perhatian kami semua yang sedang asyik berbincang-bincang.

“Eh, Putra, ka ma kau? Alah ketemu jo Bunda kau? Sia nan gadis tuh”(Eh, Putra, mau ke mana kamu? Udah ketemu ama Bundanya? Sapa gadis tuh?)
Sontak mata kami yang berada di situ saling pandang dan mencari-cari sosok, siapakah yang disapa Pak Gus –Marbot- tadi. Namun tak ada siapa pun yang kami temui.

“Oii, jo sia kau menghimbau, Pak?”(Oi, dengan siapa Pak memanggil tadi?) tanya Mak Zur yang mewakili rasa penasaran kami semua.

“Eh, ndak nampak kau, Zur. Iko ada Putra, yang nan ka patang dicari-carian jo bundanyo.”(Eh, nggak kliatan ama kamu, Zur. Itu ada Putra yang dari kemaren dicari-cari ama Bundanya.) jawab Pak Gus yang sontak membuat kami terkaget-kaget. “Tapi inyo baduo, jo anak gadih, entah sia,” (Tapi dia berdua ama anak perempuan, entah siapa.) lanjut Pak Gus seraya berlalu dari hadapan kami.

Suasana hening seketika, tak ada yang bersuara. Aku pun sibuk dengan pemikiranku yang antara percaya atau tidak, bahwa mitos ‘Bunian’di kampung kami, kembali terjadi. Ingin tidak percaya, tapi wangi ‘Samba Dewa’ yang tercium beberapa hari terakhir dan belum pulangnya Putra, sepertinya menjawab semua kejanggalan yang terjadi (lagi) di kampung kami ini.

Ah, semoga ini hanya mtios, dan remaja laki-laki yang belum pulang, segera kembali pulang.

--- END ---

MinangKabau, 30Maret2020
Sumber : Amak Tetangga Rumah
Diubah oleh fitrijunita 30-03-2020 03:37
sebelahblogaa115prassinfinitesoul
infinitesoul dan 22 lainnya memberi reputasi
21
4.9K
123
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
The Lounge
The Lounge
icon
922.3KThread80.9KAnggota
Terlama
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.