muthialaqilahAvatar border
TS
muthialaqilah
Terjebak Di Dunia Lain



Based on true story.



source


Senja kembali datang menggantikan teriknya matahari. Cuacanya cerah, tanpa mendung yang terkesan melankolis. Jendela rumah nenekku menampakkan siluet jingga yang indah. Lantainya menciptakan bayangan bagi siapa pun yang melewatinya.


Sore hari mulai menyingsing, suasana berubah sedikit sunyi setelah adzan berkumandang. Hanya terdengar beberapa langkah kaki para santri yang hendak melaksanakan kewajiban shalat Maghrib.

Malam ini bertepatan dengan malam Jumat. Dimana, masyarakat di negaraku mempercayai bahwa kehadiran makhluk astral akan lebih aktif pada waktu ini. Bagi umat muslim, mereka senantiasa bermunajat dan berdoa untuk saudara-saudara mereka yang telah wafat. Begitupula dengan kami, para santri sekolah menengah pertama disebuah desa yang lumayan terpencil.

Aku dan teman-temanku berjalan menuju aula untuk melaksanakan doa dan tawassul bersama, seperti biasanya. Tangan kami saling memeluk buku doa,
berjalan beriringan di tengah gelapnya malam.

Belum ada kerlip apa pun yang terlihat di langit sana. Hanya terasa angin yang mulai terasa dingin. Beberapa temanku masih memakai mukena, berbincang penuh canda tawa.

Oh, Ya Tuhan...
Lihatlah pohon tua di sisi lapangan itu. Tinggi, besar, mengancam, tampak ganas. Hanya diterangi lampu-lampu di depan kelas-kelas yang berjajar, pohon itu tampak seperti raksasa yang kokoh. Katanya, wanita berbaju putih sering duduk disalah satu dahannya yang gemuk. Atau, ada yang pernah menyimpulkan bahwa 'penjaga' sekolah kami berdiam di sana.

Entahlah, sekolahku ini memang menampung banyak sekali urband legend. Cerita berantai dari angkatan pertama hingga kini masih terasa hangat. Beberapa di antara mereka mengaku telah melihat si kepala buntung berjas hitam, wanita penari yang duduk ditangga asrama putra, ataupun kuntilanak dengan gaun merah menyala. Beberapa rumor mengatakan konon sekolahku dekat dengan lokasi penjajahan masa lampau. Jika ditelusuri, hal ini sangat masuk akal. Karena di dekat kantor desa, ada sebuah tugu pahlawan.


Tapi cerita horror itu hanyalah sebuah cerita yang belum tentu kebenarannya. Aku percaya akan adanya mereka. Dan, sebentar lagi aku akan benar-benar melihatnya.


Sampailah aku di depan sebuah pintu aula yang lebar. Kami semua saling melepas sandal masing-masing, memasuki ruangan dan duduk dengan tertib.

Guru kami memulai membaca doa, diikuti oleh kami semua. Secara bersamaan, kami tenggelam dalam kekhusyukan munajat Ilahi, menyelam makrifat suci untaian hajat yang murni.


Hingga kepalaku terasa pening, pandanganku mulai kabur. Nafasku tersengal. Suara itu mulai bermunculan.

Ruangan yang luas ini tampak semakin lebar. Suara-suara teman-temanku yang tengah membaca doa terasa menjauh. Yang aku dengar hanyalah suara keramaian di luar ruangan. Beberapa orang terdengar saling sahut menyahut meneriakkan takbir. Entah apa yang tengah terjadi di luar sana. Yang pasti, suara senapan yang di lepas pada sebuah nyawa mengundang teriakan seorang anggota keluarga.


Aku merasakan tubuhku menjadi kaku. Pikiranku menjadi tak menentu. Beberapa kakak kelas dan temanku mencoba menyadarkanku, tapi akal dan mulutku terdiam kelu.

Hal terakhir yang aku lihat adalah sesuatu yang mendorongku untuk berbaring. Seperti dalam kisah horror yang pernah kubaca, sensasi ini terasa sangat nyata. Mataku telah terpejam. Telingaku masih mendengar manusia-manusia yang berdoa, juga mendengar keributan misterius itu.


Semua gelap.
Gelap, tak ada apa-apa lagi.
Kurasakan beberapa orang memanggilku.
Tapi aku tak menyahut apa pun.
Aku tak bisa bergerak.

Hingga remang-remang kulihat tanah lapangan bola di bawahku. Aku tengah terduduk. Posisiku seperti seseorang yang telah bertarung dengan sesuatu. Aku menatap langit.


Cerah. Terang benderang. Siang.
Tak ada angin, tak ada suara apa pun, tak ada kehidupan.

Aku merasakan sesuatu yang ganjil. Aku mencoba berlari ke arah rumah nenekku. Gerbangnya terkunci. Rasa tak akan pernah sanggup membukanya, aku menoleh ke arah rumah pengurus asrama, di sana tetap tak ada siapa-siapa.

Percaya atau tak percaya, aku melihat seorang anak lelaki dipinggir kolam. Ia tengah terjongkok seperti takut akan sesuatu. Wajahnya pucat, bajunya lusuh. Tak sempat aku berpikir siapakah ia, tiba-tiba saja seorang wanita gemuk menarik kerah belakang bajunya dan mulai membantingnya ke tembok di belakangnya.

Aku berbalik dan berlari, mencoba berteriak namun rasanya ada yang mengunci pita suaraku. Benarkah yang baru saja kulihat?

Apakah mungkin itu adalah anak lelaki yang sering terlihat melemparkan batu ke tengah kolam seperti rumor yang beredar?

Tak kupedulikan jantung yang terus menerus berpacu kencang. Aku seperti ditarik ke pojok barat sekolah. Aku terhenti dalam sekejap.

Demi nafas yang tengah memburu diriku, aku menatap gemulainya tangan lentik yang menari seraya mengenggam selendang hijau. Suara gamelan yang berbunyi beberapa hari yang lalu terdengar nyaring namun sayup-sayup. Cantik. Wanita yang sangat cantik.


Menari adalah hal terakhir yang dilakukannya. Lelaki bejat itu telah berani merenggut harga diri dan nyawanya. Wanita bertalenta yang malang. Tetaplah menari, hingga kau pulang kembali. Sosokmu kini telah diketahui, wahai wanita berkebaya yang selalu duduk ditangga asrama.

Aku berteriak dengan sekuat tenaga. Menangis, tak tahan melihat kejadian itu.

Aku kembali berlari. Aku tak ingin melihat hal yang lainnya. Aku hanya ingin pulang. Kuputuskan untuk mendatangi aula. Astaga... Pintunya terkunci. Jendela-jendela tidak memperlihatkan apa pun. Hanya gelap, seperti ditutupi oleh kain dari dalam.


"Pulang!!!!"


Aku menoleh ke kanan dan ke kiri. Adakah seseorang yang akan menolongku? Menyelamatkanku? Mengeluarkanku dari dunia ini?


Aku merasakan ada seseorang di perpustakaan--berada di lantai dua di atas aula. Aku menaiki dua tangga dalam sekali langkah. Aku memasuki perpustakaan yang pintunya tak terkunci. Syukurlah...

Ya Tuhanku.. wanita berbaju merah itu berhasil membuatku terpaku. Aku tercenung, waktu terasa melambat. Dapat kulihat tangannya memiliki kuku-kuku panjang hitam yang mengerikan. Aku mundur sedikit demi sedikit, perlahan, tak yakin akankah kabur adalah pilihan terbaik yang dilakukan.

Aku mundur, dan LARI!

"AAAAAKHHHHH!!!!!!" Wanita bertaring dengan wajah menyeramkan itu berteriak, menyodorkan kedua tangannya ke hadapanku, hendak menyerang. Seketika ada angin yang menyelamatkanku dari sosok itu. Angin yang menutup kedua pintu perpustakaan, sehingga ia seperti terjebak di dalamnya.


Inilah sosok kuntilanak merah yang diceritakan kawan-kawanku. Dia lebih seram dari yang dibayangkan.

Aku berlari lagi. Lagi, lagi, dan lagi. Tak memikirkan apakah aku akan terjatuh dari tangga jika turun terlalu cepat. Aku tak peduli.


Deg.

Di bawah sana seorang tentara Nippon menebaskan pedangnya ke seorang pribumi berbaju putih. Kepalanya menggelinding, darah membanjiri tanah.

Baru kuingat. Seminggu yang lalu di dalam mimpiku, aku melihatnya meneteskan darah yang mengenai bahuku. Sosok ini. Baju putih namun tanpa kepala. Rumor mengatakan ia pernah menggantung dikipas atap asrama putra.

Aku berbelok, menghampiri pintu aula yang masih saja tergembok, terkunci rapat. Aku menatap ke atas perpustakaan, memeriksa apakah wanita siluman itu masih mengikutiku.

Apa yang kutatap kini sedikit menenangkanku. Walaupun tidak akan sepenuhnya membuatku berhenti bergidik.

Lihatlah kembali.
Seorang berbaju putih. Wajahnya pucat, tersenyum pilu kepadaku. Matanya sayu, gelap kelamnya masa lalu melingkar di sekeliling kelopaknya. Ia memainkan rambut panjangnya. Memilin-milin, memiringkan kepalanya, menerawang pikiranku yang sedang kacau balau.

Ia menuruni tangga secara perlahan. Masih melirikku, tersenyum simpul. Ia mengajakku untuk berjalan ke suatu tempat. Ia hendak menunjukkan sesuatu. Aku enggan mengikutinya, tapi kaki ini tetap saja menuruti energi yang sosok pucat itu berikan. Dan kami berjalan ke arah ruang kelasku!

Pintunya terbuka. Ia masuk, sedangkan aku berdiri di ambang pintu. Ia melangkah ke bangku tengah, menyimpan telunjuk kanannya di atas lengan kiri yang terangkat. Jari telunjuknya menempel ke nadi, kemudian bergerak seolah-olah tengah memotongnya.

Senyuman itu, mengenaskan. Ia seorang gadis yang menyedihkan. Dan mengakhiri hidupnya.... di lokasi kelasku berada.


Apakah benar semua yang kulihat ini? Selama ini aku merasakan kakiku mulai kram karena terus berlari, mengelilingi sekolah. Mataku sembab, menahan rasa tangis yang memuncak, menyaksikan seperti apa akhir hidup mereka yang tinggal di sekolahku. Batinku terasa sesak, aku ingin pulang...

Di tengah kondisi tak karuan seperti itu, aku merasakan ada suara yang memanggilku. Bukan nama, hanya sebuah sapaan yang harus membuatku mau tak mau melihat siapa gerangan memanggilku.


Darah berdesir di setiap saluran nadiku. Lemas, namun tak bisa bergerak. Di hadapanku, berdiri seorang lelaki tegap. Badannya kekar, berdasi putih, berjas hitam. Tampak seperti seorang yang elite, hanya saja tanpa kepala dengan darah yang sudah mengering. Daging merah di lehernya kental dan menjijikkan.

Walaupun sosoknya seram, namun piawainya terlihat berniat membantu. Ia menunjuk ke arah belakang kelas, dimana tanah kosong berada di sana. Aku hendak mengikutinya, namun tiba-tiba saja suara yang tak asing bagiku terdengar bagai perintah menggema di sekelilingku.

"Jangan ikuti dia! PULANG!"

Aku mulai dapat menggerakkan mulutku. Terbata-bata, namun berani.

"Maaf, dunia kita berbeda." Kataku kepada lelaki buntung itu. Ia masih saja diam, seolah-olah tak dapa mencegahku untuk tidak ikut bersamanya.

Aku menuruti instingku untuk kembali lagi ke aula. Kali ini sudah tak lagi dikunci. Aku masuk, dan untuk terakhir kalinya aku bertemu dengan sosok yang hancur lebur, menempel di atas lantai. Kepalanya terlihat lebih kecil dari kepala manusia biasanya, wajahnya menghitam, rambut di kepalanya menipis dimakan masa. Organ dalam tubuhnya membusuk, mengeluarkan bau yang sangat menyengat. Ia tampak seperti mayat yang mati karena terlindas kendaraan yang besar.


"Izinkan aku pulang..." Kataku lirih kepadanya.

"HAHAHAHAHA.." ia tertawa sangat keras. Cumiakkan telinga. Aku menangis dan berlari ke ujung aula, bersandar di dinding. Memeluk kakiku sendiri, terduduk seraya menjerit-jerit. Tawa itu masih menggema jahat.

Telingaku kini mendengar sebuah doa yang dilantukan dengan bahasa arab. Aku mendengarnya, aku tak tahu siapa yang tengah membacakannya. Tak berwujud, hanya suara yang memohon pertolongan. Hingga sesuatu terjadi. Sesuatu yang sampai detik ini aku masih tercengang bila mengingatnya.

Adegan bercahaya yang kualami. Ketika seorang yang kupercaya dapat menjadi pemberi keberkahan bersama benda terbaik yang dimilikinya, datang. Aku dibawanya ke luar aula. Seorang yang menyelamatkanku ini disegani seluruh sosok yang tadi kulihat. Aku berjalan bersamanya di hadapanku, menyebrangi lapangan, menuju gerbang luar sekolahku.

Desa ini sepi. Sepi, sekali. Walaupun warung dihadapanku buka, namun tak ada aktivitas apa pun.

Lalu keajaiban pun terjadi. Beberapa kawanku--yang terakhirku ingat membantuku untuk sadar--datang berlarian menujuku dari arah timur jalan. Dua antara mereka mengenggam tanganku dan berkata dengan lembut dan yakin,


"Ayo, pulang..."


Seketika mataku terbuka. Selesailah doa yang dibacakan temanku itu di telingaku, selesai pula perjalanan di luar nalar yang telah kulalui.

Aku masih setengah sadar. Rasanya baru saja terbangun dari tidur yang panjang. Hanya saja, mimpi di dalamnya seperti sebuah petualangan yang menyeramkan.

Aku tak dirasuki oleh salah satu 'sosok' yang ada di sekolahku. Akulah yang masuk ke dalam dunia mereka. Percaya tak percaya, aku tak akan menghabiskan waktuku hanya untuk menuliskan hal yang sebenarnya tidak terjadi.

Aku masih mencari makna dari perjalananku itu. Terjebak, mencari, ingin pulang. Mungkin saja Tuhan hendak memperlihatkan kepadaku segala hal yang pernah kudengar. Dengan kebenaran, pembuktian, yang disaksikan olehku sendiri. Mungkin ini pun dapat menjadi pesan yang disampaikan oleh mereka. Bahwa cerita urband legend di sekolahku bukanlah sekadar rumor belaka. Mereka memberikanku adegan yang rumit dijelaskan. Untuk memberi tahu, bahwa mereka benar-benar ada.


Mereka nyata, walaupun tak kasat mata.
Diubah oleh muthialaqilah 29-03-2020 10:32
999999999Avatar border
delia.adelAvatar border
pulaukapokAvatar border
pulaukapok dan 51 lainnya memberi reputasi
50
6.2K
43
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
The Lounge
The Lounge
icon
922.6KThread81.9KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.