yuni.wahyuni114Avatar border
TS
yuni.wahyuni114
Misteri Hantu Kepala Buntung Penunggu Rel Kereta Api


Hantu Kepala Buntung Penunggu Rel Kereta Api



Malam itu, aku tak tahu harus bicara dengan siapa. Selepas turun dari bus antar kota yang mengantarku pulang ke tanah kelahiran, kakiku hanya paham satu jalan. Sebuah jalan setapak yang tak jauh dari rel kereta api dengan di sana sini penuh kubangan.

"Mbak, nggak mau telepon dulu ke keluarga atau tetangganya?!" teriak bapak penjaga rel kereta api yang malam itu masih terjaga.

"Nggak usah, Pak. Aku bisa pulang sendiri, kok," jawabku setengah berteriak meski tak yakin si bapak penjaga mendengarnya.

Kulihat beliau mengambil senter. Membuka pintu pos jaga dan terus berjalan ke arahku tanpa ragu.

"Aja balik jam eyehwene, Mbak. Medheni. Lungguh riyen nggo teng pos jaga," katanya menjelaskan dengan bahasa Jawa campuran ngapak ngoko dan krama halus.

Aku mengangguk. Meyakinkan bahwa tak apa jika harus kulewati jalan tersebut malam itu.

Sepertiga perjalanan masih terasa biasa. Mendekati pertengahan jalan, bulu kudukku meremang seketika. Meski aku tahu, tak ada angin lewat, pun udaranya saat itu masih terasa lebih hangat.

"Astaghfirullahal'adziim ... aku tak mau ganggu kalian, Mbah. Aku hanya mau numpang lewat," ucapku pelan meski nyaliku kian menciut.

Bayang di ujung pertigaan itu menghentikan langkah kakiku. Setapak demi setapak, pelan tapi pasti, aku terus berjalan mundur. Aku yakin, apa yang kulihat, tak seharusnya berada tepat di depan jalan menuju ke desa yang kulihat sudah mulai dekat.

Semakin lambat aku berjalan, semakin lambat pula bayang sosok tinggi besar tanpa kepala itu mendekat.

Semakin aku berusaha lari pula, semakin nyaliku untuk terus menjauh dari sana semakin kuat.

Entah apa yang terbayang oleh isi kepalaku malam itu. Sudah mendekati palang pintu rel kereta api, si bapak penjaga hanya menatap ke arahku dengan tatapan kosong. Apakah beliau juga lihat?

"Pak, tolong aku. Di sana ada yang mengejarku."

Si bapak penjaga hanya diam mematung. Tak ada tanda-tanda pergerakan apapun. Kakiku rasanya lemas. Degup jantungku sudah kian tak tentu.

"Mbak, ngapain mbak jongkok di situ?" sapa salah seorang lelaki yang entah siapa dan datang dari mana.

"Ke siniin tanganmu, Mbak," katanya lagi dibantu seorang ibu usia paruh baya.

Napasku masih tersengal saat si ibu menjulurkan sebuah botol air minum kemasan kepadaku.

"Kamu dari mana mau ke mana, Mbak?" tanya si ibu yang jauh lebih tenang dari si bapak.

"Aku dari luar kota, Bu. Mau pulang ke rumah. Tapi entah mengapa, tiba-tiba aku bisa ada di dekat pohon itu. Padahal, aku yakin sekali, Bu. Tadi itu ada pos jaga, bapak penjaga pos, sama hantu kepala buntung yang mengejar-ngejar aku," jelasku pada mereka yang hanya dijawab dengan tatapan misterius tanpa bisa kucerna apa maknanya.

"Begini saja, Mbak. Mbak sekarang ikut kami ke kantor polisi. Nanti, di sana mbak jelasin semua yang barusan terjadi. Biar polisi juga yang nanti bantu mbak pulang ke rumah. Gimana?" tawar si bapak dengan yakin setelah mencoba menstarter motor tuanya.

Aku mengangguk. Kedua orang itu terus membantuku berjalan ke motor. Duduk berhimpit-himpitan dengan posisiku berada di paling belakang. Antara perasaan takut dan lega, seketika itu bercampur baur ada di sana. Mereka siapa lagi, Tuhan?

Tak perlu waktu lama, kami sampai di kantor polisi. Aku dibiarkan masuk sendirian dengan alasan mereka masih ada kepentingan. Aku mengangguk paham seraya berucap terima kasih banyak sebab mereka telah membantuku sampai ke tempat ini.

"Makasih, ya, Pak, Bu. Hati-hati di jalan," kataku terus melambaikan tangan pada mereka yang kian jauh dan bayang mereka hilang ditelan kegelapan malam.

"Selamat malam, Mbak. Ada yang bisa kami bantu?" sapa seorang bapak polisi dengan seragam resmi dan senyum ramah terkembang di sana.

Aku dipersilakan duduk, membuat laporan tentang semua kejadian yang beberapa lalu sempat membuatku bingung bercampur heran.

"Apa mbak yakin, tadi sudah sampai di pertengahan jalan dekat rel kereta api tersebut?" tanya pak polisi sekali lagi untuk meyakinkan.

"Iya, Pak. Aku yakin sekali, barusan jalan sudah di pertengahan. Tapi tiba-tiba ...." Tangan pak polisi segera menyuruhku diam. Tak perlu banyak bertanya lagi, beliau sepertinya sudah mencatat semua detail yang kujelaskan.

"Alamat mbak di mana?"

"Di jalan Mawar nomor satu, Pak."

"Baiklah kalau begitu, Mbak. Nanti kami antar mbak pulang. Tapi dengan satu syarat."

"Syarat? Syarat apa itu, Pak?"

"Sepanjang jalan, Mbak nggak boleh banyak bertanya apa pun. Baru setelah sampai di tempat tujuan, silakan mbak tanyakan apa pun yang ingin mbak tanyakan. Bisa?"

Aku mengangguk. "Tentu bisa, Pak."

Beliau dengan satu lagi bapak polisi segera mengambil kunci mobil. Menutup pintu kantor rapat-rapat dan mempersilakan untuk aku segera masuk serta diam saja di kursi belakang.

"Ingat pesan saya, ya, Mbak." Pak polisi itu mengingatkan.

"Iya, Pak. Siap."



Jalan demi jalan telah terlewati. Keadaan lengang jalan membuat bulu kudukku semakin tegak berdiri. Tapi kenapa harus di jalan ini?

"Nggak boleh ada pertanyaan, Ra!" ujar sebuah suara yang membuatku terhenyak dari lamunan.

"Astaghfirullahal'adziim ...," ucapku lirih sambil terus menghitung jumlah ruas jari.

"Sudah sampai, Mbak!" ucap pak polisi dengan sedikit teriakan yang membuat zikirku seketika terhenti.

"Alhamdulillah, terima kasih, Pak," kataku terus mempersilakan beliau mampir dulu, masuk.

"Nggak usah, Mbak. Terima kasih, lain kali pulangnya jangan kemalaman, ya? Bahaya kalau perempuan jalan sendiri." Nasihat bapak satunya yang lebih banyak diam sejak awal lagi.

"Baik, Pak. Terima kasih sekali lagi," jawabku sambil sedikit membungkuk sampai mereka pun akhirnya pergi.

☠☠☠

"Lho, sudah sampai sini, Nak. Kenapa diantar pak polisi?" tanya bapak tiba-tiba berada tepat di hadapanku dengan satu tetangga kami yang menemani. Adik bapak alias pamanku sendiri.

Bapak membawakanku satu tas ransel, sedang tas yang ada di tanganku tetap aku yang bawa, meski tetangga kami meminta untuk membantu.

"Nggak apa, Paman. Biar aku aja yang bawa."

Paman hanya tersenyum. Mengekor di belakang dengan senter tetap dinyalakan sepanjang jalan menuju rumah kami.

Sesampainya di rumah, aku dibuat terkejut dengan jarum jam yang masih bergerak pelan di angka pukul sembilan malam. Rasanya tadi sudah muter ke mana-mana, masa iya masih jam segini?

Mama menepuk bahuku pelan. "Aja seneng ngalamun."

Aku nyengir. Memamerkan sederet gigi putih dengan ekspresi wajah ceria meski sungguh merasa letih.

"Cerita ke mama coba, Nak. Tadi kenapa kata bapak kamu diantar pulang sama pak polisi?"

"Bapak sudah cerita ke mama?" balasku balik bertanya.

"Belum semua. Hanya kata bapak, kamu tadi turun dari mobil polisi. Itu saja."

Mendengar kata polisi, baik bapak maupun paman mengedarkan pandangan. Memandangiku sambil berujar, "Ceritakan saja semuanya pada kami, Nak."

Aku paham. Meski kalau boleh mengelak, "Bisakah kuceritakan besok siang, Ma?"

Mama mengangguk. Diikuti perasaan tak sedap hati dari tatapan bapak maupun paman. Aku segera ke belakang, mengambil air wudu, sikat gigi, dan segera mengunci pintu kamar.

"Selamat tidur, Nak. Assalamualaikum," teriak mama dari balik pintu setelah diketuk pelan.

"Waalaikumussalam, met tidur juga, Ma."



Seperti sebuah mimpi, aku terbangun dengan perasaan tak enak hati. Baiknya kuceritakan atau kurahasiakan saja? Toh, sudah kejadian semalam ini.

Terdengar suara pintu kamar diketuk.

"Ra, bangun, Nak. Ayo salat subuh jamaah sama mama!" teriak mama masih dengan pintu kamar tertutup rapat dan terkunci.

"Nggeh, Mak. Bentar lagi Ra nyusul."

"Nggak ada susul-susulan, ayo cepat!"

Dengan langkah gontai, aku membuka pintu. Kudapati mama masih berdiri dengan tangan memegang mukena berwarna biru, sesuai dengan warna yang kusukai.

"Ambil wudu, mama sama adik tunggu di musola, ya?"

Aku mengangguk. Mengambil wudu dan segera pergi ke musola bersama mama."

Di tengah kuliah subuh yang telah disampaikan, entah keberanian datang darimana, aku jelaskan pernyataan dan pertanyaan yang semalam tadi aku alami.

"Maaf, Pak Ustaz, bolehkah saya bertanya hal lain? Mungkin agak aneh, tapi ini sepertinya urusan pribadi."

Pak Ustaz mengambil waktu untuk menjawab, sebelum akhirnya beliau bilang, "Baiklah, Nak. Setelah ini silakan temui saya, ya? Pagi ini mari kita tutup acara kuliah subuh dengan bacaan hamdalah bersama-sama. Biqoulina alhamdulillahi rabbil'alamiin."

☠☠☠

"Ada pertanyaan apa sebetulnya, Anakku?" ujar pak Ustaz yang ternyata terlihat lebih sepuh setelah dipandang dari jarak dekat.

"Maafkan anak saya ini, ya, Pak? Sepertinya dia nggak siap cerita dengan saya atau bapaknya. Jadi, sudi kiranya bapak membantu anak kami ini setelah dia selesai dengan keluh kesahnya," jelas mama sebelum memberikan waktu sepenuhnya padaku untuk terus bertanya.

"Nggak apa, Bu. Insya Allah, jika saya bisa. Akan saya bantu."

Mama tersenyum, diikuti adik dan juga aku.

"Begini, Pak. Semalam saya baru pulang dari luar kota. Keadaan sudah malam tapi belum begitu larut menurut saya. Keganjalan demi keganjalan terus terjadi di area pertengahan jalan dekat rel kereta api sebelah desa. Kalau boleh tahu, apakah ada kejadian tragis di sana sebelumnya atau itu hanya imajinasi saya saja?"

Pak Ustaz tercengang mendengar cerita dan pertanyaan beruntun dariku. Setelah membaca basmalah, pak Ustaz segera menjawab dengan telaten semua pertanyaanku.

"Apa yang dialami olehmu semalam bukan halusinasi, Nak. Itu kejadian nyata yang memang tidak semua orang bisa dan diizinkan melihatnya. Sebab, keistimewaanmu memang bisa merasakan kehadiran sosok mereka. Oleh sebab itulah, semalam pasti kamu berpikiran bahwa itu hanya imajinasimu saja, bukan?"

"Iya, Pak Ustaz. Tapi kenapa sosok itu bisa ada di sana, Pak?"

"Sosok hantu kepala buntung sudah ada sejak lama, Nak. Hanya sebagian orang yang tahu kisah aslinya. Jadi, dahulu kala sekitar tahun dua ribuan, ada sepasang suami istri yang tengah melintas di jalur rel kereta api. Entah bagaimana sebabnya, motor mereka mogok dan keduanya meninggal dunia. Badan si istrinya hancur lebur, jasad si suami pula, sebagian tak bisa diselamatkan sama sekali. Sampai siang menjelang, setiap warga sekitar berbondong-bondong mencari kepalanya yang tak pernah bisa dijumpai sampai saat ini."


"Nggak ada dari pihak keluarga yang mencari lagi setelah itu, Pak?"

"Ada. Tapi sia-sia. Sebab tak bisa juga ditemukan jejak darah kepala itu berada."

"Dari pihak kepolisian sendiri bagaimana, Pak?" tanyaku dengan perasaan penasaran yang kian menjadi.

"Dari pihak kepolisian pun sudah mencari kemana-mana. Tapi tetap tak kunjung ketemu. Hingga akhirnya, di malam Jumat Kliwon itu, untuk pertama kalinya si kepala menampakkan wujudnya pada sebagian warna. Ada yang mengatakan, dia tumbal pesugihan. Ada juga yang beranggapan bahwa sebetulnya kepalanya sudah lama ketemu. Hanya tidak ada yang tahu siapa yang menemukan, makanya si kepala buntung kadang masih sering menampakkan wujudnya pada warga, termasuk kamu."

Mendengar penjelasan pak ustaz, aku paham sekarang. Mengapa semalam itu, bapak kepolisian tak mau ditanya. Sepasang suami istri pun ingin segera berlalu.

Selesai dengan pertanyaan-pertanyaanku, baik mama, adik, maupun aku segera berundur diri. Melanjutkan perjalanan dengan sebaris nasihat dari pak Ustaz untuk terus mendekat pada Tuhan, Sang Hyang Jati Pangeran yang Maha Tinggi.

☠☠ S E L E S A I ☠☠


Taiwan, 29 Maret 2020

Penulis: @yuni.wahyuni114
Sumber cerita: kisah nyata dari seseorang yang tak ingin disebutkan namanya. Terima kasih sudah mau berbagi.
Sumber gambar: Google
Diubah oleh yuni.wahyuni114 28-03-2020 19:22
aa115prassAvatar border
infinitesoulAvatar border
nona212Avatar border
nona212 dan 10 lainnya memberi reputasi
9
3.6K
16
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
The Lounge
The Lounge
icon
922.6KThread81.9KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.