galih17
TS
galih17
CERPEN : Lelembut di Candi Buyut





“Enak ya kalau tinggal di desa ini. Naik bukit yang tidak terlalu tinggi, tetapi bisa dapat pemandangan bagus seperti ini. Bisa lihat sawah, sungai, rumah – rumah penduduk. Berarti kamu sering naik ke bukit ini, ya, Don?” ujar Rino.


“Dulu lumayan sering. Waktu masih SD dan SMP. Sama teman – teman di desa ini, pergi ramai - ramai. Biasanya pas hari Minggu dari pagi sampai siang. Karena di sini enak, bisa teriak sekencang – kencangnya. Hahaha,” tukas Doni.


Rino, Surya, dan Doni masih berjejer di atas rumput, mengistirahatkan kaki mereka setelah mendaki sebuah bukit. Suasana di bukit itu memang mampu membuat pikiran menjadi tenang. Bentuknya mirip perahu terbalik yang memanjang dari utara ke selatan, dengan rumput hijau yang segar. Tak banyak tumbuh pohon besar di tempat itu. Suasana sore yang hangat ditambah angin berhembus sepoi, membuat siapapun enggan beranjak dari tempat itu. Ketinggian bukit itu mungkin seratus lima puluh meter dari permukaan tanah di bawahnya, tetapi suara kendaraan di area pemukiman warga masih bisa terdengar.


Surya menoleh ke arah Rino yang masih menikmati pemandangan di depan mereka. “Rino, kamu jadi mainan burung, nggak? Terlalu enak melihat pemandangan tahu – tahu nanti sudah petang. Nangis ntar kamu, Rin,” ingat Surya kepada Rino.


Mendengar itu, Rino langsung menepuk dahinya, “Oh, iya. Nyaris saja lupa kalau ke sini tujuannya mainan burung. Hehehe.”


“Memang kamu sudah lupa,” sanggah Doni.”


“Ah, jangan begitu dong. Yuk, kita mainan burung, yuk.” Tukas Rino. Dia lalu bergegas membuka tas berwarna hitam yang tadi dibawanya.


Surya dan Doni lalu menghampiri Rino, membantu mengeluarkan barang – barang yang ada di dalam tas itu. Karena takut salah, mereka berdua hanya melihat Rino memasang baling – baling droneyang empat bulan lalu dibelinya. Rino ingin membuat video pemandangan alam yang ada di desa Doni, sebagai bahan untuk mengisi konten di channel youtube-nya. Kegiatan untuk mengisi waktu liburan kuliah.


Tidak berselang lama, dronemilik Rino sudah terbang berkeliling di sekitar bukit itu. Merekam pemandangan indah area perbukitan, sawah, serta pemukiman penduduk. Suara baling – balingnya mirip suara ratusan ekor lebah yang sedang terbang.  Doni dan Surya kagum dengan Rino yang sudah mahir mengendarai drone-nya.


“Ke bukit sebelah selatan itu sepertinya bagus tampak dari atas,” seru Rino.


“Hati – hati, jangan terlalu rendah. Banyak pohon di sana, Rin,” timpal Surya mengingatkan.


Surya dan Doni terus mengamati droneitu terbang ke arah selatan, menuju puncak lain di bukit yang sama, namun lebih banyak tumbuh pohon – pohon.


Rino kemudian tiba – tiba panik, “Duh, kenapa ini? Aargghh....”


Surya penasaran dengan kepanikan salah satu temannya itu,” Kenapa, Rin?”


Wajah Rino tampak tegang, terlebih lagi pada dahinya yang mulai berkeringat. Kedua ibu jari Rino masih sibuk dengan tombol – tombol yang ada di remote control, “Sepertinya drone-ku bermasalah. Sudah nggak bisa aku kendalikan,” ucapnya penuh rasa panik.


Surya dan Doni merasakan kepanikan temannya itu, tetapi mereka juga tak bisa berbuat banyak untuk membantu Doni. Hanya mampu berdiri mengapit Doni, dan berharap droneyang sedang terbang itu bisa dikendalikan lagi oleh pemiliknya.


“Aduh, piye iki?(bagaimana ini?). Aahhh...., sialan, ” ucap Rino kesal. 


Dronemilik Rino dari kejauhan tampak seperti titik hitam. Pada satu waktu akhirnya benda terbang itu meluncur bebas ke arah bawah.


“Yaaah..., akhire ceblok.(akhirnya jatuh)” Suara pelan yang keluar dari mulut pemiliknya. Lemas dan pasrah.


Selama beberapa saat mereka bertiga hanya diam, setelah melihat pesawat kecil tanpa awak itu jatuh ke bumi.


“Ada GPS-nya, Rin? Doni memberanikan diri bertanya.


“Ada,” jawabnya.


“Kita coba cari saja, lokasi jatuh juga tidak jauh juga dari sini.”


“Iya, kita coba cari dulu,” sahut Surya.


* * * * *


Mereka bertiga melangkahkan kaki menuju tempat di mana drone milik Rino jatuh. Semakin ke arah selatan, jalan yang mereka lalui cenderung menanjak, meskipun tidak curam. Masih  ramah untuk orang – orang yang bukan tipe pendaki.


Setelah sekitar seratus meter melangkah, Rino menghentikan perjalanan. Ada sebuah pohon akasia yang cukup besar walaupun tidak terlalu tinggi, yang menarik perhatiannya. “Wah, apa yang diletakkan di bawah pohon ini? Itu dupa, ya? Ada kemenyan juga.”


“Iya, kadang ada orang yang ngalap berkah di tempat ini. Bermalam di sini.” Doni menjelaskan.


“Ha? Ngalap berkah? Pesugihan? Angker dong tempat ini,” ucap Surya dengan nada yang tampak ketakutan.


“Ya, begitulah. Ada yang minta nomor togel, ada yang bersemedi untuk ritual. Macam – macam, lah, tujuan mereka,” kembali Doni memberitahu.


“Wah, serem. Kalau angker kita pulang saja, yuk. Mumpung masih sore, nih,” ujar Surya.


“Ah, dasar kamu penakut, Sur. Tanggung juga, nih. Kita sudah hampir sampai di tempat drone-ku jatuh. Kalau sudah gelap dan belum ketemu, kita pulang. Lanjut cari besok, gitu saja, deh,” ujar Doni ketus.


Mereka memang sudah separuh perjalanan ke tempat yang dituju. Jalan yang mereka lalui sudah mulai diapit oleh pepohonan. Cahaya matahari dari sebelah kanan membentuk bayangan siluet pepohonan, berjejer dan memanjang.


“Sepi banget, ya...,” tiba – tiba Surya berkomentar.


Doni mendengar ucapan Surya, lalu menanggapinya. “Iya, memang di sini sepi. Tapi biasanya ada orang yang mencari kayu, atau juga yang mencari rumput untuk pakan ternak. Nah, tuh, lihat.”


Dari balik semak – semak yang tingginya sejajar perut orang dewasa, muncul seorang pria paruh baya memanggul sekarung rumput. Dia berkalung sebuah tempat minum berwarna biru muda bergambar Batman. Tempat minum bertali yang biasa dipakai oleh anak – anak TK.


Monggo, Pak,(Permisi, Pak)” sapa Doni yang berjalan paling depan.


Arep nang endi, to, mas? Wis arep surup ngene iki,(Mau ke mana, Mas? Sudah mau petang)” tanya pria itu


“Mau ambil drone teman saya. Jatuh di depan sana tadi, Pak?” jawab Doni dengan halus.


“Oalah, pesawat yang tadi, to?


“Iya, Pak.”


“Lebih baik, kalian cari besok saja. Hari sudah akan gelap. Ora apik,(Tidak baik)” saran bapak itu. “Yo, wis. Aku tak mlaku dhisik, yo. (Ya, sudah. Aku jalan dulu)”


Bapak pencari rumput itu berlalu, Doni dan dua orang temannya masih belum beranjak. Masih mencerna ucapan orang yang baru saja mereka temui.


“Bagaimana, nih?” keluh Doni.


“Sudah, kita pulang saja. Sudah diberitahu sama bapak tadi,” balas Surya.


“Ah, kita lanjut saja. Sudah mau sampai. Sebentar saja buat cari drone-ku. Kalau sudah mulai petang kita pulang. Toh, bukit ini juga nggak terlalu tinggi – tinggi. Nggak butuh waktu lama kita sudah sampai di bawah lagi.” Rino langsung kembali berjalan. Sesaat Doni dan Surya saling pandang, lalu mengikuti langkah Rino juga.


Akhirnya mereka sampai juga di tempat yang mereka perkirakan drone milik Rino jatuh. Satu bagian bukit dengan banyak tumbuh pepohonan yang menjulang cukup tinggi. Hanya mereka bertiga di sana, ditemani beberapa ekor burung kutilang yang berkicau.


“Aduh tempat ini..., menyeramkan,” ucap Surya pelan. Kulit di lehernya seketika merinding.


“Nah, itu dia!” teriak Rino yang mengagetkan kedua temannya. “Drone-ku tersangkut di atas pohon itu.


Doni melihat satu pohon yang menjulang tinggi, dan benar ada dronemilik Rino di sana. “Wah, tinggi sekali. Bagaimana cara kita mengambilnya? Sepertinya pohon itu juga susah dipanjat. Tidak ada cabang pohon yang posisinya rendah.”


“Iya, benar juga, sih.” Doni mendekati pohon itu dan mengamati sekelilingnya. Mencari sesuatu yang mungkin bisa dimanfaatkan untuk membantu mengambil drone-nya. Tak jauh dari tempatnya berdiri, dia melihat sesuatu. “Ini apa, ya?”


Surya dan Doni bergegas mendatangi Rino. Mereka melihat sebuah tumpukan batu setinggi paha yang sudah berlumut. Sebagian tertutup semak belukar. Di sekitarnya juga ada belasan batu berbentuk kotak seukuran koper, tergeletak berceceran.


“Oh, ini.” Doni mulai berbicara, “Warga di sini menamakannya candi Buyut.”


“Candi Buyut?” ucap Rino dan  Surya serempak.


Doni duduk di atas sebuah batu kecil, lalu diikuti kedua temannya. “Iya, jadi begini  ceritanya. Dulu ada seorang pembuat senjata yang bekerja untuk kerajaan Panjalu, Ki Buyut namanya. Senjata buatannya sangat bagus dan kuat sehingga disukai oleh para senopati kerajaan itu. Kerajaan tetangga, Jenggala, berusaha membujuk Ki Buyut untuk berpindah untuk bekerja kepada kerajaan tersebut, namun Ki Buyut menolak tawaran itu. Berkali – kali dia dibujuk tetapi Ki Buyut tetap setia kepada kerajaan Panjalu.”


“Lalu apa yang selanjutnya terjadi?” tanya Rino penasaran.


“Ki Buyut yang semula tinggal di tepi sungai Brantas, akhirnya pindah ke tempat ini supaya lebih tenang membuat senjata dan tidak diganggu utusan kerajaan Jenggala lagi. Dia membuat semacam candi kecil untuk bertapa, sebagai salah satu ritual membuat senjata yang ampuh. Tetapi utusan dari jenggala mengetahui tempat ini, membunuh Ki Buyut dan semua pekerjanya. Selain itu juga mengancurkan dan mengobrak – abrik tempat pertapaan ini.” Doni bercerita dengan semangat.


“Wah, berarti Ki Buyut pembuat senjata yang sakti, ya?” sahut Surya.


“Konon, dalam membuat senjata, Ki Buyut juga dibantu oleh lelembut yang ada di tempat ini. Saat Ki Buyut dibunuh dan pertapaan ini dihancurkan, para lelembut mengamuk dan membunuh utusan kerajaan Jenggala yang berbuat keji itu. Sehingga tempat ini banjir darah. Karena kejadian itu, puing – puing bangunan ini diberi nama Candi Buyut,” ungkap Doni. “Dan senjata buatan Ki Buyut yang tercecer di sini, disimpan dan dijaga oleh para lelembut. Katanya, sih, ditanam ke dalam tanah.”


“Aduh, serem banget,” ujar Surya yang mulai merinding.


Doni masih melanjutkan ceritanya, “Banyak orang yang berusaha mengambil pusaka – pusaka itu dengan bertapa di sini. Tetapi tidak ada yang berhasil. Bahkan nasib mereka berakhir dengan tidak mengenakkan. Banyak yang akhirnya menjadi linglung, ada juga yang akhirnya menjadi gila! Sehingga tempat ini sudah jarang sekali dikunjungi orang.”


“Aaahh, ya sudah. Kalau begitu kita lekas pulang. Sudah petang ini, tempat ini angker.” Surya memaksa, lalu berdiri dan beranjak pergi.


“Iya, kita pulang saja. Tempat ini tidak baik,” Rino melanjutkan.


Doni menyusul langkah Surya, begitupun juga Rino berjalan paling belakang.


Aaaarrrgghhhh.... Rino berteriak kencang. Dia sudah jatuh tengkurap dan tubuhnya terseret ke belakang. Namun aneh, tak terlihat siapa yang menariknya!


Mengetahui itu, Doni langsung mengejar Rino dan menjatuhkan diri untuk meraih tangannya. Dan upayanya berhasil! Kedua tangan Doni sudah digenggamnya, namun masih terseret sebelum akhirnya berhenti beberapa langkah kemudian. Tetapi kini, kedua kaki Doni terangkat ke atas hingga setinggi perut. Tubuhnya dilempar ke arah belakang hingga menubruk tubuh Surya yang masih berdiri mematung.


Hal serupa kini dialami oleh Rino, dalam posisi yang masih tengkurap kedua kakinya juga terangkat lalu tubuhnya terlempar ke samping kanan hingga membentur sebuah pohon. Dia mengalami sakit di lengan kanannya. Tak hanya itu, kepala Rino menoleh ke kanan dan ke kiri dengan cepat. Ada yang menampar wajahnya beberapa kali oleh wujud yang tak terlihat.


Dalam keadaan yang sudah mulai gelap, Doni melihat Rino yang merangkak kesakitan. Dia berusaha membantunya. Baru enam langkah berjalan, ada yang menjegalnya. Doni tersungkur jatuh. Tetapi tak berselang lama dia langsung berdiri karena ada yang menarik rambutnya ke atas. “Aarrgghhh...,” pekik Doni. Ada sentuhan yang terasa dingin di lehernya. ”Aaaakhh..., u-uukkhh, lehernya dicekik! Cengkeraman itu melemparnya ke arah kanan. Tubuhnya mendarat di reruntuhan batu.


“Ada apa ini? A-apa yang terjadi?” ucap Surya dengan nafas terengah ketakutan. Rahang bawahnya bergetar, kedua tangannya mencengkeram erat rumput yang tumbuh di tanah. “Aaaaakhh..., a-aakhhh” teriak Surya saat ada yang menarik pundaknya, dia diseret ke arah belakang. Tangannya mencakar tanah untuk melawan tarikan itu. Bukk! Punggungnya menghantam sebuah pohon. Dia melenguh kesakitan.


Rino, Doni, dan Surya perlahan mencoba berdiri dengan rasa sakit yang diderita. Tetapi tubuh mereka tiba – tiba melayang! Ada yang mengangkat mereka setinggi satu jengkal tangan dari tanah, lalu melesat secara bersamaan. Bruk! “Aaaakhh...,” pekik mereka. Tubuh ketiganya bertubrukan satu sama lain dan jatuh ke tanah bersama.


Pakk..., pakk, paaakk! Tamparan yang membuat pipi mereka panas. Dan kembali lagi tubuh mereka diangkat entah oleh siapa, lalu menabrakkan mereka satu sama lain. Tak berselang lama sayup – sayup terdengar suara orang yang berbisik – bisik. Tidak hanya satu atau dua orang saja, tetapi belasan atau bahkan puluhan orang!


“Cukup! Berhenti. Maafkan mereka,” suara seorang laki – laki yang muncul secara tiba – tiba. “Saya mohon, ampuni mereka. Mereka tidak berbuat macam – macam, tidak perlu berbuat seperti itu,” lanjutnya dengan suara memelas dari seorang yang memanggul sebuah karung di pundaknya. Dan suara berbisik – bisik itu pun akhirnya berhenti.


“Terima kasih. Sekali lagi maafkan anak – anak ini. Mereka tidak berniat mengambil barang – barang yang ada di sini.” Suara laki – laki itu berusaha menenangkan.


Doni, Rino, dan Surya duduk berdekatan dipenuhi rasa takut. Suara langkah kaki yang menginjak daun kering di tanah perlahan mendekati mereka. Ada satu sumber cahaya dari sebuah korek api yang menyala, menerangi sebuah wajah. Ternyata itu adalah bapak pencari rumput yang mereka temui tadi.


“Ayo, bangun, sudah tenang saja,” ucap bapak itu pelan. “Tadi sudah aku memperingatkan kalian, jangan ke sini karena hari sudah mulai gelap. Tetapi kalian tidak menuruti perkataanku. Sebenarnya aku tadi sudah mau pulang, tetapi aku merasa khawatir maka aku menyusul kalian ke tempat ini. Lelembut di tempat ini merasa terganggu kedatanganmu. Mungkin kalian berkata tak sopan atau mungkin mereka menganggap kalian berniat mengambil senjata atau pusaka yang tertanam di sini. Besok siang aku akan menemani mengambil pesawatmu yang jatuh itu. Sekarang mari tinggalkan tempat ini.”


Tanpa berpikir lama mereka bertiga segera mematuhi bapak pencari rumput untuk meninggalkan tempat yang menyeramkan itu. Dalam perjalanan pulang, bapak pencari rumput itu bercerita bahwa sebenarnya ayahnya merupakan juru kunci candi Buyut itu dan dia meneruskannya. Tetapi karena sudah tidak ada lagi orang yang berani datang ke sana, maka bapak itu juga sudah jarang mengunjungi candi Buyut untuk membersihkan.


 

***** Selesai *****

 

 

Simak backstory-nya dalam : Ki Buyut dan Para Lelembut
 
Diubah oleh galih17 01-04-2020 14:27
Gimi96NadarNadznona212
nona212 dan 30 lainnya memberi reputasi
31
5.2K
44
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
icon
31.3KThread40.9KAnggota
Terlama
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.