- Beranda
- Kalimantan Barat
[COC Regional : Kebudayaan] Tradisi Makan Besaprah Dalam Budaya Melayu Sambas
...
TS
sukafhoto
[COC Regional : Kebudayaan] Tradisi Makan Besaprah Dalam Budaya Melayu Sambas
Quote:
Masyarakat melayu Sambas memiliki banyak sekali adat dan tradisi menarik yang patut kita
ketahui. Adat dan tradisi tersebut beberapa diantarnya telah ane buatkan thread yang berdasarkan
pengalaman ane sebagai masyarakat melayu Sambas. Sebut saja antar pakatan yang dilakukan
dalam acara pernikahan dan lain sebagainya. Nah budaya yang satu ini juga masih ada kaitannya
dengan antar pakatan dan tentu budaya ini dilakukan dalam pesta pernikahan dan lain-lain.
Budaya besaprah namanya, yang identik sekali dengan masyarakat melayu Sambas. Budaya ini sudah masuk dalam Warisan Budaya Tak Benda Indonesia. Uniknya
budaya besaprah saat ini tidak hanya dilakukan di kabupaten Sambas melainkan juga di beberapa
kota seperti di Singkawang dan Pontianak. Memang masyarakat melayu Sambas banyak juga
yang menyebar di kota Singkawang dan Pontianak.
Budaya Besaprah ini adalah makan dengan duduk bersila menggunakan tangan (bukan
menggunakan sendok). Di dalam besaprah ini satu hidangan yang berisi enam macam lauk pauk
disantap oleh enam orang dengan duduk bersila mengelilingi hidangan tersebut. budaya ini mirip
seperti budaya liwetan namun yang membedakannya adalah di dalam besaprah, masyrakat yang
menikmati makanan harus duduk mengelilingi hidangan, paduan atau saprahan. Dan untuk
duduknya juga ada aturannya. Duduk di dalam besaprah ini dikenal dengan istilah duduk bersila
yaitu bagi kaum laki-laki duduk bersilanya dengan membaringkan kaki kiri dan kanan di atas
lantai lalu kaki kanan berada di atas kaki kiri. Jika dilihat bentuk kaki ini akan membentuk huruf
X. Ilustrasinya bisa agan bayangkan seperti orang yang sedang duduk bertapa. Nah untuk
perempuannya pula duduk bersilanya, kaki kiri dilipatkan dan dibaringkan di atas lantai,
sementara kaki kanan berada di atasnya. Ilustrasinya bisa agan bayangkan seperti duduk pada
tahyat akhir pada shalat.
Di dalam budaya besaprah antara laki-laki dan perempuannya makan secara terpisah. Untuk
kaum laki-laki misalnya yang makan bersama saat itu adalah laki-laki semua yang berasal dari
semua kalangan masyarakat. Artinya di dalam besaprah ini untuk kaum laki-laki ini makan
bersama orang lain bukan anggota keluarganya. Sementara untuk kaum perempuannya, makan
besaprahnya terdiri dari perempuan saja atau dicampur dengan anak laki-laki yang merupakan
anggota keluarganya.
Di dalam besaprah, anak kecil yang usianya 5 tahun ke atas sudah masuk hitungan dalam
paduan. Paduan (saprahan) di sini adalah jumlah orang dan hidangan dalam budaya besaprah.
Bahkan anak yang sudah makan sendiri bisa dihitung sebagai anggota paduan untuk mencukupi
satu paduan yang terdiri dari enam orang tersebut.
Keunikan dari budaya besaprah ini adalah masyarakat yang menunggu giliran dihidangkan
makanan harus sabar mengantri. Jika ingin mendapat giliran di awal maka warga tesebut harus
hadir lebih awal agar mendapat paduan atau hidangan pertama. Jadwal menghidangkan paduan
ini pada sore hari dimulai setelah ashar dan berakhir sebelum shalat magrib. Sementara pada pagi harinya dimulai pukul 8:30 hingga pukul 12 siang atau bisa lebih awal yaitu sekitar pukul 11: 30
tergantung dari kelancaran acara tersebut.
Di dalam budaya besaprah ini terutama berkaitan dengan pernikahan, maka yang didahulukan
untuk menikmati hidangan adalah kaum perempuannya. Sementara kaum lelakinya terutama
untuk para tamu undangan menempati urutan terakhir dan merupakan bagian terakhir dalam
rangka memberikan hidangan kepada masyarakat. Hal itu berbeda jika dalam tradisi tepung
tawar (kelahiran) maupun sedekah nasi (sya’banan) maka kaum lelakinya terlebih dahulu
menyantap hidangan dibandingkan kaum perempuannya.
Keunikan dari budaya besaprah ini adalah masyarakat diperbolehkan bahkan dianjurkan untuk
membawa sisa hidangan atau paduan yang mereka nikmati. Di dalam hidangan tersebut misalnya
ada lauk pauk yang tidak habis atau tidak disantap sama sekali, maka yang bersangkutan
dianjurkan untuk membawa lauk-pauk tersebut pulang. Hal ini berlaku untuk saprahan kaum
perempuan saja loh gan/sis. Jadi jangan heran ketika di dalam budaya saprahan ini, masyarakat
terutama ibu-ibunya akan membawa plastik sebagai wadah untuk membawa lauk-pauk sisa
hidangan yang ia santap. Lalu bagaimana untuk kaum lelakinya pula? Untuk saprahan kaum
lelaki, sisa makanannya yang tidak habis biasanya menjadi bagian pengurus atau petugas acara
tersebut. Sementara tamu laki-laki yang hadir sebagai tamu undangan biasanya diberikan
cenderamata sebagai bekal untuk dibawa pulang.
Budaya besaprah ini semakin lama semakin mengalami perkembangan gan sis. Beberapa tahun
belakangan ini, saprahan kaum perempuan bisa dicampur dengan laki-laki dewasa asalkan masih
anggota keluarga. Sementara untuk saprahan kaum lelaki yang merupakan tamu undangan tetap
sama seperti sebelumnya. Ada lagi budaya saprah yang mulai bergeser gan/sis. Ini berdasarkan
pengamatan di lingkungan ane, ada beberapa masyarakat mulai menerapkan pola baru dalam
tradisi saprahan ini yaitu hanya terdiri kurang dari enam orang bahkan hanya satu orang. Nah
untuk saprahan harusnya terdiri dari enam orang sesuai namanya, namun ada masyarakat yang
justru akan menikmati hidangan ini hanya terdiri dari satu orang. Dan lebih parahnya lagi,
hidangan ini tidak disantap pas acara tersebut, tetapi langsung dimasukan dalam wadah dan
dibawa pulang. Pola seperti ini menjadi perbincangan dan nyinyiran bagi petugas maupun
pengurus acara bahkan masyarakat juga banyak yang menyayangkan adanya pola baru ini dalam
budaya saprahan. Berbagai alasan yang digunakan oleh tipe masyarakat seperti ini untuk
menikmati hidangan sendiri seperti alasan anggota keluarganya sakit dan lain-lain yang
mengharuskan ia membawa pulang hidangan teresbut. Di dalam budaya besaprah, sebenarnya
tidak harus anggota keluarga atau saudara yang menjadi anggota yang menikmati
paduan/hidangan. Orang lain dan tetangga jauh juga bisa gan/sis asal tidak malu atau canggung.
Hal itu biasa juga diterapkan jika dalam satu paduan kelebihan satu atau dua anggota (harusnya
6) maka satu atau dua orang tersebut bisa dititipkan untuk ikut serta makan/menyantap hidangan
bersama warga lainnya yang kekurangan anggota paduannya.
Budaya saprahan tidak hanya dilakukan dalam acara pernikahan, sunatan maupun acara yang
berkaitan dengan jamuan makan saja. Di dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat melayu
Sambas budaya ini juga diterapkan loh gan/sis. Misalnya di dalam kehidupan berkeluarga, ketika
akan makan siang maupun malam makan budaya saprahan ini akan dilakukan setiap harinya.
Banyak nilai yang terkandung di dalam budaya besaprah ini gan/sis seperti nilai
kebersamaannya dan mempererat persaudaraan. Ketika makan besaprah tidak ada istilah jijik untuk makan bersama orang lain.
seperti diketahui bahwa dalam makan besaprah, kita makannya menggunakan tangan bukan
sendok dan garpu. Untuk pengambilan lauk pauk juga menggunakan tangan kecuali untuk kuah
maupun sayur saja yang menggunakan sendok. Nilai lainnya yang ada dalam budaya ini adalah
memupuk kesabaran dan budaya mengantri. Seperti yang telah ane jelaskan di atas, warga yang
akan menikmati hidangan harus sabar menunggu gilirannya dihidangkan makanan. Warga ini
akan menunggu sambil berbincang dengan warga lainnya yang juga menunggu giliran untuk
menikmati hidangan. Di dalam situasi ini akan terlihat dan terdengar suasana riuh dan meriah
dari warga. Ada warga yang sedang menikmati hidangan terlebih dahulu dan ada pula warga
yang sabar menunggu hidangan datang. Semuanya menyatu dalam budaya saprahan ini.
ketahui. Adat dan tradisi tersebut beberapa diantarnya telah ane buatkan thread yang berdasarkan
pengalaman ane sebagai masyarakat melayu Sambas. Sebut saja antar pakatan yang dilakukan
dalam acara pernikahan dan lain sebagainya. Nah budaya yang satu ini juga masih ada kaitannya
dengan antar pakatan dan tentu budaya ini dilakukan dalam pesta pernikahan dan lain-lain.
Budaya besaprah namanya, yang identik sekali dengan masyarakat melayu Sambas. Budaya ini sudah masuk dalam Warisan Budaya Tak Benda Indonesia. Uniknya
budaya besaprah saat ini tidak hanya dilakukan di kabupaten Sambas melainkan juga di beberapa
kota seperti di Singkawang dan Pontianak. Memang masyarakat melayu Sambas banyak juga
yang menyebar di kota Singkawang dan Pontianak.
Saprahan. Sumber foto kemdikbud.go.id
Budaya Besaprah ini adalah makan dengan duduk bersila menggunakan tangan (bukan
menggunakan sendok). Di dalam besaprah ini satu hidangan yang berisi enam macam lauk pauk
disantap oleh enam orang dengan duduk bersila mengelilingi hidangan tersebut. budaya ini mirip
seperti budaya liwetan namun yang membedakannya adalah di dalam besaprah, masyrakat yang
menikmati makanan harus duduk mengelilingi hidangan, paduan atau saprahan. Dan untuk
duduknya juga ada aturannya. Duduk di dalam besaprah ini dikenal dengan istilah duduk bersila
yaitu bagi kaum laki-laki duduk bersilanya dengan membaringkan kaki kiri dan kanan di atas
lantai lalu kaki kanan berada di atas kaki kiri. Jika dilihat bentuk kaki ini akan membentuk huruf
X. Ilustrasinya bisa agan bayangkan seperti orang yang sedang duduk bertapa. Nah untuk
perempuannya pula duduk bersilanya, kaki kiri dilipatkan dan dibaringkan di atas lantai,
sementara kaki kanan berada di atasnya. Ilustrasinya bisa agan bayangkan seperti duduk pada
tahyat akhir pada shalat.
Duduk Bersila kaum perempuan saat makan bersaprah. Sumber foto delikkalbar.com
Di dalam budaya besaprah antara laki-laki dan perempuannya makan secara terpisah. Untuk
kaum laki-laki misalnya yang makan bersama saat itu adalah laki-laki semua yang berasal dari
semua kalangan masyarakat. Artinya di dalam besaprah ini untuk kaum laki-laki ini makan
bersama orang lain bukan anggota keluarganya. Sementara untuk kaum perempuannya, makan
besaprahnya terdiri dari perempuan saja atau dicampur dengan anak laki-laki yang merupakan
anggota keluarganya.
Saprahan Kaum Laki-Laki. Sumber foto antarakalbar
Di dalam besaprah, anak kecil yang usianya 5 tahun ke atas sudah masuk hitungan dalam
paduan. Paduan (saprahan) di sini adalah jumlah orang dan hidangan dalam budaya besaprah.
Bahkan anak yang sudah makan sendiri bisa dihitung sebagai anggota paduan untuk mencukupi
satu paduan yang terdiri dari enam orang tersebut.
Keunikan dari budaya besaprah ini adalah masyarakat yang menunggu giliran dihidangkan
makanan harus sabar mengantri. Jika ingin mendapat giliran di awal maka warga tesebut harus
hadir lebih awal agar mendapat paduan atau hidangan pertama. Jadwal menghidangkan paduan
ini pada sore hari dimulai setelah ashar dan berakhir sebelum shalat magrib. Sementara pada pagi harinya dimulai pukul 8:30 hingga pukul 12 siang atau bisa lebih awal yaitu sekitar pukul 11: 30
tergantung dari kelancaran acara tersebut.
Di dalam budaya besaprah ini terutama berkaitan dengan pernikahan, maka yang didahulukan
untuk menikmati hidangan adalah kaum perempuannya. Sementara kaum lelakinya terutama
untuk para tamu undangan menempati urutan terakhir dan merupakan bagian terakhir dalam
rangka memberikan hidangan kepada masyarakat. Hal itu berbeda jika dalam tradisi tepung
tawar (kelahiran) maupun sedekah nasi (sya’banan) maka kaum lelakinya terlebih dahulu
menyantap hidangan dibandingkan kaum perempuannya.
Keunikan dari budaya besaprah ini adalah masyarakat diperbolehkan bahkan dianjurkan untuk
membawa sisa hidangan atau paduan yang mereka nikmati. Di dalam hidangan tersebut misalnya
ada lauk pauk yang tidak habis atau tidak disantap sama sekali, maka yang bersangkutan
dianjurkan untuk membawa lauk-pauk tersebut pulang. Hal ini berlaku untuk saprahan kaum
perempuan saja loh gan/sis. Jadi jangan heran ketika di dalam budaya saprahan ini, masyarakat
terutama ibu-ibunya akan membawa plastik sebagai wadah untuk membawa lauk-pauk sisa
hidangan yang ia santap. Lalu bagaimana untuk kaum lelakinya pula? Untuk saprahan kaum
lelaki, sisa makanannya yang tidak habis biasanya menjadi bagian pengurus atau petugas acara
tersebut. Sementara tamu laki-laki yang hadir sebagai tamu undangan biasanya diberikan
cenderamata sebagai bekal untuk dibawa pulang.
Budaya besaprah ini semakin lama semakin mengalami perkembangan gan sis. Beberapa tahun
belakangan ini, saprahan kaum perempuan bisa dicampur dengan laki-laki dewasa asalkan masih
anggota keluarga. Sementara untuk saprahan kaum lelaki yang merupakan tamu undangan tetap
sama seperti sebelumnya. Ada lagi budaya saprah yang mulai bergeser gan/sis. Ini berdasarkan
pengamatan di lingkungan ane, ada beberapa masyarakat mulai menerapkan pola baru dalam
tradisi saprahan ini yaitu hanya terdiri kurang dari enam orang bahkan hanya satu orang. Nah
untuk saprahan harusnya terdiri dari enam orang sesuai namanya, namun ada masyarakat yang
justru akan menikmati hidangan ini hanya terdiri dari satu orang. Dan lebih parahnya lagi,
hidangan ini tidak disantap pas acara tersebut, tetapi langsung dimasukan dalam wadah dan
dibawa pulang. Pola seperti ini menjadi perbincangan dan nyinyiran bagi petugas maupun
pengurus acara bahkan masyarakat juga banyak yang menyayangkan adanya pola baru ini dalam
budaya saprahan. Berbagai alasan yang digunakan oleh tipe masyarakat seperti ini untuk
menikmati hidangan sendiri seperti alasan anggota keluarganya sakit dan lain-lain yang
mengharuskan ia membawa pulang hidangan teresbut. Di dalam budaya besaprah, sebenarnya
tidak harus anggota keluarga atau saudara yang menjadi anggota yang menikmati
paduan/hidangan. Orang lain dan tetangga jauh juga bisa gan/sis asal tidak malu atau canggung.
Hal itu biasa juga diterapkan jika dalam satu paduan kelebihan satu atau dua anggota (harusnya
6) maka satu atau dua orang tersebut bisa dititipkan untuk ikut serta makan/menyantap hidangan
bersama warga lainnya yang kekurangan anggota paduannya.
Hidangan atau Paduan dalam budaya makan bersaprah
Budaya saprahan tidak hanya dilakukan dalam acara pernikahan, sunatan maupun acara yang
berkaitan dengan jamuan makan saja. Di dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat melayu
Sambas budaya ini juga diterapkan loh gan/sis. Misalnya di dalam kehidupan berkeluarga, ketika
akan makan siang maupun malam makan budaya saprahan ini akan dilakukan setiap harinya.
Banyak nilai yang terkandung di dalam budaya besaprah ini gan/sis seperti nilai
kebersamaannya dan mempererat persaudaraan. Ketika makan besaprah tidak ada istilah jijik untuk makan bersama orang lain.
seperti diketahui bahwa dalam makan besaprah, kita makannya menggunakan tangan bukan
sendok dan garpu. Untuk pengambilan lauk pauk juga menggunakan tangan kecuali untuk kuah
maupun sayur saja yang menggunakan sendok. Nilai lainnya yang ada dalam budaya ini adalah
memupuk kesabaran dan budaya mengantri. Seperti yang telah ane jelaskan di atas, warga yang
akan menikmati hidangan harus sabar menunggu gilirannya dihidangkan makanan. Warga ini
akan menunggu sambil berbincang dengan warga lainnya yang juga menunggu giliran untuk
menikmati hidangan. Di dalam situasi ini akan terlihat dan terdengar suasana riuh dan meriah
dari warga. Ada warga yang sedang menikmati hidangan terlebih dahulu dan ada pula warga
yang sabar menunggu hidangan datang. Semuanya menyatu dalam budaya saprahan ini.
Diubah oleh sukafhoto 03-03-2020 15:11
lina.wh memberi reputasi
1
3K
Kutip
0
Balasan
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Kalimantan Barat
1.6KThread•1KAnggota
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru