- Beranda
- Supranatural
Kisah Gaib Nyata - Gelang Naga Wasiat Bapak
...
TS
cherlevi
Kisah Gaib Nyata - Gelang Naga Wasiat Bapak
Rumah itu hanya dihuni dua orang, Profesor Pramudya bersama anak semata wayangnya, Dr. Arya yang berprofesi sebagai dokter spesialis internis. Istri Pramudya sendiri, Ny. Anggraini sudah setahun ini meninggal dunia akibat tubuhnya digerogoti kanker servik.
Malam itu, wajah Pramudya tampak lesu, maklum usianya sudah menginjak delapan puluh tiga tahun, kondisi kesehatannya pun mulai rapuh, tubuhnya renta, rambutnya kusut dan mulai sakit-sakitan.
Pramudya sedang berbaring di tempat tidurnya berselimut tebal untuk menahan udara dingin yang menghempas tubuhnya di daerah pegunungan. Rumah tua yang mereka huni memang warisan turun-temurun dari kakek neneknya. Suasana tambah mencekam, sepi, apalagi angin diluar mulai bertiup kencang menerpa ranting dan dedaunan pepohonan besar yang ada di halaman depan.
"Arya, kemarilah, ayah mau memberi wasiat kepadamu," kata Pramudya dengan suara serak, parau dan sesekali terbatuk-batuk, kendati hanya beberapa kata yang diucapkan.
Arya terhenyak, mendengar sapaan ayahnya, sebab saat itu Arya lagi serius membaca buku ilmu bedah organ dalam untuk melengkapi desertasinya dalam penelitiannya yang kini sedang dikerjakan. Dengan serta merta buku itu diletakkan diatas meja, Arya pun melangkah pelan mendekati ayahnya. Langkah ini pertanda dari jawaban atas panggilan lelaki tua yang selama ini merawat, membimbing dan memeliharanya. Pramudya segera meraih telapak tangan kanan Arya untuk digenggamnya erat-erat, seolah enggan untuk dilepas. "Arya, ayah sudah tidak bisa berlama-lama mendampingimu lagi nak," ucapnya, masih dengan suara serak seperti tadi.
"Ayah...," hanya itu suara yang terucap dari mulut Arya. "Begini, ayah mewariskan semua harta benda, termasuk rumah seisinya serta semua buku hasil penelitian ayah sebagai tambahan ilmu pengetahuanmu. Kecuali..." kata-kata Pramudya sempat terhenti sejenak, Arya sempat terpaku, diam, dihantui, angan-angannya yang datang secara tiba-tiba yang tanpa diduga dan tanpa persiapan sama sekali.
"Kecuali gelang ini... ya gelang ini, tolong dikubur bersama jazadku, jika aku sudah mati," ujar Pramudya lagi, tanpa menunggu jawaban dari Arya. Lagi-lagi Arya tidak mampu berkata-kata, dia hanya bisa mengangguk, sambil memeluk tubuh kurus ayahnya erat-erat dan meneteskan air matanya. Sesenggukan! Air mata Arya membasahi wajahnya juga piyama yang dikenakan Pramudya malam itu. Pramudya, terdiam! bahkan ketika Arya melepaskan pelukannya, Pramudya masih terdiam, matanya terpejam, bibirnya terkatup rapat. Yaaa... Pramudya telah terdiam selamanya dengan hembusan nafas terakhirnya yang sangat halus dan pelan, sehingga hembusan yang keluar dari hidung maupun mulutnya tak mampu dirasakan Arya.
Arya mendesah, menarik nafas dalam-dalam dan dengan pelan kembali menghembuskannya. Dia tanpa mampu menjerit histeris, layaknya orang yang ditinggal mati keluarganya. Selain itu, toh percuma saja bila Arya menjerit disertai tangisan keras, karena letak rumah tetangganya berjauhan, maklum mereka tinggal di perdukuhan terpencil yang rumah satu dengan lain berjarak jauh, meski tidak jauh dari tempat wisata pegunungan.
Dengan tenang dan pelan-pelan Arya kembali memastikan kalau ayah yang dicintainya ini benar-benar sudah meninggal dunia. Dia menekan urat nadi ayahnya, sambil menyedekapkan kedua tangan ayahnya ke dadanya.
Di sela-sela kedukaan itu, Arya sempat terhenyak ketika melihat gelang yang melingkar di pergelangan tangan kanan ayahnya. Gelang itu tak pernah sekalipun dilihatnya selama ini. Gelang yang melingkar di tangan kanan ayahnya itu terbuat dari tembaga berlapis emas, sehingga warnanya kuning kemerah-merahan, berhiaskan ornamen ular naga yang melingkar sepanjang pergelangan tangan. Sambil terus memperhatikan gelang di tangan Pramudya, pikiran dan jiwa Arya mulai terusik, angan-angannya melayang, dibayangi berbagai pertanyaan yang tak bisa dijawabnya sendiri. Hatinya terbakar, panas, nafsunya kesetanan, jiwanya kerasukan roh jahat...
Diluar sana, asu ajag terdengar menggonggong, mengaum dengan suara panjang bertalu-talu, memecah kepekatan malam. Sementara angin bertiup kencang seperti lesus, sesekali menerpa gordin-gordin yang terpasang di jendela, pintu depan pun terbuka secara tiba-tiba tertepa hembusan angin malam. Udara dingin seolah terabaikan, ketika Arya sibuk mempersiapkan berbagai peralatan operasi dan obat bius. Serta merta dengan kelincahan jemarinya, Arya mengerat pergelangan tangan kanan ayahnya dengan pisau operasi sampai benar-benar putus dari lengan kanannya. Dengan cekatan pula, Arya lantas menyambung dan merekatkan kembali telapak dengan pergelangan tangan Pramudya lewat jahitan dan alat kedokteran yang selama ini dipelajarinya.
Setelah gelang berornamen naga itu benar-benar lepas, maka Arya segera menyimpannya di laci meja kerjanya. Selanjutnya dengan langkah hati-hati, ketika semuanya dirasa rapi, maka jazad Pramudya kini diselimuti dengan kain lurik bekas milik almarhum ibunya, begitu pula semua alat kedokterannya sudah tersimpan di almari pribadinya dan terkunci rapat. Arya bergegas, mendekati meja dimana diletakkan telepon rumah dan segera menelpon Ketua RT perdukuhan setempat untuk mengabarkan jika ayahnya baru saja meninggal.
Tidak menunggu berlama-lama, puluhan warga Desa Galuh dengan cekatan segera berkerumun di rumah tua itu. Mereka dengan cekatan membantu segala sesuatunya, termasuk memandikan jazad Pramudya. Memang seolah tidak ada satu orang peziarah yang menaruh curiga atas pergelangan tangan Pramudya yang sebenarnya sambungan. Siang itu juga, jazad Pramudya dikuburkan di makam keluarga yang tidak jauh dari rumah tua itu. Semua berjalan sesuai dengan keinginan dan berlangsung aman. Arya juga nampak masih kelihatan berduka yang amat dalam, ketika diperhatikan sejumlah tetangganya.
Malam harinya, dirumah tua itu kembali ramai dikerumuni puluhan warga untuk menggelar ritual sembayangan, mengirim kalimat-kalimat suci serta doa yang ditujukan kepada roh Pramudya sebagai tradisi leluhur yang sudah dilakukan secara turun temurun bagi warga lereng gunung itu, jika ada warganya yang meninggal dunia. Dimana mereka meyakini roh orang yang telah meninggal akan menghadap Sang Khalik. Alunan doa yang dilantunkan secara bersamaan, menambah suasana duka mendalam yang sangat terasa di jiwa orang-orang yang melantunkan dengan sepenuh hati.
Namun prosesi ritual doa bersama itu terasa tidak berlangsung lama. Karena kini, Arya kembali merasa kesepian, sendirian dirumahnya, puluhan tetangganya sudah pulang dengan membawa berkat yang disajikan.
Tengah malam, Arya hanya duduk termangu di pinggir tempat tidur di kamar pribadinya, memandangi semua sudut ruangan. Angin malam kembali berhembus, pelan namun sangat terasa di kulit Arya. Lelaki ini mencoba bertahan untuk mengusir rasa sepi dan ketakutannya. Namun, tiba-tiba saja bulu kuduknya terasa berdiri dan tengkuknya merinding.
Dibarengi dengan kencangnya hembusan angin pegunungan diluar rumah tua itu, hingga menerpa gordin-gordin jendela kamarnya, seolah angin ini mampu menembus kaca dan masuk dari instalasi kamar itu. Suara lolongan Asu Ajag kembali terdengar mengaum keras bertalu-talu, menambah jiwa Arya bergidik, benaknya benar-benar ketakutan, pikirannya kosong. Matanya terbelalak memerah, ketika tanpa diduga di sela-sela laci meja kerjanya keluar asap hitam pekat yang semakin lama semakin menebal menghampirinya. Asu Ajag yang mengaum diluar sana semakin terdengar menyayat-nyayat benaknya. Arya hanya mampu terpaku, tak bergeming sejengkal pun menyaksikan kejadian gaib yang tiba-tiba muncul itu.
Asap hitam yang menebal itu pun, sejenak berikutnya berubah bentuk menjadi naga bersisik hitam, berkepala raksasa, berambut gimbal. Kedua kaki depan naga misterius yang berjari runcing-runcing itu seolah mengancam menerkam jiwa dan dan raga Arya. Pria yang baru saja nekat memutilasi tangan ayah kandungnya itu tambah tak mampu bergerak, ketika badan ular naga itu melilit tubuhnya. Kendati dalam ancaman itu, Arya hanya mampu sejenak berandai-andai, tentang naga hitam siluman yang dihadapinya ini jelmaan dari gelang yang diwasiatkan ayahnya.
Angan-angan itu hilang ketika lilitan ular naga itu semakin kencang dan rapat menghimpit tubuh Arya, apalagi kedua kaki naga yang jari jemarinya berkuku panjang itu mencakar dan mencabik-cabik wajah Arya yang bersimbah darah segar. Nafas Arya tersendat-sendat, maunya menjerit sekencang-kencangnya, tangan dan kakinya berusaha menendang dan menghantam, tetapi ada daya kedua anggota badannya itu tak mampu digerakkan. Tubuhnya sudah terlanjur remuk. Mata, hidung, dan mulutnya mengucur darah segar... dan akhirnya Arya meninggal. Nafasnya berhenti berhembus, jantungnya tak berdetak lagi, tubuhnya terkapar dilantai bersimbah darah. Bersamaan dengan peristiwa tragis itu, angin pun tidak lagi berhembus dan suara lolongan Asu Ajag juga terdiam. Arya tewas malam itu, setelah Pramudya siang tadi dikuburkan.
Dan sekarang, gelang wasiat berkhodam Naga Hitam itu telah saya kembalikan ke alamnya. Gelang wasiat itu adalah hasil dari penarikan tahun 2003.
Nama tempat dan tokoh saya ganti, tapi ini adalah kisah nyata.
Wassalam.
Malam itu, wajah Pramudya tampak lesu, maklum usianya sudah menginjak delapan puluh tiga tahun, kondisi kesehatannya pun mulai rapuh, tubuhnya renta, rambutnya kusut dan mulai sakit-sakitan.
Pramudya sedang berbaring di tempat tidurnya berselimut tebal untuk menahan udara dingin yang menghempas tubuhnya di daerah pegunungan. Rumah tua yang mereka huni memang warisan turun-temurun dari kakek neneknya. Suasana tambah mencekam, sepi, apalagi angin diluar mulai bertiup kencang menerpa ranting dan dedaunan pepohonan besar yang ada di halaman depan.
"Arya, kemarilah, ayah mau memberi wasiat kepadamu," kata Pramudya dengan suara serak, parau dan sesekali terbatuk-batuk, kendati hanya beberapa kata yang diucapkan.
Arya terhenyak, mendengar sapaan ayahnya, sebab saat itu Arya lagi serius membaca buku ilmu bedah organ dalam untuk melengkapi desertasinya dalam penelitiannya yang kini sedang dikerjakan. Dengan serta merta buku itu diletakkan diatas meja, Arya pun melangkah pelan mendekati ayahnya. Langkah ini pertanda dari jawaban atas panggilan lelaki tua yang selama ini merawat, membimbing dan memeliharanya. Pramudya segera meraih telapak tangan kanan Arya untuk digenggamnya erat-erat, seolah enggan untuk dilepas. "Arya, ayah sudah tidak bisa berlama-lama mendampingimu lagi nak," ucapnya, masih dengan suara serak seperti tadi.
"Ayah...," hanya itu suara yang terucap dari mulut Arya. "Begini, ayah mewariskan semua harta benda, termasuk rumah seisinya serta semua buku hasil penelitian ayah sebagai tambahan ilmu pengetahuanmu. Kecuali..." kata-kata Pramudya sempat terhenti sejenak, Arya sempat terpaku, diam, dihantui, angan-angannya yang datang secara tiba-tiba yang tanpa diduga dan tanpa persiapan sama sekali.
"Kecuali gelang ini... ya gelang ini, tolong dikubur bersama jazadku, jika aku sudah mati," ujar Pramudya lagi, tanpa menunggu jawaban dari Arya. Lagi-lagi Arya tidak mampu berkata-kata, dia hanya bisa mengangguk, sambil memeluk tubuh kurus ayahnya erat-erat dan meneteskan air matanya. Sesenggukan! Air mata Arya membasahi wajahnya juga piyama yang dikenakan Pramudya malam itu. Pramudya, terdiam! bahkan ketika Arya melepaskan pelukannya, Pramudya masih terdiam, matanya terpejam, bibirnya terkatup rapat. Yaaa... Pramudya telah terdiam selamanya dengan hembusan nafas terakhirnya yang sangat halus dan pelan, sehingga hembusan yang keluar dari hidung maupun mulutnya tak mampu dirasakan Arya.
Arya mendesah, menarik nafas dalam-dalam dan dengan pelan kembali menghembuskannya. Dia tanpa mampu menjerit histeris, layaknya orang yang ditinggal mati keluarganya. Selain itu, toh percuma saja bila Arya menjerit disertai tangisan keras, karena letak rumah tetangganya berjauhan, maklum mereka tinggal di perdukuhan terpencil yang rumah satu dengan lain berjarak jauh, meski tidak jauh dari tempat wisata pegunungan.
Dengan tenang dan pelan-pelan Arya kembali memastikan kalau ayah yang dicintainya ini benar-benar sudah meninggal dunia. Dia menekan urat nadi ayahnya, sambil menyedekapkan kedua tangan ayahnya ke dadanya.
Di sela-sela kedukaan itu, Arya sempat terhenyak ketika melihat gelang yang melingkar di pergelangan tangan kanan ayahnya. Gelang itu tak pernah sekalipun dilihatnya selama ini. Gelang yang melingkar di tangan kanan ayahnya itu terbuat dari tembaga berlapis emas, sehingga warnanya kuning kemerah-merahan, berhiaskan ornamen ular naga yang melingkar sepanjang pergelangan tangan. Sambil terus memperhatikan gelang di tangan Pramudya, pikiran dan jiwa Arya mulai terusik, angan-angannya melayang, dibayangi berbagai pertanyaan yang tak bisa dijawabnya sendiri. Hatinya terbakar, panas, nafsunya kesetanan, jiwanya kerasukan roh jahat...
Diluar sana, asu ajag terdengar menggonggong, mengaum dengan suara panjang bertalu-talu, memecah kepekatan malam. Sementara angin bertiup kencang seperti lesus, sesekali menerpa gordin-gordin yang terpasang di jendela, pintu depan pun terbuka secara tiba-tiba tertepa hembusan angin malam. Udara dingin seolah terabaikan, ketika Arya sibuk mempersiapkan berbagai peralatan operasi dan obat bius. Serta merta dengan kelincahan jemarinya, Arya mengerat pergelangan tangan kanan ayahnya dengan pisau operasi sampai benar-benar putus dari lengan kanannya. Dengan cekatan pula, Arya lantas menyambung dan merekatkan kembali telapak dengan pergelangan tangan Pramudya lewat jahitan dan alat kedokteran yang selama ini dipelajarinya.
Setelah gelang berornamen naga itu benar-benar lepas, maka Arya segera menyimpannya di laci meja kerjanya. Selanjutnya dengan langkah hati-hati, ketika semuanya dirasa rapi, maka jazad Pramudya kini diselimuti dengan kain lurik bekas milik almarhum ibunya, begitu pula semua alat kedokterannya sudah tersimpan di almari pribadinya dan terkunci rapat. Arya bergegas, mendekati meja dimana diletakkan telepon rumah dan segera menelpon Ketua RT perdukuhan setempat untuk mengabarkan jika ayahnya baru saja meninggal.
Tidak menunggu berlama-lama, puluhan warga Desa Galuh dengan cekatan segera berkerumun di rumah tua itu. Mereka dengan cekatan membantu segala sesuatunya, termasuk memandikan jazad Pramudya. Memang seolah tidak ada satu orang peziarah yang menaruh curiga atas pergelangan tangan Pramudya yang sebenarnya sambungan. Siang itu juga, jazad Pramudya dikuburkan di makam keluarga yang tidak jauh dari rumah tua itu. Semua berjalan sesuai dengan keinginan dan berlangsung aman. Arya juga nampak masih kelihatan berduka yang amat dalam, ketika diperhatikan sejumlah tetangganya.
Malam harinya, dirumah tua itu kembali ramai dikerumuni puluhan warga untuk menggelar ritual sembayangan, mengirim kalimat-kalimat suci serta doa yang ditujukan kepada roh Pramudya sebagai tradisi leluhur yang sudah dilakukan secara turun temurun bagi warga lereng gunung itu, jika ada warganya yang meninggal dunia. Dimana mereka meyakini roh orang yang telah meninggal akan menghadap Sang Khalik. Alunan doa yang dilantunkan secara bersamaan, menambah suasana duka mendalam yang sangat terasa di jiwa orang-orang yang melantunkan dengan sepenuh hati.
Namun prosesi ritual doa bersama itu terasa tidak berlangsung lama. Karena kini, Arya kembali merasa kesepian, sendirian dirumahnya, puluhan tetangganya sudah pulang dengan membawa berkat yang disajikan.
Tengah malam, Arya hanya duduk termangu di pinggir tempat tidur di kamar pribadinya, memandangi semua sudut ruangan. Angin malam kembali berhembus, pelan namun sangat terasa di kulit Arya. Lelaki ini mencoba bertahan untuk mengusir rasa sepi dan ketakutannya. Namun, tiba-tiba saja bulu kuduknya terasa berdiri dan tengkuknya merinding.
Dibarengi dengan kencangnya hembusan angin pegunungan diluar rumah tua itu, hingga menerpa gordin-gordin jendela kamarnya, seolah angin ini mampu menembus kaca dan masuk dari instalasi kamar itu. Suara lolongan Asu Ajag kembali terdengar mengaum keras bertalu-talu, menambah jiwa Arya bergidik, benaknya benar-benar ketakutan, pikirannya kosong. Matanya terbelalak memerah, ketika tanpa diduga di sela-sela laci meja kerjanya keluar asap hitam pekat yang semakin lama semakin menebal menghampirinya. Asu Ajag yang mengaum diluar sana semakin terdengar menyayat-nyayat benaknya. Arya hanya mampu terpaku, tak bergeming sejengkal pun menyaksikan kejadian gaib yang tiba-tiba muncul itu.
Asap hitam yang menebal itu pun, sejenak berikutnya berubah bentuk menjadi naga bersisik hitam, berkepala raksasa, berambut gimbal. Kedua kaki depan naga misterius yang berjari runcing-runcing itu seolah mengancam menerkam jiwa dan dan raga Arya. Pria yang baru saja nekat memutilasi tangan ayah kandungnya itu tambah tak mampu bergerak, ketika badan ular naga itu melilit tubuhnya. Kendati dalam ancaman itu, Arya hanya mampu sejenak berandai-andai, tentang naga hitam siluman yang dihadapinya ini jelmaan dari gelang yang diwasiatkan ayahnya.
Angan-angan itu hilang ketika lilitan ular naga itu semakin kencang dan rapat menghimpit tubuh Arya, apalagi kedua kaki naga yang jari jemarinya berkuku panjang itu mencakar dan mencabik-cabik wajah Arya yang bersimbah darah segar. Nafas Arya tersendat-sendat, maunya menjerit sekencang-kencangnya, tangan dan kakinya berusaha menendang dan menghantam, tetapi ada daya kedua anggota badannya itu tak mampu digerakkan. Tubuhnya sudah terlanjur remuk. Mata, hidung, dan mulutnya mengucur darah segar... dan akhirnya Arya meninggal. Nafasnya berhenti berhembus, jantungnya tak berdetak lagi, tubuhnya terkapar dilantai bersimbah darah. Bersamaan dengan peristiwa tragis itu, angin pun tidak lagi berhembus dan suara lolongan Asu Ajag juga terdiam. Arya tewas malam itu, setelah Pramudya siang tadi dikuburkan.
Dan sekarang, gelang wasiat berkhodam Naga Hitam itu telah saya kembalikan ke alamnya. Gelang wasiat itu adalah hasil dari penarikan tahun 2003.
Nama tempat dan tokoh saya ganti, tapi ini adalah kisah nyata.
Wassalam.
Diubah oleh cherlevi 28-02-2020 07:32
lmcctv dan 5 lainnya memberi reputasi
6
1K
3
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Supranatural
15.7KThread•11.7KAnggota
Urutkan
Terlama
Komentar yang asik ya