Visiliya123Avatar border
TS
Visiliya123
Surat Izin untuk Hidup
Hai, minta krisarnya, ya, buat cerita ini.

Happy reading

#SIUH_1

Gemerlap lampu warna-warni yang terlihat begitu indah di sepanjang jalan, kini memenuhi penglihatan. Suara klakson kendaraan kecil maupun besar saling bersahut-sahutan, layaknya tim paduan suara dengan jenis suara berbeda. Dari yang alto hingga sopran, dari bass hingga tenor, mengalun indah bagai sebuah intro.

Aku menghela napas panjang, bau mesin kendaraan kini menusuk indra penciuman, tepat ketika jendela kaca di sampingku terbuka. Aku menutup kedua mata merasakan embusan angin malam yang menerpa wajah, yang menyembul dari balik jendela kaca kendaraan besi yang kutumpangi.

"Bunga, jangan menyembulkan kepalamu seperti itu! Bahaya, di luar banyak kendaraan yang melintas," ucap seorang wanita paruh baya yang duduk di kursi depanku. Aku menghela napas, menarik kembali kepalaku.

"Kenapa kacanya gak ditutup, dingin lho?"

"Bunga sengaja gak nutup kacanya, Bunga ingin melihat malam di Kota ini dan merasakan embusan anginnya ... untuk terakhir kali," ucapku sendu, kulihat mama hanya terdiam menatapku. Mama tersenyum tipis, tapi matanya mengisyaratkan kesedihan dan aku tidak buta untuk tidak melihatnya. Tanpa sepatah kata pun, mama mengalihkan pandangannya kembali menatap depan.

Aku kembali menghela napas, kulirik pria paruh baya yang tak lain adalah papaku yang duduk di samping mama, tepatnya di kursi kemudi. Papa hanya diam menatap jalanan, tapi sesekali papa melirik ke arahku dengan pandangan sama seperti yang mama berikan. Aku merasa sangat bersalah, karena ucapanku kini kedua orang tuaku terdiam dan bersedih. Ingin sekali kukatakan bahwa aku tidak menyalahkan mereka atas semua ini, aku... aku hanya ingin membuat kenangan untuk terakhir kalinya di kota kelahiranku. Apa aku salah dengan melakukan semua itu?

Hening, tak ada lagi suara yang terdengar. Baik dari mulutku maupun kedua orang tuaku. Kami sama-sama terdiam, hanya suara mesin kendaraan yang terdengar lebih jelas di keheningan malam, ketika mobil memasuki kawasan desa yang terletak di pinggiran kota.

Mobil butut milik papa terus melaju membelah jalanan. Angin malam kini semakin bertiup kencang, hingga mampu menusuk tulang. Kututup kembali kaca mobil di samping, menghalau aliran angin masuk ke dalam kendaraan beroda empat ini.

Mobil yang kutumpangi berhenti, tepat di depan sebuah rumah sederhana yang terlihat kecil dibandingkan rumahku yang sebelumnya. Papa dan mama turun terlebih dahulu, tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Apa aku membuat kesalahan begitu besar hingga mereka enggan berbicara denganku?

Aku menghela napas, kulepas sabuk pengaman yang melilit di tubuh. Membuka pintu, dan melangkah menuju rumah, meninggalkan kedua orang tuaku yang sibuk membongkar bagasi.

Rumah kecil dengan cat biru muda terlihat jelas, diterangi lampu putih yang menggantung di atap halaman depan. Beberapa cat pada tembok tersebut mengelupas, atap yang berupa genting kini sudah terlihat usang dimakan usia.

Lampu yang awalnya menyala kini berkedip-kedip tepat ketika papa dan mama mendekat ke arahku. Entah berapa kali lampu itu berkedip, hingga akhirnya lampu itu padam menyisakan kegelapan di malam sunyi.

"Tunggu sebentar, Papa akan perbaiki lampunya!"

"Besok saja, Pa! Ini sudah larut. Lebih baik kita masuk ke dalam sekarang!" timpali mama, aku hanya diam mendengarkan percakapan mereka.

Kudongakkan kepala menatap langit malam. Bulan purnama bersinar terang, dikelilingi ribuan bintang yang berkelap-kelip. Bak sebuah panggung sandiwara, dengan bulan sebagai ratunya dan bintang sebagai rakyatnya. Begitu indah, bahkan jauh lebih indah dari pemandangan lampu tengah malam di pusat kota. Seulas senyum kini terbit di wajah, tapi senyum itu luntur ketika diriku kembali teringat dengan kota kelahiran.

"Bunga, ayo masuk!" ajak mama. Aku hanya mengangguk dan melangkah mengikuti mama masuk.

Empat buah kursi rotan dan satu buah meja kini terlihat ketika aku pertama kali masuk. Tak ada yang lain lagi selain itu, ruangan kecil ini terlihat bersih begitu pula perabotan rumahnya. Mungkin, pemiliknya sebelumnya rajin membersihkan rumah ini dan menyingkirkan perabotan lamanya.

"Bunga, kamar kamu di sana." Tunjuk mama pada sebuah ruangan yang terletak di belakang jejeran kursi yang rapi. Aku menggangguk kemudian melangkah menuju tempat itu.

Decitan pintu terdengar ketika tanganku mendorong papan bercat coklat. Sebuah ranjang kecil kini tertangkap netraku, kuedarkan pandanganku ke segala arah. Sebuah lemari dari kayu dengan ukuran sedang, berdiri tegap di pojok ruangan.

Aku melangkah menuju ranjang dengan sprei putih, kuhempaskan tubuhku di atasnya. Ranjang ini tidak seempuk ranjangku yang dulu, ukurannya pun jauh lebih kecil. Aku menghela napas, sepertinya aku harus belajar menerima semua ini. Belajar hidup sederhana tanpa gelimang harta. Mungkin, akan sedikit sulit karena dari kecil hidupku bergelimang harta. Tapi mau tidak mau aku harus memulai hidup sederhana mulai sekarang.

Kupejamkan kedua mata, tapi rasa kantuk tak kunjung menghampiri. Aku bangkit dari tidur, membuka koper milikku yang telah dibawa papa masuk. Aku mengeluarkan semua barang dan menggelarnya di atas ranjang. Satu persatu barang tersebut kususun di atas meja. Tanganku kini beralih pada pakaian, kubuka lemari kayu di pojokkan. Satu persatu baju kususun di lemari.

Tak sengaja netraku menangkap sebuah peti kecil bercat coklat di dalam lemari bagian paling bawah. Kuambil peti itu dan membawanya ke dalam pangkuan, aku duduk di atas ranjang, mata menelusuri setiap bagian peti itu.

Peti terkunci dengan gembok kecil yang menampilkan angka-angka. Sepertinya gembok itu hanya bisa dibuka dengan pin. Aku berpikir keras mencoba membuka gembok itu, beberapa susunan angka yang terlintas di otakku kumasukkan begitu saja, berharap angka yang kupikirkan benar.

Sudah berapa banyak susunan angka yang kucoba, tapi hasilnya nihil, gembok itu masih saja terkunci dengan sempurna. Dengan iseng aku memasukkan tanggal dan bulan lahirku, ajaib gembok itu terbuka.

Beberapa foto kini memenuhi peti, kuambil salah satu. Aku tersenyum ketika melihat foto setengah badan seorang gadis dengan rambut tergerai tengah tersenyum manis.

"Cantik," gumamku, tanganku beralih pada foto yang lainnya. Seorang gadis kecil yang berdiri di tengah-tengah pasangan tua, tengah tersenyum sambil menggenggam tangan keduanya. Lagi-lagi seulas senyum tercetak di wajahku. Ah, aku jadi rindu dengan kakek dan nenek.

Keningku mengernyit ketika melihat sebuah buku yang terlihat usang di bawah tumpukan foto. Kuambil buku itu, "Surat (Izin) untuk Hidup" itulah kata yang tertulis di sampul buku dengan warna yang sudah memudar.

Kubuka buku itu, sebuah amplop berwarna kuning tertempel indah di halaman ke dua. Tunggu, sepertinya ada sesuatu di amplop itu. Sebuah kertas yang terlipat rapi di dalam amplop kini mencuri perhatianku.

Jantungku berdetak hebat, dadaku sesak, air mata kini lolos begitu saja dari pelupuk mataku. Semuanya telah terjawab sudah, setelah 13 tahun lamanya aku hidup tanpa kasih sayang kedua orang tuaku. Setiap hari aku bertanya-tanya mengapa kedua orang tuaku tak pernah menjengukku walau hanya sekali, padahal aku sangat tau mereka masih hidup.

Kini pertanyaan itu terjawab sudah, tepat di hari ulang tahunku yang ketiga belas. Hadiah terindah, tapi juga terburuk dalam hidupku. Tepat hari itu aku mengetahui bahwa aku tak pernah diinginkan oleh kedua orang tuaku, bahkan saat aku masih di dalam kandungan -

"Semua ini salah, aku belum siap memiliki anak," ucap seorang pria mengusap rambutnya gusar.

"Kau pikir aku siap? Bahkan dalam mimpi, aku tak pernah ingin mengandung anakmu. Jika bukan karena orang tuaku, aku tidak akan mau menikah denganmu," balas seorang wanita.

"Diam! Kau pikir dirimu saja yang terpaksa? Aku pun sama terpaksanya. "

"Lalu apa yang harus kita kakukan, apa kutitipkan saja bayi ini ke panti asuhan setelah lahir?" Pria itu terdiam cukup lama.

"Gugurkan janin itu!" perintahnya.

"Apa kau gila? Aku tidak mau menjadi pembunuh. "

"Apa kau punya cara lain? Kau pikir, pacarmu itu akan sudi menunggumu sampai melahirkan?" Wanita itu terdiam, pikirannya kini berkecamuk mencoba mencari jalan keluar lain.

"Baiklah, akan kugugurkan janin ini."



Note : Cerita ini fiksi, tapi sebagian kejadian memang pernah terjadi di dunia nyata. Cerita ini sedang on going di WP, tapi juga akan dipublish di sini. Supaya banyak yang tahu, hehe. Salam 🙏
Polling
0 suara
Apakah openingnya menarik?
Gimi96Avatar border
NadarNadzAvatar border
nona212Avatar border
nona212 dan 19 lainnya memberi reputasi
20
2.1K
10
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
icon
31.5KThread41.5KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.