- Beranda
- The Lounge
Negara Beragama Tapi Tak Ber-Tuhan.
...
TS
lonelylontong
Negara Beragama Tapi Tak Ber-Tuhan.
Alkisah di suatu masa, berdirilah sebuah negara yang pendirian-nya didasarkan pada keyakinan akan Tuhan Yang Maha Esa. Para pendirinya menaruh keimanan pada Sang Maha Kuasa di tempat yang tertinggi, menjadi asas pembuka yang memimpin pada dasar-dasar berikutnya.
Berawal pada Yang Maha Esa, melihat pada sifatnya yang Maha Rahim dan menuntun pada rasa kemanusiaan, terus berproses sampai pada asas yang terakhir yang melihat pada sifat-Nya Yang Maha Karim. Semuanya berawal dan bermuara ter-inspirasi dari Yang Maha Esa.
Tapi itu hanya secuil kisah, sebuah kata dalam untaian panjang kalimat sejarah yang menceritakan kelahiran negara itu.
Kalimat-kalimat yang terkemudian, yang teruntai membentuk paragraf-paragraf dan bab-bab sejarah bangsa itu, semakin lama semakin jauh dari pancaran kasih dan kemurahan-Nya.
Tercantum di dalam penggalan kisahnya, pembantaian besar-besaran, yang sebagian dari maling-maling dan pembunuh-pembunuh yang mengail ikan di air yang keruh, hingga sekarang masih menikmati hasil dari pembantaian yang mereka lakukan di masa lalu. Yang sejarahnya selalu diselimuti dalam gelap, karena lukanya masih terlalu perih untuk diungkap. Sementara banyak korban-korban yang tak berdosa, di alamnya masih menyampaikan keluh kesah, menyampaikan tuntutan keadilan pada Yang Maha Esa.
Dan entah dari mana terdengar jawaban, "Bersabarlah..."
Tersebar pula dalam berbagai bab dari kisah negara itu, perebutan kekuasaan, pencurian harta rakyat, pembodohan, politik adu domba, rasisme yang dengan sengaja dipelihara, dan berbagai kelicikan dilakukan oleh kaum pemimpin-nya.
Rakyat pun ikut jadi pion-pion di atas papan catur panggung kekuasaan, dikorbankan dan dibenturkan. Mereka yang tak hanyut dalam permainan, hanya bisa menonton ulah mereka, tapi tak berani menuntut karena mereka tak punya kuasa, karena sejarah pun mencatat, mereka-mereka yang berani bersuara sering berakhir dalam kegelapan. Hanya dalam doa mereka menyampaikan keluh kesah mereka.
Dan entah dari mana terdengar jawaban , "Bersabarlah..."
Lalu bagaimana dengan kaum ulama-nya? Para pandhita dan guru?
Mereka justru ribut dengan aksesori dan atribut beragama, ribut dengan cara berpakaian, ribut dengan masalah bangunan, ribut dengan masalah nama dan bacaan. Umat mereka cekoki dengan kebencian, dengan ketakutan. Tuhan Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang dan Maha Pemurah, mereka ceritakan seakan-akan menjadi sosok yang mudah tersinggung oleh hal-hal yang kecil sekalipun.
Mereka bahkan melebihi Tuhan sendiri, ketika Tuhan mengingatkan tentang sesuatu, mereka terjemahkan sebagai sebuah larangan. Sesuatu yang disarankan oleh Tuhan, mereka jadikan sebuah perintah dan keharusan.
Mereka untai hukum-hukum dan peraturan, demi mencari celah di antaranya, demi kepuasan nafsu mereka sendiri. Di saat yang sama mereka taruh batu-batu beban di atas pundak umat, agar umat menjadi keledai beban tunggangan mereka.
Sementara para pemimpin umat yang masih waras dan berusaha mengingatkan, justru mereka fitnah dan mereka jauhkan dari umat. Dalam sepi dan kelamnya malam, mereka ini pun berdoa, memohonkan ampunan dan pertolongan pada Yang Maha Menerangi.
Dan entah dari mana terdengar jawaban , "Bersabarlah..."
------
Lalu entah suara siapa itu yang terdengar bertanya, "Sampai kapan ya Tuhan kami harus bersabar?"
Dan terdengar pula jawaban, "Sampai kau tak hanya berdoa, tapi menjalankan doamu dalam setiap gerak hidupmu."
"Sampai kau berhenti menunjuk-nunjuk kesalahan dan kekurangan orang lain, dan mulai menyadari kekuranganmu sendiri."
"Sampai kau berhenti melemparkan tanggung jawab pada orang lain, dan mulai memikul tanggung jawabmu sendiri. Mengakui rahmat, talenta, kemampuan dan kekuasaan yang dilimpahkan atasmu, untuk membuat keadaan dirimu jadi lebih baik, membuat keadaan di sekitarmu jadi lebih baik."
"Sampai kau berhenti hanya menyoroti masalah saja, dan mulai berpikir bagaimana memecahkan masalah itu."
"Karena bukankah engkau sekalian diangkat untuk menjadi khalifah di atas bumi ini?"
"Jadi janganlah hidup seakan-skan sebagai budak, budak atas nafsumu, budak atas keadaan di sekitarmu. Hidup seakan-akan seperti ikan mati yang terombang-ambing mengikuti arus sungai."
"Terima rahmatmu itu, terima tanggung jawabmu itu, panggul itu dan tentukan jalan hidupmu dan jalan hidup bangsamu."
Berawal pada Yang Maha Esa, melihat pada sifatnya yang Maha Rahim dan menuntun pada rasa kemanusiaan, terus berproses sampai pada asas yang terakhir yang melihat pada sifat-Nya Yang Maha Karim. Semuanya berawal dan bermuara ter-inspirasi dari Yang Maha Esa.
Tapi itu hanya secuil kisah, sebuah kata dalam untaian panjang kalimat sejarah yang menceritakan kelahiran negara itu.
Kalimat-kalimat yang terkemudian, yang teruntai membentuk paragraf-paragraf dan bab-bab sejarah bangsa itu, semakin lama semakin jauh dari pancaran kasih dan kemurahan-Nya.
Tercantum di dalam penggalan kisahnya, pembantaian besar-besaran, yang sebagian dari maling-maling dan pembunuh-pembunuh yang mengail ikan di air yang keruh, hingga sekarang masih menikmati hasil dari pembantaian yang mereka lakukan di masa lalu. Yang sejarahnya selalu diselimuti dalam gelap, karena lukanya masih terlalu perih untuk diungkap. Sementara banyak korban-korban yang tak berdosa, di alamnya masih menyampaikan keluh kesah, menyampaikan tuntutan keadilan pada Yang Maha Esa.
Dan entah dari mana terdengar jawaban, "Bersabarlah..."
Tersebar pula dalam berbagai bab dari kisah negara itu, perebutan kekuasaan, pencurian harta rakyat, pembodohan, politik adu domba, rasisme yang dengan sengaja dipelihara, dan berbagai kelicikan dilakukan oleh kaum pemimpin-nya.
Rakyat pun ikut jadi pion-pion di atas papan catur panggung kekuasaan, dikorbankan dan dibenturkan. Mereka yang tak hanyut dalam permainan, hanya bisa menonton ulah mereka, tapi tak berani menuntut karena mereka tak punya kuasa, karena sejarah pun mencatat, mereka-mereka yang berani bersuara sering berakhir dalam kegelapan. Hanya dalam doa mereka menyampaikan keluh kesah mereka.
Dan entah dari mana terdengar jawaban , "Bersabarlah..."
Lalu bagaimana dengan kaum ulama-nya? Para pandhita dan guru?
Mereka justru ribut dengan aksesori dan atribut beragama, ribut dengan cara berpakaian, ribut dengan masalah bangunan, ribut dengan masalah nama dan bacaan. Umat mereka cekoki dengan kebencian, dengan ketakutan. Tuhan Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang dan Maha Pemurah, mereka ceritakan seakan-akan menjadi sosok yang mudah tersinggung oleh hal-hal yang kecil sekalipun.
Mereka bahkan melebihi Tuhan sendiri, ketika Tuhan mengingatkan tentang sesuatu, mereka terjemahkan sebagai sebuah larangan. Sesuatu yang disarankan oleh Tuhan, mereka jadikan sebuah perintah dan keharusan.
Mereka untai hukum-hukum dan peraturan, demi mencari celah di antaranya, demi kepuasan nafsu mereka sendiri. Di saat yang sama mereka taruh batu-batu beban di atas pundak umat, agar umat menjadi keledai beban tunggangan mereka.
Sementara para pemimpin umat yang masih waras dan berusaha mengingatkan, justru mereka fitnah dan mereka jauhkan dari umat. Dalam sepi dan kelamnya malam, mereka ini pun berdoa, memohonkan ampunan dan pertolongan pada Yang Maha Menerangi.
Dan entah dari mana terdengar jawaban , "Bersabarlah..."
------
Lalu entah suara siapa itu yang terdengar bertanya, "Sampai kapan ya Tuhan kami harus bersabar?"
Dan terdengar pula jawaban, "Sampai kau tak hanya berdoa, tapi menjalankan doamu dalam setiap gerak hidupmu."
"Sampai kau berhenti menunjuk-nunjuk kesalahan dan kekurangan orang lain, dan mulai menyadari kekuranganmu sendiri."
"Sampai kau berhenti melemparkan tanggung jawab pada orang lain, dan mulai memikul tanggung jawabmu sendiri. Mengakui rahmat, talenta, kemampuan dan kekuasaan yang dilimpahkan atasmu, untuk membuat keadaan dirimu jadi lebih baik, membuat keadaan di sekitarmu jadi lebih baik."
"Sampai kau berhenti hanya menyoroti masalah saja, dan mulai berpikir bagaimana memecahkan masalah itu."
"Karena bukankah engkau sekalian diangkat untuk menjadi khalifah di atas bumi ini?"
"Jadi janganlah hidup seakan-skan sebagai budak, budak atas nafsumu, budak atas keadaan di sekitarmu. Hidup seakan-akan seperti ikan mati yang terombang-ambing mengikuti arus sungai."
"Terima rahmatmu itu, terima tanggung jawabmu itu, panggul itu dan tentukan jalan hidupmu dan jalan hidup bangsamu."
swiitdebby dan 3 lainnya memberi reputasi
4
867
5
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
The Lounge
1.3MThread•103.7KAnggota
Urutkan
Terlama
Komentar yang asik ya