Sembilan tahun lalu,
Pada satu malam paling kelam yang tak akan pernah bisa Sarmin lupakan sampai kapanpun, pintu rumahnya digedor-gedor oleh seseorang dari luar. Kala itu sudah lewat tengah malam, Sarmin yang setengah tertidur di atas tikar di ruang tengah, nyaris terlompat kaget mendengar ribut-ribut di luar sana.
Rasa kantuknya hilang tak tersisa. Langsung ia bangkit dan berlari ke arah pintu depan. Di belakang, bapak dan ibunya menyusul, juga dengan setengah berlari dan wajah yang tampak sangat panik.
Pintu semakin keras dan semakin sering digedor, seakan siapapun yang ada di sana juga tak kalah panik dan terburu-buru. Tangan Sarmin langsung menggeser balok kayu penahan pintu dan membukanya dengan segera. Bersamaan, sosok yang begitu familiar segera menghambur masuk ke dalam. Keringat membasahi seluruh tubuhnya, nafasnya pun tersengal-sengal.
Namanya Mardi, tetangga sebelah sekaligus teman sebaya Sarmin. Nyaris saja dia melayangkan pukulan ke wajah si brengsek itu sebagai pelampiasan rasa kesalnya. Namun niat itu tertahan ketika dia mendengar kabar yang dibawa Mardi.
"Sepurane, Sar...iki enek rajapati! Lek Kasnyoto karo bojone pejah..." (Maaf sekali, Sar...ini ada kabar duka! Lek Kasnyoto dan istrinya meninggal...)
Mardi kemudian menoleh ke belakang, seakan memberi tahu Sarmin bahwa di luar sana, keaadan sudah ramai riuh oleh para warga Dusun yang berkumpul membentuk beberapa titik di berbagai sudut jalan. Suara kentongan bertalu-talu, dipukul sekali demi sekali. Menyebarkan tanda rajapati; yang berarti bahwa ada seseorang yang baru saja mati.
Sarmin langsung keluar dari rumah diikuti oleh Mardi dan kedua orang tuanya. Bergabung dengan warga yang kemudian bergerak berbondong-bondong menuju rumah Lek Kasnyoto yang letaknya berada di ujung barat Dusun. Beberapa dari mereka membawa obor di tangan untuk penerangan, karena memang pada saat itu listrik belum masuk di Srigati.
Di sepanjang perjalanan, Sarmin berkutat dengan isi kepalanya sendiri. Pikirannya dipenuhi prasangka-prasangka buruk. Ini pasti bukan kejadian biasa! Selain karena yang meninggal adalah sepasang suami istri sekaligus, tadi sore dia masih melihat Lek Kasnyoto berjalan dengan goloknya dan keluar dari kebun. Bahkan mereka berdua masih sempat bertegur sapa.
Orang itu terlihat benar-benar sehat dan bugar seperti biasanya. Tidak tampak sakit sama sekali.
Iring-iringan warga akhirnya berhenti tepat di depan rumah Lek Kasnyoto, dimana di sana Pak Gunardi, Mbah Gondo dan seorang lelaki yang tidak dikenal sudah berdiri di depan pintu yang separuh terbuka. Wajah ketiganya kelihatan begitu tegang. Apalagi ketika melihat semua orang sudah berkumpul di tempat ini.
"Wonten nopo niki, Pak Gunardi?" (Ada apa ini, Pak Gunardi?)
Salah seorang warga melempar pertanyaan, yang diikuti riuh rendah suara yang lainnya. Mbah Gondo lantas membisikkan sesuatu di telinga Pak Gunardi, yang dibalas dengan sebuah anggukan kecil.
"Sabar, bapak-bapak dan ibu-ibu!" Pak Gunardi mengangkat tangannya tinggi-tinggi. Semua orang, seperti biasa dan seharusnya, menuruti perintahnya. "Tetangga kita, Lek Kasnyoto dan istrinya telah meninggal dunia malam ini..."
Keriuhan kembali terjadi, para warga saling bicara satu sama lain. Bahkan beberapa orang berusaha untuk mendekat ke dalam, sebelum Pak Gunardi menahan langkah mereka untuk masuk lebih jauh lagi.
"Sepurane (mohon maaf), tapi demi keamanan dan kenyaman semuanya, saya tidak bisa mengijinkan semua orang untuk masuk!"
Pak Gunardi kemudian melirik ke arah beberapa orang, dan salah satunya adalah Sarmin. "Mardi, Bowo, Mas Husni sama Sarmin! Kalian ikut saya masuk. Yang lain tunggu di luar!"
Sarmin sebenarnya ragu. Tapi, dia tahu dia tak punya pilihan lain. Apalagi disitu ada Mbah Gondo juga. Dua orang paling disegani di Srigati sudah memberi perintah. Sarmin lantas maju ke depan bersama tiga nama lainnya yang tadi dipanggil. Bahkan Sarmin tidak bertanya sepatah katapun ketika Pak Gunardi memimpin mereka untuk masuk ke dalam rumah. Menyusuri ruang tengah menuju arah dapur yang ada di bagian paling belakang.
Dan di saat kakinya menginjak lantai tanah dapur Lek Kasnyoto, Sarmin langsung menyesali keputusan untuk menuruti perintah Pak Gunardi. Matanya terbelalak dan perutnya seketika bergejolak, ketika dia mendapati jasad Lek Kasnyoto dan istrinya tergeletak di tanah, tepat di samping pawon yang masih tampak berkobar apinya.
Sarmin masih belum yakin dengan penglihatannya. Dia kemudian mendekat, maju dua langkah ke arah jenazah. Dan di bawah temaram lampu sentir yang di gantung di langit-langit, jelas terlihat bahwa sepasang tubuh tak bernyawa itu...
...terbujur tanpa kepala.
"Ayo, maju!" Pak Gunardi berbisik, tapi tak ada satupun dari mereka berempat yang melangkah satu jengkalpun. Begitupun Sarmin, yang nyalinya langsung menciut melihat bagaimana naasnya kondisi kedua suami istri itu.
Tapi malam ini, nasib sial memang sedang menjadi milik Sarmin. Posisinya yang berada paling depan dan paling dekat dengan Pak Gunardi, membuatnya jadi orang pertama yang menjadi sasaran untuk ditarik lengannya dan dipaksa untuk maju ke depan oleh Kepala Dusun itu..
"Sarmin, buka dandangnya!" Pak Gunardi menunjuk ke arah dandang tanah liat, di atas pawon yang masih menyala.
Sarmin menurut, dia hanya ingin semuanya cepat selesai. Tangannya cepat bergerak membuka tutup dandang tersebut.
Dan di dalam sana, Sarmin menemukan bagian yang hilang dari jasad Lek Kasnyoto dan istrinya; dua buah kepala dengan kulit yang mulai mengelupas, tampak mengambang di air mendidih. Di detik itu juga, Sarmin menjatuhkan tutup dandang dan memuntahkan keluar sayur lodeh dan ikan asin yang ia santap tadi sore.
Pak Gunardi tidak peduli. Jarinya langsung menunjuk ke satu arah. Ke sudut dapur yang gelap dan tak terkena cahaya lampu sentir.
"Bocah iki sing mateni Lek Kasnyoto karo bojone!" (Anak ini yang membunuh Lek Kasnyoto dan istrinya)
Sesosok anak perempuan, seumuran Sarmin dan Mardi, meringkuk bersandar di tembok bambu dapur, dengan rambut acak-acakan dan tubuhnya telanjang bulat tanpa sehelai benangpun. Pandangannya kosong jauh ke depan, dan mulutnya terkatup rapat. Sedang tepat di sampingnya, sebilah golok yang tadi sore Sarmin lihat dipakai Lek Kasnyoto untuk membabat rumput, tergeletak di bawah simbahan darah segar berwarna merah.
Sarmin mengenalnya. Dia sangat mengenalnya.
Itu adalah Yuli, putri tunggal Lek Kasnyoto dan istrinya.
"Yuli edane soyo ndadi! Iki bahaya, dadi awakedewe ora nduwe pilihan lain!" (Yuli gilanya semakin menjadi! Ini berbahaya, jadi kita tidak punya pilihan lain!)
Pak Gunardi memandang Sarmin dan tiga orang lainnya, satu persatu. Seakan berusaha meyakinkan mereka bahwa hanya inilah satu-satunya cara...
"Saiki ayo Yuli digowo menyang gubuk bekas kandang wedhus cedak alas Jati kae. Aku wegah njipuk resiko, Bocah iki kudu dipasung! mergane yen deweke tego ngelakoni iki nyang wong tuane dewe, sesuk-sesuk iso awakedewe sing dibabat sirahe nganggo golok!"
(Ayo, Yuli dibawa ke gubuk bekas kandang kambing dekat hutan Jati. Aku tidak mau ambil resiko, anak ini harus dipasung! Karena kalau dia tega melakukan ini ke orang tuanya, besok-besok bisa kita yang dipenggal kepalanya pakai golok!)
Tenaga Sarmin sudah terlanjur habis. Lututnya kehilangan daya topang, dan terjatuh ke lantai tanah. Yang bisa dia lakukan hanyalah memandang Yuli, yang ternyata juga balas memandangnya. Mulutnya bergetar ketika ia mendesis...
"Aku luwe..." (Aku lapar...)