Story
Pencarian Tidak Ditemukan
KOMUNITAS
link has been copied
Informasi! Ngobrol Sesama Komunitas Makin Gampang Lewat Live Chat di Kaskus Apps Cek di Sini Caranya
2550
KASKUS
51
244
https://www.kaskus.co.id/thread/5e4fcf409a972e05b10e0324/tulah-jasadnya-mati-dendamnya-beranak-pinak--based-on-true-story
Namanya Mas Adil (nama disamarkan), kawan dekat dari kakak salah satu admin The Dark Tales yang dulu pernah aktif berkegiatan sebagai relawan di salah satu organisasi sosial kemanusiaan yang lumayan gede dan punya anggota/relawan yang tersebar di kota-kota di pulau Jawa. Dan dari Mas Adil inilah cerita itu pertama kali kita denger. Cerita tentang pengalaman beliau waktu masih aktif di organisasi y
Lapor Hansip
21-02-2020 19:38

TULAH (Jasadnya Mati, Dendamnya Beranak Pinak) ~~ Based on True Story

Salam kenal semuanya, agan-agan kaskuser dan para penghuni forum SFTH...

Perkenalkan, kami adalah empat orang anonim yang berdasar pada kesamaan minat, memutuskan untuk membuat akun yang kemudian kami namai THE DARK TALES.

Dan kehadiran kami di forum ini, adalah untuk menceritakan kisah-kisah gelap kepada agan-agan semua. Kisah-kisah gelap yang kami dengar, catat dan tulis ulang sebelum disajikan kepada agan-agan.

Semua cerita yang akan kami persembahkan nanti, ditulis berdasarkan penuturan narasumber dengan metode indepth interview atau wawancara mendalam yang kemudian kami tambahi, kurangi atau samarkan demi kenyamanan narasumber dan keamanan bersama.

Tanpa banyak berbasa-basi lagi, kami akan segera sajikan thread perdana kami.

Selamat menikmati... 


Quote:
TULAH (Jasadnya Mati, Dendamnya Beranak Pinak) ~~ Based on True Story

Kisah ini berdasarkan kejadian nyata, berdasarkan penuturan beberapa narasumber dan literasi tambahan. Beberapa penyamaran, penambahan dan pengurangan mengenai lokasi, nama tokoh dan alur cerita kami lakukan untuk kepentingan privasi dan keamanan.



KARAKTER
Karakter

REVIEW
Review


INDEX

CHAPTER SATU: MELANGGAR BATAS
PROLOG
BAGIAN 1
BAGIAN 2
BAGIAN 3
BAGIAN 4
BAGIAN 10

CHAPTER DUA: PEMBEBASAN

CHAPTER TIGA: PERBURUAN

Side-Story

CHAPTER 4: AWAL MULA
[UNPUBLISHED]

CHAPTER 5: TULAH
Polling

Poll ini sudah ditutup - 115 Suara

Menurut agan-agan, perlu enggak dibuatkan kisah tentang "Jurnal"? 
68.7%
Bikinin gan ane penasaran!
31.3%
Kagak usah, langsung mulai aja Chapter 4
Diubah oleh the.darktales
profile-picture
profile-picture
profile-picture
dan 252 lainnya memberi reputasi
231
Masuk untuk memberikan balasan
stories-from-the-heart
Stories from the Heart
27.7K Anggota • 30K Threads
TULAH (Jasadnya Mati, Dendamnya Beranak Pinak) ~~ Based on True Story
22-02-2020 15:23

BAGIAN 1

Quote:
Akhir Juli, di tahun yang tidak bisa disebutkan pastinya.

Adil masih mengingatnya dengan baik, bagaimana sore itu dia duduk terpaku di depan komputer di salah satu sudut rumah kontrakan berukuran 9x16 meter yang dua tahun terakhir ini disebutnya sebagai kantor.

Di luar hujan baru saja reda, tapi niat untuk segera pulang ke rumah sebelum hujan turun lagi itu belum juga datang. Tak peduli walau satu persatu rekannya mulai berkemas dan pulang ke rumah masing-masing.

Karena bagi Adil, tempat ini sudah seperti rumah kedua baginya. Tak ada yang lebih membahagiakan dibanding dengan berkutat dengan arsip-arsip kegiatan *** (Nama organisasi kemanusiaan, The Dark Tales tidak mendapat ijin untuk menyebutkannya) yang berderet di layar monitor seperti ini. Mensortir apa saja yang sudah, sedang dan akan dilakukan. Minggu ini masih ada dua kegiatan yang harus diselesaikan, belum lagi minggu berikutnya. Lalu tentang laporan kegiatan minggu lalu yang harus segera dikirimkan ke Pusat.

Adil menjatuhkan punggungnya ke sandaran kursi sambil mendesah berat. Dia lelah, tapi tak pernah menyesali pilihannya untuk menjadi relawan di tempat ini. Berkontribusi untuk kemanusiaan dan sosial. Terjun ke pemukiman kumuh di Kota sampai ke pelosok-pelosok desa yang membutuhkan bantuan, merupakan kepuasan batin tersendiri bagi Adil. Apalagi dia masih muda dan lajang. Uang masih belum menjadi prioritas utama.

Sampai akhirnya ponsel yang sejak tadi tergeletak di meja dan nyaris Adil lupakan keberadaannya, berdering dengan begitu kencang. Membuatnya nyaris terlonjak kaget dan membuyarkan fokusnya pada layar monitor. Dengan cepat dia raih ponsel itu, takut itu datang dari kantor pusat atau panggilan darurat lain.

Tapi hanya ada deret nomor yang tertampil di sana. Entah milik siapa, tapi yang jelas nomor itu tak tersimpan di buku teleponnya.

Adil sempat ragu untuk mengangkat. Apalagi dia teringat dua bulan lalu, ketika dia dan tim memberikan bantuan tandon air di salah satu desa di daerah Pantai Utara yang berakhir kisruh karena bersinggungan dengan atmosfir pemilihan kepala desa yang sedang panas-panasnya. Masalah memang sudah selesai, tapi bukan tak mungkin preman-preman bayaran itu masih berusaha mengincarnya.

Ah, itu cuma paranoid tak beralasan! Adil nekat mengangkat telepon dan mendekatkannya ke telinga.

"Halo, leres niki kalihan Mas Adil... (Halo, benar ini dengan Mas Adil?)"

Suara di seberang begitu lembut. Seorang perempuan muda, tapi terdengar asing bagi Adil.

"Ngapunten (Maaf) Mas, saya Dea. Saya dapet nomor Mas Adil dari Mas Febri. Kebetulan dia kating saya di Kampus."

Ah! Sekarang jelas sudah bagi Adil. Si penelepon yang mengaku bernama Dea ini adalah adik tingkat Febri, adik laki-lakinya, di kampus. Tapi dia masih penasaran, untuk apa anak ini sampai repot-repot meminta nomor Adil dan meneleponnya.

"Kata Mas Febri, Mas Adil aktif di *** (Organisasi Kemanusiaan terkait) ya Mas? Saya bisa minta tolong?"

Entah karena apa, tapi saat itu juga Adil langsung merasa tertarik. Mungkin karena Dea menyebut nama organisasinya, membuat Adil berpikir bahwa ini mungkin tentang kegiatan amal atau sejenisnya.

"Oh, nggih. Ada apa, ya?"

"Jadi begini, Mas..." Ada jeda sejenak. Tapi terdengar cukup jelas di telepon bahwa Dea sepertinya sedang berbincang dengan orang lain di sana. Tapi entah apa yang mereka bicarakan. Seperti sedang berunding.

"Sekarang ini saya lagi menjalani program KKN di daerah G**********. Sudah berjalan dua minggu dari satu bulan. Awalnya semua berjalan lancar. Tapi kok sekarang ada masalah di salah satu desa tempat kami menjalankan proker. Terus saya berunding dengan teman satu tim KKN, dan saya pikir Mas Adil bisa bantu kami..."

KKN? Apa hubungannya dengan organisasiku? Adil kebingungan. Apalagi lokasi KKN anak ini ada di daerah G**********. Jaraknya bisa memakan tiga jam perjalanan jauhnya dari sini. Tapi Adil kepalang dibuat penasaran.

"Masalahe opo? (Masalahnya apa?)"

"Sebenernya aku ndak yakin, Mas..." Dea terdengar ragu.

"Tapi menurut Mas Adil, apa normal di jaman sekarang masih ada orang gila yang dipasung dan ditaruh di kandang kambing? Apalagi seorang perempuan."

Adil merasa dirinya tersengat seketika. Adrenalinnya naik ke ubun-ubun dengan begitu kilat. Rasa keadilan dan kemanusiaannya seakan dilukai, dan itu membuat darahnya bergejolak.

"Ora normal! Sama sekali ora normal kui. Wis bener kamu menelepon kesini! Sekarang kamu kasih tahu nama desanya apa, nanti aku minta back up relawan-relawan yang ada di G********** untuk bantu evakuasi." Spontan Adil berujar.

"Nggih, Mas. Nuwun. Nama Desanya Srigati (bukan nama sebenarnya), Kecamatan *****, Kabupaten G**********."


Quote:
Dea menutup telepon dan menaruhnya kembali ke dalam kantong celana jeans.

Dia sedikit menggerutu kesal sebelum memutar tubuh ke belakang. Ke arah sesosok pria berkacamata dengan rambut hitam lurus yang disisir ke samping dengan rapi, yang sedari tadi berdiri seperti orang bodoh di belakangnya itu.

"Kakaknya Mas Febri nyanggupin. Terus piye?"

Dea bertanya, cenderung sedikit menuntut kepada kawan yang memakai almamater yang sama dengan yang dipakainya saat ini. Matanya mendelik tajam.

Pria itu tampak terbata-bata menjawab. Seakan dia sedang dihakimi oleh Dea. "Piye apane, De? (Gimana apanya, De?)"

"Piye apane ndasmu, Gil! (Gimana apanya kepalamu, Gil!)”

Dea tampak tak mampu lagi menahan emosinya. Bahkan dia mengacungkan jari telunjuknya ke arah dada Gilang, nama pria itu. Ketua tim KKN sekaligus mahasiswa yang paling dekat dengan Dea karena kebetulan mereka berasal dari Jurusan yang sama. “Ini semua gara-gara kamu!”

"Sabar De, sabar. Kita lagi di pinggir jalan besar ini!"

Walaupun terbakar amarah, omongan Gilang barusan sedikit menyadarkan Dea. Mereka berdua kini sedang berada di pinggir taman alun-alun Kabupaten. Dia menyernyitkan mata, mengamati sekeliling. Benar saja! Omongan nada tingginya barusan, ternyata menarik perhatian beberapa orang yang berada di sekitar mereka.

Dea menarik nafas panjang-panjang. Berusaha menenangkankan hatinya yang sedang kacau balau. "Kok bisa kamu bilang kamu ndak mau disalahin? Sekarang siapa yang pertama usul buat masukin Srigati ke dalam proker? Siapa yang pertama punya inisiatif nekat datang kesana sembunyi-sembunyi walau sudah jelas dilarang sama Pak Kades??"

"Aku bakal tanggung jawab De, oke? Yang penting sekarang kamu tenang dulu, terus kita balik."

Dea melirik ke motor matic milik Gilang yang diparkir tak jauh dari tempat mereka berdiri. Membuatnya teringat teman-temannya yang lain yang kini sedang menunggu mereka kembali. Teman-teman yang berfikir bahwa Dea dan Gilang sedang pergi ke Kabupaten untuk membeli beberapa kebutuhan proker yang masih kurang. Padahal nyatanya, mereka berdua pergi jauh-jauh kesini hanya untuk meminta bantuan kepada siapapun yang bisa memberi mereka bantuan. Dea jadi merasa bersalah dan itu membuatnya marahnya kian menjadi-jadi kepada Gilang.

"Sopo wae sing ngerti soal Srigati selain kamu dan aku?" Dea bertanya dengan dingin. Bahkan dia tak memandang Gilang.

"Cuma aku dan kamu. ..aku yakin cuma aku dan kamu!”

Dea menghela nafas dalam-dalam. Berusaha menahan kesabaran. "Oke, yang sudah terlanjur mau diapain lagi. Tapi sekali ini aja, jawab aku dengan jujur, Gil..."

Dea mendekatkan tubuhnya ke Gilang. Berusaha mengintimidasi. "Apa niatmu sebenernya dengan memasukkan Srigati ke dalam proker?"

"Aku ndak punya niat apa-apa, De..."

Tapi jawaban itu malah membuat benteng kesabaran Dea runtuh seluruhnya. "Asu!! Ojo ngapusi aku!! (Anjing , jangan nipu aku!!) Kamu udah tahu Srigati bahkan sebelum kita berangkat KKN kan?!"

Gilang sepertinya tak mampu lagi menyembunyikannya dari siapapun, khususnya kepada Dea. Posisinya sekarang jelas terdesak. Dan suka atau tidak, dalam hati Gilang mengakui bahwa ini semua sudah terlampau jauh. Tak ada pilihan lain selain mengaku.

"Aku nemu jurnal lawas di perpustakaan kampus, De. Jurnal tahun 1986 yang ngebahas soal Srigati. Tentang pertanian dan tanah yang ada di sana.”

Dea menyernyitkan dahi. Tak paham lagi apa yang ada di pikiran Gilang. “Bahkan kita bukan mahasiswa pertanian, Gil! Apa yang kamu cari di sana, heh?? Tentang apa jurnal itu?!”

“Tentang...” Gilang seperti menahan diri untuk tidak menangis.

Quote:
“Tentang paradoks tanah di sana. Bagaimana pada masa-masa paceklik mereka masih bisa panen jagung, ubi dan singkong, sedangkan desa-desa di sekitarnya mengalami kelaparan dan kesulitan air. Bahkan yang aku dengar, ada sawah yang...”


"Wis, ra usah kakean cangkem! (Udah, jangan kebanyakan mulut!) Sekarang ayo balik dan tunjukin ke aku jurnal itu!!"

Gilang menurut saja ketika Dea menggiringnya menuju motor.

"Kowe pancen asu, Gil..." Tutupnya sebelum motor melaju meninggalkan alun-alun Kabupaten.
Diubah oleh the.darktales
profile-picture
profile-picture
profile-picture
similikiti975 dan 66 lainnya memberi reputasi
67 0
67
Lihat 12 balasan
Memuat data ...
1 - 0 dari 12 balasan
TULAH (Jasadnya Mati, Dendamnya Beranak Pinak) ~~ Based on True Story
23-08-2021 01:22

BAGIAN 16

Sebelum mulai, silakan yang ingin flashback sedikit ke belakang, cerita di bagian ini memiliki kaitan erat dengan cerita di Bagian Enam yang bisa dibaca DI SINI


Quote:
Imas menjaga jarak. Mengambil langkah mundur sambil menjaga Melia agar tetap berada di belakang punggungnya. Sejujurnya, dia teramat takut. Dia mengenal Sarmin dengan baik. Seperti pemuda lain di Srigati, Sarmin begitu memuja dan menghormati Gunardi. Menganggap Kepala Dusun itu sebagai pahlawan, bahkan kadang separuh dewa. Seorang yang telah menyelamatkan Srigati, entah dari apa, karena sebenarnya Imas dan pemuda-pemudi lain yang satu generasi dengannya hanya mendengarnya dari para orang tua. Mereka masih terlalu kecil untuk tahu atau mengingat apa yang sebenarnya terjadi hingga semua orang mengkultuskan Gunardi.

Dan malam ini, setelah sembilan tahun lamanya Imas meninggalkan Srigati, dia kembali dipertemukan dengan Sarmin. Sebuah nostalgia yang rumit, tak tahu sekarang Sarmin menganggapnya sebagai apa; sahabat masa kecil atau obyek buruan yang harus dilumpuhkan dan dibawa ke hadapan Gunardi?

Tapi Imas tak mau ambil resiko. Terlebih, sekarang ada dua nyawa yang harus dia jaga.

"Mundur kowe!" Ujarnya memberi peringatan. Tapi sayang, ada getar ketakutan yang terlalu kentara di nada suaranya. Ketakutan yang pasti bisa ditangkap oleh Sarmin, sehingga pria ini sama sekali tak mengindahkan peringatan itu. Alih-alih mundur barang satu langkahpun, dia malah maju tanpa ragu mendekat ke arah Imas dan Melia.

"Mbok delekne neng ngendi Yuli?" (Dimana kau sembunyikan Yuli?)

Suara Sarmin begitu tenang tapi dingin dan mengintimidasi. Nyali Imas mulai runtuh, di tambah lagi cahaya senter dan obor yang dibawa oleh warga terlihat kian mendekat ke arah sini. Di tengah kepanikan yang kian melanda, Imas mencoba memikirkan sebuah jalan keluar.

Apakah harus lari sekencangnya? Bodoh, itu ide bodoh! Imas memaki dirinya sendiri. Selain karena kemungkinan bahwa mereka akan semakin tersesat atau terpergok rombongan patroli warga, kondisi Melia yang pincang akan membuat Sarmin dengan mudah menangkap dan menyeret mereka berdua ke hadapan Gunardi. Atau mungkin meminta ampun dan memohon agar dia dilepaskan? Rasanya tidak mungkin. Sarmin hanya butuh satu teriakan, dan semua orang akan berlari menuju pinggir bekas jalur sungai ini.

Air mata itu tumpah dari pelupuk mata Imas ketika menyadari keadaannya sekarang; tersesat di tengah hutan, terpisah dari suaminya dan kini benar-benar dalam posisi terpojok. Masuk ke dusun laknat ini dan tersesat di tengah hutan yang dipenuhi orang-orang dusun yang mengincar mereka. Yang lebih gawat lagi, Imas sekarang harus berhadapan dengan kaki tangan Gunardi yang paling setia sekaligus sahabat masa kecilnya; Sarmin.

Selesai sudah, batinnya. Tak ada lagi jalan keluar. Perjalanannya usai sampai di sini. Tapi Imas tidak menyesal sedikitpun. Karena setidaknya, walaupun dia harus diseret ke tengah dusun, Adil dan Mas Eko sudah berhasil mengevakuasi Yuli dan membawanya keluar dari penjaranya.

Karena itulah tujuan utama Imas datang kembali. Untuk sebuah penebusan.

"Yo wis Mas Sarmin. Kowe oleh nggowo aku, tapi tulung kancaku iki diculne. Deknen ora ngerti opo-opo, aku sing ngejak mrene..." (Baiklah Mas Sarmin. Kamu boleh bawa aku, tapi tolong temanku ini dilepaskan. Dia tidak tahu apa-apa, aku yang ngajak dia kesini...)

Imas menyerah kalah. Tapi dia masih berusaha bernegosiasi. Berusaha menyelamatkan Melia yang tampaknya paham dengan apa yang dia ucapkan. Perempuan Jakarta itu meremas punggung Imas sambil terus menggeleng-gelengkan kepala sambil menahan tangis.

"Jangan...jangan, Mbak..." Pinta Melia memohon.

Dan wajah Sarmin, dalam keremangan, tampak begitu dingin. Tak ada ekspresi apapun yang tergaris di sana. Tapi Imas tahu apa yang akan Sarmin lakukan berikutnya.

Benar saja! Pria ini kemudian berlalu dari hadapan mereka berdua, menjauh bekas jalur sungai ini dan berjalan beberapa langkah menuju arah kedatangan warga. Dia akan memanggil bantuan, Pasti!

"Woiii!!" Sarmin berteriak kencang.

"Sopo kui?!" (Siapa itu?!)

Terdengar suara beberapa orang dari kejauhan menyahut.

"Sarmin iki! Daerah bekas kali resik, coba disusur daerah lor kono!!" (Ini Sarmin! Daerah sini bersih, coba disusur daerah utara sana!!)

Imas terhenyak. Sama sekali dia tak menyangka Sarmin mengarahkan warga menjauh dari tempat ini! Dan mereka menurut saja, ketika cahaya senter dan obor itu berbalik menuju arah utara yang berlawanan dengan arah bekas jalur sungai.

Tak lama, Sarmin kembali dan mendekat ke arahnya. Kini tampak jelas ada amarah yang tertahan di mata pria itu. Amarah yang seakan sudah tak tertahankan lagi dan tumpah sepenuhnya dalam satu tamparan telak yang membuat pipi Imas terasa panas dan perih.

"Opo iki mau wis cukup njelaske nyang kowe kepiye posisiku neng kene?!" (Apa ini tadi cukup menjelaskan kepadamu bagaimana posisiku di sini?!)

Imas tak melawan. Dia hanya diam. Mencoba menyerapi tamparan ini. Untuk apa? Kenapa?

"Saiki tulung jawaben pertanyaan sing tak takonken nyang kowe 9 taun kepungkur? Isih kelingan kowe, Im?" (Sekarang jawab pertanyaan yang aku tanyakan ke kamu 9 tahun lalu? Masih ingat kamu, Im?)

Ya, aku masih ingat. Aku sangat ingat. Jawab Imas sembari menatap mata Sarmin dalam-dalam. Ada luka yang ia temukan di sana.

Quote:"Ngopo kowe ninggalke dusune dewe, ninggalke aku mbi cah-cah liyane?" (Kenapa kamu meninggalkan dusun kita, meninggalkan aku dan teman-teman lainnya?)

Masih begitu jelas di lini memori Imas, bagaimana Sarmin mengejarnya sampai gerbang kelurahan Jatiasih. Memberondongnya dengan pertanyaan dan menuntut penjelasan ketika Imas sedang menunggu angkot yang akan membawa dia dan ibunya pergi.

Masih begitu jelas pula, bagaimana Sarmin kala itu begitu tak rela kehilangan. Apalagi kepergian Imas kala itu begitu mendadak, tepat dua hari setelah kematian kedua orang tua Yuli dan tanpa ada penjelasan apa-apa yang ia berikan kepada Sarmin dan kawan-kawannya yang lain.

Sampai angkot yang ditunggupun datang mendekat. Sang ibu menyuruh Imas mengangkat tas-tas mereka, kemudian menghampiri Sarmin dengan raut wajah tidak suka.

"Imas arep tag gowo nyusul bapakke ning Kota. Bocahe arep tak sekolahne ning kono. Tur bapakke yo wis ngontrak omah dewe. Wis jelas to, Min?!" (Imas mau aku bawa nyusul bapaknya ke kota. Anaknya mau aku sekolahkan di sana, bapaknya-pun juga sudah mengontrak rumah sendiri. Sudah jelas kan, Min?!)

Mulut Sarmin terbungkam. Dia terpaku di tempatnya, melihat tubuh Imas dan ibunya memasuki angkot dan meninggalkannya sendirian di gerbang kelurahan.

Maaf Mas, aku harus pergi. Kalimat itu tak sempat Imas ucapkan. Bahkan ketika dia menoleh ke belakang, Imas melihat Sarmin masih berdiri di sana. Menatap pilu kepergian Imas, sambil mengusap air mata dengan lengan legamnya.

Tapi yang Sarmin tidak tahu adalah, apa yang dijadikan alasan oleh ibunya itu hanyalah kebohongan belaka. Mereka tidak pindah ke kota demi pendidikan yang lebih baik. Bahkan bapaknya tidak pernah mengontrak rumah seperti yang ibunya katakan. Sesampainya di kota, Imas malah harus menumpang dari satu kenalan ke kenalan lain untuk beberapa bulan lamanya.

Kebenarannya adalah; Imas keluar dari Srigati demi keselamatan dirinya dan keluarganya.



Quote:
"Neng ngendi kowe pas bapak ibune Yuli sedo, Mas?" (Dimana kamu waktu bapak ibunya Yuli meninggal, Mas?)

Di bawah temaram cahaya rembulan, di tengah belantara hutan diiringi suara alam yang menghanyutkan sekaligus menegakkan bulu roma, mereka bertiga duduk di tepian jalur sungai yang kini sepenuhnya mengering. Imas menatap kosong kedepan, sama seperti yang dilakukan Sarmin. Seakan keduanya sedang menenggelamkan diri masing-masing ke masa lalu mereka. Ke sebuah malam yang akan selalu diingat sebagai malam paling kelam di Srigati. Malam dimana kepala Lek Kasnyoto dan istrinya ditemukan direbus di dalam dandang mendidih di dapur mereka sendiri, sedang Yuli diam dalam kondisi telanjang di pojokan. Mengerikan. Tak beradab.

"Aku ning ngomah, turu. Terus Mardi gedor-gedor omahku, ngabari yen enek rajapati." (Aku di rumah, tidur. Terus Mardi gedor-gedor pintu rumahku, mengabari kalau ada orang meninggal.)

Jawaban itu membuat Imas menoleh ke Sarmin sambil melemparkan senyum sinis.

"Turu? Iso-isone kowe turu? Bukane sorene kowe wis janji bakal ngancani aku ngeterne panganan dinggo Yuli, yo?" (Tidur? Bisa-bisanya kamu tidur? Bukannya sorenya kamu sudah janji nemenin aku buat nganter makanan buat Yuli, ya?)

Diseret ke satu titik di masa lalu, Sarmin terkejut bukan main. Kesadarannya seperti dipukul palu godam. Dia nyaris membuka mulut, tapi Imas memotongnya terlebih dulu.

"Cah-cah urunan nggo nukokne Yuli kue wijen karo dawet jabung. Aku motoran mbi Astria menyang pasar Kecamatan, sorene dewe kumpul ning omahku. Mas Sarmin dewe sing ngomong yen bengine bakal ngancani aku ngeterne menyang omahe Yuli. Piye, kelingan saiki?" (Anak-anak patungan buat beliin Yuli kue wijen sama dawer jabung. Aku naik motor sama Astria ke pasar Kecamatan, sorenya kita semua kumpul di rumahku. Mas Sarmin sendiri yang bilang kalau malamnya bakal nemenin aku nganter ke rumahnya Yuli. Gimana, ingat sekarang?)

Seperti ditelanjangi, Sarmin kehabisan kata-katanya sendiri. "Imas..."

"Seg Mas, aku durung rampung..." (Sebentar Mas, aku belum selesai...)

Bibir Imas bergetar. Dadanya terasa sesak oleh ingatan-ingatan di malam itu. Ingatan-ingatan yang sembilan tahun belakangan coba dia bunuh, tapi malam ini terpaksa ia tumpahkan semuanya.

"Aku ngenteni kowe nganti jam 9. Nganti aku kesel terus nekad mangkat dewe. Aku sengojo ndelik-ndelik. Lewat mburi omah, nerabas kebonan dinggo ngelimpe ibuku. Tapi sakwise aku tekan mburi omahe Yuli, aku nyawang sesuatu..." (Aku nunggu kamu sampai jam sembilan. Sampai aku capek lalu nekat berangkat sendiri. Sengaja aku sembunyi-sembunyi, lewat belakang rumah dan menerobos kebun agar ibuku tidak tahu. Tapi setelah aku sampai di belakang rumahnya Yuli, aku melihat sesuatu...)

Imas berhenti sejenak, menguatkan dirinya sendiri. Karena setiap kali dia mengingat apa yang dia lihat kala itu, batinnya selalu terguncang. Oleh ketakutan dan rasa bersalah yang sedemikian besar.

"Aku ndelik ning mburi deretan wit pisang suwe banget. Awakku nganti ndrodok ora karuan, ndeleng Pak Gunardi karo wong lanang siji sing aku ra kenal, nyeret bapak karo ibune Yuli metu soko pawon. Jelas wong loro kui kondisine pingsan lan ora sadar. Ning latar mburi omah kui mereka..." (Aku sembunyi di belakang deretan pohon pisang lama sekali. Badanku sampai gemetar ketakutan, melihat Pak Gunardi dan satu orang lelaki yang tidak kukenal menyeret bapak dan ibunya Yuli keluar dari dapur. Jelas mereka berdua pingsan dan tidak sadar. Di sanalah, di halaman belakang rumah Yuli, mereka...)

Tenggorokan Imas tercekat. Ia menggigit tangannya sendiri agar tangisannya tak menimbulkan suara yang mengundang. Nyaris dia tak sanggup melanjutkan kalimatnya, tapi Imas harus menyelesaikan apa yang sudah ia mulai ceritakan.

"Perempuan yang dipasung, dianggap gila dan diperlakukan seperti hewan selama 9 tahun itu...tidak bersalah! Gunardi dan orang asing itulah yang menyembelih Lek Kasnyoto dan istrinya, dan menaruh kepala mereka di dalam dandang. Aku melihat dengan mata kepalaku sendiri, dan aku berani bersumpah!!"

Rentetan kalimat itu bagai petir yang menyambar kepala Sarmin. Mulutnya menganga, sepasang matanya berkaca-kaca. Perutnya mual ketika dia menyadari apa yang telah ia lakukan selama sembilan tahun terakhir.

“Sekarang kamu udah ngerti alasanku pergi dari Srigati. Aku tahu apa yang akan dilakukan Gunardi, jadi aku kabur sebelum dia sadar kalau ada saksi mata.”

Bahkan kini, Melia ikut terperangah. Tak sanggup mendengar kebiadaban terjadi di dusun kecil seperti ini.

Tapi ternyata, Imas belum selesai. Dia mendekatkan dirinya kepada Sarmin, dan meraih tangan lelaki yang kepalanya kini tertunduk itu. Menyembunyikan tangis yang ia tahan sekuat yang ia bisa.

“Dan kalau kamu juga pengin tahu alasanku balik kesini; aku harus menebus dosaku, Mas. Aku udah jadi pengecut, kabur nyelametin diriku sendiri ketika Yuli diperlakukan seperti ini. Aku siap sama resikonya, karena bagaimanapun keadaanya, Yuli itu sahabat masa kecilku...”

Sarmin kian terisak. Nafasnya sampai tersengal.

“ ...dan teman masa kecilmu juga, kan? Ingat ndak dulu, jaman kita masih anak-anak. Aku, kamu, Mardi, Astria dan lainnya sering main bareng di lapangan. Kamu lho Mas, orang pertama yang inisiatif ngajakin Yuli ikut main sama kita semua. Kamu orang baik, Mas. Dan kamu itu sudah jadi kakak buat kita semua.”
profile-picture
profile-picture
profile-picture
destinationbali dan 59 lainnya memberi reputasi
60 0
60
Lihat 2 balasan
Memuat data ...
1 - 0 dari 2 balasan
TULAH (Jasadnya Mati, Dendamnya Beranak Pinak) ~~ Based on True Story
21-02-2020 19:52

PROLOG

Quote:Namanya Mas Adil (bukan nama sebenarnya), seseorang yang dulu pernah aktif berkegiatan sebagai relawan di salah satu organisasi sosial kemanusiaan yang lumayan gede dan punya anggota/relawan yang tersebar di kota-kota di pulau Jawa.

Dan dari Mas Adil inilah cerita itu pertama kali kita denger. Cerita tentang pengalaman beliau waktu masih aktif di organisasi yang bersangkutan. Ngerasa tertarik, kita mutusin buat nelusurin lebih dalem lagi cerita dari Mas Adil yang emang beliau akuin sendiri enggaklah lengkap jika hanya mendengar dari sudut pandangnya saja.

Lalu, dengan bantuan beliau, kita dipertemukan sama narsum-narsum lain yang bersinggungan langsung dengan kejadian yang terjadi pada waktu itu. Nyaris sebulan kita mendengar banyak cerita dari banyak sudut pandang. Kami kemudian mencoba merangkainya, menemukan banyak kontradiksi dan tabrakan antara satu versi dengan versi yang lain, yang kemudian kami susun ulang agar lebih mudah dinikmati dan tentu saja, tanpa menghilangkan esensi dari cerita aslinya.

Dan setelah semuanya tersusun, kami sendiri terperangah; kisah ini beneran GILA! Bahkan mungkin, lebih horor dari cerita setan manapun. Karen di sini, seperti yang pernah Mas Adil ucapkan pada kami semua...


Quote:
"Manusia kadang lebih setan daripada setan itu sendiri!"



Quote:Berikut adalah rekaan peta lokasi tempat-tempat yang dijadiin latar belakang cerita di Thread ini gan. Tujuannya untuk mempermudah imajinasi agan-agan semua dalam menikmati cerita ini.

Dan gak lupa kita tegasin, bahwa peta ini cuma rekaan semata. Nama desa, batas dan bentuk geografis sudah kita ganti dan samarkan. Tapi bisa kita pastikan bahwa kemiripan dengan lokasi asli mencapai 60%.

Denah Lokasi

Diubah oleh the.darktales
profile-picture
profile-picture
profile-picture
destinationbali dan 57 lainnya memberi reputasi
58 0
58
Lihat 1 balasan
Memuat data ...
1 - 0 dari 1 balasan
TULAH (Jasadnya Mati, Dendamnya Beranak Pinak) ~~ Based on True Story
11-02-2022 21:49

BAGIAN 32

Quote:
Pagi masih terlalu muda. Bahkan matahari belum juga menyembul dari kaki langit sebelah timur, ketika sebuah berita datang ke dusun kecil yang terkurung hutan ini. Sebuah berita buruk yang memiliki daya sambar sekeras halilintar, hingga mampu membuat wajah lelaki paruh baya itu berubah sepucat mayat dan tubuhnya mengigil karena rasa takut yang sedemikian hebat.

Suara dari telepon genggam yang tertempel erat di telinga itu terus menyerocos dengan panik dan tanpa jeda, sebelum si lelaki paruh baya memotongnya cepat-cepat. "Sampeyan (kamu) tenang dulu, Mas Hendardi! Yang penting bayinya bagaimana?! Selamat, to?!"

Sebuah jawaban yang tidak pernah dia ingin dengarkan seumur hidup itu kemudian terucap. Hanya satu kata, benar-benar sesingkat itu, namun mampu membuat seisi dunia seakan runtuh tepat di atas kepalanya.

Tidak!

Selesai sudah.

Lelaki paruh baya itu seketika kehilangan daya. Tubuhnya lunglai di atas kursi teras depan rumah joglonya yang luas. Nafasnya terhela dengan berat, dan telepon genggam perlahan terlepas dari telinga. Membuat suara di seberang yang terus memanggil namanya dan menuntut jalan keluar lain yang mungkin masih bisa dilakukan itu, kian samar dan akhirnya tak lagi terdengar.

Karena memang tak ada jalan keluar lain. Semuanya sudah berakhir. Batin lelaki itu, bersamaan dengan suara adzan Subuh dari masjid di desa seberang yang memecah sunyinya pagi.

Sudah belasan tahun sejak dia memutuskan untuk mengambil jalannya sendiri demi menyelamatkan Dusun ini. Demi menyelamatkan tanah kelahirannya. Sebuah tujuan yang awalnya sederhana, walau kemudian berubah menjadi ambisi dan keserakahan yang melibatkan makin banyak kepentingan dan menuntut lebih banyak korban.

Jadi apakah aku harus menyesal dan ketakutan jika hari itu akhirnya datang? Hari dimana semua dosa dan kekejian yang telah aku ciptakan kini berbalik memburuku?

Apakah aku masih pantas disebut manusia?


Lelaki itu termangu, matanya hampa menatap jauh ke depan. Sampai dia teringat sesuatu yang membuatnya segera menekan deretan angka-angka di telepon genggamnya.

Lima detik dia menunggu, hingga suara seorang perempuan terdengar begitu gelisah dari seberang sana. "Halo, bapak?"

Si lelaki menelan ludah. Berusaha menahan tangis yang nyaris meledak ketika ia mendengar suara itu.

"Halo, Astria. Dengerin bapak ya, cah ayu (anak manis)?" Tapi percuma. Dia tetap gagal menyembunyikan getar pedih dalam nada bicaranya. "Pergi yang jauh. Keluar Jawa kalau perlu. Pokoknya, jangan kembali ke sini sebelum bapak kabari, ya? Jangan membantah!"

"Tapi, Pak..."

Sambungan langsung diputus. Lelaki itu bahkan tak mau menunggu jawaban dari lawan bicaranya, karena apapun yang akan dikatakan hanya akan menambah menganga luka di dalam hati. Dia kemudian bangkit dari duduknya, diam berdiri beberapa saat, sebelum melangkahkan kaki ke arah depan. Berjalan melewati pekarangan, keluar pagar dan mulai menyusuri jalan dusun ini seorang diri. Rona wajahnya begitu mengenaskan, benar-benar tak ubahnya seperti orang linglung yang tak tahu tujuan.

Dusunku tercinta, tanah kelahiranku...

Ada rasa perih yang menyeruak. Tapi dia terus berjalan. Menghitung tapak demi tapak kaki, menuju satu tempat dimana segalanya dimulai untuk pertama kali.

Quote:
"Lho, Pak Gunardi! Badhe (mau) kemana pagi-pagi begini?"

Beberapa warga dusun yang sudah keluar rumah dan bersiap memulai aktivitas mereka, memandang Gunardi dengan tatapan heran dan penuh pertanyaan. Ada apa dengan Kepala Dusunku, berjalan dengan wajah pucat dan langkah terseret seperti ini? Mungkin itu yang ada di pikiran mereka.

Tapi sapaan itu tak mendapatkan gubris sama sekali. Menoleh barang sedetikpun tidak ia lakukan. Gunardi seperti kena gendam, matanya menatap lurus ke depan, searah dengan langkah kaki yang membawanya terus berjalan menjauh dari Dusun. Hingga rumah-rumah warga semakin jarang, dan deretan pohon-pohon jati ranggas mulai mendominasi di sepanjang mata memandang.

Adzan Subuh akhirnya berakhir, tepat ketika Gunardi sampai di tapal batas antara dusun dan hutan jati. Di depannya, tampak jalan tanah setapak yang mengular dan membelah lebatnya belantara. Tapi Gunardi tak berhenti, dia tetap maju dan terus maju seperti tak bisa dihentikan. Hingga semakin dalam dia masuk, tujuannya mulai nampak di balik rapatnya deretan pepohonan.

Dua janur kering yang melengkung. Serupa gapura yang menandai sebuah wilayah yang terkurung pagar anyaman bambu, sebagai pembatas dengan lebatnya hutan ini.

Di sinilah, Gunardi simpan semua rahasia kelam Dusun Srigati. Wilayah yang menjadi saksi akan sebuah perjanjian hitam yang telah dia laksanakan dengan penuh ketaatan, sebanyak apapun pengorbanan yang dituntut dan dibutuhkan. Aku tak pernah gagal sampai hari ini tiba, batinnya sambil terus melangkahkan kaki melewati dua lengkung janur kering itu.

Dan di sinilah akhirnya dia menghentikan perjalanan. Di sebuah tempat dimana padi tumbuh dengan begitu subur dan air terus mengucur tanpa henti, di tanah yang seharusnya kering kerontang. Di tempat ini, kodrat telah dibengkokkan dan hukum alam telah dikelabuhi.

Sawah Pendem.

Waktu terus berlalu. Matahari perlahan mulai mengintip dengan malu-malu. Menghantarkan setitik hangat di antara embun yang membasahi pagi. Tubuh Gunardi limbung, tak kuasa dia mencegah kedua kakinya tertekuk dan membuatnya tersimpuh di atas tanah. Matanya nanar menatap ke seluruh sudut, dimana di sana tengah tersaji pemandangan yang tak akan bisa dicerna oleh akal sehat manusia manapun. Buah pahit dari kegagalan menetapi janji pada Sang Hyang Bendugeni.

Satu demi satu, kotak-kotak sawah itu berubah mengering. Air yang menggenang terserap ke bawah tanah dan membuat padi-padi yang tadinya begitu kuning dan elok dipandang menjadi mati dalam satu kedipan mata. Mukjizat hitam itu telah dicabut, tak ada lagi keajaiban dan anomali yang belasan tahun telah menaungi Srigati. Semuanya kembali ke kodratnya. Semuanya kembali ke yang seharusnya; tanah yang tandus nan gersang.

Berakhir sudah. Gunardi merintih lirih, bersamaan dengan hembusan angin yang terasa lembut menerpa bulu romanya. Hembusan angin, yang juga membawa sebuah bisikan penuh dendam yang seakan berasal dari kerak neraka paling dasar...

"Wayahe itung-itungan, Gunardi..." (Waktunya berhitung, Gunardi...)


Terimakasih sudah membaca episode ini. Sebuah episode singkat, yang juga menjadi penanda berakhirnya Chapter 3: Perburuan. Dan walaupun singkat, semoga epilog ini bisa menjawab beberapa pertanyaan agan-agan reader semua sekaligus menjadi pembuka Chapter berikutnya.

Dan di Chapter keempat, kami akan mengajak agan-agan semua untuk kembali jauuuuh ke belakang. Ke masa ketika Gunardi baru beberapa bulan diangkat menjadi Kepala dusun, ke masa dimana Astria baru berumur satu tahun...

...dan ke masa dimana perjanjian hitam itu disegel dengan darah untuk pertama kali.

Dan sedikit bocoran lagi biar agan-agan makin penasaran: Yuli bukanlah yang pertama. Dia adalah GENERASI KEDUA dari ritual yang ternyata sudah dilakukan selama belasan tahun itu. Jadi, siapakah yang jadi wadah pertama? Bagaimanakah awal mula dari segala kekejian yang terjadi di Srigati? Siapakah Mbah Gondo dan entitas yang dipanggil Bendugeni sebenarnya? Dan apakah agan-agan pernah bertanya, kenapa ibunda Astria nyaris tidak pernah disebut di cerita ini, kecuali hanya satu kali?

Kurang lebih, tema itulah yang akan mewarnai bagian berikutnya. Jadi, sampai bertemu lagi di....


CHAPTER 4: AWAL MULA

profile-picture
profile-picture
profile-picture
agsy.is.agung dan 54 lainnya memberi reputasi
55 0
55
Lihat 25 balasan
Memuat data ...
1 - 0 dari 25 balasan
TULAH (Jasadnya Mati, Dendamnya Beranak Pinak) ~~ Based on True Story
07-02-2022 22:50

BAGIAN 31

Quote:
Rissa tak pernah merasa seletih ini seumur hidup. Energinya seakan terserap hingga tak bersisa. Punggungnya lemah tersandar di batang sebuah pohon, sedangkan sepasang kaki yang bahkan sudah mati rasa itu terjuntai lurus beralaskan tanah.

Saat ini, untuk pertama kali di dalam hidupnya, Rissa tak lagi memiliki tujuan dan harapan. Optimisme dan semangat yang biasa terpancar di matanya itu telah redup seluruhnya. Dia tak tahu harus berbuat apa. Dia tak tahu harus berlari kemana. Tak ada lagi yang tersisa kecuali kekosongan. Rissa merasa hilang, baik secara fisik maupun pikiran.

Hawa dingin yang setajam mata pisau menusuk-nusuk badan Rissa hingga menggigil hebat karenanya. Memperparah keadaan dimana tulang-tulangnya sudah berasa remuk dan nyeri berdenyut denga n menyebalkan di beberapa bagian tubuh.

Tak ada lagi lantunan doa-doa keselamatan yang biasa terucap dengan deras dari mulutnya. Rissa telah memutuskan untuk berhenti melakukan itu sejak beberapa menit lalu. Dia pikir, sudah tak ada gunanya. Doa-doa itu ternyata tak mampu menyelamatkannya dari jurang ketersesatan. Sepertinya, rasa frustasi ternyata tak cuma membuat Rissa menyerah untuk berjuang mencari jalan pulang. Tapi juga telah berhasil menggoyahkan iman dan keyakinannya kepada Tuhan.

Apa aku mati saja? Pikiran itu kemudian hinggap begitu saja. Merasuk ke dalam pikiran, serupa bisikan setan yang sedang menguji keteguhan hati seorang perempuan muda yang tersesat di dalam kegelapan malam. Apalagi semua yang dibutuhkan sudah tersedia di depan mata; sebuah tali tambang, sebatang dahan pohon dan setumpuk keputusasaan.

Dengan menahan rasa sakit di sekujur tubuh, Rissa kemudian mencoba bergerak membenarkan posisi sandarannya. Pandangannya mulai sedikit kabur, tapi dia tetap memaksa untuk menatap sesosok perempuan yang berada satu setengah meter di depan situ.

"Ewangono aku balas dendam..."

Yuli ada di sana, duduk bersila dengan kondisi yang masih sama; kedua tangan terikat tali yang ujung satunya melingkar di pinggang Rissa. Mereka masih terhubung satu sama lain, belum terpisahkan. Dan di saat itulah, ketika sosok Yuli terekam dalam pandangannya, sebuah ide gila dan sesat menyeruak begitu saja.

Tuhan akan murka kalau kujerat leherku sendiri dengan tali karena bunuh diri adalah dosa besar. Tapi kalau jadi korban pembunuhan, tentu itu lain soal..

Suara angin yang menyapu pepohonan, menciptakan nada-nada dari orkestra alam yang minor dan mengerikan. Arak-arakan awan telah hilang, membukakan tabir bagi jutaan bintang-bintang dan rembulan kini menjadi penguasa tunggal di tengah hamparan langit hitam. Semesta, malam ini, seakan telah siap menjadi saksi atas keputusan yang akan Rissa ambil. Sebuah keputusan terakhir, mungkin.

"Ketoke sedilut meneh, aku bakal podo koyo kowe. Podo-podo edane..." (Kayaknya sebentar lagi, aku bakal sama kayak kamu. Jadi ikut gila...)

Rissa melemparkan sebuah sarkasme pahit, yang kemudian membuat kepala Yuli yang sedari tadi tertunduk dengan rambut panjang terurai menutupi wajahnya itu tetiba terangkat. Kelihatan menyeramkan, seperti biasa. Tapi Rissa bahkan sudah terlalu malas untuk merasa takut. Dia balas menatap tajam ke arah Yuli, sambil menunggu apa yang bakal diucapkannya.

"Ora, ewangono aku balas dendam wae..." (Tidak, bantu aku balas dendam saja...)

Rissa terkekeh. Di tengah keadaan dirinya yang sedemikian berantakan, Rissa akhirnya bisa terkekeh. Bibirnya yang kering dan pucat itu tertarik ke samping membentuk satu senyuman lebar. Walau sebenarnya dia tidak tahu juga mana yang lebih layak ditertawakan; jawaban Yuli yang selalu sama atau ironi hidupnya saat ini.

“Kalau aku wegah (tidak mau), kamu mau apa?” Rissa mencoba menggoda Yuli, yang langsung bereaksi dengan menggertakkan gigi berkali-kali. Reaksi yang aneh, tapi namanya juga orang gila. Mungkin itu adalah caranya untuk menunjukkan ketidaksukaan.

"Ayo to, ewangono aku balas dendam!!" (Ayolah, bantu aku balas dendam!!)

Mendengar jawaban itu, Rissa malah makin terkekeh. Bahkan kini dadanya sampai naik turun walaupun rasanya sakit. Persetan dengan dunia ini, pikir Rissa. Toh semuanya sudah kadung hancur. Pantinya hancur, rencananya hancur, dirinya hancur. Apalagi yang mau diperjuangkan? Rasanya sudah tak ada. Jadi, dengan sisa-sisa tenaga yang masih dimilikinya, Rissa menekuk kedua kaki dan merangkak maju mendekat ke arah Yuli. Kali ini tanpa rasa takut, tanpa rasa benci, tanpa rasa apa-apa. Hanya ada kekosongan yang dingin dan hampa.

"Aku bener-bener sudah gila kayak kamu..." Satu meter rasanya begitu jauh kali ini. Di setiap rangkak yang Rissa ambil, sensasi nyeri di sekujur tubuhnya terasa makin menyiksa. Tapi ia tak berhenti dan terus merangkak. Hingga dia sampai di tujuan, dan tangannya langsung menarik sedikit baju Yuli untuk tumpuan. Hanya agar tubuhnya tak sampai kehilangan keseimbangan dan roboh ke atas tanah.

"Ewangono aku balas dendam..."

Kepala Rissa berkunang-kunang, pusing luar biasa. Pandangannya juga semakin kehilangan fokus dan daya tahan tubuhnya sudah berada di ambang batas.

"Wis, tak turuti! Tapi piye carane?" (Oke, aku turuti! Tapi bagaimana caranya?)

Seakan memberi jawaban, mata Yuli beralih menatap simpul tambang di kedua tangannya.

Rissa mengerti, dan dia sepenuhnya sadar akan resiko yang akan terjadi jika simpul itu dibuka. Tapi bukankan itu yang Rissa inginkan? Yuli akan terbebas dan kemudian melakukan serangan kepadanya sampai dia mati. Bagus, itu akan lebih baik! Dia bisa mati tanpa harus menanggung dosa di hadapan Tuhan karena melawan kodrat dengan membunuh diri sendiri.

Dengan perlahan, Rissa melepaskan ikatan di pinggangnya sendiri terlebih dulu. Kemudian diangkatnya kedua tangan Yuli sampai sebatas dada. Toh, simpul tali ini bukanlah simpul yang rumit. Rissa hanya butuh tak lebih dari sepuluh detik sebelum ikatan tali mulai mengendur kemudian jatuh ke tanah. Membuat ikatan di antara mereka terlepas dan kedua tangan Yuli kini seutuhnya bebas.

"Ojo tanggung-tanggung. Langsung guluku wae!" (Jangan tanggung-tanggu. Langsung leherku saja!)

Ucap Rissa memberi pesan, bersamaan dengan tubuhnya yang kehilangan daya dan kemudian ambruk ke arah depan. Kepalanya luruh tepat di pangkuan Yuli, dan kesadarannya sudah benar-benar berada di ambang batas. Pandangan itu kian meredup, tubuh itu mulai terasa melayang. Tapi hal terakhir yang Rissa rasakan bukanlah serangan yang mencabik leher seperti yang dia harapkan...

Sebaliknya sebuah belaian terasa begitu lembut di rambutnya, disusul dengan rentetan kalimat yang menggema di dinding-dinding telinga...

"Maturnuwun, Rissa. Maturnuwun wis gelem ngewangi aku..." (Terimakasih, Rissa. Terimakasih sudah mau membantu aku...)

Quote:
Jika bisa digambarkan, aroma-aroma di dunia ini serupa sekumpulan spektrum warna. Hanya bedanya, bau atau aroma tidak bisa diidentifikasi sebagai hitam, putih, merah atau yang lainnya. Aroma hanya memiliki sifat dan karakter dari pemiliknya. Ia adalah gambaran paling jujur yang bisa menyingkap kekuatan, kelemahan atau bahkan rahasia tergelap seseorang.

Dan belakangan ini, semakin banyak saja pihak-pihak yang mulai concern dan mempelajari tentang aroma dan kekuatan indera penciuman manusia. Berbagai penelitian, kajian dan seminar diadakan untuk membedah fenomena tersebut. Mulai dari politikus, kepolisian, militer, kedokteran sampai masyarakat sipil dan komunitas-komunitas kecil. Hanya yang memuakkan, sejak awal mereka mempersepsikan bahwa kemampuan penciuman terhadap aroma identik dengan hal-hal supranatural atau bersifat gaib.

Hal yang sama terjadi pada Theo, ketika lima tahun lalu sekelompok elit itu datang kepadanya untuk pertama kali. Ada lima orang, Theo masih ingat betul, menunggunya di sebuah penthouse mewah di tengah belantara beton Jakarta. Kelimanya memakai setelan safari khas konglomerat, namun hanya seorang yang maju dan memperkenalkan dirinya.

"Nama saya Kuncoro..." Ucapnya dengan nada penuh kegagahan, tanpa sedikitpun ikut memperkenalkan empat pria lain yang duduk di belakang. "...Saya dengar kamu bisa menerawang hal-hal gaib. Meramal juga bisa?"

Begitulah kenyataannya. Persepsi orang bahwa Theo tak lebih dari seorang dukun, memang sudah mengakar kuat. Tapi di sisi lain, dia tak pernah sekalipun berusaha menjelaskan atau memberi mereka pengertian bahwa persepsi itu salah. Untuk apa, pikirnya. Dia merasa tak punya kewajiban untuk menjelaskan apapun kepada siapapun.

Lagipula, susah juga bagi Theo untuk melakukannya andai dia mau. Kelebihan ini dia dapatkan dengan cara yang aneh, bahkan terlalu aneh untuk dijelaskan. Singkatnya, kemampuan ini datang dengan sendirinya ketika Theo berumur lima belas tahun. Pertengahan September, masih terlalu jelas di ingatannya, di hari yang sama dengan hari kematian Momo; anjing kesayangan keluarga Theo.

Awalnya, Theo hanya merasa ada gambaran-gambaran yang muncul secara acak di kepala setiap kali dia berpapasan dengan seseorang dan aroma tubuh orang itu masuk tanpa sengaja ke dalam hidungnya. Semakin lama, gambaran-gambaran itu semakin banyak seiring dengan semakin seringnya pula Theo berpapasan dengan orang-orang. Entah itu bapaknya, ibunya, adiknya sampai orang asing yang tidak dia kenal. Belum mampu mengontrol, Theo sempat menderita sakit kepala hebat dan membuatnya sampai harus masuk rumah sakit selama tiga hari.

Walau perlahan-lahan, Theo mulai bisa menerima anomali itu dan mulai belajar untuk mengontrolnya. Bukan hal mudah, butuh waktu sampai tiga tahun sampai dia benar-benar memiliki kendali penuh atas bakatnya. Kemudian, butuh lima tahun lagi bagi Theo untuk bisa memanfaatkannya sebagai ladang mencari uang.

Dan setelah sekian puluh tahun berlalu, masih ada satu pertanyaan yang belum mampu Theo temukan jawabannya hingga sekarang; apakah kematian Momo di hari itu, ada hubungannya dengan bakat yang tiba-tiba ia miliki itu? Entahlah. Theo tidak tahu dan mungkin sudah enggan untuk mencari tahu. Semakin dewasa, urusan seorang pria juga semakin banyak. Yang dia tahu, dia harus bersyukur bakat ini bisa dia jadikan sebagai sebuah pekerjaan. Seorang pengendus profesional.

Seperti malam ini. Dimana ia berlari menuruni jalan setapak yang membelah lebatnya hutan belakang Panti. Jalan setapak, dimana alur spektrum sepasang aroma itu semakin jelas tercium sejelas telapak kaki di tanah sehabis hujan. Tak perlu lagi ia gunakan metode menifestasi gambaran yang membuat tenaga terkuras itu. Theo tak peduli lagi dengan kisah si target atau motivasi si penculik. Yang menjadi prioritas utama sekarang adalah; menemukan target, dan melumpuhkan si penculik andai dia berusaha melawan atau menghalangi Theo. Sesederhana itu.

Jalur setapak terus menurun dan maki curam sepanjang satu setengah kilometer, sebelum Theo menemukan sebuah persimpangan di depan. Jalur bercabang menjadi dua; yang kanan nampak landai dan sepertinya mengarah ke jalan raya, sedang yang kiri kembali menurun dengan kegelapan yang terlihat kian pekat di bawah sana.

Awalnya, Theo menduga si penculik akan berbelok ke kanan. Membawa targetnya menuju jalan raya dengan sebuah mobil atau apapun yang sudah menunggu dan akan membawa mereka pergi menjauh. Tapi Theo salah, alur aroma itu jelas berbelok ke arah yang sebaliknya. Menuju jalur yang menurun, yang saking gelapnya, mata Theo sampai tak mampu menangkap apapun di bawah sana.

Tapi kenapa? Theo mulai bertanya pada diri sendiri. Kenapa si penculik malah membawa dirinya masuk makin dalam ke hutan ketika jalan kebebasan sudah berada di depan mata? Apakah ini jebakan dan usaha untuk mengaburkan jejak? Atau si penculik telah gagal memetakan medan dan tersesat karena salah memilih jalur?

Kalau aku tak turun, aku tak akan tahu jawabannya. Ucapnya dalam hati, sambil melompat menuju lembah dan menembus kelamnya hutan rimba. Langkahnya makin ia percepat. Dan semakin Theo jauh turun ke bawah, aroma-aroma ini semakin kuat tercium.

Aku makin dekat. Dan sepertinya mereka tidak melakukan pergerakan apapun lagi! Theo menggumam, sambil merogoh sesuatu dari dari balik kantong celana kainnya. Sebuah pisau lipat menyembul keluar, dan dengan satu hentakan tangan ujungnya yang tajam terbuka dan terhunus ke arah depan.

Bukan karena merasa takut, Theo hanya merasa perlu berjaga-jaga. Bagaimanapun, tempat ini gelap dan deretan pohon-pohon begitu rapat. Siapa tahu ada yang tiba-tiba melompat dari belakang dan melakukan serangan tak terduga. Theo butuh antisipasi untuk hal-hal diluar perhitungan seperti itu. Dia tak akan membiarkan siapapun melukainya dengan mudah.

Ah, tapi rasanya reputasiku terlalu sempurna untuk sekadar diserang orang di dalam hutan! Theo sedikit jumawa. Tapi tak salah juga, karena jika diingat-ingat ke belakang, dia pernah berada di situasi yang lebih berbahaya sebelumnya.

Sebutlah kejadian yang terakhir, baru setahun lalu. Dikepung dan dikeroyok tujuh orang bersenjata golok di salah satu dermaga di Priok. Theo bahkan sempat menebas balik dua batang leher musuh-musuhnya, sebelum dia berhasil meloloskan diri dengan melompat ke laut dan harus mengapung selama dua jam sebelum seorang nelayang memberinya pertolongan.

Jadi misi kali ini bukanlah apa-apa. Hanya merebut kembali seorang perempuan yang hamil tua yang sempat dibawa kabur penculik amatiran. Tak ada yang istimewa, termasuk kisah si target yang dibumbui hal-hal supranatural tai kucing oleh orang-orang udik dari dusun terpencil itu.

Tapi sayangnya, di akhir cerita, bukan sekelompok orang bersenjata tajam yang berhasil merobohkan tubuh tegap Theo dan menghancurkan reputasinya yang tanpa cela.

Quote:
Salahnya sendiri terlalu bernafsu. Berjalan terlalu cepat dengan fokus yang hanya tertuju ke satu titik; alur aroma yang semakin kuat mengarah lurus ke depan. Theo tidak memperhitungkan setiap jengkal kaki yang dia ambil, jalur yang menurun curam dan keadaan sekitar yang gelap gulita.

Lalu terjadilah! Nasib berbalik dan Theo si pengendus andal yang berkali-kali selamat dari kematian itu ditertawakan semesta beserta isinya. Kakinya tersandung akar pohon yang melintang di tengah jalan, membuat tubuhnya kehilangan keseimbangan.

Semuanya terjadi terlalu cepat, jauh lebih cepat daripada tebasan-tebasan golok yang dulu berhasil dia hindari. Theo tersentak, dan tak sempat mengembalikan keseimbangan. Tubuhnya roboh dan terguling-guling tanpa ampun.

Braakk!! Braakk!! Braakk!!

“Anjing! Bangs*t!!”

Dengan sisa instingnya untuk bertahan hidup, tangan Theo mencoba menggapai apapun yang bisa dia gapai sebagai pegangan. Batang pohon, juluran akar, tanah, apapun. Tapi hasilnya sama. Gapaian tangannya selalu meleset dan tubuhnya terus menggelinding menuruni lembah tanpa bisa dihentikan.

“Babi!! Gue enggak boleh mati sekarang!!” Dia berusaha bertahan, meski tubuhnya mulai terasa perih karena benturan dan gesekan. Firasat buruk tentang kematian juga mulai memenuhi otak, dan itu membuat daya endus Theo menjadi berantakan.

Hingga akhirnya....

Bruukkk!!!

Kraaakk!!


Bahu kanannya terbentur dengan keras ke atas tanah. Theo merintih dalam, menahan rasa sakit yang tak tertahankan. Jelas tulang selangkanya patah, dia mendengar sendiri suara yang membuat ngilu itu.

“ANJIIIIIINNGGGG!!” Theo ingin berteriak sekencangnya. Tapi yang keluar dari mulutnya hanyalah sebuah rintihan parau. Dia segera menggeser punggung sambil memegangi bahunya dengan tangan kanan agar tulang yang patah itu tak bergeser semakin jauh dan sampai keluar menembus kulit. Tak dipedulikannya lagi darah yang mengucur dari dahi dan membuat matanya perih. Theo memilih mengumpulkan tenaga untuk berdiri dan mulai mencari-cari lagi alur aroma yang sempat kacau karena kejadian tadi.

Sial! Hidungnya terasa begitu nyeri, mungkin karena sempat terbentur. Dan nahasnya, itu membuat kemampuan mengendusnya menjadi berantakan. Dengan terseok-seok menarik langkah, kini Theo tak ubahnya seperti anjing pemburu yang kehilangan arah. Mencoba menatap sekeliling, hanya ada deretan pepohonan tanpa jalan keluar.

Lalu kemudian, di tengah kebingungan yang melanda, sebuah suara terdengar lamat-lamat dari balik kegelapan.
Quote:Cublak-cublak suweng...
Suwenge ting gelenter...
Mambu ketundhung gudhel...

Keparat, apa lagi ini?? Suara apa itu? Siapa yang bernyanyi tengah malam begini di dalam hutan?

Darah mengucur makin deras, membuat mata Theo semakin perih dan tak mampu melihat dengan jelas. Tapi kedua kakinya memaksa terus berjalan. Mendekat ke arah suara nyanyian yang terdengar sumbang dan mengerikan.
Quote:Pak empong lera lere...
Sopo ngguyu ndhelikkake...
Sir sir, pong dhele kopong...

“Hei, siapa itu??!!” Theo berteriak sembari terus menyeret kakinya sendiri. Tapi tak ada jawaban apapun. Nyanyian tiba-tiba malah terhenti, membuat malam kembali sunyi dan Theo kehilangan satu-satunya penanda arah.

Hingga kemudian, Theo merasakan sesuatu dalam gelap. Kakinya seperti menabrak sesuatu. Kali ini bukan akar pohon, dia yakin. Yang ini terasa sedikit lunak dan dia bergerak. Seperti tubuh manusia!

Theo usap terlebih dulu darah yang mengucur di matanya agar pandangannya lebih jelas, sebelum dia mencari sesuatu yang menganggu langkah kakinya. Benar saja, sesosok tubuh manusia berjaket parka hitam tergeletak dengan posisi tertelungkup tepat di bawah kaki.

Bangs*t, ini si penculik itu! Theo menggeram marah sambil menekuk lutut dan kemudian membalik sesosok tubuh itu dengan satu tangan.

“Cewek kemarin sore?! Penculik yang bikin rencana gue berantakan cuman cewek bau kencur ini?! Bangs*t!” Theo memukul tanah dengan tangannya sendiri. Kenyataan bahwa yang membuatnya masuk ke dalam hutan sampai terjatuh dan tulang selangkanya patah itu ternyata adalah perempuan muda bau kencur, membuat harga dirinya seakan telah dilecehkan.

Tapi, apakah suara nyanyian tadi berasal dari mulut perempuan ini? Theo tiba-tiba berpikir. Sepertinya mustahil, dia pingsan tak sadarkan diri. Berarti di sini ada orang lain yang....
Quote:Cublak-cublak suweng...
Suwenge ting gelenter...
Mambu ketundhung gudhel...

Theo terkesiap! Suara itu muncul lagi, bahkan kali ini terdengar begitu dekat! Dia seketika bangkit, dan memutar badannya untuk mencari sumber suara itu.
Quote:Pak empong lera lere...
Sopo ngguyu ndhelikkake...
Sir sir, pong dhele kopong...

Dia di sana. Perempuan beraroma sama dengan yang tertempel di kain pemberian Kepala Dusun bernama Gunardi itu. Menyanyi sambil duduk di sebuah dahan pohon dengan tangan yang mengelus perutnya yang buncit.

“Kamu...” Kalimat Theo tercekat. Matanya melotot penuh kengerian ketika dia menyadari bahwa ada sesuatu terkalung di leher perempuan itu; tali tambang.

Sir sir, pong dhele kopong...

Seketika Theo sadar, apa yang akan dilakukan perempuan yang harus dibawanya pulang hidup-hidup itu.

“JANGAAAAN!!”

Tapi terlambat. Perempuan itu terjun dengan sebuah senyum bahagia yang terukir di bibirnya yang menghitam. Seakan dia tidak menyesal, membiarkan simpul itu menjerat lehernya hingga patah. Seakan dia tidak kesakitan, karena dengan begini perannya di dunia sudah usai tergenapi.

“Jangaaan mati, bangsaaaat!”

Percuma saja. Mau sekeras apapun Theo memaki, semuanya telah terjadi tanpa bisa dia cegah. Tak ada lagi yang tersisa...

Kecuali sepasang kaki yang mengambang di udara, dan segumpal dendam yang siap untuk beranak pinak.

profile-picture
profile-picture
profile-picture
ferist123 dan 53 lainnya memberi reputasi
54 0
54
Lihat 14 balasan
Memuat data ...
1 - 0 dari 14 balasan
TULAH (Jasadnya Mati, Dendamnya Beranak Pinak) ~~ Based on True Story
19-02-2022 20:30

A JOURNAL: SIDE-STORY [SATU]

Quote:
Dea bukannya tidak tahu kalau abang, papa dan terutama mama terlihat begitu mengkhawatirkannya. Dea sadar, mereka semua mulai bertanya-tanya tentang perubahan sikap yang ia tunjukkan semenjak pulang dari KKN yang berantakan dan tak pernah tuntas itu. Sama seperti rasa ingin tahu mereka tentang apa yang sebenarnya sudah terjadi di desa tempat Dea seharusnya mengabdi dan menyelesaikan program kerja yang telah disusun itu.

Pernyataan dari pihak kampus sendiri terdengar sedikit tak masuk akal sekadar basa-basi belaka; Proker kelompok ternyata tidak bisa berjalan di Jatiasih dan akan segera dicarikan lokasi KKN baru yang lebih sesuai dengan rencana awal. Tapi tak ada yang percaya tentu saja. Isu tentang Sarah yang kerasukan sudah menyebar kemana-mana, bahkan sampai ke telinga kedua orangtua dan Kakak Dea.

Dan setiap kali Dea harus menghadapi berondongan pertanyaan tentang semua itu, jawaban singkat dan padat selalu ia berikan; bahwa tak ada kejadian aneh apapun seperti yang semua orang pikirkan. Semuanya terjadi memang karena proker yang gagal total, sedangkan Sarah hanya sakit biasa karena kelelahan dan stres akibat deadline program yang menumpuk.

Dea tidak suka berbohong, apalagi kepada keluarganya sendiri. Tapi dia tahu apa akibatnya jika dia buka semua kejadian ganjil dan kecerobohannya masuk ke dusun terpencil yang aneh dan menakutkan itu. Apalagi, Dea dan semua anggota KKN telah membubuhkan tanda tangan mereka di atas surat perjanjian di atas materai yang disodorkan –dengan sedikit ancaman- oleh pihak kampus.

Isinya jelas, bahwa semua yang terlibat dalam program KKN di Jatiasih itu memiliki kewajiban untuk menjaga rahasia agar jangan sampai nama kampus menjadi cemar di mata siapapun yang tidak memiliki kaitan apa-apa. Konsekuensi jika ada pelanggaran juga sudah tertulis jelas di pasal terakhir; mulai dari dikeluarkan dari kampus sampai pelaporan kepada pihak yang berwenang.

Anak-anak ingusan itu jelas tak berani menolak atau memberikan bantahan. Semuanya menandatangi surat perjanjian itu. Kecuali, tentu saja, si brengsek Gilang yang sampai kini tak ada kabarnya sama sekali.

Tapi sekali lagi, Dea tak pandai berbohong. Alih-alih memuaskan rasa penasaran, jawaban yang ia berikan malah semakin membuat ragu seluruh keluarga. Ditambah lagi, karena Dea jadi lebih sering mengurung diri di kamar. Keluar hanya sesekali. Paling untuk mandi dan makan. Ngobrol bersama papa dan mama di ruang televisi juga hanya sebentar saja, tak lebih dari sepuluh menit, sebelum kemudian dia pamit ke kamar dengan berbagai alasan yang terkesan dibuat-buat.

"Neg sakit ngomong lho Nak. Ojo meneng wae, Bapak sama Ibu jadi khawatir..." (Kalau sakit bilang lho, Nak. Jangan diam saja, Bapak sama Ibu jadi khawatir....)

Dea menggeleng. Dia sehat walafiat dan memang begitulah sejujurnya. Ada alasan lain yang tidak mungkin Dea ceritakan kepada siapapun, apalagi kepada Bapak dan Ibu. Berhari-hari dia menghabiskan sebagian besar waktu di dalam kamar dalam keadaan pintu terkunci. Tak ada yang dia lakukan kecuali duduk di depan komputernya selama berjam-jam. Berselancar di dunia maya. Menenggelamkan diri dalam penelusuran untuk memburu satu keping puzzle dari masalah yang bagi Dea belum selesai.

Dia harus menemuinya, si pemilik jurnal yang Dea selipkan di tengah-tengah tumpukan buku di lemari meja belajarnya.

WAHYU DEWANGGARA.

Quote:
Awal mula, Dea memilih cara paling mudah untuk melakukan penelusuran. Mengetik judul jurnal tersebut di berbagai situs ilmiah. LIPI, Academia, Google Scholar sampai web resmi kampusnya sendiri. Hasilnya nihil. Sama sekali tak ada jejaknya.

Jurnal ini tidak terdaftar. Entah tidak sempat atau memang sengaja, yang pasti ini cukup aneh dan tidak wajar. Bagaimana bisa sebuah jurnal yang benar-benar ada –dan bahkan sekarang ada di depan matanya, bisa tidak terdeteksi di situs-situs resmi?

Sambil menghirup segelas coklat panas bikinannya sendiri, Dea memutar otak sedikit lebih keras. Sepanjang yang dia ingat tentang apa yang pernah Gilang katakan, dokumen ini dia ketemukan di perpustakaan kampus. Sedangkan jika ditarik benang merah dengan fakta bahwa jurnal ini tidak terdaftar di situs manapun, besar kemungkinan si penulis hanya meletakkannya begitu saja di deretan rak-rak kayu bersama jurnal-jurnal lainnya. Dengan tujuan apa? Dea tidak yakin, tapi mungkin si penulis berusaha menyembunyikannya. Dia merasa bahwa tempat umum seperti perpustakaan jauh lebih aman untuk meletakkan jurnal tersebut dibandingkan di rumahnya sendiri.

Mungkin. Semuanya hanya sebatas mungkin. Dea mendesah sambil membenamkan punggungnya makin dalam di senderan kursi. Isi kepalanya mengembara tidak karuan, menyusuri berbagai pertanyaan demi pertanyaan yang membuatnya malah makin tersesat tanpa jawaban.

Namun, seakan tak mau terlalu lama berdiam dalam kebuntuan, Dea kemudian bangkit dan tarik jurnal itu keluar dari deretan buku-bukunya. Sekali lagi, dia meyakinkan diri sendiri, sekali lagi aku akan mencari sesuatu dari kumpulan kertas ini.

ANALISIS LAHAN PERTANIAN DI DUSUN SRIGATI:
ANTARA ANOMALI TANAH DAN KEPERCAYAAN MASYARAKAT LOKAL
Penulis;
WAHYU DEWANGGARA
19XX

Entah sudah berapa kali Dea membacanya. Dengan sedikit digelayuti rasa malas, jarinya membuka halaman kedua yang berisi abstrak yang juga sudah berkali-kali dia baca dan telaah dengan begitu teliti.
Quote:
ABSTRAK
Bentang alam G********* yang sebagian besar terbentuk dari pegunungan karst dan tanah mediterian yang kering, menimbulkan masalah pada pengairan untuk memenuhi kebutuhan pertanian maupun peternakan. Tak terkecuali di Kecamatan Semani, dimana nyaris seluruh desa-desa yang berdiri di dalamnya mengalami problematika yang serupa. Kondisi ini kemudian berdampak pada rendahnya pendapatan dari pertanian dan tingginya angka kemiskinan di daerah tersebut. Begitupun dengan pemanfaatan lahan kering yang sudah diusahakan, namun berdampak tidak signifikan sehingga membuat banyak dari penduduk berumur 17-30 tahun yang memutuskan untuk bekerja di luar daerah mereka atau merantau. Gelombang para perantau ini tercatat mencapai puncaknya ketika pagebluk kekeringan panjang yang menimpa daerah tersebut selama dua tahun.

Tapi dari hasil penelitian di lapangan, ditemukan satu daerah dimana paparan data di atas sama sekali tidak berlaku. Wilayah tersebut kemudian akan menjadi obyek penelitian dalam jurnal ini. Yaitu sebuah dusun kecil bernama Srigati, dengan anomali lahan pertanian yang ada di sana beserta hubungannya dengan kepercayaan masyarakat lokal.

Atau dalam hal ini, adalah sebuah upacara sejenis selamatan panen raya namun memiliki ciri yang berbeda, begitu khusyuk sekaligus kental akan aroma mistis. Penduduk lokal Srigati menyebutnya Gelar Pendem
.

Ah, sudahlah! Dea menutup kembali lembaran itu dengan sedikit kesal. Memang tak ada apa-apa di sini. Tak ada petunjuk apapun yang bisa membantunya mencari keberadaan si penulis. Bahkan nyaris Dea berniat untuk mengembalikan jurnal tersebut, mematikan komputer dan tidur dengan nyenyak, sampai matanya menangkap sesuatu di halaman sampul.

Penulis;
WAHYU DEWANGGARA.

Bagaikan lampu bohlam yang tetiba menyala terang di dalam kepala, Dea segera bangkit dan kembali ke depan komputer dengan membawa semangat baru dan sebuah ide brilian. Ya! Nama itu! Kenapa dia tak kepikiran sama sekali untuk mencari nama itu saja?! Kembali, jari-jarinya lincah mengetik di atas keyboard. Kali ini, tanpa ba bi bu, dia membuka dua tab langsung. Tab pertama, dia ketikkan alamat fakultas pertanian di Universitasnya sendiri. Sedang tab kedua, dia membuka mesin pencarian google.

Di kolom pencarian masing-masing tab, Dea mengetik nama yang sama; Wahyu Dewangga. Dan apa yang dia temukan di database fakultas pertanian cukup mengejutkan. Sebuah judul skripsi dengan tema dan obyek yang benar-benar berbeda tertera di sana, dengan selish dua tahun lebih baru daripada tahun yang tertera di sampul jurnal.

Dea mendecakkan lidah. Dahinya berkerut. Berarti Wahyu Dewangga berhasil lulus dengan penelitian yang tak ada hubungannya sama sekali dengan Srigati. Di titik ini, dugaan Dea di awal tadi bahwa Wahyu dengan sengaja menyembunyikan atau bahkan membuang jurnal itu di perpustakaan menjadi semakin kuat. Tapi, disembunyikan dari apa? Apakah dari Kepala Dusun dan kakek tua mirip dukun yang sempat dia temui bersama Gilang kemarin itu? Lalu, tentang perempuan yang dipasung di kandang kambing itu...apa hubungannya dengan semua ini?

Pertanyaan-pertanyaan itu makin menghantui hati Dea. Dan rasanya tak mungkin ada yang bisa memberikannya jawaban kecuali Wahyu Dewangga sendiri.

Kemudian, mata Dea beralih ke tab kedua. Google sudah siap dengan hasil pencarian yang kini terpampang nyata di depan mata. Sialnya, ada beberapa nama Wahyu Dewanggara yang ada di sana. Setidaknya di empat baris teratas, dan dia kebingungan untuk menentukan Wahyu yang mana yang sedang dia cari.

Tapi Dea adalah perempuan cerdas. Tak butuh waktu lama, dia menemukan jalan keluar; membubuhkan kata kunci tambahan di belakang nama itu.

Wahyu Dewanggara...Fakultas Pertanian Universitas S**********...19XX.

Dan, voila!!

Dea nyaris melompat dari kursinya karena kegirangan. Matanya penuh antusiasme menatap daftar teratas adalah akun facebook dengan nama, universitas dan tahun lulus sesuai dengan kata kunci. Mouse di-klik dua kali, dan sepertinya Dea menemukan sebuah tumpukan harta karun! Data diri dan alamat, semuanya lengkap ada di sini. Termasuk update status yang baru diposting tiga hari lalu, galeri berisi foto-foto dan daftar pertemanan.

Tapi, hal yang disebut terakhir itulah, yang kemudian membuat Dea seperti disambar petir. Matanya yang bulat melotot tak percaya dan mulutnya ternganga lebar oleh sensasi kejut yang tak pernah ia duga sebelumnya. Sederet tulisan yang tertera di kolom daftar pertemanan; antara dia dan Wahyu Dewanggara.

Mereka memiliki teman yang sama.

Dan dia adalah Basuki Airlangga. Bapak Dea sendiri.


Quote:
Halaman 4

...didasarkan pada peta topografi, jenis tanah di sebagian besar wilayah Kecamatan Semani merupakan jenis tanah litosol dan mediteran merah. Jenis ini terbentuk dari jenis batu-batuan keras yang belum mengalami proses pelapukan secara sempurna. Setelah dilakukan pengujian di lapangan, ciri-ciri tanah di daerah tersebut memiliki tekstur yang kering, keras, memiliki unsur hara rendah dan lapisan tanah yang tidak terlalu tebal. Jika dilihat dari rendahnya kandungan unsur hara, sebagian besar tanah tidak dapat dimanfaatkan untuk lahan pertanian. Tanaman sulit untuk tumbuh subur, kecuali beberapa jenis seperti pepohonan jati, palawija dan rumput liar.

Tak terkecuali di dusun Srigati, dimana daerah tersebut secara geografis berada di tengah hutan jati yang cukup besar dan lebat. Namun menariknya, di salah satu titik di dusun tersebut ditemukan area seluas 4,35 hektar dimana di sana jenis tanah menjadi sangat berbeda dengan keadaan di sekitarnya. Bahkan di area tersebut terhampar petakan-petakan sawah dengan pengairan yang dihasilkan sendiri dari titik pusat yang berada di tengah-tengah lahan persawahan.

Menurut Gunardi, Kepala Dusun setempat, area tersebut dinamai masyarakat sebagai sawah pendem. Menurutnya, anomali tanah yang terjadi di area tersebut sudah ada dan dikeramatkan sejak dia masih kecil. [transkip wawancara terlampir]

Saya kemudian mendapat kesempatan untuk mengambil dua sampel tanah dari luar dan di dalam area sawah pendem. Dari hasil uji laboratorium, didapatkan hasil yang menunjukkan anomali tanah yang benar-benar kontras.
Quote:SAMPEL SATU
Tanah diambil dari area yang hanya berjarak satu meter di luar sawah pendem. Hasil; didapatkan minimnya kandungan air, cenderung kering dan memiliki unsur hara yang rendah. Hasil serupa ditemukan nyaris di seluruh area di Kecamatan Semani.

Quote:SAMPEL DUA
Tanah diambil di dalam area sawah pendem dan hanya berjarak tiga meter dari lokasi pengambilan sampel pertama. Hasil; ditemukan tingkat mineral makro dengan kandungan fosfor yang tinggi, kadar PH tanah berada dalam ambang batas aman, dan warna tanah yang cenderung gelap. Hasil tersebut hanya ditemukan di dalam area sawah pendem, dan jenis tanah serupa dapat ditemukan di daerah yang umumnya dekat dengan aliran sungai.

Permasalahannya adalah, dari hasil survey dan data yang didapat dari pihak kecamatan, tidak ditemukan aliran sungai dengan debit air yang cukup di sekitar daerah dusun Srigati atau bahkan dalam radius sejauh sepuluh kilometer sekalipun.

Tentunya anomali tanah tersebut membutuhkan penelitian yang jauh lebih mendalam untuk mencari kesimpulan empiris tentang apa yang sebenarnya terjadi di daerah tersebut. Namun jika dilakukan pendekatan secara budaya, sawah pendem tidak dapat dipisahkan dari sebuah upacara adat yang diselenggarakan tiga tahun sekali oleh masyarakat Srigati.

Namanya Gelar Pendem, dan observator mendapatkan kesempatan untuk mengikutinya tahun ini.
profile-picture
profile-picture
profile-picture
donif dan 52 lainnya memberi reputasi
53 0
53
Lihat 16 balasan
Memuat data ...
1 - 0 dari 16 balasan
TULAH (Jasadnya Mati, Dendamnya Beranak Pinak) ~~ Based on True Story
24-12-2020 21:01

BAGIAN 6

Halo agan-agan semuanya, menepati janji ane maka malam Jumat ini akan ada apdetan baru dari trit ane ini. Dan berhubung apdet kali ini molor lumayan lama, maka ane bikin agak panjang dan detail. Semoga bisa dinikmati.

Sebelum kita mulai, ane mau nitip pesen nih biar trit kita ini tambah rame, silakan share trit ini jika agan-agan merasa kalau cerita yang ane tuturkan ini cukup menarik dan layak untuk dinikmati bersama-sama.

Oh iya, ane ampe nyaris lupa buat ngucapin selamat Malam Jumat dan Selamat hari raya Natal bagi yang merayakan...


Quote:
"BEDHESSS...!! CEPET DIGACAR!!”

Teriakan Pak Gunardi itu setidaknya memiliku dua arti bagi Sarmin; pertama bahwa dia memang harus menangkap dua penguntit itu bagaimanpun caranya. Yang kedua adalah, ada sesuatu yang gawat baru saja terjadi.

Karena seingatnya, Pak Gunardi nyaris tak pernah memerintah orang dengan nada dan amarah sebesar ini. Dia, sebagai kepala dusun, dikenal sebagai sosok yang kharismatik, ngayomi dan kebapakan layaknya seorang pamong. Bahkan Pak Gunardi selalu memanggil Sarmin dengan kata ganti seperti 'Le', 'Cah Bagus' atau 'Nang' seperti ia memanggil anak lelakinya sendiri.

Tapi malam ini, untuk pertama kalinya, Sarmin dihardik dengan sebutan bedhes. Monyet. Telinga dan hatinya langsung panas di waktu bersamaan. Andai saja orang lain yang memanggilnya seperti itu, Sarmin tak terlalu ambil pikir. Dia bisa langsung menghajar orang itu sampai mampus, dengan lengan kekar nan legam yang terbentuk karena pekerjaan kerasnya keluar masuk hutan dan kadang membawa sebalok kayu jati seorang diri.

Tapi kali ini, Pak Gunardi-lah yang melakukannya. Seorang lelaki yang begitu dihormati, bukan cuma oleh Sarmin semata, tapi juga oleh nyaris semua orang Srigati. Termasuk juga bapak dan ibunya.

"Pak Gunardi kui pahlawan dusun e dewe, Sar. Priyayine kui wis ngelakoni opo wae dinggo nyelametake Srigati soko balak..." (Lek Gunardi itu pahlawan desa. Beliaunya sudah melakukan apa saja untuk menyelamatkan Srigati dari bala bencana...)

Tutur sang ibu pada suatu hari. Jadi sejak saat itu, di kepala Sarmin sudah tertanam bahwa Pak Gunardi adalah seseorang yang harus dan pantas untuk diberi hormat. Beliau adalah seorang priyayi, kepala dusun dan pahlawan Srigati. Walau sejujurnya, Sarmin juga tak tahu apa yang telah dilakukan Pak Gunardi sampai semua orang tua menyebutnya pahlawan.

"Sarmin, ngopo meneng wae?! Cepet Gunardi kae disusul!!" (Sarmin, kenapa diam saja?! Cepet susul Gunardi!!)

Suara itu membuyarkan lamunan Sarmin. Kali ini bukan dari mulut Pak Gunardi, tapi dari sesosok figur kakek sepuh dengan blangkon hitam dan pakaian Surjan serta tongkat teken kayu yang dia kenal dengan panggilan Mbah Gondo. Seorang kakek yang tadi siang dia jemput di rumahnya dan dia antar ke rumah Pak Gunardi. Seorang yang sudah dianggap sesepuh di desa ini...

Kakek-kakek ini, ah...walaupun hidup bersama di satu Dusun, Sarmin tak pernah benar-benar mengenalnya. Mbah Gondo penuh dengan misteri. Ada yang bilang dia hanyalah seorang sesepuh, ada juga yang bilang dia adalah dukun. Sakti mandraguna dan bisa bicara dengan arwah-arwah yang sudah mati. Tapi semua itu hanyalah omongan orang. Satu-satunya yang bisa Sarmin pastikan kebenarannya hanyalah, Mbah Gondo bisa membuat orang seterhormat Pak Gunardi sampai harus sedikit membungkukkan badan dan menundukkan pandangan setiap kali berbicara dengannya.

"CEPET!!"

Perintah Mbah Gondo yang kedua kali membuat Sarmin segera bereaksi. Dia naik ke sepeda motornya dan kemudian menyalakan mesin.

"Cah gemblung, kok malah numpak motor?!" (Orang gila, kok malah naik motor?!)

"Ben cepet Mbah!!" (Biar cepet, Mbah!!)

Gas langsung ditarik sekencangnya, kembali ke perempatan desa dan berbelok ke arah kebun jagung. Kali ini Sarmin benar-benar harus menangkap siapapun penguntit yang telah menyaksikan apa yang seharusnya tidak mereka saksikan. Tak peduli entah mereka maling, bocah-bocah kampung sebelah yang main dan nyasar sampai kesini...

...atau bahkan anak-anak kota yang sudah beberapa minggu terakhir ini ia dengar sedang melakukan KKN di Jatiasih.

Intinya, mereka telah mengusik ketentraman Dusun tercintanya. Dusun yang selama ini begitu tenang, damai dan sekaligus menyimpan rahasia-rahasia yang harus dijaga dari orang-orang asing.

Terutama lagi, tentang rahasia kandang kambing itu. Tentang apa...

...dan siapa yang tersimpan di dalam sana.


Quote:
Sembilan tahun lalu,

Pada satu malam paling kelam yang tak akan pernah bisa Sarmin lupakan sampai kapanpun, pintu rumahnya digedor-gedor oleh seseorang dari luar. Kala itu sudah lewat tengah malam, Sarmin yang setengah tertidur di atas tikar di ruang tengah, nyaris terlompat kaget mendengar ribut-ribut di luar sana.

Rasa kantuknya hilang tak tersisa. Langsung ia bangkit dan berlari ke arah pintu depan. Di belakang, bapak dan ibunya menyusul, juga dengan setengah berlari dan wajah yang tampak sangat panik.

Pintu semakin keras dan semakin sering digedor, seakan siapapun yang ada di sana juga tak kalah panik dan terburu-buru. Tangan Sarmin langsung menggeser balok kayu penahan pintu dan membukanya dengan segera. Bersamaan, sosok yang begitu familiar segera menghambur masuk ke dalam. Keringat membasahi seluruh tubuhnya, nafasnya pun tersengal-sengal.

Namanya Mardi, tetangga sebelah sekaligus teman sebaya Sarmin. Nyaris saja dia melayangkan pukulan ke wajah si brengsek itu sebagai pelampiasan rasa kesalnya. Namun niat itu tertahan ketika dia mendengar kabar yang dibawa Mardi.

"Sepurane, Sar...iki enek rajapati! Lek Kasnyoto karo bojone pejah..." (Maaf sekali, Sar...ini ada kabar duka! Lek Kasnyoto dan istrinya meninggal...)

Mardi kemudian menoleh ke belakang, seakan memberi tahu Sarmin bahwa di luar sana, keaadan sudah ramai riuh oleh para warga Dusun yang berkumpul membentuk beberapa titik di berbagai sudut jalan. Suara kentongan bertalu-talu, dipukul sekali demi sekali. Menyebarkan tanda rajapati; yang berarti bahwa ada seseorang yang baru saja mati.

Sarmin langsung keluar dari rumah diikuti oleh Mardi dan kedua orang tuanya. Bergabung dengan warga yang kemudian bergerak berbondong-bondong menuju rumah Lek Kasnyoto yang letaknya berada di ujung barat Dusun. Beberapa dari mereka membawa obor di tangan untuk penerangan, karena memang pada saat itu listrik belum masuk di Srigati.

Di sepanjang perjalanan, Sarmin berkutat dengan isi kepalanya sendiri. Pikirannya dipenuhi prasangka-prasangka buruk. Ini pasti bukan kejadian biasa! Selain karena yang meninggal adalah sepasang suami istri sekaligus, tadi sore dia masih melihat Lek Kasnyoto berjalan dengan goloknya dan keluar dari kebun. Bahkan mereka berdua masih sempat bertegur sapa.

Orang itu terlihat benar-benar sehat dan bugar seperti biasanya. Tidak tampak sakit sama sekali.

Iring-iringan warga akhirnya berhenti tepat di depan rumah Lek Kasnyoto, dimana di sana Pak Gunardi, Mbah Gondo dan seorang lelaki yang tidak dikenal sudah berdiri di depan pintu yang separuh terbuka. Wajah ketiganya kelihatan begitu tegang. Apalagi ketika melihat semua orang sudah berkumpul di tempat ini.

"Wonten nopo niki, Pak Gunardi?" (Ada apa ini, Pak Gunardi?)

Salah seorang warga melempar pertanyaan, yang diikuti riuh rendah suara yang lainnya. Mbah Gondo lantas membisikkan sesuatu di telinga Pak Gunardi, yang dibalas dengan sebuah anggukan kecil.

"Sabar, bapak-bapak dan ibu-ibu!" Pak Gunardi mengangkat tangannya tinggi-tinggi. Semua orang, seperti biasa dan seharusnya, menuruti perintahnya. "Tetangga kita, Lek Kasnyoto dan istrinya telah meninggal dunia malam ini..."

Keriuhan kembali terjadi, para warga saling bicara satu sama lain. Bahkan beberapa orang berusaha untuk mendekat ke dalam, sebelum Pak Gunardi menahan langkah mereka untuk masuk lebih jauh lagi.

"Sepurane (mohon maaf), tapi demi keamanan dan kenyaman semuanya, saya tidak bisa mengijinkan semua orang untuk masuk!"

Pak Gunardi kemudian melirik ke arah beberapa orang, dan salah satunya adalah Sarmin. "Mardi, Bowo, Mas Husni sama Sarmin! Kalian ikut saya masuk. Yang lain tunggu di luar!"

Sarmin sebenarnya ragu. Tapi, dia tahu dia tak punya pilihan lain. Apalagi disitu ada Mbah Gondo juga. Dua orang paling disegani di Srigati sudah memberi perintah. Sarmin lantas maju ke depan bersama tiga nama lainnya yang tadi dipanggil. Bahkan Sarmin tidak bertanya sepatah katapun ketika Pak Gunardi memimpin mereka untuk masuk ke dalam rumah. Menyusuri ruang tengah menuju arah dapur yang ada di bagian paling belakang.

Dan di saat kakinya menginjak lantai tanah dapur Lek Kasnyoto, Sarmin langsung menyesali keputusan untuk menuruti perintah Pak Gunardi. Matanya terbelalak dan perutnya seketika bergejolak, ketika dia mendapati jasad Lek Kasnyoto dan istrinya tergeletak di tanah, tepat di samping pawon yang masih tampak berkobar apinya.

Sarmin masih belum yakin dengan penglihatannya. Dia kemudian mendekat, maju dua langkah ke arah jenazah. Dan di bawah temaram lampu sentir yang di gantung di langit-langit, jelas terlihat bahwa sepasang tubuh tak bernyawa itu...

...terbujur tanpa kepala.

"Ayo, maju!" Pak Gunardi berbisik, tapi tak ada satupun dari mereka berempat yang melangkah satu jengkalpun. Begitupun Sarmin, yang nyalinya langsung menciut melihat bagaimana naasnya kondisi kedua suami istri itu.

Tapi malam ini, nasib sial memang sedang menjadi milik Sarmin. Posisinya yang berada paling depan dan paling dekat dengan Pak Gunardi, membuatnya jadi orang pertama yang menjadi sasaran untuk ditarik lengannya dan dipaksa untuk maju ke depan oleh Kepala Dusun itu..

"Sarmin, buka dandangnya!" Pak Gunardi menunjuk ke arah dandang tanah liat, di atas pawon yang masih menyala.

Sarmin menurut, dia hanya ingin semuanya cepat selesai. Tangannya cepat bergerak membuka tutup dandang tersebut.

Dan di dalam sana, Sarmin menemukan bagian yang hilang dari jasad Lek Kasnyoto dan istrinya; dua buah kepala dengan kulit yang mulai mengelupas, tampak mengambang di air mendidih. Di detik itu juga, Sarmin menjatuhkan tutup dandang dan memuntahkan keluar sayur lodeh dan ikan asin yang ia santap tadi sore.

Pak Gunardi tidak peduli. Jarinya langsung menunjuk ke satu arah. Ke sudut dapur yang gelap dan tak terkena cahaya lampu sentir.

"Bocah iki sing mateni Lek Kasnyoto karo bojone!" (Anak ini yang membunuh Lek Kasnyoto dan istrinya)

Sesosok anak perempuan, seumuran Sarmin dan Mardi, meringkuk bersandar di tembok bambu dapur, dengan rambut acak-acakan dan tubuhnya telanjang bulat tanpa sehelai benangpun. Pandangannya kosong jauh ke depan, dan mulutnya terkatup rapat. Sedang tepat di sampingnya, sebilah golok yang tadi sore Sarmin lihat dipakai Lek Kasnyoto untuk membabat rumput, tergeletak di bawah simbahan darah segar berwarna merah.

Sarmin mengenalnya. Dia sangat mengenalnya.

Itu adalah Yuli, putri tunggal Lek Kasnyoto dan istrinya.

"Yuli edane soyo ndadi! Iki bahaya, dadi awakedewe ora nduwe pilihan lain!" (Yuli gilanya semakin menjadi! Ini berbahaya, jadi kita tidak punya pilihan lain!)

Pak Gunardi memandang Sarmin dan tiga orang lainnya, satu persatu. Seakan berusaha meyakinkan mereka bahwa hanya inilah satu-satunya cara...

"Saiki ayo Yuli digowo menyang gubuk bekas kandang wedhus cedak alas Jati kae. Aku wegah njipuk resiko, Bocah iki kudu dipasung! mergane yen deweke tego ngelakoni iki nyang wong tuane dewe, sesuk-sesuk iso awakedewe sing dibabat sirahe nganggo golok!"

(Ayo, Yuli dibawa ke gubuk bekas kandang kambing dekat hutan Jati. Aku tidak mau ambil resiko, anak ini harus dipasung! Karena kalau dia tega melakukan ini ke orang tuanya, besok-besok bisa kita yang dipenggal kepalanya pakai golok!)

Tenaga Sarmin sudah terlanjur habis. Lututnya kehilangan daya topang, dan terjatuh ke lantai tanah. Yang bisa dia lakukan hanyalah memandang Yuli, yang ternyata juga balas memandangnya. Mulutnya bergetar ketika ia mendesis...

"Aku luwe..." (Aku lapar...)


Quote:
"Dulu Yuli ndak seperti ini..." Entah mengapa hati Sarmin rasanya seperti diiris-iris, ketika ia melihat tubuh perempuan itu diarak warga menuju gubuk bekas kandang sapi milik salah seorang warga yang letaknya berada di batas wilayah antara Srigati dengan hutan jati.

Tapi dia tidak ingat sejak kapan Yuli mulai kehilangan kewarasan. Yang pasti, ketika masih bocah, Yuli tak ada bedanya dengan dirinya, Mardi dan anak-anak dusun yang lain. Mereka bermain bersama-sama dengan riang gembira. Petak umpet, gobak sodor dan apapun yang membahagiakan mereka sampai senja tiba dan para ibu datang bersama sebatang rotan untuk memaksa anak-anaknya yang bandel itu untuk segera pulang pulang.

Tapi menurut Mardi, sejak Yuli pergi merantau ketika umurnya menginjak enam belas dan kembali pulang ke Srigati setahun kemudian, dia tak pernah lagi keluar dari rumah. Beberapa warga sempat bertanya kepada Lek Kasnyoto maupun istrinya, tapi keduanya kompak memasang wajah tersinggung dan tak memberikan sepatah katapun tentang apa yang sebenarnya terjadi kepada putri semata wayangnya itu.

Beberapa dugaan kemudian mulai muncul dari mulut para warga. Ada yang bilang kalau dia hamil, sebagian lainnya bilang kalau dia menjadi gila. Dugaan yang kedua kemudian menguat ketika beberapa warga mengaku memergoki Yuli berkeliaran di sekitar rumahnya sendiri dan berkelakuan seperti orang yang tidak waras.

Bahkan Mardi sendiri sampai bersumpah-sumpah di depan Sarmin. Dia mengaku melihat dengan mata kepalanya sendiri, Yuli berada dalam posisi berjongkok seperti orang sedang buang air besar di kebun singkong di belakang rumahnya sendiri. Rambutnya acak-acakan tidak karuan, dan tubuhnya telanjang bulat tanpa sehelai benangpun menutupi.

Mardi nyaris mendekat, bermaksud memastikan bahwa dia tidak salah lihat. Tapi apa yang dia saksikan berikutnya, langsung membuat nyali dan keberaniannya runtuh tak bersisa.

Walau saat itu gelap, tapi Mardi berani memastikan bahwa masih dalam keadaan jongkok, tangan kanan Yuli seperti meraup sesuatu dari pantatnya sendiri, sebelum ia memasukkan (entah cairan apa yang ada di tangannya kala itu, Mardi tak mau tahu) ke dalam mulut. Yuli kemudian mengunyah dengan lahap, menelan, lalu berdiri dan menari-nari sambil berdendang gembira dengan dihujani cahaya pucat rembulan.

"Yuli mangan taine dewe!" (Yuli makan kotorannya sendiri!)

Mardi memang pemuda brengsek yang sok petentang petenteng dan hobi berkelahi. Tapi Sarmin tahu, temannya itu bukanlah seorang pembohong.

Yang kemudian membuat Sarmin semakin yakin bahwa Yuli benar-benar gila adalah, beberapa hari setelah dia mendengar cerita Mardi tersebut, Lek Kasnyoto pulang ke rumah bersama Mbah Gondo di sore hari. Timbul dugaan bahwa Mbah Gondo bertandang kesana atas permintaan Lek Kasnyoto demi kesembuhan putri semata wayangnya itu. Hingga malam menjelang, Mbah Gondo baru keluar dari rumah Yuli. Dan sejak saat itu Sarmin tak pernah lagi mendengar cerita warga tentang Yuli. Dia benar-benar tak pernah lagi keluar dari rumahnya.

Sampai malam ini...

Sampai di malam paling laknat ini...

Yuli mencapai puncak kegilaannya. Dia menggorok kepala kedua orang tuanya dan merebusnya di dalam dandang berisi air mendidih.

"Dulu Yuli adalah adalah gadis dan teman yang manis..." Sarmin kembali membatin. Sarmin kembali mencoba memutar memorinya ke belakang. Ke masa-masa dimana semuanya masih begitu indah dan riang. "Dia dulu suka menirukan suara kambing dengan cara yang lucu dan semua orang tertawa melihatnya."

Dan kini, di depan matanya, sahabat masa kecilnya itu digelandang, diludahi, dihujani caci maki, dan dipaksa masuk ke dalam kandang kambing yang bau tainya menyengat minta ampun. Air matanya jatuh berlinang tanpa ia sendiri sadari, ketika kedua kaki Yuli ditarik paksa saling menjauh satu sama lain, dan dimasukkan ke dua buah lubang di kedua sisi ujung kayu besar yang digunakan sebagai alat pasung.

Tapi Yuli tidak memberontak, dia tidak memberi perlawanan. Dia hanya diam, menatap kosong jauh ke depan.

"Mulai sekarang, ndak ada yang boleh mendekat ke tempat ini kecuali atas seijin saya dan Mbah Gondo, demi keamanan dusun kita bersama!" Pak Gunardi mengeluarkan maklumat. Semua warga mengangguk setuju.

Dengan lengannya yang kekar, Sarmin menghapus air matanya sendiri. Dia menatap tajam ke arah Pak Gunardi, Mbah Gondo dan satu lelaki asing yang sedari tadi tidak bicara sepatah katapun.

Mungkin memang sudah saatnya menerima kenyataan bahwa Yuli yang dulu tak lagi sama dengan Yuli yang sekarang. Bukan hanya tidak waras, kini ia juga adalah seorang pembunuh. Seorang yang tega membabat leher bapak dan ibunya sendiri.

Pintu gubuk ditutup perlahan. Dan sebelum rantai besi yang dipasang melingkari gubuk ini dikunci oleh Pak Gunardi, Sarmin masih sempat melihat wajah Yuli.

Dia menatap Sarmin untuk kedua kalinya. Tapi sekarang, sepasang mata itu bukanlah milik Yuli lagi. Sepasang mata itu kini sepenuhnya berwarna putih. Bibirnya perlahan menyunggingkan senyum mengerikan, sebelum akhirnya kembali bergerak seperti berusaha mengucapkan sesuatu. Sesuatu yang tak bersuara namun ajaibnya mampu menggema di balik dada Sarmin.

"Sarmin, aku luwe..."
Diubah oleh the.darktales
profile-picture
profile-picture
profile-picture
Asyabah21 dan 51 lainnya memberi reputasi
52 0
52
TULAH (Jasadnya Mati, Dendamnya Beranak Pinak) ~~ Based on True Story
29-12-2020 19:15

BAGIAN 7

Mumpung ane ada waktu luang buat edit tulisan, jadi ane majuin aja update-nya jadi malam ini. Soalnya kalau besok takut gak kekejar waktunya gan.

Selamat membaca, enjoy...

Quote:
"Opo ora iso diganti panggon liyane to nduk? Kabupaten G********** kui adoh, tur okeh alase. Neg iso sing cedhak omah ngono wae pengene Ibu ki!" (Apa enggak bisa diganti tempat yang lain sih, nak? Kabupaten G********** itu jauh dan banyak hutannya. Kalau bisa malah yang deket rumah kita saja pengennya ibu tuh!)

Dea masih ingat jelas bagaimana sang ibu langsung bereaksi, ketika dia memberi kabar tentang dimana dia akan melaksanakan program KKN-nya lewat sebuah pesan singkat. Begitupun ayahnya, yang bahkan langsung menelepon lima menit kemudian. Berusaha merayu Dea agar mencari kelompok lain atau mengajukan ulang lokasi KKN.

Tapi Dea tahu dia bukan pengambil keputusan. Suaranya tak cukup dominan di kelompoknya sendiri. Sudah ada Gilang di sana, sebagai ketua yang sejak awal sudah mengatur semuanya. Dea bahkan baru masuk kelompok itu setelah Gilang menawarinya. Dia adalah anggota terakhir yang masuk, menggenapi kelompok KKN Jatiasih yang awalnya enam menjadi tujuh orang.

Lagipula, akan terdengar sangat konyol kalau dia mengusulkan pergantian lokasi hanya karena ayah dan ibunya khawatir. Dan pada akhirnya, alih-alih mengusulkan, Dea bahkan tak menceritakan peringatan dari kedua orang tuanya itu kepada siapapun. Tidak kepada Gilang, tidak pula kepada yang lainnya.

Sampai di hari keberangkatan, Dea yang baru melangkah masuk ke dalam bus travel sewaan yang akan membawanya dan enam anak yang lain, menerima sebuah pesan singkat. Lagi-lagi dari sang Ibu.

"Mau bengi, ono manuk gagak tibo ning latar ngarepan omah. Awakmu sing ngati-ati yo, nduk? Bapak karo Ibu ndongakne Dea terus soko ngomah..." (Semalam ada burung gagak yang tiba-tiba jatuh dan mati di halaman depan rumah. Hati-hati ya, nak? Bapak dan Ibu selalu mendoakan Dea dari rumah...)

Entah mengapa, Dea jadi kepikiran tentang firasat ibunya. Sekeras apapun dia menolak dan berusaha berpikir positif, hatinya seakan susah sekali ditenangkan. Di sepanjang perjalanan, dia lebih banyak diam. Memandang kosong ke luar jendela bus travel sambil berkutat dengan isi pikirannya sendiri.

Tapi insting seorang ibu memang jarang salahnya. Benar saja, Dea yang awalnya berpikir bahwa KKN di Jatiasih ini akan menyenangkan sambil sekaligus hitung-hitung liburan, berubah menjadi kacau balau. Dia terjebak dalam masalah pelik yang bahkan bukan karena perbuatannya sendiri. Atas dasar persahabatan yang telah terjalin dengan sedemikian erat, dia mau-mau saja menuruti ajakan Gilang untuk pergi ke Dusun terlaknat itu. Sebuah keputusan yang kemudian membuatnya sadar, bahwa Gilang sudah berubah. Anak ini punya agenda sendiri, sebuah rencana rahasia yang hanya Tuhan dan Gilang yang tahu.

Sebuah jurnal, dan kenyataan bahwa Gilang sudah tahu Srigati sebelumnya; adalah dua hal yang sudah lebih dari cukup untuk dijadikan dasar atas prasangka buruk Dea. Atau jangan jangan...malah Gilang sudah tahu tentang Dusun Srigati jauh sebelum KKN ini dimulai.

Tapi kini, Dea tahu dimana dia harus mencari jawaban atas semua pertanyaannya. Tentang Srigati dan tentang apa yang sebenarnya Gilang cari di tempat itu. Jurnal itu, pasti ada di suatu tempat di markas KKN mereka. Gilang pasti membawanya kemari.

"Masih untung kalian bisa lolos dari kejaran orang-orang Dusun sana!"

Suara Mbak Melia kemudian menyadarkan Dea dari lamunan. Menariknya kembali ke saat ini, dimana dia, Gilang, Mas Adil dan Mbak Melia duduk melingkar di atas sebuah tikar di sebuah warung kopi dekat gerbang masuk Desa Jatiasih.

"Iya, bener. Dadi saiki, kita tinggal mikir gimana caranya evakuasi gadis yang dipasung itu keluar dari Srigati." Giliran Mas Adil yang ikut berdiskusi. Mengingatkan kembali tujuan awalnya kenapa dia dan Mbak Melia datang jauh-jauh ke tempat ini.

"Tapi kita mesti ekstra hati-hati. Aku yakin mas-mas yang kemarin ngejar saya sama Gilang itu, pasti disuruh Pak Gunardi buat nyariin kita dan lagipula..."

Dea tak meneruskan kalimatnya hingga selesai, ketika dia melihat Mbak Melia tiba-tiba bangkit dari duduknya dengan wajah yang tiba-tiba berubah tegang. Dia pandangi Dea dan Gilang silih berganti, seakan dia baru menyadari sesuatu dari ucapan Dea barusan.

"Siapa anak KKN lain yang tahu soal ini??"

Dea dan Gilang menggeleng bersamaan. "Ndak ada, Mbak..."

"Dimana kalian tinggal di Jatiasih selama KKN??"

"Di rumah kosong milik warga Jatiasih yang pergi merantau. Kenapa sih, mbak?"

"Kita harus cepet-cepet kesana sekarang!"


Quote:

Quote:"Gilang ki pancen asu, kok! Ketua lho padahal, tapi ora ono tanggung jawabe. Gaweane ngilang terus!" (Gilang emang brengsek! Dia padahal ketua, tapi gak punya tanggung jawab. Kerjaannya ngilang mulu!)

"Iyo, bener! Nganti ditakonke Pak Kusno. Sedino iki mau nganti pindo lho takon nyang aku..." (Bener! Sampai ditanyain Pak Kusno. Sehari ini tadi sampai dua kali beliau nanya ke aku...)

"Alaaaah, kalian berdua ki sok ra ngerti. Saiki pikiren, bocahe ngalor ngidul karo sopo? Karo Dea, to! Masuk akal opo ora, mengingat Dea kui soko fakultas liyo. Mlebu kelompok kita yo keri dewe, itupun aku krungu-krungu sing ngajak yo si monyet Gilang kae!" (Alah, kalian berdua tuh sok enggak tahu. Sekarang pikir deh, anaknya kesana kemari sama siapa? Sama Dea, kan! Masuk akal enggak, mengingat Dea tuh anak fakultas lain. Masuk kelompok kita juga paling belakangan, itupun aku denger-denger yang ngajak ya si monyet Gilang itu!)

"Nah, aku paham saiki! Maksudmu Gilang enek opo-opo to karo Dea? Masuk akal banget, sih!" (Nah, paham aku sekarang! Maksudmu Gilang ada apa-apa kan sama Dea?)

"Yo wis bar iki, yen bocah loro kui teko kene langsung disidang wae! Saiki proker okeh sing terbengkalai, aku rapopo yen Gilang karo Dea ditendang terus ketuane ganti Sarah..." (Yaudah habis ini, kalau mereka berdua balik kesini langsung disidang aja! Sekarang proker kita banyak yang terbengkalai, aku enggak masalah kalau Gilang sama Dea ditendang terus ketuanya diganti Sarah...)

"Iyo, mending wong limo tapi produktif daripada wong pitu tapi enek skandal!" (Iya, mending berlima tapi produktif daripada bertujuh tapi ada skandal!)

Sambil mencoba menulis laporan perkembangan program kerja KKN kelompok di ruang tengah, Sarah mencuri dengar obrolan tiga orang cowok di teras depan; Rafael, Iwan dan Simon. Mereka ini benar-benar seperti ibu-ibu yang sedang asyik ghibah di tukang sayur pagi-pagi. Sarah jadi dibuat geli sendiri. Cowok kalau sudah gabut dan ketemu sama partner ngobrol yang pas, ngegosipnya bisa lebih parah daripada para cewe.

Tapi mungkin mereka benar juga, dan rasa jengkel mereka sangat beralasan. Gilang, yang seharusnya mengatur semua kegiatan KKN, malah semakin jarang terlihat di rumah ini. Di rumah kosong yang dijadikan markas kelompok KKN mereka. Bahkan Pak Kusno, kepala desa Jatiasih yang sudah berbaik hati mau menerima mereka dan menjadi tour guide di hari pertama, sampai menanyakan eksistensi Gilang sebagai nama yang paling bertanggung jawab atas kelompok ini.

Itu jelas sudah sangat parah. Bahkan Sarah sempat tertarik ikut menimbrung bersama di teras depan. Tapi ketika mendengar namanya disebut, muka Sarah langsung berubah masam. Males banget jadi ketua, batinnya ikut-ikutan sebal. Dan makin sebal lagi ketika matanya menatap lembaran kertas penuh dengan tulisan tangan yang berserak di tikar yang digelar di atas lantai tanah rumah ini. Laporan perkembangan Proker...ditulis oleh Sarah. Sebuah pekerjaan yang harusnya dikerjakan oleh dia yang bergelar Sang Ketua Kelompok Kuliah Kerja Nyata.

Tapi dimana si pemilik gelar sekarang? Sedang sibuk dengan hal lain atau malah berada di suatu tempat? Melakukan hal yang iya-iya sama mahasiswi asing bernama Dea itu? Sarah menghela nafas berat. Yang dia tahu, di antara mereka bertujuh cuma dirinya yang bisa diandalkan untuk memback-up semua kebutuhan kelompok.

Gilang dan Dea tidak jelas dimana rimbanya.

Tiga cowok di depan itu; Rafael, Iwan dan Simon, tidak terlalu pintar dan lebih banyak bicara.

Oh ya, masih ada satu lagi!

Namanya Poppy...

Sarah menoleh ke belakang, dimana tepat di sana ada sebuah pintu kayu dari sebuah kamar yang biasa dipakai tidur anak-anak perempuan. Di sanalah Poppy berada. Si tukang mengeluh itu sudah tidur pulas sejak selepas adzan Isya tadi.

Sudahlah, memang harus aku sendiri yang menyelesaikan ini semua. Sarah membatin sambil bangkit dari duduknya. Berniat buang air kecil dulu sebelum lanjut menulis. Dan di saat itulah, dia baru sadar bahwa ini sudah nyaris jam sepuluh malam dan apa yang disebut dengan kamar kecil di desa ini adalah bangunan dua kali dua meter yang dikelilingi tembok bambu dan letaknya terpisah dari rumah utama. Tepat berada di antara rimbunnya kebun pisang halaman belakang.

Sambil tetap terpaku di tempatnya berdiri, Sarah membuat perhitungan. Dari ruang tengah ini, dia harus melewati dapur yang pintu keluarnya ada di pojokan. Dari pintu keluar itu, Sarah harus melangkah melewati kebun pisang yang gelap dan rapat sebelum sampai ke tempat tujuan.

"Haduh..." Sarah menepuk jidatnya sendiri. "Mau kencing wae susahnya setengah mati!"

Dia memang handal dan cekatan dalam menyelesaikan nyaris semua masalah; kecuali masalah tentang betapa ciut nyalinya sendiri. Jangankan dengan setan, berhadapan dengan suara yang agak keras saja Sarah menyerah. Pernah sekali, dia dibentak oleh dosennya. Kedua lutut Sarah langsung lemas dan dia merasa bahwa lebih baik dia pingsan saat itu juga.

Pacarnya pernah bilang kalau semua itu berasal dari sifatnya yang overthinking. Imajinasinya terlalu besar, sampai-sampai dia membayangkan sesuatu yang sebenarnya belum tentu ada atau terjadi. Semua itu kemudian membuatnya menjadi pengecut yang terkadang kehilangan keberanian bahkan sebelum mencobanya terlebih dulu.

Persis seperti sekarang. Sarah berdiri terdiam sambil memandangi jalan menuju dapur yang hanya berjarak lima langkah. Bahkan dapur itu juga tidak terlalu gelap. Sinar dari lampu sentir sudah cukup untuk menerangi langkahnya agar tidak tersandung sesuatu.

Tapi bagaimana kalau yang tersandung kakinya itu adalah...kepala orang??

Bagaimana kalau dipojokan dapur ada putih-putih berdiri dan menunggu kedatangannya?? Belum lagi di kebun pisang belakang rumah. Di sana lebih parah, Sarah tak akan tahu ada apa di balik rindang dan rapatnya pohon-pohon itu. Apalagi dia pernah mendengar sebuah mitos bahwa pohon pisang adalah tempat bercokolnya sesuatu yang dia kenal bernama...

...POCONG.

"Arep nguyuh to, Sar?" (Mau kencing ya, Sar?)

Suara itu membuat Sarah nyaris terjengkal jatuh karena kaget, andai lengannya tidak ditarik oleh si pemilik suara. Sarah langsung menoleh, dan tanpa dia sadari mulutnya mengumpat.

"Asu! Ngopo sih kowe, Pop?!" (4njing! Ngapain sih kamu, Pop?!)

Poppy, si pemilik suara hanya tertawa geli melihat tingkah Sarah yang kelihatan sekali seperti orang ketakutan.

"Lha kowe domblong koyo wong kesambet ngono kok! Kudune aku sing wedi malahan. Wis yuk, barengan wae. Aku yo rodo wedi neg ameh nguyuh dewean!" (Kamu sih bengong kayak orang kesambet! Harsunya tuh aku yang takut sama kamu. Yaudah yuk, barengan aja. Aku juga agak takut kalau mau ke belakang sendirian!)

Sarah menyambutnya dengan suka cita. Di hatinya, setidaknya malam ini Poppy sedikit lebih berguna daripada Gilang, Dea atau tiga orang cowok di depan sana yang sampai sekarang masih saja mengobrol kesana kemari itu.

"Yuk!"

Mereka berdua kemudian melangkah bersama sambil mengobrol kesana kemari, setidaknya untuk mengalihkan perhatian agar Sarah tidak tertarik untuk menoleh ke sudut-sudut yang tidak perlu untuk ditoleh.

"Cah-cah kae mau durung podo turu, to? Bahas opo sih?" (Anak-anak tadi belum tidur, ya? Bahas apaan sih?)

Poppy sepertinya juga mendengar obrolan itu. Tapi memang kalau dari dalam kamar, suara yang ada di teras depan tidak terlalu jelas terdengar.

"Bahas Gilang sama Dea yang ilang-ilangan itu lho, Pop..."

Poppy tertawa kecil. "Emang wong loro kae kurang ajar kok..." (Emang anak dua itu kurang ajar kok...)

"Ya emang kurang ajar, liat tuh aku harus lembur ngerjain kerjaannya si Gilang!"

Mereka berdua sukses keluar dari dapur tanpa kendala sama sekali. Dan kini Sarah bersiap menghadapi rintangan kedua; kebun jagung yang gelap dan rimbun. Segera ia raih senter di kantong celana dan mengarahkan cahayanya ke depan sana.

"Ayo gandengan aja, Sar. Peteng banget iki..." (Ayo gandengan aja Sar. Gelap banget ini...)

Poppy mendekatkan tubuhnya dan mereka benar-benar bergandengan. Mirip seperti dua orang yang menghindari hujan di bawah satu buah payung kecil. Langkah-langkah panjang cepat diambil, sambil berusaha menitik fokuskan pandangan ke depan dan menghindari untuk menoleh ke kanan kiri.

Sebentar lagi Sarah dan Poppy akan sampai ke tujuan. Sinar cahaya senter itu menabrak dinding bambu kamar kecil yang letaknya ada di tengah-tengah kebun pisang.

"Tapi kowe ngerti ora Sar, Gilang karo Dea kui ora mung kurang ajar mergo sering ninggal kowe..." (Tapi kamu tahu enggak Sar, Gilang sama Dea itu kurang ajarnya enggak cuma karena sering meninggalkan kamu...)

Ucapan Poppy barusan, membuat langkah Sarah terhenti tiba-tiba. Poppy? Apa dia tahu sesuatu?

"Maksudmu apa, Pop?"

Bersamaan, dari arah dalam rumah terdengar jelas suara seseorang memanggil nama Sarah. Suara itu bahkan jelas terdengar di tengah sunyinya Desa Jatiasih di malam hari seperti ini.

"Saaaar!! Kamu dimana? temenin kencing yuk!!"

Sarah menoleh ke arah sana. Dia jelas mengenal siapa yang sedang mencari-carinya itu. Itu suara Poppy...dari dalam rumah.

Sarah masih berusaha mencerna apa yang sebenarnya sedang terjadi, tapi entah kenapa tangan kanannya yang memegang senter refleks mengarah ke Poppy yang satunya. Poppy yang tadi tiba-tiba saja ada di belakangnya. Poppy yang tadi mengajaknya untuk ke belakang bersama-sama. Poppy yang tadi mengobrol dengannya di sepanjang jalan menuju kebun pisang ini.

Poppy yang ini, berdiri tepat satu jengkal di depan dadanya.

TAPI DIA BUKAN LAGI POPPY! POPPY TIDAK TERSENYUM SELEBAR INI, HINGGA KEDUA UJUNG BIBIRNYA NYARIS MENYENTUH TELINGA! MATA POPPY JUGA TIDAK SEPENUHNYA PUTIH! BAU BADAN POPPY YANG INI SEPERTI BAU KOTORAN KAMBING YANG BEGITU MENYENGAT INDERA PENCIUMANNYA!!

DIA, YANG BERADA SATU JENGKAL DI DEPAN DADA SARAH INI BUKAN POPPY YANG IA KENAL!!

"Sarah ning ndi sih, cah?" (Sarah dimana sih, bro?)

Suara Poppy kembali terdengar dari dalam sana. Tapi Sarah tak bisa berteriak minta tolong. Dia tidak bisa berlari. Lututnya lemas. Tubuhnya bergetar hebat sekali. Tapi, yang paling menjengkelkan, dia juga tak bisa pingsan. Dia terjebak. Dia terpaku di atas tanah tempatnya berdiri. Bahkan ketika makhluk ini mendekat dan berbisik lirih di telinganya, Sarah tak mampu berbuat apapun.

"Omongo kancamu loro kae, ojo wani-wani maneh ngidak lemah keratonku!!" (Bilang ke kedua temanmu itu, jangan berani-berani lagi menginjak tanah kerajaanku!!)

Lalu semuanya berubah menjadi gelap...
Diubah oleh the.darktales
profile-picture
profile-picture
profile-picture
Asyabah21 dan 50 lainnya memberi reputasi
51 0
51
TULAH (Jasadnya Mati, Dendamnya Beranak Pinak) ~~ Based on True Story
31-08-2021 22:24

BAGIAN 20

Quote:
Ketika Sarmin keluar dari hutan, Pak Gunardi dan beberapa orang dusun tampak berkerumun membentuk beberapa titik di sekitaran kandang kambing yang kosong melompong. Wajah mereka tampak cemas bercampur bingung dan takut. Terlebih lagi Sang Kepala Dusun, yang badannya basah kuyup oleh peluh keringat padahal udara dini hari ini begitu dingin membekukan tulang.

"Lha kui Sarmin!!" (Lha itu Sarmin!!)

Entah siapa yang pertama berteriak, namun kemudian semua perhatian dan tatapan mengarah kepada sosok lelaki yang berjalan terpincang-pincang itu. Wajahnya dingin, rambutnya tampak acak-acakan...

...dan tentu saja, yang menarik perhatian semua orang adalah jaket hitam yang Sarmin pakai. Jaket hitam yang tak lagi sepenuhnya hitam. Ada noda merah di sana. Darah.

Pak Gunardi, seperti seseorang yang baru menemukan harta karun, segera berlari dengan tak sabar ke arah Sarmin. Dia pegang erat pundak remaja kepercayaannya itu erat-erat.

"Bagaimana, Min?" Sebuah pertanyaan singkat tapi menuntut jawaban tak sederhana. Sarmin mengangkat kepalanya, menatap erat mata Pak Gunardi dan mengambil satu helaan nafas panjang sebelum memberikan jawaban.

"Jenengan kok mboten ngabari yen Waskito kalih koncone tumut mlebet wonten alas, Pak?" (Anda kok tidak memberi kabar kalau Waskito dan temannya ikut masuk ke dalam hutan, Pak?)

Pak Gunardi membisu, tak mengira Sarmin akan bertanya demikian. Matanya menatap dengan penuh penasaran, begitupun yang lainnya. Tapi tampaknya Sarmin belum selesai.

"Kulo papasan kalih wong loro niku, tapi kulo mboten ngertosi amargi situasine peteng bergairaht. Saking kadohan, gerak-gerikipun nggih mencurigakan lan mboten kados tiyange dewe. Dados, kulo langsung sergap tapi tiyange ngelawani. Weteng kulo ameh kepapras..." (Saya papasan dengan mereka, tapi saya tidak mengenalinya karena situasi yang gelap gulita. Terlebih dari jauh, gerak-gerik mereka mencurigakan dan tidak seperti orang sini. Jadi, saya langsung sergap tapi mereka melawan. Perut saya hampir kena sabet golok...)

Sarmin membuka jaket dan menunjukkan perutnya yang tergores cukup parah. Semua orang jadi ikut mendekat karena penasaran.

"...Mboten wonten pilihan lain, kulo namung mempertahankan nyawa. Yen badhe diserahne dateng polisi, kulo pasrah." (...Tidak ada pilihan lain, saya cuma mempertahankan nyawa. Kalau mau diserahkan ke polisi, saya pasrah.)

Sarmin menyerahkan kedua tangannya kepada Pak Gunardi, diiringi bisik-bisik warga yang makin jelas terdengar. Ternyata Sarminlah orang yang membunuh Waskito.

Sekilas ada keraguan di mata Pak Gunardi. Dia tenggelam dalam pikirannya sendiri, sampai tidak sadar Mbah Gondo sudah berdiri di sampingnya dan ikut menatap Sarmin dalam-dalam.

"Tenane, Min? Terus Yuli piye? Ketemu?" (Yang benar, Min? Terus Yuli gimana? Ketemu?)

Sarmin balik memandang Mbah Gondo. Kali ini tak ada lagi ketakutan di matanya.

"Mboten, kulo sampun repot banget ngurusi nyowo kulo dewe..." (Tidak, saya sudah cukup repot mengurusi nyawa saya sendiri...)

Kesunyian kemudian memenuhi udara. Semua orang terdiam. Dan Pak Gunardi adalah orang pertama yang merasa bahwa mereka semua sedang menunggu sebuah keputusan darinya. Keputusan tentang banyak hal yang terjadi malam ini, namun sebelum itu sepertinya dia harus memutuskan terlebih dulu nasib orang yang ada di hadapannya ini.

"Akan makin kacau kalau polisi datang, toh kamu cuma membela diri." Desah nafasnya terdengar berat. Tapi inilah keputusan paling bijaksana yang bisa diambil saat ini. "Sekarang lima orang masuk dan kuburkan mayat Waskito dan temannya!! Yang lain kembali ke rumah masing-masing!!"

Pak Gunardi berlalu dari hadapan Sarmin tanpa sepatah katapun. Dia hanya ingin pulang sekarang ini. Menenangkan diri dan memikirkan jalan keluar. Astria sudah dia suruh pergi, Mardi sudah dia beri perintah untuk menjemput putri tunggalnya itu menuju terminal. Sekarang tinggal mengurusi yang lain,
Namun baru beberapa langkah Pak Gunardi berjalan, lengannya dipegang erat oleh Mbah Gondo.

"Yen Yuli ora enek, anakmu kan yo iso..." (Kalau Yuli tidak ada, anakmu kan juga bisa...)

Untuk pertama kalinya sejak bertemu dan berurusan dengan Mbah Gondo (bahkan membangunkan rumah baginya di tengah hutan secara sembunyi-sembunyi), Pak Gunardi melepaskan cengekeraman itu dan menatap si dukun tua dengan mata terbakar api amarah.

"Ojo nyenggol Astria! Anakku kui Garwa Prameswari, tugase bedo karo Yuli! Isih enek waktu, aku bakal nggoleki nganti ketemu!!" (Jangan sentuh Astria! Anakku itu Garwa Prameswari, tugasnya beda dengan Yuli! Masih ada waktu, aku bakal cari dia sampai ketemu!!)

Seperti tak terpengaruh dengan reaksi Pak Gunardi, Mbah Gondo malah terkekeh sambil berjalan pergi seakan tak peduli.

"Terserah kowe Gun. Toh yen sampai telat kowe ngerti dewe opo sing bakal kedadian..." (Terserah kamu Gun. Toh kalau sampai telat, kamu tahu sendiri apa yang akan terjadi...)


Quote:
Astria dapat hidup dimanapun dia mau. Jumlah nominal di rekeningnya saat ini terbilang lebih dari cukup bahkan jika dia berniat pergi ke luar negeri sekalipun.

Tapi bukan itu masalahnya sekarang...

Setelah usai berkemas dan memasukkan pakaiannya ke dalam tas, Astria bergegas keluar kamar dan bersiap untuk pergi dari dusun tanah kelahirannya ini. Menuruti kemauan Bapak, untuk keamanan dirinya sendiri.

Tapi baru juga sampai di ruang tengah, langkahnya yang penuh ketergesaan itu terhenti oleh sesuatu yang tertangkap di sudut matanya.

Sebuah bingkai kayu yang tergantung di tembok, tepat di bawah jam dinding yang menunjukkan pukul tiga dini hari. Dimana di balik kacanya, terpajang rapi sebuah potret hitam putih yang gambarnya kian memudar seiring tahun demi tahun yang terus berlalu.

Astria terpaku. Dia termangu. Matanya menatap lekat potret itu dengan kesedihan yang tiba-tiba saja membuat dadanya terasa hangat.

Bapak, ibu dan aku yang baru genap berusia satu tahun berada dalam timangan mereka. Astria berbisik lirih. Perasaannya terlara-lara. Terlalu banyak yang Bapaknya telah korbankan demi dirinya dan demi dusun ini. Dua hal yang dia tahu, adalah dua hal yang paling dicintai oleh sang Bapak.

Dia bukan orang jahat. Dia bahkan tak pernah ingin semuanya menjadi seperti ini. Dia hanya melakukan apa yang harus dilakukan. Dia hanya mengambil keputusan ketika yang lain tak punya cukup daya dan kekuatan.

Dan setelah sekian waktu berlalu, inikah balasan yang bisa diberikan Astria kepada Bapak? Kabur dan meninggalkannya sendirian dalam keadaan seperti ini? Pantaskah? Adilkah?

"Kulonuwun..."

Pintu rumah diketuk tiga kali dari luar. Lamunan Astria buyar seketika. Butuh beberapa saat baginya untuk benar-benar mengembalikan seluruh fokus ke kenyataan saat ini.

"Mbak...Astria..."

Suara itu terdengar lagi, tampak ragu untuk memanggil namanya. Suara yang terdengar familiar di telinga Astria, sekaligus sedikit meredakan kegelisahannya. Tanpa membuang waktu, dia segera melangkah dan membukakan pintu.

Di sana, Mardi berdiri dan menundukkan kepala. Seperti seorang prajurit yang segan menatap seorang anak raja. Sejujurnya, Astria tak begitu nyaman diperlakukan berlebihan seperti ini, walau dia tahu Mardi melakukannya hanya untuk menunjukkan rasa hormat kepada Bapaknya.

"Enggak usah manggil pakai Mbak segala. Kamu kan lebih tua setahun daripada aku, Mas..." Usaha Astria untuk mencairkan suasana nampaknya cukup berhasil. Walau masih dengan malu-malu, Mardi mengangkat kepalanya dan balik memandang Astria.

"Anu Mbak, eh Astria...saya didawuhi Pak Gunardi buat nganter sampai terminal."

Astria menjadi sedikit cemas. Dia alihkan pandangan ke luar rumah. Sepi sekali. Pasti Bapak, Mbah Gondo dan yang lain masih berada di kandangnya Yuli. "Bapakku dimana?"

"Masih di kandangnya Yuli, Mbak..."

Kepala Astria kembali menoleh ke belakang. Menatap lekat potret keluarganya sekali lagi, sekaligus untuk memantapkan hati. Dia sudah mengambil keputusan.

"Kamu balik ke kandang dan bilang ke Bapak kalau aku belum mau berangkat kalau dia belum pulang."

Mardi mengangguk walau tampaknya agak ragu, dan berbalik badan kemudian berjalan cepat menuju motornya yang diparkir di balik pagar. Dari tempatnya berdiri, Astria menatap kepergian Mardi sambil berpikir keras. Dahinya berkerut.

Masih ada waktu. Yuli masih bisa dicari.

Dia harus dicari sampai ketemu, bahkan walau sampai ke kerak neraka sekalipun.



Quote:
Seperti menatap terbitnya sang fajar yang sinar terangnya mengusir kegelapan serta membawakan harapan bagi jiwa-jiwa yang sudah terlampau lama berjalan dalam malam, Melia yang duduk termangu dengan punggung tersender di ban mobil itu langsung bangkit dengan wajah berbinar dan senyum terkembang.

"Adil!!" Dia Cumiikkan nama itu dengan teramat bahagia. Bahkan dia sendiri lupa kapan terakhir kali dia merasa sebahagia ini, ketika melihat figur lelaki itu menyeruak keluar dari balik lebatnya hutan dengan tubuh terbungkuk bermandikan keringat dan wajah lusuh memucat akibat kelelahan yang sedemikian hebat. Tampak menyusul Adil di belakang, ada Eko yang juga tak kalah berantakan bersama seorang perempuan yang tampak tertidur dengan pulas di balik punggungnya. Seorang perempuan yang menjadi alasan utama kenapa Melia berada di sini saat ini, terlibat dalam sebuah misi yang sempat berjalan kacau sampai tersesat di tengah hutan antah berantah dan berhadapan demit untuk pertama kali sepanjang hidupnya.

Tapi di akhir cerita, semuanya selamat. Semuanya baik-baik saja. Dan terlebih, misi evakuasi ini telah berakhir. Semuanya terasa lebih dari cukup untuk Melia. Tanpa membuang waktu, dia berlari dan menghamburkan tubuhnya. Memeluk Adil dengan begitu erat.

Rasanya hangat, nyaman dan menenangkan. Seperti pulang kembali ke rumah yang sudah terlalu lama dia tinggalkan.

"Lo kemana aja sih? Gue khawatir banget sama lo, Dil..." Bisik Melia dalam pelukannya, diiringi isak tangis penuh haru yang membuncah menjadi linangan air mata. Dan sama absurdnya seperti makhluk yang ia temui di dalam hutan tadi, Melia kini juga tak punya kuasa untuk menjelaskan kenapa perasaan yang ia kira sudah mati itu kembali mekar di hatinya. Dia merindukan Adil, dia menginginkan Adil ada di dekatnya. Seperti dulu lagi.

Hingga rasa perih akibat luka itu kembali terasa menggigit kakinya. Melia tersadar, sedikit mengaduh dan secara refleks melepaskan pelukannya. Kini, dalam jarak yang tercipta di antara mereka berdua, Melia bisa menatap Adil lekat-lekat. Keringat, debu dan beberapa luka kecil menghiasi wajah yang pernah begitu familiar di mata dan hatinya itu. Si brengsek keras kepala ini benar-benar tampak berantakan, batin Melia. Tapi semuanya sirna ketika perlahan-lahan bibir kering Adil tertarik membentuk sebuah senyuman. Senyuman dengan lengkung paling sempurna di mata Melia.

"Maaf ya, bikin kamu khawatir..."

Tapi Melia tak mau mendengar apapun lagi. Dengan kedua tangannya, dia pegang wajah Adil erat-erat dan menariknya kedalam sebuah kecupan lembut yang membangkitkan lagi selaksa kenangan dari sepenggal episode yang pernah mereka lalui berdua di masa lalu.


Quote:
Sedangkan Imas, tak kalah lega dan bahagia ketika melihat Eko kembali dengan utuh dan tak kurang suatu apapun. Mengingat di sepanjang malam sejak mereka terpisah di dalam hutan, setumpuk prasangka jelek sudah memenuhi kepalanya sampai membuat pening tak karuan. Bahkan di satu titik, Imas sudah bersiap andai dia harus menjadi janda di usia pernikahan yang masih seumur jagung. Dia sudah bersiap menghabiskan umurnya dalam kesendirian dan rasa bersalah karena dirinyalah yang menjadi aktor kunci dalam perjalanan ini.

Tangisnya langsung pecah. Jantungnya berdegup kencang karena rasa lega yang meledak-ledak. Terinspirasi oleh Melia dan Adil yang tenggelam dalam pelukan di samping situ (padahal kata Melia mereka sudah putus beberapa bulan), Imas langsung melompat dan siap menyambut sang suami tersayang.

Tapi sepertinya, Eko terlalu sibuk dan kelelahan untuk sebuah adegan romantis.

"Im, tulung iki disik..." (Im, tolong ini dulu...)

Imas menurut. Dia mengambil mundur dua langkah ke belakang, memberi Eko sebuah ruang sebelum ia menjatuhkan lututnya di atas tanah dan menarik perempuan yang digendongnya itu dengan lembut.

Seketika itulah kelegaan dan suka cita yang tadinya menguasai hati, tergantikan dengan perasaan nelangsa yang begitu pedih mengiris-iris. Mata Imas nanar menatap sosok itu, sosok yang kini tertidur di pangkuan suaminya.

"Ini....ini...Yuli?" Tanyanya terbata-bata entah kepada siapa.

Imas seperti menolak untuk percaya, bahwa sosok lusuh dengan rambut panjang acak-acakan dan dari badannya mengeluarkan aroma tak sedap itu adalah Yuli yang dia kenal. Imas seperti menolak bahwa semua ini nyata, bahwa yang kini ada di hadapannya ini adalah Yuli yang telah ia tinggalkan sendirian dalam fitnah dan kemalangan.

Dengan tangan gemetar, Imas menyentuh lembut wajah dan rambut Yuli. Dengan perlahan, dengan penuh kasih sayang. Hingga kemudian sentuhan Imas beranjak dari ke satu titik lain di bagian tubuh Yuli yang menarik perhatiannya.

“Jangan!” Eko berusaha mencegah Imas menyentuh bagian itu. Tapi Imas tak peduli. Dia jatuhkan telapak tangannya ke atas perut Yuli dan merabanya. Dan kenyataan yang Imas rasakan di sana, langsung menghancurkan batinnya tanpa ampun. Imas rubuh ke tanah, dan tenggelam dalam tangis yang meremukkan hati.

"Wis rapopo, rapopo! Saiki alon-alon ayo diangkat mlebu mobil. Masalah durung rampung, awakedewe kudu cepet metu soko kene! Yo, sayang? Sing kuat" (Sudah enggak apa-apa, enggak apa-apa! Sekarang pelan-pelan ayo diangkat masuk mobil. Masalah belum selesai, kita harus cepat keluar dari sini. Ya, Sayang? Yang kuat!)

Imas sudah tak punya daya. Beruntung Adil segera sadar akan situasi dan mendekat ke arah mereka. Meraih Yuli dan membopongnya menuju mobil. Sedangkan Imas sendiri, harus dibantu berdiri dan dituntun oleh Melia.

Mesin mobil menyala, bersamaan dengan suara adzan subuh yang pecah di udara. Roda-roda bergerak, membawa mereka menjauh dari tempat itu. Tepat ketika beberapa orang Giriwatu keluar dari peraduan, dan menatap laju mobil mereka dengan tatapan menyelidik.


Quote:
Tanpa halangan berarti, mobil yang dikemudikan Eko berhasil menembus Giriwatu dan akhirnya bertemu dengan jalan aspal yang lebar dan halus di kecamatan Semani. Meninggalkan Srigati dan hutan terlaknatnya jauh di belakang sana. Sedangkan di ufuk timur, matahari perlahan tampak bangun dari tidurnya dengan malu-malu.

Eko, dengan wajah sedikit cemas, berkali-kali melirik melalu kaca spion tengah. Menatap Imas yang sedari tadi hanya membisu seribu kata dengan wajah sedih sambil menatap kosong ke luar jendela. Dia mungkin sangat terpukul, tapi Eko berharap semuanya segera membaik seiring berjalannya waktu. Sedangkan duduk di samping istrinya, ada Melia yang tampak sibuk. Beberapa kali dia menoleh di jok paling belakang. Memastikan Yuli masih tertidur dan baik-baik saja di sana.

“Iki durung rampung kabeh lho, Ko...” (Ini belum selesai semua lho, Ko...)

Adil, yang duduk tepat di samping kemudi, tiba-tiba berucap sambil terus menggigiti jari-jarinya sendiri. Eko langsung menoleh. Matanya menyernyit memandang si keras kepala ini.

“Yuli saiki arep dideleh neng ngendi?” (Yuli sekarang mau dititipkan dimana?)

Sebuah pertanyaan bagus! Pekik Eko dalam hati. Kepalanya yang sudah pusing, kini jadi makin pusing karena tiba-tiba dia merasa juga harus ikut memikirkan hal itu.

Tapi, ada satu hal yang pasti. “Kita ndak mungkin nitipin dia di sekitaran sini, Dil. Masih rawan kalau-kalau orang Srigati nekat keluar dan nyari Yuli.”

Adil cuma mengangguk dan kembali menggigiti jari-jarinya.

Hingga tanpa diduga, sebuah solusi malah keluar dari mulut seseorang yang duduk di jok belakang.

“Kalau mau, gue ada kenalan pemilik yayasan panti sosial. Namanya Bu Sari. Gue bisa kontak dia sekarang dan gue yakin dia akan dengan senang hati menerima Yuli.” Tukas Melia sambil menyebut nama sebuah kota.

Sebuah kota yang memaksa mereka pergi jauh ke arah utara.
profile-picture
profile-picture
profile-picture
destinationbali dan 49 lainnya memberi reputasi
50 0
50
Lihat 5 balasan
Memuat data ...
1 - 0 dari 5 balasan
TULAH (Jasadnya Mati, Dendamnya Beranak Pinak) ~~ Based on True Story
05-01-2021 00:11

BAGIAN 8

Quote:
Kegelapan genap runtuh di Srigati. Malam merangkak perlahan, diiringi suara lolongan anjing yang menggema memenuhi udara. Hawa dinginnya menggerus nyali, kesunyiannya menegakkan bulu roma.

Lalu, di antara rapatnya pepohonan jati yang berdiri tegak bak raksasa malam, seberkas sinar redup memancar menjadi satu-satunya pelita di tengah kegelapan yang maha. Sinar yang berasal dari lima batang obor yang diletakkan berjejer di depan sebuah rumah kayu berbentuk limasan. Pintu tengahnya terbuka lebar, menandakan bahwa ada kehidupan di dalam sana.

Sarmin duduk bersila di ruang tengah, tepat di belakang punggung Pak Gunardi. Sedang di hadapan mereka, berjarak sekitar empat langkah kaki, seorang kakek tua dengan surjan dan blangkon ikat kesayangannya tampak juga ikut bersila. Menghadap beberapa sesajen berbungkus daun pisang yang diletakkan di atas tampah bambu. Dia adalah Mbah Gondo, dan rumah limasan yang letaknya di tengah huta jati ini adalah tempat tinggalnya.

"Awakmu wedi, le?" (Dirimu takut, nak?)

Suara kakek itu terdengar berat, tebal dan bergetar. Tapi setiap kata yang meluncur dari mulutnya seakan tak ubahnya mantra yang memiliki daya magis. Membuat siapapun yang mendengarnya kehilangan nyali. Tak terkecuali Sarmin, yang butuh beberapa detik untuk menjawab pertanyaan itu.

"Mboten, Mbah."

Mbah Gondo tersenyum kecil. Sepertinya dia tahu Sarmin berbohong. Dia berbohong bahwa dia tidak takut. Bahkan sekarang, dia menyesal kenapa harus namanya yang ditunjuk oleh Pak Gunardi untuk ikut menemani masuk ke dalam hutan menuju tempat ini.

Ini semua gara-gara kejadian tadi siang, ketika dia sengaja sowan seorang diri ke rumah Pak Gunardi. Semenjak peristiwa tiga hari kemarin, Sarmin sudah membulatkan tekad untuk mencari siapapun yang menguntit di balik kebun jagung itu. Dia akan mencarinya sampai ketemu dan membawanya ke hadapan Pak Gunardi sendiri untuk diberi hukuman.

Sarmin berharap dengan begitu, Pak Gunardi akan memandangnya sebagai seorang pemuda Srigati yang sedikit lebih berguna daripada sekadar tukang antar kesana kemari. Sarmin tahu dia bisa berbuat lebih. Dia bisa menyelidiki dan menyeret si tukang intip itu seorang diri.

Tapi yang mengejutkan, kepala dusun itu malah memberikan larangan tegas.

"Ora usah repot-repot, Sar. Opo maneh yen kudu pethakilan menyang Jatiasih. Aku wis ngerti sopo bocahe, Simbah sing ngandani. Mending, saiki kowe mulih. Mengko bengi bali mrene meneh. Melu aku menyang griyane Simbah. Yo, cah bagus?" (Tidak usah repot-repot, Sar. Apalagi kalau harus pergi ke Jatiasih. Aku sudah tahu siapa pelakunya, Simbah yang memberitahu. Mending sekarang kamu pulang, nanti malam balik sini lagi. Ikut aku ke rumahnya Simbah.)

Sarmin terhenyak dari duduknya. Dia tidak siap dengan tawaran itu. Pun, dari pengalamannya yang sudah-sudah, tawaran dari Pak Gunardi bukanlah sesuatu yang bisa ditolak. Memang benar sebelumnya dia sering mendapat perintah untuk menjemput Mbah Gondo, tapi itu hanya sebatas dia menunggu di pinggir jalan tanah setapak yang membelah kedalaman hutan. Terkadang Mbah Gondo sudah menunggu di sana, terkadang Sarmin menghabiskan sebatang rokok sambil duduk di atas jok motornya sebelum sang kakek tua itu tampak berjalan terbungkuk dengan tongkat kayu menuju ke arahnya.

Dia belum pernah sekalipun menginjakkan kaki menyusuri jalan setapak itu. Dan Sarmin juga tidak ingin. Menunggu dan melihat Mbah Gondo muncul dari lebatnya hutan saja kadang ia merinding, apalagi harus ke rumahnya malam-malam.

Tapi kamu ikut tahu kejadian di kandang kambing tiga hari lalu. Ucapan Pak Gunardi berikutnya itu membuat semuanya jelas. Sarmin, mau tak mau, berani tak berani, harus ikut karena dia sudah dianggap terlibat dalam urusan itu.

Dan di sinilah ia berada malam ini. Duduk bersila sambil memegangi senternya dengan tangan gemetaran. Dia memilih menundukkan pandangan, hanya supaya dia tak harus beradu mata dengan Mbah Gondo lagi.

"Gun, dawuhku wingi wis mbok lakoni?" (Gun, perintahku kemarin sudah kamu jalankan?)

Pertanyaan berikutnya meluncur, tapi untungnya tidak ditujukan kepada Sarmin.

"Sampun Mbah! Kenthus, Mardi kaliyan Geyong sampun kulo perintahi jogo kandang." (Sudah, Mbah! Kenthus, Mardi dan Geyong sudah saya suruh menjaga kandang.)

"Saiki, wenehno pesenanku..." (Sekarang, berikan pesananku...)

Kali ini, Sarmin tak bisa menahan diri untuk tidak melihat apa yang sedang terjadi, ketika telinganya mendengar sebuah suara yang tidak asing di telinga.

Meoooong. Entah darimana datangnya, tapi kini seekor kucing kecil berwarna hitam tampak melingkar manis di dalam genggaman tangan Pak Gunardi. Sarmin menelan ludah. Bagaimana dia bisa tidak tahu kalau Pak Gunardi membawa seekor kucing padahal sejak dari dusun sampai masuk hutan, Sarmin selalu berada di sampingnya??

Pak Gunardi kemudian menyerahkan kucing hitam itu ke arah Mbah Gondo, yang dengan segera menerimanya dengan satu tangan saja. Mata Sarmin kemudian menoleh ke arah tangan yang satunya. Dan di sanalah dia melihat, sebatang pisau runcing tergenggap erat seakan siap untuk diayunkan.

"Bengi iki aku bakal nyeyuwun menyang Gusti Agung Sri Bendugeni, kanggo ngirim pesen menyang bocah-bocah laknat kae. Gun, bakaren menyane!" (Malam ini, aku akan memohon kepada Gusti Agung Sri Bendugeni, untuk mengirim pesan kepada anak-anak laknat itu. Gun, bakar kemenyannya!)

Pak Gunardi maju. Dia turuti perintah Mbah Gondo dan dalam sekejap, bau kemenyan memenuhi ruangan. Nyaris bersamaan, Mbah Gondo mengangkat tinggi-tinggi kucing hitam yang mulai memberontak itu sedangkan tangan satunya mendekatkan ujung pisau tepat ke arah perut sang kucing.

Sarmin sudah tidak sanggup, dia berusaha bangkit tapi tangan Pak Gunardi buru-buru mencekalnya. "Jangan lari! Jangan sekarang! Simbah sedang mengirimkan pesan ke anak-anak kota itu!"

Malam kian mencekam. Pisau diayunkan dengan sangat cepat. Membelah perut kucing hitam menjadi dua bagian. Darah membanjiri sesajen di atas tampah bambu. Si kucing berteriak sekali, sebelum akhirnya meregang nyawa untuk selamanya.

Kemudian, pisau diletakkan. Jari-jari Mbah Gondo masuk, menarik keluar semua isi perut si kucing. Usus, hati, jantung. Semuanya terberai keluar, sebelum Mbah Gondo melakukan sesuatu yang tak akan pernah Sarmin lupakan seumur hidupnya. Dia memasukkan isi perut si kucing yang masih kemerahan itu ke dalam mulutnya.

Quote:
NIYAT INGSUN AMATEK AJIKU AJI BENDUGENI. GELAP SONGO GELAP SEWU RUH LAN JASADKU. DEMIT ALAS DEMIT GUNUNG ONO NING MBURIKU. BENDARAKU SANG GUSTI AGUNG SRI RATU BENDUGENI. INGSUN NYUWUN...



Quote:
Ada dua alasan kenapa Rafael mengurungkan niat untuk melayangkan bogem mentah ke wajah culun Gilang, ketika ia melihat ketua kelompok KKN-nya itu melangkah masuk ke dalam rumah tanpa terlihat merasa bersalah sama sekali;

Pertama, lengannya terlanjur ditahan oleh Iwan. Dan yang kedua adalah, dua orang asing yang sebelumnya tak pernah ia kenal tampak datang bersama Gilang dan Dea. Keduanya lelaki dan perempuan, kelihatan beberapa tahun lebih dewasa daripada mereka. Yang perempuan, berambut panjang dikuncir kuda dan berkacamata, tampak panik dan berkali-kali menengok ke arah dalam rumah. Sedang yang lelaki, rambutnya ikal panjang dan mukanya tampak lusuh, memandangi Rafael dan Iwan serta Simon yang berdiri tepat di belakangnya secara bergantian.

"Bro, ngopo jam semene kok isih ning njobo?" (Bro, kenapa jam segini kok masih di luar?)

Pertanyaan Gilang barusan kembali menyulut emosi Rafael. Si brengsek ini bertanya dengan begitu entengnya, tanpa tahu kekacauan apa yang barusan terjadi di rumah ini.

Sarah ditemukan pingsan di kebun pisang belakang, dekat dengan kamar mandi. Awalnya, tak ada satupun dari mereka yang menyadari bahwa cewek itu sudah hilang dari ruang tengah. Tempat terakhir mereka melihat Sarah sibuk berkutat dengan laporan perkembangan proker KKN mereka.

Rafael sibuk mengobrol kesana kemari dengan Iwan dan Simon di teras depan, sampai akhirnya suara Poppy yang berisik memanggil Sarah, menarik perhatian mereka. Awalnya Rafael tidak terlalu peduli. Toh, memang begitu tabiat Poppy dan Sarah setiap harinya. Berisik minta ampun. Tapi ketika Poppy memanggil nama Sarah sampai empat kali dan tak ada jawaban sama sekali, ia mulai merasa ada yang tidak beres.

Benar saja. Sarah tidak ditemukan dimanapun. Tidak di kamar ataupun di dapur.

"Mosok bocahe ning kamar mandi mburi omah dewean? Cah jirih koyo ngono?" (Masa anaknya ke kamar mandi belakang rumah sendirian? Anak penakut kayak gitu?)

Celetuk Poppy, ketika mereka menyadari bahwa satu-satunya tempat yang belum mereka periksa adalah kamar mandi yang letaknya di tengah kebun pisang. Tapi kenyataannya, tinggal tempat itulah kemungkinan terakhir Sarah berada. Mereka berempat lalu berjalan bersama-sama menerobos kegelapan, sambil berharap cemas bahwa keajaiban memang terjadi; Sarah tiba-tiba jadi seorang pemberani dan dia memang pergi ke kamar mandi sendirian.

Harapan itu, walaupun tipis kemungkinan, tapi sangat berarti. Karena kalau Sarah juga tidak ada di sana, masalahnya akan menjadi lebih besar. Mereka tidak tahu lagi harus mencari kemana.

Lalu, senter yang dipegang erat oleh Rafael menyorot sesosok tubuh perempuan yang tergeletak di tanah dan tampaknya ia tak sadarkan diri.

"Saraaah!!" Poppy yang berteriak lebih dulu, yang langsung ditarik mundur oleh Simon. Ini sudah larut malam dan tentunya tidak ada yang ingin menarik perhatian warga Jatiasih dengan sebuah kasus yang mereka pikir masih bisa ditangani sendiri.

Rafael mengambil inisiatif untuk maju. Membalik tubuh mungil Sarah dan menepuk pipinya tiga kali. Tapi tak ada respon.

"Iwan, Simon! Iki Sarah pingsan. Ayo digotong mlebu bareng-bareng. Tapi ojo do rame, ndak malah ngundang wong kampung mrene!" (Ini Sarah pingsan. Ayo digotong masuk bareng-bareng. Tapi enggak usah berisik, ntar malah ngundang orang kampung kesini semua)

Tak sulit membawa tubuh Sarah yang kerempeng itu dan menidurkannya di dalam kamar. Tapi yang jadi masalah adalah, bagaimana bisa dia pingsan di tempat itu? Pergi kesana sendirian di jam semalam ini saja sudah tak masuk akal...

Apalagi Simon sempat berbisik padanya, sesaat setelah mereka memastikan Sarah dijaga oleh Poppy di dalam kamar dan mereka beranjak keluar menuju ruang tengah.

"Kowe mau mambu koyo ambu wedhus ora El, pas ngangkat Sarah soko mburi omah?" (Kamu tadi nyium kayak bau kambing gak El, pas ngangkat Sarah dari belakang rumah?)

Rafael tidak memberi jawaban, walaupun sebenarnya dia juga mencium bau yang sama. Bau kambing yang cukup menusuk hidung. Bukan! Bukan dari badan Sarah. Tapi seakan bau kambing itu bercampur di udara. Tapi entah darimana datangnya, karena sepengetahuannya tidak ada kandang kambing di sekitar rumah markas kelompok KKN mereka.

Lalu tak lama setelah itu, Gilang datang bersama Dea dan dua orang asing yang kehadirannya justru membuat keadaan makin tidak nyaman. Rasanya seperti Rafael ingin meluapkan segala amarahnya kepada Gilang tapi terhalang oleh keberadaan mereka berdua.

"Dek, semuanya baik-baik aja kan?"

Rafael nyaris terlonjak kaget ketika dia baru menyadari bahwa si perempuan asing itu kini sudah berdiri tepat di depannya. Bicara dengan logat Jakarta yang kental, membuatnya kian merasa tidak nyaman. Dia mundur beberapa langkah, tapi tetap berada di posisi menahan mereka agar tidak masuk ke dalam.

Kamu siapa?

Pertanyaan itu sudah sampai kerongkongan, namun urung terucap ketika sebuah teriakan terdengar dari dalam rumah. Teriakan histeris yang penuh ketakutan. Semua yang ada di situ langsung memandang ke arah dalam, dimana di sana Poppy tampak tersungkur di ruang tengah dan pandangannya terus mengarah ke dalam kamar.

Rafael ingat, perempuan Jakarta itulah yang pertama kali berlari masuk disusul oleh yang lain. Rafael ada di posisi paling belakang, menyusul dan berniat ikut masuk ke dalam kamar. Tapi langkahnya terhenti tepat di depan pintu. Apa yang dilihatnya di dalam sana, seketika membuat kedua lututnya lemas tak berdaya.

Dia tak pernah merasa seketakutan ini. Seumur hidupnya, dia tak pernah seketakutan ini.

Di dalam kamar, Sarah berdiri. Kedua kakinya melayang beberapa senti dari ranjang. Melawan gravitasi! Kedua jari telunjuknya menunjuk tajam ke dua orang di antara mereka, dengan sebuah senyum lebar yang begitu menakutkan. Lalu bau kambing itu...bau kambing yang tadi sempat Rafael cium di kebun pisang, kembali hadir menusuk dinding-dinding hidungnya. Bahkan kali ini baunya lebih kuat! Sangat menyengat!

Dengan nafas tersengal karena rasa takut, Rafael mencoba mengikuti kemana arah kedua telunjuk Sarah itu tertuju.

Dea dan Gilang! Sarah menunjuk tepat ke arah dada Dea dan Gilang.

"Cah bagus karo cah ayu wis mulih, to? HAHAHAHAHA!!" (Anak ganteng dan anak cantik sudah pulang, ya? HAHAHAHAHA!!)

Itu bukan suara Sarah! Bahkan Rafael merasa itu bukan suara dari dunia ini! Itu seperti suara dari neraka!!

"OJO PISAN-PISAN MANEH WANI GOLEK PERKORO KARO AKU, BOCAH ASU!!!" (Jangan sekali-kali lagi berani cari perkara denganku, anak anjing!!!)

Sebuah teriakan panjang, lalu Sarah terhempas dengan kencang ke atas ranjang. Diam, sunyi...kemudian dia nampak menangis. Lirih, menyayat hati...

"Tulung, cah...Tulungono aku..." (Tolong, tolong aku...)
profile-picture
profile-picture
profile-picture
destinationbali dan 49 lainnya memberi reputasi
50 0
50
Lihat 9 balasan
Memuat data ...
1 - 0 dari 9 balasan
icon-hot-thread
Hot Threads
Stories from the Heart
sebegininya-banget-kah
Copyright © 2023, Kaskus Networks, PT Darta Media Indonesia