dewiriAvatar border
TS
dewiri
SALAM DARI SURGA
SALAM DARI SURGA

Oleh : Dewi RI

Setiap hari jum'at siang aku selalu menunggu Ri. Sejak aku dipindahkan ke sini, seminggu sekali dia datang menemui. Menghapus walau hanya sedikit dari segunung rindu yang membelenggu. Ri selalu membawakan bunga-bunga dan tak pernah lupa membacakan doa.


Seperti saat ini. Aku bersiap menyambutnya. Saat kulihat Ri berjalan mendekat dengan membawa seikat mawar segar. Kusunggingkan senyum paling manis untuk Ri.

"Hai, Ri. Bagaimana kabarmu seminggu ini? Aku kangen kamu, tahu nggak?"

Tapi ... seperti biasa, Ri tak pernah memerdulikanku. Dia hanya duduk di sisi pembaringan sambil menaburkan berbagai wangi bunga, kemudian menadahkan kedua tangan untuk berdoa.

"Ri ... ,tolong jawab aku."

Ri beranjak dari duduk, dia sudah selesai dengan doanya.

"Ri, jangan pergi! Masih banyak yang ingin aku ceritakan. Please, Ri."

Ingin sekali kuraih tangannya. Menahan agar dia tak pergi secepat ini. Tapi, seperti ada yang menghalangi. Seolah aku hanya menyentuh angin.


"Ri! Ri! jangan pergi. Tolong, Ri!"

Kukejar Ri yang berjalan menjauh.

"Ri! Aku nggak mau kamu tinggal sendirian di sini. Ri!"

Sekuat tenaga aku berteriak memanggilnya. Tapi Ri tidak mengacuhkan, bahkan mulai menyetater motornya.

"Ri! Aku mau ikut kamu!"

Tanpa menunggu persetujuan Ri, aku langsung membonceng motornya. Hampir saja aku terjungkal, karena sebelum aku benar-benar siap, Ri sudah menjalankan motor membelah jalanan yang tidak terlalu ramai.

"Ri, kenapa kamu nggak pernah memerdulikanku sekarang?"

Kudekatkan bibir di telinganya dengan suara kencang, berharap ada sedikit jawaban. Namun, lagi-lagi hanya diam.

"Kamu nggak pernah menjawab semua pertanyaanku, aku kamu biarkan ngomong sendiri. Kamu tega, Ri."

Kulayangkan pukulan sekuat yang aku bisa. Tapi, seperti ada yang menahan, hingga tak mampu mengenai walau hanya sehelai benang yang menempel di punggungnya. Kuperhatikan kedua tangan ini, enggak ada masalah.

Kenapa juga Ri tak pernah menjawab semua pertanyaanku? Mungkinkah dia tidak mendengarku? Padahal aku sudah berbicara cukup kencang. Entahlah.

"Ri, tahu nggak? Aku punya tetanga baru. Dia baru empat hari tinggal di situ."

Tak berputus asa, aku kembali mengajaknya bercerita.

"Dia baik, Ri."

"Riiiii!"

Kesal juga lama- lama diacuhkan seperti ini. Tapi aku tak berdaya, sekedar menyentuh Ri pun aku tak bisa. Aku nggak tahu kenapa, seperti ada sesuatu yang menghalangi.

Ri menghentikan motor dan memarkirnya di halaman sebuah rumah makan yang dulu sering kami kunjungi.

"Ri, kita mau makan di sini?"

Betapa senangnya aku. Sudah lama tidak menikmati makanan pavorit bersama Ri. Walau sebenarnya aku tidak merasa lapar.

"Ri, sudah lama kita nggak ke sini."

Aku mengikuti Ri masuk ke dalam Rumah makan.

"Ri, dulu kita sering ke sini, ya. Kita berdua makan sambil bercanda. Kamu sering menggodaku."

Aku tertawa sambil terus mengekor. Namun, kembali Ri tidak mengacuhkanku. Dia mengedarkan pandang ke sekeliling, seperti mencari sesuatu. Tiba-tiba wajah putih bersih juga teduh itu tersenyum, saat manik matanya tertuju pada seorang wanita. Lalu dia menghampirinya.

"Ri, siapa dia?"

Aku terus mengikuti Ri yang mendekati wanita cantik lagi seksi. Ada perasaan aneh yang tiba-tiba bergemuruh dalam dada. Mungkin ini yang dinamakan cemburu. Aku merasa marah pada Ri.

"Ri, jawab dong. Siapa dia?"

Kembali kuajukan tanya.

"Hai, Sayang. Maaf membuatmu menunggu," sapa Ri pada wanita cantik itu sambil tersenyum. Senyum paling manis yang pernah aku lihat sejak enam bulan terakhir ini.

"Nggak papa ko, Sayang," jawab wanita itu yang juga tersenyum lebih manis dari Ri. Mereka kelihatan bahagia.

"Ri, apa maksudmu? Kenapa kamu panggil dia sayang? Siapa dia?" tanyaku pada Ri yang kemudian duduk di sebelah wanita itu.

Aku benar-benar merasa cemburu melihat kemesraan Ri dengan wanita itu.

"Ri, jawab aku! Siapa dia? Apa kamu selingkuh dari aku? Kamu tega, Ri!"

Bulir-bulir bening seperti berebutan hendak keluar dari mataku, ada perasaan sakit yang mencabik-cabik hati.

"Hai! Nggak usah teriak-teriak begitu. Berisik tau!"

Tiba-tiba sesosok mahluk mirip anak-anak dengan kepala botak dan telanjang berada di sampingku. Aku sama sekali tak menyadari kapan dia datang. Seketika meremang bulu kuduk.

"Kamu, siapa? Bocah kecil, botak nggak pakai baju?"

Aku memberanikan diri bertanya.

"Hmmm, manusia memanggilku tuyul," jawabnya, "kamu nggak usah takut gitu, kita sama kok."

"Sama? Apa maksudmu?"

"Kita sama-sama mahluk halus, cuma beda spesies."

"Kamu jangan ngaco, aku ini manusia, sama seperti Ri."

Tentu saja aku enggak terima dibilang mahluk halus. Kalau lembut sih iya. Karena perempuan.

"Itu dulu, sekarang kamu cuma roh yang terpisah dari jasadmu. Makanya kamu mau teriak sekencang apapun, orang yang kamu panggil Ri nggak bakal denger."

"Kamu bohong!"

Aku tak percaya dengan omongan mahluk kecil ini. Berani-beraninya dia berkata seperti itu.

"Kamu harus terima kenyataan ini!"

Mahluk kecil itu menatapku tajam. Benarkah yang dikatakannya?

Aku teringat peristiwa enam bulan yang lalu, saat pulang sekolah dan mau menyeberang jalan. Tiba-tiba sebuah mobil berwarna hitam yang melaju kencang menabrakku hingga terpental beberapa meter. Aroma karat disertai cairan merah segar keluar dari kepalaku. Selanjutnya aku tak sadarkan diri. Saat aku sadar, semua yang menemuiku mengucapkan " innalillahi".


Jadi ... aku sudah meninggal?

Kembali kristal bening mengalir deras di pipiku. Ini enggak mungkin, enggak!

"Ri ... kenapa secepat ini kamu lupain aku?"

Kuperhatikan Ri dengan wanita itu tengah menikmati hidangannya. Sambil sesekali mereka bercerita dan bercanda begitu mesra.


"Aku masih sayang kamu, Ri. Aku masih cinta kamu."

Rasanya tak sanggup melihat pemandangan di hadapanku. Kututup wajah dengan kedua telapak tangan.

"Sudah kubilang dia nggak bakal denger kata-katamu," kata si Tuyul jahil yang masih belum pergi dari sampingku.

Ku palingkan wajah dan beralih menatap Tuyul yang juga melihat ke arahku.

"Tuyul, apa kamu bisa bicara dengan manusia?"

"Aku bisa bicara dengan tuanku."

" Maksud kamu?"

"Aku ini punya tuan, Nona."

"Tuyul, boleh aku minta tolong?"

"Mau minta tolong apa?"

"Tolong sampaikan salamku buat Ri. Tolong katakan padanya, aku masih sayang dia. Aku masih cinta dia."

" Menyedihkan sekali kamu, Nona."

"Aku mohon, tolong aku. Please ..., ya."

Kutangkupkan kedua tangan di dada. Namun, Tuyul tidak mengiyakan atau menolak. Dia hanya menatap dengan kedua bola mata sedikit berembun. Perlahan aku menjauh dari Ri. Kutengok Ri sekali lagi sebelum akhirnya benar-benar pergi bersama desir angin.

Kini, aku sudah kembali di kediaman baruku yang sunyi, sepi. Mentari sudah sampai di ufuk barat. Sebentar lagi siang akan berganti malam. Aku duduk di pembaringan sendirian. Ya ... sendirian tanpa Ri.

Ri sudah bahagia dengan kekasih barunya. Sekarang buatnya aku hanya seonggok masa lalu. Masa lalu yang masih dikenang, untuk kemudian dilupakan seiring berjalannya waktu.

Aku harus terima kenyataan ini walau pahit. Aku harus belajar merelakan. Kembali air mata ini mengalir deras. Bersama derasnya hujan petang ini. Hingga menambah suasana makin sunyi, sepi, pekat. Sungguh sempurna.

--TAMAT--

Bgr,250219
Gimi96Avatar border
NadarNadzAvatar border
nona212Avatar border
nona212 dan 15 lainnya memberi reputasi
14
2.1K
13
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
icon
31.4KThread41.4KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.