wiispicaAvatar border
TS
wiispica
Kenangan Yang Abadi
Kisah-Kisah Senang, Sedih, Mengerikan dan Sebagainya




Dalam hidup ada berbagai kisah, baik itu senang maupun sedih. Ada yang baik dan ada yang jahat. Di sini akan ada kumpulan kisah horror, romance, thriller dan lain sebagainya.



Hai! Ketemu lagi, Gaes! Kali ini ane akan menyuguhkan kumcer dari berbagai genre. Psst ... ada gorejuga loh! Hihihi ... kalo nggak kuat gore silakan skip, ya! Ada juga kisah-kisah romance yang sad or happy nantinya.
So, pantengin terus! Jangan lupa untuk berbagi cendol, ya, juga bintang dan komennya!
Okey, kita langsung aja. Cek indeks di kolom komentar, Gaes!



Kenangan yang Abadi


Adnan berjalan menuju sebuah taman di tengah kota. Ia baru saja tiba dua hari lalu di kota kelahirannya ini, setelah sebelumnya berada di luar negeri. Matanya memindai seisi taman. Tidak banyak yang berubah ternyata.

Taman itu tetap rimbun dengan beberapa kursi taman yang tersebar di sekeliling tempat itu. Di sudutnya ada tempat bermain anak-anak. Ada perosotan, ayunan, palang besi untuk memanjat dan sebuah bangunan berbentuk jamur raksasa yang bisa dimasuki.

Ingatannya melayang ke beberapa tahun silam. Saat Adnan kecil tengah berlarian dengan riangnya bersama Dinda–sahabat kecilnya–yang berusia dua tahun di bawah Adnan. Taman ini tidak jauh dari tempat tinggal Adnan dan Dinda. Setiap sore keduanya pasti bermain di tempat ini.

Ia ingat, hari itu cuaca sudah mendung, namun ia dan Dinda masih asyik bermain bersama beberapa teman sebaya mereka. Berlarian sambil tertawa riang, tanpa beban sedikit pun. Hingga tiba-tiba suara petir menggelegar diikuti oleh kilat, membuat Dinda Cumiik ketakutan. Teman-teman lainnya berlarian pulang, namun Dinda malah berlari menuju jamur raksasa dan masuk ke dalamnya.

Adnan yang melihat itu segera menyusul Dinda. Ia tahu, sahabatnya itu sangat takut dengan petir. Adnan melihat Dinda jongkok membelakangi dirinya sambil menutup kedua telinga dengan tangannya. Tubuhnya gemetar akibat ketakutan.

"Dinda, kamu nggak apa-apa?" tanya Adnan.

Gadis kecil itu tidak menjawab, ia terisak pelan. Lalu, hujan mengguyur bumi dengan derasnya. Untunglah Adnan dan Dinda berada di dalam jamur raksasa sehingga keduanya tidak basah kehujanan.

Suara petir masih terdengar bersahutan, angin pun bertiup kencang. Adnan duduk di samping Dinda menatap hujan yang tengah mengamuk. Di sisinya, Dinda masih terisak, wajahnya ditenggelamkan di lututnya.

Adnan meraih tubuh Dinda dan memeluknya. "Jangan takut, Dinda. Ada Adnan yang jagain Dinda." Kata-kata itu terus terucap dari bibir Adnan sampai Dinda kembali tenang.

Adnan tersenyum mengingat memori itu. Namun, senyum itu tidak mencapai matanya. Bibir tersenyum, tetapi matanya memancarkan kesedihan. Tak lama angin bertiup sedikit kencang. Adnan memutuskan untuk pulang ke apartemen miliknya.

***
Pria itu membongkar isi kardus dan mulai menata sesuai tempatnya. Barang-barang pribadi yang ia kirim dari rumahnya di luar negeri, baru saja tiba.

Satu per satu ia susun dan rapikan. Mulai dari pakaian hingga pajangan. Sampai akhirnya tersisa satu kardus. Di atasnya tertulis 'KENANGAN'.

Adnan meletakkan benda itu di meja. Memutuskan akan membongkar nya nanti setelah makan malam. Ia memilih untuk membersihkan diri setelah seharian sibuk menata barang-barang di apartemennya.

Setelah makan malam seadanya, Adnan duduk di karpet di ruang santainya. Ia meraih kardus kenangan itu dan membukanya. Adnan mengeluarkan isinya satu per satu. Mulai dari foto-foto masa kecilnya. Baik itu sendiri maupun bersama Dinda. Lalu, ada buku harian yang sudah usang. Bukan miliknya, tetapi milik Dinda yang ia ambil saat akan berangkat ke luar negeri. Dibukanya buku itu dan mulai membaca halaman demi halaman. Hingga ia sampai pada satu kenangan. Kenangan yang mengingatkannya akan sebuah janji.

Adnan ingat, ia berusia 14 tahun saat itu. Ia pergi ke rumah Dinda, namun gadis itu tidak ada. Adnan berinisiatif untuk pergi ke taman, siapa tahu Dinda berada di sana. Benar saja. Adnan melihat sahabatnya duduk di ayunan membelakangi dirinya. Ia menghampiri gadis itu dan begitu melihat wajahnya, Adnan tahu ada yang salah.

"Kamu kenapa?" tanya Adnan.

Hening sesaat. Dinda tidak menjawab pertanyaan Adnan. Ia masih duduk di ayunan sambil merenung. Adnan tidak memaksa Dinda untuk bercerita, ia memilih untuk duduk di ayunan satunya lagi.

Adnan mulai bersenandung pelan. Lama-lama suaranya semakin keras. Entah lagu apa yang ia nyanyikan.

"Kamu nyanyi lagu apa, sih?" tanya Dinda akhirnya.

Mendengar itu Adnan tersenyum. "Nyanyi lagu 'Bikin Dinda Senyum', bagus, 'kan?" Ia memamerkan giginya yang berderet rapi.

Dinda memberengut. "Apaan, tuh? Aneh banget lagunya?"

"Jadi aneh soalnya kamu nggak senyum. Coba deh, denger lagunya sambil senyum. Nih, aku ulang, ya. Tapi kamu senyum dulu!"

Setelah memastikan Dinda tersenyum, Adnan kembali mengulang lagu hasil karangannya. Kemudian, senyum Dinda berubah menjadi tawa berderai.

"Aneh banget, sih, lagunya," ujar Dinda ditengah tawanya.

Melihat itu Adnan ikut tertawa. "Kalo kamu ketawa, berarti lagunya sukses."

Keduanya terbahak beberapa saat. Dinda mengedarkan pandangan. Sepi. Wajar saja, soalnya sudah mendung. Bisa dipastikan sebentar lagi akan turun hujan.

"Pulang, yuk!" ajak Adnan.

Dinda menggeleng. Adnan mengernyit heran. Tiba-tiba suara gemuruh terdengar.

"Dinda, udah mau ujan. Pulang, yuk." Adnan memandang langit dengan gelisah.

"Kalo kamu mau pulang, ya, pulang aja. Aku di sini."

"Emang kenapa?"

"Aku takut dimarahin mama lagi. Aku takut dijewer lagi. Mama nggak sayang sama aku." Air mata menetes di pipi Dinda. "Aku benci mama."

"Kata mama aku kita nggak boleh benci sama orang. Dosa. Ya udah, kita ke rumah aku aja, yuk!" bujuk Adnan lagi.

Dinda menggeleng, namun Adnan mencengkram jemarinya dan menarik Dinda.

"Ayo! Lihat, udah mulai gerimis!" seru Adnan sambil berlari dengan menarik tangan Dinda.

Saat hujan turun dengan deras, saat itu pula kedua anak itu tiba di teras rumah Adnan. Keduanya duduk di teras sambil melihat hujan.

"Kenapa, sih, Nan, mama nggak sayang sama aku?" kata Dinda tiba-tiba. "Salah aku apa? Aku udah berusaha mengerjakan semua dengan baik, kok. Ngerjain PR, beresin rumah juga. Tapi kok mama marah-marah terus, ya? Aku selalu takut ketemu mama."

Adnan terdiam. Bocah itu tidak tahu harus berkata apa.

"Nggak ada yang sayang aku. Papa juga. Malah pergi ninggalin aku." Isakan tangis kembali terdengar.

Sedih melihat sahabatnya menangis, Adnan mengusap air mata Dinda. "Ingat Dinda, ada aku juga yang sayang sama kamu. Ada mama aku, ada papa aku juga. Jangan sedih, ya. Aku sayang kok sama kamu."

Isakan tangis Dinda mulai mereda. "Janji ya, Adnan. Jangan tinggalin aku kayak papa, terus tetap sayang sama aku. Jangan berubah kayak mama."

Adnan tersenyum lebar. "Janji! Aku akan selalu ada untuk kamu. Jadi jangan nangis lagi, ya." Jemarinya kembali menghapus air mata yang masih setia berada di pipi sahabatnya.

Begitulah, janji kecil itu terucap. Adnan terus mengingatnya hingga hari ini. Ia tersenyum, di saat bersamaan hatinya pun terasa sakit mengingat kembali potongan kenangan indahnya bersama Dinda. Seorang sahabat yang selalu ia sayangi.

***
Kalau boleh memilih, Adnan enggan untuk kembali ke kota ini. Ia lebih memilih tetap tinggal di negeri Paman Sam untuk melanjutkan hidup. Kembali ke sini artinya membuka lagi kenangan lama yang ingin ia lupakan. Kenangan tentang sahabatnya sekaligus orang yang ia sayangi.

Adnan mengingat Dinda sebagai orang yang tegar, selalu tertawa disetiap masalahnya. Ia hanya akan menangis di hadapan Adnan. Adnan sendiri selalu berusaha terus hadir dalam hidup Dinda.

Adnanlah yang selalu menghibur dan menghapus air mata Dinda setiap gadis itu bersedih. Setiap gadis itu merasa tidak kuat lagi menjalani hidupnya, Adnan akan selalu berada di samping Dinda.

Pria itu sangat tahu, hidup yang dijalani oleh Dinda tidaklah mudah. Tante Anya–mama Dinda–selalu saja menyiksa gadis itu, seolah ia tidak boleh melakukan satu kesalahan kecil pun. Jika sudah begitu, tugas Adnanlah menghibur Dinda agar ia kuat.

Bukan tanpa alasan Adnan melakukan itu semua. Mungkin awalnya bagi Adnan, Dinda adalah seorang sahabat kecil yang sudah ia anggap seperti adiknya sendiri. Posisi Adnan sebagai anak tunggal, menjadikan ia menginginkan sosok seorang saudara. Kemudian, Dinda hadir dalam hidupnya dengan segala keceriaan yang mampu membuat orang tertawa di sampingnya.

Akan tetapi, tidak ada satu orang pun yang tahu bahwa ada kesedihan dan penderitaan di balik keceriaan itu. Tidak pula dengan Adnan pada mulanya. Tidak pernah terlintas dalam bayangan bocah berusia 10 tahun itu, bahwa gadis yang baru ia kenal itu menyimpan begitu banyak kepedihan.

Pertama kali ia mengetahui sisi lain Dinda ketika ia hendak mengajak gadis itu bermain bersama di taman seperti biasa. Adnan berjalan memasuki halaman rumah Dinda, dan saat ingin mengetuk pintu, ia mendengar suara teriakan Tante Anya memarahi Dinda. Lalu, secara tiba-tiba pintu di hadapannya terbuka memperlihatkan sosok gadis kecil dengan wajah basah penuh air mata.

"Jangan pulang kamu sebelum Mama izinin! Muak Mama liat muka kamu!" Suara Tante Anya terdengar oleh Adnan.

Dinda terpaku melihat Adnan di hadapannya. Tanpa basa-basi, ia menarik tangan Adnan pergi dari rumahnya.

"Kamu kenapa tadi dimarahin?" tanya Adnan begitu mereka tiba di taman.

Tangis Dinda belum sepenuhnya reda, isakan pelan masih lolos dari bibirnya.

"Kamu buat salah apa?" tanya Adnan lagi

Bukan jawaban yang Adnan dapat, melainkan tangis Dinda yang kembali pecah. Ia menangis terisak-isak seolah melepaskan semua sesak yang menghimpit dadanya.

Adnan kecil tentu bingung. Ia panik melihat Dinda menangis. Kepalanya celingak-celinguk melihat sekeliling, untunglah taman sore ini sepi. Jadi, Adnan tidak akan dituduh menjahili Dinda hingga menangis.

Dalam tangisnya, Dinda bercerita bahwa ia selalu dimarahi serta dipukuli sang mama. Ada saja alasan Anya memukul Dinda. Alasan Dinda berada di taman tiap hari karena Anya selalu mengusirnya. Ia tidak boleh pulang sebelum diizinkan Anya. Menurutnya, Anya membenci Dinda sampai tidak suka harus berhadapan dengan Dinda sepanjang hari.

Sejak itu, Adnan menaruh perhatian lebih pada Dinda. Awalnya ia kasihan lama-lama keduanya menjadi dekat. Bahkan jika melihat Dinda bersedih, ia juga seolah bisa merasakan kesedihan itu.

***
Adnan berjalan menyusuri deretan toko bunga, kemudian memasuki salah satu dari toko-toko itu. Seorang penjaga menghampirinya.

"Cari bunga apa, Pak?"

"Bunga lily ada?"

Penjaga itu mengangguk dan mengantar Adnan ke bagian bunga yang ia pinta.

"Yang warna pink ini atau putih, Pak?"

"Saya mau yang putih, tolong dibikin buket sekalian, ya."

Kemudian penjaga toko itu mulai mengambil bunga-bunga dan menyusunnya. Adnan memperhatikan dengan pikiran kembali melayang ke masa lalu.

Lily putih ini adalah bunga kesukaan Dinda. Waktu itu Dinda dan Adnan sedang dalam perjalanan pulang sekolah. Keduanya sudah duduk di bangku sekolah menengah atas. Dalam perjalanan, keduanya melewati sebuah toko bunga. Dinda berhenti sejenak memperhatikan bunga-bunga yang tersusun rapi.

"Kenapa, Din?"

Gadis itu menggeleng. "Bunga-bunganya cantik."

Adnan melirik ke arah toko bunga kemudian berdecak. "Ada yang lebih cantik dari bunga-bunga itu."

Dinda menoleh, mengernyitkan kening. "Apa?"

"Kamu." Adnan tersenyum usil.

Mendengar jawaban Adnan, Dinda mencibir. "Cih, Adnan sekarang ngegombal mulu. Genit."

"Loh, kok gombal? Serius."

"Nggak percaya!"

"Ya udah, kalo nggak percaya." Adnan memperhatikan toko bunga itu lagi. "Dinda suka bunga apa? Mawar?"

Tidak disangka gadis itu malah menggeleng.

"Loh, bukan? Biasanya cewek suka mawar."

"Dinda nggak suka mawar. Sukanya bunga lily. Yang warna putih itu." Dinda menunjuk salah satu bunga di deretan belakang.

"Bedanya apa sama mawar?"

"Ish, ya beda dong. Dari bentuknya aja udah beda, Adnan."

Adnan mengangguk-angguk.

"Yuk, pulang."

"Loh, kirain mau beli bunganya?" tanya Adnan.

Dinda tertawa. "Aku mana punya uang buat beli bunga itu. Lagian kalo aku pulang bawa-bawa bunga, apa kata mama nanti? Yang ada malah bikin masalah."

Adnan memperhatikan gadis yang telah mengisi hatinya itu. "Nanti aku beliin, deh."

Sontak Dinda menoleh ke arah Adnan yang rupanya tertinggal di belakangnya. Wajahnya terlihat semringah.

"Adnan mau beliin bunga? Buat aku?" tanya Dinda bersemangat.

Ah, Adnan rela membelikan beratus-ratus bunga untuk melihat wajah bahagia Dinda seperti saat ini. "Iya. Dinda mau?"

Kepala gadis itu mengangguk dengan semangat. "Makasih, Adnaaan!" seru Dinda memeluk lengan Adnan.

Adnan tersenyum sedih mengingat kenangan itu. Ia lalai menunaikan janjinya membelikan bunga ini untuk Dinda. Hingga saat ini.

"Ini, Pak, bunganya."

Adnan menyelesaikan transaksi pembayaran bunga yang ia beli, lalu melangkah keluar toko menuju mobilnya yang ia parkir tidak jauh dari sana.

Di dalam mobil, ia meletakkan buket bunga itu di jok belakang dengan hati-hati. Tidak ingin bunga itu rusak sebelum sampai ke tujuannya.

Perlahan ia melakukan mobil, menembus kemacetan ibukota.

***
Kita tidak pernah tahu apa yang terjadi dalam hidup kita. Sebagai manusia, kita hanya bisa berencana, namun hasil akhirnya tetap Tuhanlah yang menentukan. Seperti halnya dengan Adnan. Ia boleh merencanakan berjuta hal dalam hidupnya, akan tetapi keputusan akhir ada di tangan Tuhan.

Adnan melihat Dinda di taman tempat keduanya sering bermain saat kecil. Dinda tampak murung duduk di salah satu bangku taman. Adnan tahu ada yang tidak beres dengan gadisnya, maka ia berlari menghampiri Dinda.

"Dinda." Ia memegang bahu Dinda pelan. "Kamu kenapa?"

Gadis itu hanya terdiam, namun satu bulir bening jatuh dari mata indahnya. Hati Adnan sakit melihat gadisnya menangis. Gadis yang memberikan warna lain di hati Adnan. Gadis yang menemaninya dari kecil hingga ia kuliah. Dengan lembut ia menghapus air mata yang mulai mengalir deras di pipi Dinda.

"Aku nggak kuat lagi, Nan," bisik Dinda lirih. "Aku nggak kuat hidup kayak gini terus."

Adnan tidak mengerti apa yang terjadi, namun ia tidak ingin memaksa Dinda untuk bercerita. Jadi, yang ia lakukan adalah merengkuh gadis itu ke dalam pelukannya.

"Jangan ngomong kayak gitu. Ada aku di sini, ingat?"

Tangis Dinda semakin deras walau tak ada suara yang keluar.

"Kenapa, sih, nggak ada yang sayang sama aku, Nan? Aku punya salah apa sama orang-orang? Di rumah aku disiksa sama orang tua aku sendiri. Sewaktu kita sekolah pun dulu aku selalu dikucilkan bahkan kadang dibully. Aku salah apa?!"

Adnan semakin mengeratkan pelukannya pada Dinda. Ia membiarkan gadis itu menumpahkan semua keluh kesahnya.

"Dinda jangan sedih, ya. Aku janji akan selalu ada buat kamu. Aku janji akan memberikan kebahagiaan untuk kamu. Aku janji, ini akan jadi air mata terakhir. Aku janji!"

Saat itu, Adnan sudah meniatkan hati untuk melamar Dinda. Ia akan melepaskan gadis itu dari penderitaannya selama ini.

"Aku akan hapus semua kesedihan kamu dengan kebahagiaan."

Itulah janji Adnan pada Dinda. Akan tetapi, garis takdir tidak mengizinkan mereka bersama. Keesokan harinya, Adnan mendapat kabar bahwa Dinda telah tewas bunuh diri di kamarnya dengan cara memotong urat nadinya.

Dunia Adnan runtuh. Ia bahkan tidak mempercayai berita itu walau dirinya sendiri telah melihat jasad Dinda saat disemayamkan. Hatinya kosong melihat gadis yang ia cintai telah pergi selamanya.

Ia tidak mau percaya pada kenyataan, namun hal itu terjadi di depan matanya. Terbayang olehnya canda tawa Dinda. Wajah bahagia Dinda. Suara Dinda. Semua tentang Dinda.

Kedua orang tua Adnan bahkan harus mengungsikan putra mereka ke luar negeri agar ia bisa melupakan kesedihannya. Agar ia bisa melanjutkan hidupnya.

***
Mobil yang dikendarai Adnan berhenti di depan sebuah pemakaman umum. Pria itu meremas setang mobil dengan perasaan tidak menentu. Berkali-kali ia menghembuskan napas. Beberapa saat kemudian ia meraih bunga lily di jok belakang dan keluar dari mobil.

Adnan melangkah perlahan menyusuri jalan setapak menuju satu titik. Terakhir kali di ke tempat ini adalah sesaat sebelum dirinya berangkat ke luar negeri enam tahun lalu.

Pria itu berhenti di sebuah gundukan tanah yang sudah mengering tidak terurus. Sungguh miris. Bahkan tempat pembaringan terakhirnya pun tidak ada mempedulikan.

Adnan membersihkan makam seadanya. Setelah itu ia membacakan doa dengan khusyuk. Ia mendoakan ketenangan jiwa seseorang yang telah lama pergi meninggalkan dunia yang penuh dengan penderitaan ini.

Selesai berdoa Adnan hanya berdiam diri. Terlalu banyak kata yang ingin ia ungkapkan, namun semua itu tertahan di lidahnya. Ia meletakkan bunga lily di atas gundukan itu.

"Hai, maaf aku baru dateng lagi," ujar Adnan. "Gimana kabar kamu? Sekarang kamu udah bahagia, ya, di sana. Nggak ada yang bikin kamu sedih lagi." Ia berhenti sejenak. "Tinggal aku yang masih berjuang di sini."

Hening kembali menyeruak. "Ternyata butuh waktu lama untuk aku bisa menerima kenyataan ini. Kenyataan kalau kamu bener-bener udah nggak ada dan itu cukup sulit ternyata."

Adnan menarik napas dalam dan menghembuskan kembali dengan cepat.

"Kamu yang tenang, ya. Aku udah baik-baik aja sekarang."

Pria itu mengusap nisan bertuliskan nama DINDA ARUNI DEWI perlahan.

"Terima kasih, Dinda."

Adnan bangkit dan berjalan menjauhi makam itu. Seiring langkahnya, perasaannya mulai meringan. Kini, ia bisa menerima semua dengan lapang dada. Adnan telah mengikhlaskan cintanya pergi mendahuluinya. Mulai saat ini, Dinda hanyalah bagian dari kenangan yang tidak akan pernah ia lupakan. Kenangan yang selalu terpatri dalam ingatannya. Sekarang yang perlu ia lakukan adalah menata hidupnya kembali. Ia akan bangkit dari keterpurukan ini.


END



Link kumcer lainnya 👇🏻👇🏻
Diubah oleh wiispica 04-02-2020 03:28
pulaukapokAvatar border
phyu.03Avatar border
bukhoriganAvatar border
bukhorigan dan 40 lainnya memberi reputasi
41
4.2K
64
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
icon
31.5KThread41.5KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.