babygani86Avatar border
TS
babygani86
Milenial harus mulai berani untuk peduli Politik
Berbincang soal politik tak bisa lepas dari kondisi generasi bangsa, karena politik tumbuh bersama generasinya. Anggapan bahwa berpolitik hanya milik orang tua rasanya sudah harus dilepaskan. Pasalnya, generasi muda Indonesia sudah memiliki akses untuk mengubah landscape dunia politik.

Lihat saja wajah—wajah baru yang muncul dalam diskusi atau debat politik. Sosok sosok yang masih segar, baru keluar dari bangku kuliah bahkan sudah bergabung sejak mahasiswa. Misalnya saja Tsamara Amany yang ramai dibicarakan saat dirinya menantang Wakil Ketua DPR RI, Fahri Hamzah berdebat soal Pansus Hak Angket KPK. Atau sosok Faldo Maldini yang pernah menjabat sebagai Ketua BEM UI kini Wasekjen PAN.



Dilihat dari usia, keduanya generasi milenial. Mereka yang lahir dan menikmati masa anak-anak pada tahun 90—an. Inilah realita bahwa generasi muda menjadi pemilik masa depan bangsa. Apalagi, Indonesia sedang kebanjiran bonus demografi.

Kesempatan ini tentu saja dimanfaatkan orang-orang yang berkepentingan dalam dunia politik. Terlebih saat ada Pilpres dan Pileg pada 2019. Sekadar info, jumlah suara milenial mencapai 85 jutajiwa atau sekitar 48% dari jumlah pemilih. Jika berhasil menggaet pemilih milenial, setidaknya tiket kekuasaan akan lebih mudah didapat.

Menariknya, milenial rupanya sadar tak mau hanya dijadikan objek politik. Mereka ingin terlibat dalam politik tanpa partai politik. Pembicaraan mengenai politik adalah topik yang menarik bagi sebagian milenial.

Banyak anak muda terjun ke dunia politik berawal dari kesadaran bahwa kebijakan politik saat ini akan berpengaruh jangka panjang. Kesadaran ini yang membuat banyak bermunculannya Gerakan politik tanpa partai.

Bagi milenial, akhir dari politik aspirasikan adalah kepentingan diri sendiri. Bukan berarti kepentingan diri sendiri akan melibatkan KKN, namun mimpi besar milenial berkaitan dengan masa depan bangsa ini. Jika anak muda tidak peduli politik, siapa yang akan mengaspirasikan suara minoritas? Jika politik diisi oleh orang lama padahal zaman terus berubah, kapan akan terjadi perubahan baik demi kepentingan banyak orang? Milenial haruslah mengerti politik untuk mencintai negara yang akan mereka tinggali sampai akhir hayatnya.

Anak muda haruslah bisa menyuarakan pilihannya. Tidak hanya mengikuti selebrasi saja, tapi benar-benar terjun ke politik, kita harus coba untuk terjun atau bersuara soal politik. Diharapkan para silent majority, yakni orang-orang yang diperhatikan hanya saat pemilihan umum, bisa menyuarakan suara mereka sendiri.

Tentu saja ada banyak tantangan untuk mewujudkan politik yang sehat dalam masyarakat. Terutama bagi milenial ataupun mereka yang dianggap minoritas. Sering kali milenial didiskreditkan karena dirasa belum mumpuni untuk bicara politik. Usia jadi salah satu indikator seseorang boleh bicara politik atau tidak. Inilah yang kadang membuat milenial merasa terpisah dari dunia politik.



Padahal, anak muda adalah generasi penerus bangsa. Jangan sampai masih ada anak muda yang tidak sadar dirinya dijadikan objek politik demi kepentingan orang-orang yang ingin dipilih menjadi pejabat publik. Milenial harus menjadi subjek politik yang memiliki kekuatan dan keberanian untuk berkontribusi bagi negeri.

Politik yang ideal seharusnya tidak memiliki barrier to entry. Siapapun mereka, dari profesional sampai anak SMA yang baru ber-KTP, bisa terlibat diskusi politik. Ngobrol soal politik tidak lagi tabu namun bisa membawa perdebatan dengan pola pikir yang kritis. Karena pada dasarnya, bicara soal politik itu, asyik!

Media sosial rupanya memiliki andil yang cukup besar dalam memediasi pejabat publik untuk berkomunikasi dengan masyarakat. Tak jarang sampai muncul perdebatan dalam situs jejaring sosial antara pejabat dengan masyarakat atau sesama masyarakat. Kebebasan bersuara dijadikan alas an untuk memberi kritik, hujatan, caci dan maki melalui internet.

Komunikasi secara langsung ini tentu saja sehat jika dimanfaatkan dengan bijak. Sayangnya antusiasme berpolitik lewat daring lagi-lagi memunculkan karakter milenial yang radikal terhadap partai atau tokoh pilihannya. Meski sudah melek teknologi, takjarang milenial masih fanatik membela tokoh yang menjadi role model bagi mereka. Terlepas dari tingkah polah tokoh tersebut yang salah atau benar, milenial yang fanatik akan membela habis-habisan.

Istilahnya sekarang “menggoreng isu” dari pendapat yang dikeluarkan tokoh politik. Mereka yang radikal sebagai oposisi akan terus menyerang dan menganggap hal tersebut tidak benar. Sebaliknya, mereka yang membela akan berjuang membenarkan maksud dari tokoh idolanya.

Padahal milenial memiliki berbagai akses informasi yang seharus nya membuat mereka lebih rasional dalam menghadapi kampanye calon tertentu. Namun ternyata masih ada yang menganggap calon tertentu sebagai “setengah dewa” yang harus bisa mengendalikan seluruh masalah negara.

Salah satu sifat yang belum dipunyai orang Indonesia adalah sportif. Cerminannya, kalau tokoh pilihannya kalah, mereka akan menyerang pejabat terpilih. Semakin seseorang tidak sportif, ia akan semakin kelihatan terbelakang. Kekuatan oposisi akan berubah haluan menjadi kaum yang haus kekuasaan jika diisi oleh orang-orang yang tidak sportif. Hal ini terlihat belakangan ketika ada yang tidak sependapat, berarti salah. Kritik, caci dan maki sampai membawa isu ke ranah hukum akan ditempuh demi memenangkan diri atau kelompoknya.

Berbagai isu yang digoreng ini kemudian beredar dalam media sosial, debat akan dimulai dan ramai dibahas. Bagi sebagian milenial yang lain, hal ini melelahkan. Inilah muasal dari milenial apatis yang sering ditunjuk sebagai generasi yang tidak peduli pada kondisi negara.

Padahal, bukan berarti mereka tidak peduli jika tidak ikut berdebat tentang politik. Banyak faktor yang membuat milenial menghindar dari politik. Bisa jadi karena lelah dalam pekerjaan, khawatir akan hal lain, sampai pada faktor utamanya adalah bosan dengan perdebatan politik yang tidak sehat. Kebiasaan yang menyita energi ini akhirnya menjadikan beberapa milenial tidak tahan dan tidak ingin bicara mengenai politik.



Dengan berkembangnya teknologi informasi dan komunikasi, milenial memiliki akses untuk beraspirasi melalui cara yang kreatif. Misalnya melalui karikatur, atau memes yang sederhana namun memiliki pesan mendalam. Kesadaran untuk peduli dengan cara kritik yang baru juga ditempuh beberapa milenial untuk mengajak milenial lain lebih melek politik. Dunia internet terlalu sempit jika hanya diisi oleh mereka yang haus kekuasaan melalui politik.

Mulai kesadaran tentang nasib perpolitikan bangsa akan membantu mewujudkan suasana politik yang sehat. Menghargai usaha anak muda lain yang berusaha peduli dengan kondisi bangsa juga akan membuat milenial sama-sama belajar menjadi dewasa secara politik.

Milenial harus mulai berani untuk peduli politik, berani mengapresiasi dan kritis atas suatu kebijakan. Karena pada akhirnya, estafet kepemimpinan akan jatuh pada generasi milenial untuk memperjuangkan kebaikan bagi seluruh rakyat Indonesia.


Spoiler for Referensi:


nomoreliesAvatar border
sebelahblogAvatar border
4iinchAvatar border
4iinch dan 2 lainnya memberi reputasi
3
2.6K
16
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Berita dan Politik
Berita dan Politik
icon
669.8KThread40.2KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.