efapanduAvatar border
TS
efapandu
Secangkir Kopi


Secangkir Kopi
Oleh : Pandu Eva

'Cinta dan cita-cita, dua hal yang butuh perjuangan juga pengorbanan.'

Dulu aku benci kopi. Namun, kini sehari tiga gelas kuminum. Ya, terdengar aneh jika wanita gemar dengan kopi, karena minuman ini umumnya diminum kaum pria, tapi kini aku paham apa yang membuat mereka mencintai minuman ini, adalah sensasi. Setiap satu sesapan membawa kembali pada kenangan lampau. Paling tidak itu menurutku, sebagai wanita yang mulai menggilai kopi.

Aku memesan meja di sebuah cafe persis di samping kaca jendela, agar warna langit jingga bisa tertangkap sempurna oleh mataku, karena senja hari ini sangat indah untuk dilewatkan. Bersama secangkir kopi hangat dengan kombinasi yang pas di lidah, antara pahit dan sedikit manis masih tersisa sedikit lagi untuk dihabiskan.

"Permisi, boleh saya duduk di sini?" tanya seorang lelaki bertubuh ideal dengan perkiraan tinggi sekitar 175 cm.

Aku menatap lelaki itu, berpakaian sederhana, kaos biru tua dipadu padan celana levis berwarna senada dengan atasannya.

"Silakan!" Aku menawarkan kursi di depanku yang sedari tadi tak berpenghuni. Lalu, kembali menikmati senja.

"Saya perhatikan, Nona, sering ke tempat ini dengan posisi duduk menghadap matahari terbenam."

Masih menatap ke luar jendela, saat kuputuskan menjawab perkataannya dengan senyuman. Ah, andai dia tau kalau aku sangat lelah. Nando, namanya, lelaki yang pandai mencairkan suasana. Ya, meski baru beberapa jam, tetapi dia bisa membuatku tersenyum. Banyak hal yang dia ceritakan, hingga tak terasa senja telah berganti gelap. Setelah bertukar alamat rumah dan nomor telepon, kami pun saling berpamitan.

***

Sejak pertemuan itu, hubunganku dan Nando menjadi akrab. Kami sering bertemu di cafe yang sama dan pada jam yang sama pula.

"Mba!" Nando memanggil seorang pelayan cafe dengan menautkan ibu jari dan jari tengah hingga tercipta suara nyaring.

Dari tempatku duduk, terlihat seorang pelayan menoleh ka arah Nando. Tak berapa lama, pelayan itu menghampiri meja kami.

"Pesan kopi hitam tanpa gula! Kau mau apa Rasti?" ujar Nando. Sang pelayan mulai sibuk menggerakkan penanya di atas kertas. Kemudian, setelah pesanan kami lengkap pelayan itu berlalu pergi.

Nando berkata, kalau akhir-akhir ini ia sedang menyukai kopi pahit. Pasti karena perasaannya sedang berbunga-bunga, aku langsung menebaknya.

"Kok, kamu tau?" tanya Nando dengan wajah heran.

Aku melempar senyum padanya. "Taulah, biasanya kaum pria memang begitu." Aku berdalih.

"Sekedar menyeimbangi hidup aja. Aku sedang bahagia bisa dekat dengan wanita sepertimu, sebab itu aku minum kopi pahit, agar tak terbuai dengan manisnya kebahagiaan. Takut lupa diri, jadi sewaktu-waktu hati terluka, sudah tak kaget lagi. Rasa pahit yang hadir dari kopi membuatku tetap terjaga."

Pemikiran yang aneh bukan? Menurutku, iya. Saat orang tuaku masih ada, aku diajarkan untuk selalu berpikir positif, sabar dan ikhlas sedari dulu. Lalu, iseng-iseng aku mulai menggoda Nando ....

"Berarti kalau lagi sedih, atau sakit hati, kamu minum kopi manis, dong?"

Nando segera meniup dan menyesap secangkir kopi pahit yang baru saja mendarat di meja kami bersama pesanan lainnya, termasuk kopi manis pesananku. Dia tersenyum menjawab ejekanku, terlihat jelas cairan hitam dan sedikit bubuk kopi menempel di bibir atasnya. Itu karena dia meminumnya masih dalam keadaan asap mengepul.

"Yup, kamu betul, dan kalau hatiku sedang biasa-biasa saja ...."

Kamu pasti memilih tak minum kopi, aku menyela ucapan Nando. Kini, wajahnya tampak terkejut. Tak sampai di situ saja, kami juga bersenda gurau, bercerita tentang pengalaman, kebiasaan, dan orang tua kami. Nando mengatakan, mamanya adalah wanita hebat, belasan tahun hidup sendiri berbekal uang pensiun almarhum sang suami dan dagangan sederhana untuk membiayai hidup mereka. Begitu asyiknya mengobrol, hingga tak terasa malam jugalah yang memisahkan kami.

"Besok ikut aku! Akan kuperkenalkan kau dengan mamaku," ujarnya.

Sejenak aku bergeming. Nando menatapku dengan kedua alis terangkat.

"Hmm, ini ajakan atau perintah?" ledekku pada Nando.

***
Ternyata Nando serius saat mengatakan ingin mengenalkanku dengan mamanya.

"Ma, kenalin ini Rasti."

Aku meraih dan mencium telapak tangan Tante Nita, mamanya Nando. Lalu, tanpa sungkan aku dipeluknya.

"Duduklah, Rasti!" perintah Tante Nita setelah melepas pelukannya.

Tante Nita duduk persis di sebelahku, sofa panjang berwarna krem miliknya masih menyisakan satu tempat lagi untuk diisi. Namun, Nando memilih duduk berseberangan denganku dan mamanya.

"Mama, masak apa?" tanya Nando.

"Baru mau masak tadinya. Eh, kamu dan Rasti keburu datang. Maafkan tante, ya, Ras. Pas kamu datang belum ada makanan." Tante Nita menggenggam erat tanganku.

"Ya, sudah, biar Nando beli di luar aja, Ma," ujar Nando.

Namun, Tante Nita segera mencegah, takut tak sesuai selera Nando, alasannya. Akhirnya, aku dan Tante Nita memutuskan untuk memasak bersama di dapur.

"Kita mau masak apa, Tan?" tanyaku.

"Masakan simple aja, kesukaan Nando. Nasi goreng udang. Kamu tau kan bumbunya?"

Aku menggangguk cepat dan segera melarang Tante Nita ikut repot di dapur. Biarlah dia cukup melihatku masak saja. Kerjaan ini tak butuh waktu lama, karena sebelumnya Tante Nita sudah menyiapkan udang segar serta bumbu nasi goreng yang sudah diracik.

Tiga puluh menit kemudian, kami bertiga sudah berada dalam satu meja makan. Suapan nasi goreng pertama melesat ke mulut Nando. Lalu, aura wajahnya seketika berubah, ia bergeming.

"Kenapa, Nando?" tanya Tante Nita.

"Rasa nasi goreng ini enak banget, rasanya familyar sekali di lidah, Ma," ujarnya yakin.

Tante Nita menatapku, matanya mulai berembun. Nando meneruskan makannya dengan lahap hingga tak ada satu butir nasi pun tersisa di piring. Usai makan, di hadapan Tante Nita, Nando mengutarakan niatnya ingin melamarku.

"Nando yakin, Ma, dengan pilihan Nando. Entah kenapa, meski baru tiga bulan kenal Rasti, tapi rasanya seperti sudah kenal lama," ucapnya seraya menatapku.

Tante Nita juga ikut menatapku, dia tersenyum.

***

Kami menikah tanpa pesta, hanya menggelar pengajian antar tetangga dan saudara. Ya, berselang sebulan setelah lamaran Nando, Tante Nita menyuruh kami untuk segera menikah.

"Ini kopinya!" ujarku seraya menyerahkan kepada Nando.

"Pahit?"

Aku mengangguk. Lalu, kuserahkan box berisi nasi goreng udang untuk bekal makan siang di tempat kerjanya. Nando mendekatkan wajah ke box itu ....

"Hmm, aromanya bikin laper."

Setelah itu, dia lanjutkan dengan menyesap kopi buatanku, meninggalkan ampas kopi di cangkirnya.

"Sepertinya aku akan terus minum kopi pahit buatanmu. Sejak pertama bertemu aku yakin kamu jodohku, Rasti, terlalu banyak kebetulan antara kita. Kau seolah tau apa pun tentangku."

Setelah berkata itu, Nando mencium keningku, lalu bergegas pergi untuk bekerja. Kutatap tubuh tegapnya hingga menghilang dari pandangan. Andai dia tahu, bahwa tak ada sesuatu yang kebetulan di dunia ini.

Ada kisah kita di masa lalu, Nando. Sehingga kurela bersandiwara, mengulang kembali cerita cinta, moment pertama kali bertemu. Bekerja sama dengan Tante Nita, agar impian berumah tangga terwujud. Andai kecelakaan itu tak mengambil memori tentang kita di kepalamu. Mungkin kita sudah menikah dua tahun lalu.

_End_

Jakarta, 16 Desember 2019.

Sumber gambar : Koleksi pribadi
Link cerpen lainnya :
Mengolah Sakit Menjadi Nikmat
Diubah oleh efapandu 05-06-2023 07:25
lina.whAvatar border
NadarNadzAvatar border
nona212Avatar border
nona212 dan 18 lainnya memberi reputasi
17
2.1K
40
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
icon
31.4KThread41.3KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.