• Beranda
  • ...
  • Health
  • Operasi Modifikasi Kantong Nasi (Bariatrik), bukanlah Sedot Lemak

babygani86Avatar border
TS
babygani86
Operasi Modifikasi Kantong Nasi (Bariatrik), bukanlah Sedot Lemak
Melihat sosok Arya Permana hari ini. Pasti orang akan jatuh pangling. Badannya kini jauh melangsing. Gumpalan lemak di beberapa bagian tubuh, menghilang sudah. Wajah bulatnya kini menirus, memancarkan guratan—guratan ketampanannya. Dua tahun lalu, sosok Arya sempat ramai di pemberitaan media massa.

Bayangkan, pada usia 10 tahun, berat badannya 192 kg! Memang sih, bocah asal Karawang, Jawa Barat ini masih bisa gerak, meski sangat lamban. Namun ditakutkan tubuhnya bakal makin kepayahan karena berat badannya seperti tak terbendung. Maklum, pola makan Arya sangatlah mengerikan. Terutama karena ia banyak mengonsumsi gula.



Oleh orangtuanya, Arya kemudian dibawa ke Rumah Sakit Omni di Tangerang, Banten untuk dioperasi bariatrik hingga beberapa kali. Hasilnya, dalam dua tahun, berat badan Arya tinggal 90 kg. Berkat pemberitaan kasus Arya inilah, masyarakat mulai mengenal tentang operasi modifikasi kantong nasi.

Keberhasilan operasi bariatric memangkas bobot tubuh memang memberi secercah harapan kepada para penderita obesitas. Terutama bagi mereka yang termasuk kategori parah, seperti Arya. Di masa lalu, pilihan bagi orang-orang dengan tiga atau empat kali bobot normal ini cuma diet dikombinasikan dengan olahraga.

Masalahnya, bukan diet namanya kalau mudah dijalani. Selalu ada efek yo-yo; setelah turun beberapa waktu, angka timbangan akan mantul ke titik semula. Kabarnya, tingkat keberhasilan diet untuk mereka memang sangat kecil, 1-3% saja.

Padahal semakin hari kualitas hidup penderita obesitas ekstrem ini terus menurun. Mereka makin sulit bergerak, kadang malah Cuma bisa tiduran. Ada keluhan persendian akibat beban berlebihan. Namun yang lebih seram, ancaman berbagai penyakit perenggut nyawa, seperti diabetes mellitus dan jantung koroner.

Jelas obesitas adalah penyakit. Jangan dianggap sekadar penampilan saja yang jelek karena kegemukan. Ada penyakit-penyakit yang sudah menunggu kalau diteruskan. Tentu operasi bariatrik bukan jalan pintas. Malah bisa dibilang ini jalan terakhir. Dokter harus memastikan pasien harus diet terlebih dulu. Tapi biasanya yang dating sudah gagal diet berkali-kali.

“Syarat” untuk dioperasi juga harus terpenuhi, yakni minimal Indeks Massa Tubuh (IMT) 37,5. Bisa juga di bawahnya, 32,5 tapi ada komplikasi seperti diabetes mellitus. Untuk membayangkan, garis batas IMT 37,5 ini kira-kira sama dengan tinggi badan 165 cm dan bobot 102 kg. Jadi, hati-hati saja kalau Anda sudah mendekati garis batas itu!

Sejauh ini dunia kedokteran mengenal empat jenis operasi bariatrik, yakni Gastic Bypass, Sleeve Gastrectomy, Mini Gastric Bypass, dan Adjustable Gastric Banding. Tugas dokter adalah menentukan jenis operasi yang tepat sesuai kondisi dan perilaku pasien.

Perilaku? contohnya kalau pasien suka makanan manis—manis, cocoknya Gastric Bypass. Karena operasi ini membuat makanan cepat masuk ke usus halus dan pancreas langsung memproduksi insulin. Akibatnya, kadar gula darah langsung drop, kepala pusing, perut mulas.



Pasien jadi tahu akibatnya kalau terlalu banyak makan manis, sehingga dia akan membatasi diri. Beda ceritanya dengan Sleeve Gastrectomy yang telah dikenal lebih dulu selama puluhan tahun. Tindakan ini cocok untuk kasus obesitas yang tidak terlalu berat atau malah yang berat sekali. Namun jadinya pasien lebih terlihat sengsara. Jangankan minum, mau menelan ludah saja susah.

Sleeve juga punya kelemahan lain yakni tidak memotong bagian lambung yang memproduksi asam. Sehingga risiko asam lambung naik sampai kerongkongan (heartburn) tetap ada. Jika dalam proses endoskopi sebelum operasi sudah ada tanda-tanda heartburn, maka Sleeve tidak cocok.

Adjustable Gastric Banding prosedurnya lain lagi. Istilahnya ikat lambung, karena memang lambung diberi pengikat berbahan karet. Pengikat bisa disetel untuk menentukan jumlah makanan yang dikonsumsi sehari-hari. Sifatnya, membatasi seminimal mungkin.

Dari berbagai metode tadi, kita bisa memahami, pada prinsipnya operasi bariatrik memaksa seseorang berhenti makan banyak secara seketika. Makan sedikit saja, sudah kenyang. Penyerapan makanan juga tidak sempurna. Walhasil, kondisi itu membuat lemak-lemak tubuh langsung susut terbakar tanpa ampun.

Sejauh ini keberhasilan operasi bariatrik cukup menjanjikan karena mampu memangkas 55-85% kelebihan berat badan. Cukup satu atau dua tahun, langsung terlihat perubahan signifikan. Contoh nyata adalah Arya Permana yang kini sudah hidup normal. Timbunan-timbunan lemak yang pergi, meninggalkan kulit- kulit yang menggelambir di area dada, perut, pinggang, tangan, dan kaki. Jadinya mirip jaket kulit yang kebesaran. Kalau mau sempurna secara estetik, tentu saja perlu operasi plastik untuk menuntaskannya.

Sebenarnya efek pascaoperasi yang paling menakjubkan adalah jika pasien menderita diabetes. Satu atau dua hari saja setelah operasi, kadar gula darah langsung turun drastis. Bahkan suntikan insulin tak perlu lagi. Apa sebabnya? Sampai sekarang belum diketahui.

Akan tetapi perlu dipahami, bukan operasi bariatrik yang mengobati diabetesnya. Seperti kita tahu, diabetes terjadi karena sebagian sel beta pankreas tidak berfungsi optimal. Operasi ini akan meningkatkan aktivitas insulin yang tersisa sehingga mencukupi kebutuhan empunya tubuh.

Sekali lagi, operasi bariatric merupakan pilihan terakhir. Sebelum mencapai tahap itu, akan diawarkan dulu berbagai alternative yang lebih sederhana. Pemasangan balon lambung misalnya. Jika dikombinasi dengan diet, metode ini tingkat keberhasilannya cukup baik.



Akan tetapi sekiranya sudah berbulat hati memilih bariatrik, pasien harus menjalani berbagai persiapan. Salah satunya, berpuasa 10 hari. Tujuannya agar liver menciut untuk memperlancar proses pembedahan. Kalau ada diabetes, kadar gula darah harus di bawah 200. Tekanan darah juga harus dikendalikan pada batas aman.

Operasi dilakukan dengan Teknik laparaskopi sehingga bersifat invasi minimal. Hanya perlu 5-6 lubang berdiameter 5—10 mm dalam pengerjaannya. Karena itulah, paling lama lima hari setelah operasi, pasien sudah boleh pulang.

Bariatrik barulah awal dari perjalanan menurunkan berat badan. Selanjutnya masih diteruskan rangkaian diet dan olahraga yang diawasi langsung oleh dokter gizi melalui kontak pribadi. Di sinilah komitmen pasien untuk hidup lebih sehat, akan sangat menentukan.

Contohnya, hingga tiga hari setelah operasi, pasien hanya boleh minum air putih atau teh saja. Selama dua minggu kemudian, Cuma minum susu. Setelah makan makanan yang lunak selama beberapa hari, baru pasien boleh makan normal. Tapi itu pun jumlahnya sangat terbatas, cukup 2—3 suap saja sudah kenyang.

Untuk hasil optimal, komitmen pasien memang sangat diuji. Sebab, pascaoperasi tidak ada jaminan kurus selamanya. Kalau pasien bandel dan kembali ke pola makan lama, tubuh bisa melar kembali. Makanya bahaya kalau sampai lapar mata, karena tubuh sebenarnya tidak lapar lagi.

Bila dibandingkan dengan negara-negara lain di Asia, operasi bariatrik di Indonesia memang belum terlalu populer. Prevalensi obesitas di masyarakat dengan solusi operasi turut berpengaruh. Dan jangan lupa, semua ini tak lepas dari budaya dan gaya hidup masyarakat setempat.

Contoh, soal pengaruh makanan. Di India kasus obesitas yang ditangani dengan operasi bariatrik sudah sangat tinggi. Gambarannya, seminggu, tim dokter bisa menangani sampai 10 pasien. Rupanya budaya makan setempat yang banyak mengandung minyak (kari) ikut mendongkrak jumlah penderita obesitas. Begitu juga dengan di Malaysia, Thailand, dan Singapura, yang etnis India juga cukup dominan.

Di Indonesia, tingkat obesitas terus meningkat. Menurut Riset Kesehatan Dasar 2018, tingkat obesitas orang dewasa mencapai 21,8% dari 14,8% pada 2013. Begitu juga prevalensi berat badan berlebih dengan IMT antara 25-27 menjadi 13,6% (dari 11,5% pada 2013). Soal angka memang belum sebesar negara-negara jiran, namun
perlu diwaspadai. Saat ini sekitar 50% kematian ditengarai akibat kegemukan dan penyakit yang menyertainya. Makanya, silakan mulai diet atau bariatric jadi
jawabannya.



Terakhir, popularitas operasi bariatric rupanya memicu orang- orang yang ingin kurus atau terlihat kurus untuk mencoba. Mereka rupanya kepingin membatasi makan dengan cara ini. Padahal, kalau menurut hitungan IMT, tubuh mereka tidak masuk dalam kategori obesitas, bahkan mungkin tidak kelebihan berat badan.

Terhadap permintaan ini, tegas dinyatakan tidak, ini bukan sedot lemak. Anda salah alamat. Terlepas dari persyaratan IMT tadi, perlu dipahami bahwa bariatrik adalah prosedur operasi yang bukan tanpa risiko. Penderita obesitas parah harus menempuh jalan operasi karena akan mendapatkan pengurangan berat badan yang signifikan. Bahkan sampai ratusan kilogram. Jadi antara risiko dan hasilnya sepadan. Kalau Cuma mengurangi 10 kilogram, mending diet saja.


Spoiler for Referensi:


tien212700Avatar border
tien212700 memberi reputasi
1
3.4K
0
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Health
Health
icon
24.6KThread9.8KAnggota
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.