julakanumAvatar border
TS
julakanum
Mimpi Indah di Langit-langit yang Basah
Siang itu, mendung menyelimuti cakrawala, penuh dengan arak-arakan awan. Dari arah barat, terlihat gumpalan besar yang sangat hitam. Dua insan beberapa saat dilanda kebekuan di bangku taman. Keduanya tampak membisu. Dua raut wajah yang tampak begitu hampa. Hanya kegetiran yang jelas terpancar dari empat mata yang saling memandang liukan bunga yang menari gemulai.

Perempuan berwajah oval dengan alis yang terukir indah itu bangkit dari tempat duduk seraya memalingkan muka. "Menyerahlah!"

"Tidak, kau yang seharusnya menyerah. Berapa kali pun kau menolakku, aku tetap tak akan goyah." Kesungguhan tampak jelas terlihat dari raut wajah Hamdi, pemuda itu masih bersikukuh.

"Ta-tapi aku tak mencintamu." Fitri terbata, tak berani melirik lelaki di sampingnya.

"Bohong ... aku tahu kau mencintaiku. Jujurlah! Jangan membohongi dirimu sendiri."

"Maafkan aku. Aku harus pergi."

Tak sempat Fitri melangkah, Hamdi menarik tangan mungil itu dan mendekapnya.

"Aku mohon, terimalah cintaku dan jadilah pendamping hidupku, Fit." Sorot mata Hamdi begitu sayu. Terlihat jelas, rasa putus asa dan kesungguhan melebur menjadi satu.

"Tidak, Hamdi. Aku tak bisa, kau tak pantas untukku, dan aku pun tak pantas untukmu," ucap Fitri dengan nada setengah berteriak.

Fitri mengempaskan tangannya kuat-kuat agar bisa lepas dari pegangan Hamdi. Kemudian ia berlari kencang meninggalkan tubuh yang seketika membeku. Tangis yang sejak tadi tertahan, kini pecah tak terbendung lagi. Air mata berderai deras sebanyak inginnya untuk hidup bersama Hamdi, si mimpi indah di langit-langit yang basah. Namun keadaan mengutuk segala, memupus seluruh keinginannya hingga ke akar.
Bukan, bukan karena keadaan lebih tepatnya. Melainkan ada sesuatu yang tak mungkin diterima dari sebuah kekurangan. Biarlah kegetiran menjadi saksi jika dia memendam cinta tanpa harus memiliki pria itu.

"Fitri ... selama kau belum menerima cintaku, aku akan tetap di sini, di taman ini!" teriak Hamdi untuk memangkas jarak yang hampir kehilangan saujananya. Entah terdengar oleh Fitri atau tidak, ia tak tahu.

Rambut klimis yang tersisir rapi itu, kini tak keruan diterpa angin yang begitu kencang. Awan-awan hitam pun terarak sedemikian rupa, lalu berkumpul di satu titik, tepat di atas ubun-ubunnya. Rupanya, sebentar lagi akan hujan. Hamdi terdiam, ledakan-ledakan yang meletup dalam rongga dadanya kian menggelora.

Benar saja, hujan telah turun setitik demi setitik lalu berubah menjadi serbuan air yang begitu deras. Hamdi benar-benar dilanda kebasahan yang getir semenjak kepergian Fitri. Kantong-kantong luka yang masih merah lantas tergenangi, menciptakan perih teramat menyiksa.

Ia mematung di tengah derasnya hujan, seolah pasrah menerima basah. Mati kedinginan pun rasanya mau ia coba. Baginya, semangat untuk hidup itu cinta, sedangkan cinta itu hanya berwujud dengan nama Fitri. Tanpa Fitri, ia kosong tak punya semangat, hampa tak bermakna. Bagaikan ditinggal separuh nyawanya pergi, maka saat ini, mati adalah pilihan terbaik, lebih baik dari apa pun.

Mengenal Fitri, lalu mencintainya, bagaikan sebuah mimpi bagi Hamdi. Bagaimana sorot teduh milik perempuan itu berhasil menguasai relung hatinya kemudian bertahta di sana.

Padanya, Hamdi menaruh harapan. Jiwa kerontang yang hampir mati tersebut, bagaikan tersiram air kehidupan. Fitri adalah segalanya, tempat melabuhkan hati dan impian.

Namun, bagaimana bila sang pemilik hatinya bersemayam justru tak memberikan respons sama? Malah bersikeras hendak memotong tali yang mengikat mereka.

Hamdi ingat betul, pada fajar yang baru saja menampakkan dirinya, seorang wanita dengan tubuh semampai mampir di tokonya, sebagai pelanggan pertama.

Tidak ada percakapan atau perkenalan spesial. Sebagaimana layaknya interaksi penjual dan pembeli, Hamdi berusaha menetralkan seluruh luapan rasa. Bintang fajar yang biasanya bertahta di langit, kini turun lalu menetap di sorot milik Fitri.

Mungkin aneh bagi sebagian orang, cinta dalam pandangan pertama. Namun, itulah yang dirasakan Hamdi. Tidak, bukan karena fisik indah milik Fitri. Melainkan, sirat keteguhan yang terpancar di sana.

"Kau jangan pernah menaruh hati padaku, Hamdi. Aku hanya wanita asing bagimu. Terlalu cepat untuk menjalani semua ini."

Hamdi masih ingat, ucapan pertama wanita itu saat ia mulai intens mendekatinya.

"Biarlah semuanya mengalir apa adanya, Fit. Jodoh bukan kita yang mengatur."

Ingin rasanya Hamdi menuntut tanggapan dari wanita itu, tetapi justru Fitri terbungkam. Sorot matanya sayu, seperti lembayung senja pada sore yang bermuram durja.

Tidak ada percakapan lagi. Hamdi ingin memaksa, tetapi lagi-lagi, Fitri memasang perisainya.

****

"Bodoh ... kenapa kau keras kepala sekali?" Fitri melepas payung begitu saja, lalu kembali menghambur tangisnya di tengah hujan. Seulas senyum getir menghiasi bibir.

Hamdi menegakkan kepala, dengan mata berbinar, ia berucap, "Kau kembali artinya kau peduli." Ditutupnya dengan tawa yang bercampur getir, terdengar aneh sekali.

"Tidak, aku akan menunjukkan suatu alasan bahwa aku tak pantas untukmu, tidak lebih." Fitri lagi-lagi tak sanggup melihat wajah Hamdi. Wajah tak berdosa itu kian membuatnya bersalah.

"Baik, itu tak akan mengubah apa-apa."

"Aku tak yakin. Ikuti aku."

Hamdi menyeka air mata yang sebenarnya tak terlihat, karena telah bercampur air hujan.

Dua insan berjalan cepat membelah hujan, mencipta kecipak air di beberapa genangan. Sangat kontras dengan bunyi rintik yang sudah tidak deras lagi. Hingga akhirnya, mereka berhenti di depan sebuah rumah tua yang lebih layak disebut gubuk.

"Ini rumahku, masuk!"

Fitri berjalan menuju kamar tanpa mempersilakan Hamdi untuk duduk terlebih dahulu. Tak berapa lama ia keluar membawa bayi berumur dua tahun.

"Kau lihat? Ini anakku. Kau tau apa yang lebih menyakitkan? Ia tak punya ayah." Tanpa ragu, ia menjelaskan semua.

"Ba-bagaimana bisa?" tanya Hamdi, tak henti-henti keheranan melihat keadaan rumah ditambah pengakuan Fitri. Pemuda itu menatap Fitri nanar. Ribuan tanya mulai menggelayuti benaknya.

"Aku dijual oleh bapak tiriku untuk menjadi pelayan seks di sebuah warung remang-remang. Bersyukur aku bisa melarikan diri setelah beberapa bulan di sana. Ya, di sinilah aku sekarang, di gubuk reot dengan atap yang berlubang." Kalimat itu terucap dengan nada getir. Sorot mata melemah, tak sanggup menatap sosok tegap di depannya.

"Aku pernah patah, Hamdi. Dan mungkin itu akan sulit disembuhkan. Aku menutup diri, bukan karena tak mencintaimu. Aku ... aku hanya merasa tak pantas untukmu."

Kini, Fitri jatuh terduduk di atas lantai. Isakan penuh luka terdengar. Ia mendekap sang anak begitu erat, seakan melindunginya dari beribu marabahaya. Batin Hamdi terasa dicambuk berkali-kali karenanya.

"Cukup! Aku tak mau lagi mendengar penjelasanmu."

Fitri tak berani mendongak memandang langsung pada lelaki itu. Pengecut, ya, sebut saja dia begitu. Demi apa pun, ia merasa sangat lemah tanpa Hamdi di sisinya. Namun, tak melebihi perasaan hancur berkeping-keping bila saja lelaki itu memilih pergi karena statusnya.

"Aku tahu, kau tidak akan tahan hidup denganku yang seperti ini. Aku berhasil membuatmu jijik, bahkan sudah tak sudi melihatku." Fitri mencoba menegarkan diri. Tubuhnya kian bergetar mendengar jawaban dari pria yang selama ini mengisi relung jiwanya.

"Sayangnya, tidak. Buktinya aku selalu bertahan mencintaimu selama ini, meski hanya penolakan yang kuterima."

Jawaban Hamdi, membuat kepala Fitri yang tertunduk, mendadak mendongak dengan mata melebar. Senyum di wajah lelaki itu, semakin menambah keyakinannya, ini hanya mimpi belaka.

"Bohong! Aku tak percaya. Pergi saja dariku, Hamdi! Cari wanita yang lebih baik. Tinggalkan aku di sini." Fitri memejamkan mata. Air bening itu jatuh entah untuk yang keberapa kalinya.

"Ini tak akan mengubah apa pun, Fit. Anggap aku pria bodoh. Tapi, satu hal yang harus kau tahu, aku semakin ingin melindungimu." Kini, Hamdi berjongkok dengan kedua tangannya memegang lengan Fitri, seakan menyalurkan segenap keyakinannya.

"Ah ... kau hanya kasihan padaku. Pergilah, Hamdi. Aku tidak mau membebanimu." Kaca-kaca di mata Fitri kembali pecah. Lalu banjir menelusuri ceruk pipinya.

"Tidak, aku benar-benar mencintaimu apa adanya, apa pun kondisinya. Aku ingin melindungimu dari segala luka masa lalu dan merawat bayi itu sama-sama di rumah yang kita bina. Apa kau yakin bisa merawatnya hingga dia besar nanti dengan keadaan seperti ini?"

Fitri menggeleng berulang kali. Di satu sisi, ia tentu saja mendambakan kehidupan seperti itu. Hidup bersama lelaki yang dicintai, seperti orang-orang lainnya.

Namun, sisi yang berbeda, sisi hati yang pernah terluka, menolak semua ucapan Hamdi. Fitri menutup wajahnya dengan satu tangan. Bahunya bergetar.

"Aku tahu kau pernah terluka, Fit. Aku tahu kau pernah disakiti. Memang, aku tidak pernah mendengar kisahmu sebelum ini, tapi aku dapat melihat semuanya dari sorot matamu. Ada semacam tembok yang kau bangun tanpa sadar, di sana. Mencegah luka itu kembali menorehkan sayatan menyakitkan di hatimu."

Hamdi terdiam, menatap perempuan itu perlahan membuka tangan, menampakkan sisa-sisa air mata di wajah piasnya. Saat itu juga, ia tahu. Fitri perlahan membuka harapan untuknya.

"Semuanya tidak akan mudah, aku tahu. Tapi, kau harus percaya, tidak ada yang tidak mungkin bagi Allah. Kita hanya harus yakin padanya. Fitri, aku mohon ..." Hamdi menatap tepat langsung pada iris cokelat milik Fitri. "... percayakan hatimu padaku. Izinkan aku memilikinya dalam ikatan halal atas nama Allah."

Sorot sayu itu, membelalak tak percaya. Ditatapnya sekali lagi wajah Hamdi. Tidak ada yang berubah di sana. Hanya kesungguhan tekad yang membara.

"Kita tidak hidup untuk satu hari. Ada banyak masa terbentang di hadapan. Setidaknya, bila kita bersama, kita akan saling menguatkan."

Beberapa saat hening, tak ada satu kalimat pun terucap. Suasana haru tak henti-hentinya mengudara. Hingga Hamdi kembali membuka suaranya dengan tegas. "Besok, aku akan datang dan membawamu ke rumahku, kita akan melangsungkan pernikahan di sana, kuharap tak ada lagi penolakan."

Hanya anggukan yang dapat Fitri perlihatkan.

****

Hari ini, matahari sangat cerah menyapa dunia. Seolah menjadi saksi bagi hari yang paling membahagiakan untuk sepasang mimpi indah, karena impian dua insan tersebut telah menjadi kenyataan. Ijab kabul sudah dilaksanakan. Shigat-shigat pernikahan pun telah diucapkan.

"Kau tahu, kenapa aku menyebutmu si mimpi indah di langit-langit yang basah?"

Hamdi hanya mengernyitkan dahinya. Menunggu kelanjutan ucapan sang istri dengan rasa penasaran.

"Karena, saat mengingatmu, air mata selalu membasahi pipi. Kemudian yang paling parah bahkan saat tidur, saat memimpikanmu, tak jarang hujan membangunkanku dengan tetesannya."

"Karena atapnya bocor." Hamdi menyambung ucapan istrinya, tertawa lepas. Disusul dengan gelak Fitri yang sebelumnya tawa itu hanya sebagai penutup luka, tapi kini benar-benar menjadi ekspresi bahagia.

Setiap orang memiliki kekurangan tersendiri. Bahkan orang yang terlihat sempurna pun tidak akan pernah lepas dari hal itu.

Cinta ada untuk saling melengkapi kekurangan yang dimiliki oleh pasangan. Bukan ketika mengetahuinya, lantas pergi meninggalkan.

Selesai
Gimi96Avatar border
NadarNadzAvatar border
nona212Avatar border
nona212 dan 29 lainnya memberi reputasi
30
3.9K
28
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
icon
31.4KThread41.4KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.