Hari ini aku menata rumah sebisaku, bahkan Mbok Asih, sang ART di rumah kami sampe heran dibuatnya, aku yang biasanya tak peduli pada keadaan sekeliling sekarang begitu berubah.
Tingkahku yang aneh lebih membuatnya heran lagi, aku yang terlihat sumringah, senyum sendiri seolah-olah tengah jatuh cinta, ya benar, aku jatuh cinta pada suamiku sendiri. Untuk yang pertama kalinya.
Yang lebih menggembirakan mas Irwan menelpon jika dia akan pulang cepet hari ini. Aku melonjak gembira.
"Cepat pulang, Mas, aku tak sabar menunggumu." hampir saja kalimat itu meluncur dari mulutku, sebelum mas Irwan menutup telpon.
Aku lemas, terduduk di sofa, setelah seharian beraktifitas, menunggu kedatangan Arjunaku.
Bel berbunyi, aku bergegas membuka pintu, mas Irwan berdiri di sana, aku langsung mencium tangan dan meraih tas yang dibawanya.
Deguban jantungku tak menentu, seolah laksana gadis yang akan bertemu kekasih barunya.
Laki-laki itu terlihat bingung dengan perubahanku hari ini. Namun, dia bersikap biasa.
"Mas, mau mandi apa mau makan dulu? Tanyaku.
"Mas mau mandi dulu, Dek, badan mas terasa lengket." jawabnya.
Cepat kupersiapkan segalanya. Mata mas Irwan semakin terbelalak saat melihat kondisi kamar yang tak biasa, aroma terapi menyeruak di sana.
Dia tersenyum menatapku. Ada binar bahagia di mata hitamnya.
Malam itu aku menemaninya makan malam, sungguh kebahagiaan yang tak bisa kulukiskan.
Mas Irwan memuji masakanku, ya soto ayam keaukaannya mendapat nilai yang memuaskan malam itu.
"Ah, masakanmu enak semuanya, Dek! Mas gak nyangka kamu sepintar ini." ujarnya.
"Mas bisa aja, aku belajar dari mbak Aisyah." jawabku malu-malu.
"Mas beruntung mendapatkanmu, Sayang." matanya lekat menatapku. Aku memalingkan wajah yang memerah.
Aku mendahului mas Irwan masuk kamar, seolah mengerti mas Irwan pun mengikutiku, dadaku semakin tak karuan. Aku benar-benar salah tingkah.
"Dek, maaf ya, mas sering banget ninggalin kamu."
"Tidak apa-apa mas, aku baik-baik saja kok, mas tenang aja kerjanya." jawabku asal.
Mas Irwan menatap wajahku. Aku tak bisa lagi berpaling.
"Mas mau dipijit?" aku mengalihkan perhatiannya.
"Emang adek bisa mijit?"
"Bisa dong,"
"Masa?"
"Iya."
Sepi lagi!
Ah, kami kehabisan bahan obrolan.
"Ya udah, tolong pijat leher mas ya." pintanya.
Untuk pertama kalinya kami bersentuhan, kulit leher mas Irwan terasa hangat.
Mas Irwan meraih tanganku, lalu menciumnya perlahan. Aku tersipu. Ada kehangatan yang menjalari tubuhku.
"Sini tidur di samping mas." tubuhku diraihnya, aku tak menolak.
Ini haknya sebagai suami, aku akan memberikan semua untukmu mas.
Perlahan mas Irwan memeluk tubuhku, mencium dahi lalu mengusap bibirku. Wajah kami begitu dekat. Hingga napasnya serasa menyapu pipiku.
Aku memejamkan mata, hingga sebuah kecupan mendarat di bibirku. Hangat dan manis. Aku mendesah pelan.
Kelembutannya saat menyentuh bagian tubuhku membuatku melayang, aroma tubuhnya yang cukup mempesona membuat gairah kewanitaanku bangkit.
Cumbuan, serta rengkuhan hangatnya membuat anganku terpukau, hanya desah dan lenguhan yang bisa kukeluarkan sebagai tanda kau pun menikmati Cumbuannya malam ini.
Mas Irwan begitu, napasnya yang memburu membuatku tau jika sia sebenarnya menginginkan semua ini dariku. Pada kesempatan ini dia menumpahkan segalanya padaku. Mencium, bahkan sesekali menggigit area sensitif tubuhku. Aku menggelinjang, dan Mas Irwan semakin bersemangat.
Malam itu kami menunaikan apa yang seharusnya terjadi pada pasangan suami istri. Aku bahagia dan bersyukur sekali.
Akhirnya kami terkapar dalam kepuasan tiada tara, walaupun harus berlumur peluh.
"Terima kasih, Sayang." bisiknya.
Aku mengangguk, dia mengecup dahiku.
๐ธ ๐ธ ๐ธ
Kebahagiaan kami semakin sempurna saat aku melahirkan anak pertama, seorang bayi perempuan cantik yang kami beri nama Airin.
Ditengah kebahagiaan itu Abah harus menghadap yang maha kuasa, tentu saja ini jadi ujian terberat dalam hidupku. Harus kehilangan sosok ayah sebaik abah.
Namun, Allah mengganti dengan sebuah kebahagiaan yang lain. Di usia airin yang masih Balita kami kembali dikaruniai seorang anak laki-laki yang tampan.
Dzikra, bayi itu kuberi nama. Seorang bayi yang lahir ditengah kesedihanku kehilangan seseorang ayah.
Umi mertuaku sering berkata jika perempuan yang sering melahirkan akan banyak didoakan, dan melahirkan adalah suatu kesempurnaan dan kenikmatan tersendiri. Aku ingin seperti umi.
Dan aku pun menolak tawaran mas Irwan untuk punya pengasuh anak, bagiku merawat kedua anakku adalah hal yang paling menyenangkan.
Mas Irwan sangat kagum padaku. Juga dengan keluarga besarnya, bagi mereka aku adalah menantu terhebat.
๐ธ ๐ธ ๐ธ
Tahun berlalu, Dzikra kini berusia hampir tiga tahun, sedangkan Airin kini berumur lima tahun.
Mas Irwan sering mengeluh pusing, dan mual, aku memintanya untuk cek kesehatan tapi dia mengacuhkannya.
Aneh memang, Mas Irwan alergi sekali dengan rumah sakit, katanya dia phobia jarum suntik dan aroma medikal.
Aku hanya tersenyum dibuatnya.
"Mas, besok kita ketemu dokter Arif ya, plis jangan nolak lagi." pintaku.
Dia tersenyum lalu mengangguk.
"Jangan bohong ya." rajukku.
"Oke sayang." jawabnya mencium dahiku, aktivitas rutin sebelum dia berangkat kerja.
๐ธ ๐ธ ๐ธ
"Mas, kayaknya rambut mas rontok deh." kupunguti helaian rambut yang tercecer di lantai.
"Masa sih?" dia terlihat cuek.
"Ini apa." kusodorkan rambut itu padanya.
"Itu biasa sayang, rambut mas emang rapuh, jadi ga usah dipikirin ya." pintanya bergegas berangkat ke kantor.
Dia selalu begitu kalau diajak membicarakan hal yang berbau kesehatan.
Aku menarik napas berat.
Mengurus dua buah hati yang masih Balita bukan hal yang mudah, waktuku habis tersita untuk Airin dan Dzikra. Tak ada lagi waktu untuk merawat diri, tapi untungnya mas Irwan selalu menganggapku perempuan cantik.
Kembali Mas Irwan menawarkan solusi untuk punya pengasuh anak.
"Nggak lah mas, aku ngeri kalau anakku diasuh orang lain, di tv beritanya serem seren tuh." jawabku.
Hingga pada suatu hari dia membawa seorang perempuan cantik dan sopan. Risma namanya.
Dia sepupu jauh yang akan tinggal di rumah kami tentu saja atas ijinku.
"Tuh kan Ris, mbak ini orang baik."
Risma tersenyum padaku, sikapnya benar-benar sopan dan memikat, selain dari parasnya yang ayu.
Akhirnya Risma tinggal di rumah kami,
Dan aku tak mempermasalahkan semuanya, Risma baik dia sopan, pinter dan pandai merawat anak-anak disamping tugasnya sebagai dosen di sebuah universitas swasta di Jakarta.
Dia membantuku merawat anak-anak dengan tulus, penuh kasih sayang, aku tau dari tatap matanya.
Tak terasa lima bulan sudah Risma tinggal di rumah kami, dan itu sangat menyenangkan. Kami bahu membahu memberikan yang terbaik untuk Airin dan Dzikra.
Risma pandai mengajarkan ilmu pengetahuan pada kedua anakku.
Seandainya Bang Diyar ada, Risma cocok jadi istrinya. Saat kukemukakan itu padanya pipi Risma bersemu merah.
"Mbak bisa aja." ujarnya.
Libur semester pertama Risma pamit pulang ke Jawa, tentu saja kami berat melepasnya. Apalagi kedua anakku, mereka tak mau lepas dari Risma.
Dzikra meronta tak mau lepas dari gendongan Risma, kami berpelukan seakan mau berpisah lama.
Tangis pun pecah!
Ah, aku sangat kehilangan wanita itu.
๐ธ ๐ธ ๐ธ
"Dek, kamu setuju nggak kalau mas Irwan menikah lagi?" tanya mbak Aisyah.
Aku terkekeh geli.
"Ya nggak lah mbak, aku gak mau dipoligami, lagian mana berani mas Irwan kimpoi lagi, bisa abis burungnya kupotong." ujarku, sambil tertawa.
"Tapi keturunan kami semuanya poligami loh dek."
"Aku ga peduli, silahkan aja asal mas Irwan nggak gitu."
"Mudah-mudahan ya, semoga Irwan tak tertarik untuk menduakanmu." mbak Aisyah menepuk bahuku.
"Aamiin, Mbak."
๐ธ ๐ธ ๐ธ
Aku tak pernah terpengaruh oleh omongan siapa pun perihal poligami, bagiku mas Irwan adalah milikku tak akan kuberikan oada orang lain.
Dan aku percaya jika mas Irwan pun begitu, dia sangat mencintaiku.
Hingga kubaca sebuah pesan yang masuk di ponsel suamiku itu.
"Mas, jika memang kau mau menikahiku, mintalah restu dari Mbak Putri".
Pict by: Shopia Baequni