fitrijunita
TS
fitrijunita
Rasa yang Tak (Pernah) Ada



Darahku mendidih melihat postingan dan membaca komentar para bucin yang terkesan sedang bermesra-mesraan dengannya. Ingin rasa segera mengirim pesan kepadanya dan mengatakan kalau aku cemburu dengan sikapnya kepada mereka, tapi logikaku menyadarkan, bahwa kami memang tidak memiliki hubungan apa-apa. Artinya dia memang berhak untuk bersikap seperti apa pun dengan orang lain.

Terkesan tidak ada kerjaan memang. Menghabiskan waktu tiga puluh menit hanya untuk stalking di akun sosial medianya tanpa tahu apa yang aku cari di sana. Malah adrenalinku terpacu saat membaca komentar mesra ala-ala mereka.

Aku mengenalnya di dunia literasi sekitar satu tahun yang lalu. Kuakui kalau aku terpesona dengan rangkaian kalimat diksinya. Memang tidak hanya dia, tapi entah mengapa hatiku makin terjerat dengan untaian kalimatnya yang sangat sopan saat menyapa dan membalas setiap komentar dari pembacanya.

Selama mengenalnya, tak ada sedikit pun keberanianku untuk menyapanya. Baik mengkomentari tulisan di setiap postingannya atau hanya sekadar say hello di private chat. Bukan karena takut, tapi memang segitu pemalunya aku ketika berhadapan dengannya. Aku bukanlah orang yang pandai basa basi dengan orang yang baru di kenal. Namun aku selalu berusaha mengimbangi obrolan yang ditujukan kepadaku.

Hari ini aku kembali menemukan postingan tulisannya berupa cerpen di sebuah grup kepenulisan yang memang jarang kulihat.

Baru satu jam yang lalu diposting? Sedikit merasa aneh, kenapa aku tak menerima pemberitahuan di akun media sosialku. Bukankah aku masih berteman dengannya? Dengan cepat kuklik foto profilnya dan dalam hitungan kurang dari satu detik, muncul laman profilenya. Terlihat jelas ada tombol ‘tambahkan sebagai teman’.

Kaget!
Itu yang kurasakan pertama kali, karena aku merasa tidak pernah memutuskan pertemanan dengannya dan tidak pernah berinteraksi dengannya.

Oh tidak! Apakah karena itu akunku di unfriend?

Kembali ke postingan cerpen milliknya yang baru saja ia post, aku membaca setiap kata yang dirangkai dan ... klik! Kutekan icon jempol dengan pertanda hati merah di postingan miliknya. Bukan tanpa alasan dan maksud aku meninggalkan jejak berbentuk love di postingannya. Selain karena alur cerita cerpennya bagus dan tanpa cacat logika, penulisannya pun juga sesuai dengan kaidah yang ada. Memanjakan mata penyuka baca, sepertiku.

Kututup akun sosial media bericon huruf ‘f’ tersebut. Melarikan ibu jariku menekan salah satu aplikasi chat berlambang warna hijau, untuk mengecek beberapa grup kelas yang sedang kuikuti. Terkadang merasa pusing dengan banyaknya grup yang kuikuti karena terlalu banyak chat yang harus kubaca, tapi sering merasa terhibur dengan keberadaan grup-grup tersebut. Lumayan untuk memompa mood menulisku yang terkadang masih berlarian di langit.

Hari berlalu dengan cepat, namun pikiranku masih tertahan oleh pertanyaan, ‘mengapa aku bisa tidak berteman dengannya ya?’ apakah media sosial juga suka error seperti laptopku yang tiba-tiba suka mati sendiri?

Tidak! Aku yakin Ini semua tak ada kaitannya dengan dunia alam gaib. Hanya saja semua kelihatan tidak masuk akal.

Dari pada berlarut-larut dengan pikiran absurdku yang makin tidak jelas, akhirnya aku searching nama akunnya, dan segera klik tombol pesan yang berada di sebelah kanan di bawah foto profile.

Hening! Aku dilanda kebingungan. Bagaimana awal percakapan yang baik untuk orang yang baru dikenal.

Ah ribet! Segera saja kuucapkan salam terlebih dahulu kepadanya sebagai awal kalimat pembuka.

[salam kenal, Mas. Saya salah satu penggemar tulisannya, dulu kita sempat temenan tapi tadi agak kaget, ternyata kita udah ga temenan lagi. Saya mohon maaf kalau mungkin dulu pernah komen yang kurang berkenan.]

Klik enter. Tak lama aku pun terlelap dengan rasa penasaran yang sudah berkurang.

***

Tring!

Suara pesan messenger mengalihkan keseriusanku saat mengetik naskah yang harus kusetor malam ini. Ah, pasti pesan dari salah seorang teman sesama penulis yang mengingatkanku untuk jangan lupa malam ini adalah batas Deadline pengiriman naskah yang akan kami bukukan bersama dengan belasan penulis yang lain.

Dengan lincah jariku menari diatas tombol keybord laptop yang telah bertahun-tahun menemaniku menulis merangkai kata demi kata, dan tepat pukul 23.15 WIB aku selesai mengirimkan hasil ketikan ke email editor buku antologi kami.

Lelah dengan dunia hayal yang terkadang membuatku senyum-senyum tapi terkadang terasa sebagai beban.

Aku melarikan diri dengan berselancar di dunia maya. Merefreshkan pikiran sejenak, tak salah bukan? batinku berbicara.

Saat tampilan beranda tersaji di depan mata, ada angka dua yang muncul di pojok kanan atas bersebelahan tepat dengan kolom pencarian yang menarik minatku.

Kutepuk jidat karena baru tersadar kalau tadi memang ada bunyi dari aplikasi messengerku yang menandakan ada pesan baru masuk, dan belum sempat kubuka.

Dengan cepat kubuka aplikasi bericon mirip petir berwarna biru, dan benar ada dua pesan yang belum kubuka. Segera kubuka dan kubaca serta tak lupa membalas seperlunya. Selesai dengan pesan-pesan yang masuk, sudut netraku menangkap pesan yang kukirim untuknya.

Belum terbaca! Ah, kecewa melandaku. Benarkah pemikiranku yang mengatakan kalau dia marah kepadaku dan tak ingin mengenal.

Mencoba membuang rasa kecewa, kubuka lagi media sosial yang tadi belum sempat kubuka pemberitahuannya. Alam seakan mendukung, salah seorang temanku mengkomentari postingannya!

Entah dorongan dari mana, tiba-tiba jariku telah bermain di kolom komentar postingan terbaru miliknya.

“Maaf, mas. Saya ada kirim pesan di messenger, tolong dicek ya kalau berkenan.”

Ada rasa tak percaya dengan apa yang aku lakukan tadi, tapi ada rasa lega yg kurasakan saat itu juga. Ah, sudahlah. Aku yakin dia salah satu penulis yang baik, jadi tak mungkin marah hanya karena pesan yang kukirim di bilik pesan akunnya.

Bagai mendapatkan kue brownies favoritku saat membaca balasan pesan darinya.

[selamat malam, Mbak. Oh ya kita berteman di FB ya? Maaf, saya lupa. Coba saya add lagi ya]

Meringis aku membaca balasan pesan darinya, wajar kalau dia lupa, karena aku menyadari kalau aku memang tak setenar seperti penulis-penulis lain yang mudah berbaur.

[kita pernah berteman, Mas. Dulu saya yang add duluan.]

[iya, mohon maaf sekali lagi. Udah saya add y Mba. Semoga kita bisa saling sapa nanti.]

[iya, Mas. Makasih kesediaannya untuk berteman dengan saya, saya banyak belajar dari tulisan Mas.]

[aku bukan siapa-siapa, Mbak. aku senang kalau kita bisa maju dan berkembang bersama]

See! tak tergambarkan bagaimana senangnya aku saat membaca pesan dari sosok yang kuamati dalam diam.

Akhirnya kami pun saling berbalas pesan layaknya teman akrab dan tak disangka, dia menawariku untuk kolaborasi membuat cerpen bersama.

Pasti aku mimpi indah malam ini.

Berhari berlalu dengan cepat, dan entah siapa yang memulai duluan. Rasa itu hadir tanpa pemberitahuan dan semakin menyiksa rongga hatiku. Ada rasa tak suka ketika ia membalas semua komentar dari para pembaca tulisannya dengan mesra.

Sungguh sangat tidak nyaman, tapi ngenesnya, aku tak bisa berbuat apa-apa selain hanya sebagai penyimak obrolan mesra mereka.

Apakah aku cemburu? sayangnya memang seperti itu, namun aku membenci untuk mengakui hal itu. Dunia maya yang terkadang lebih kejam daripada dunia nyata. Perlahan kucoba untuk mengikis rasa menyebalkan itu dengan membaca status dari orang-orang yang menjadi temanku di sosial media ini.

Waktu berlalu dengan cepat, namun rasa itu belum juga menghilang. Bahkan di saat-saat tertentu makin menyiksa.

Tring!

Kubuka aplikasi pesan yang berbunyi tadi, dari seorang teman yang sudah kuanggap kakak.

[jangan bermain api kalau tidak ingin terbakar. Kalau tetap ingin bermain, jangan nanggung-nanggung. Sekalian aja bawa bensin dan korek apinya jika masih ingin tetap merasakan panasnya terbakar.]

Sedetik kemudian, aku terlarut dalam kalimat yang baru saja kubaca. Segera kubalas pesan yang membuatku terbisu beberapa saat tadi.

[nggak mau, Kak. Semua nggak seperti yang kakak bayangin.]

[tapi yang terasa akan seperti itu. Jangan larut dalam poros kehidupannya, dan jangan mau terjajah dengan perasaanmu sendiri. Bukan dia yang menulis skenario kehidupanmu.]

Lagi-lagi aku membeku dengan keadaan yang di luar kendaliku. Penulis tetaplah bukan penulis untuk cerita kehidupan nyatanya. Penulis hanya bisa menulis dari cerita yang ia hayalkan, bukan dalam nyatanya. Dan aku harus bisa merdeka dari perasaan yang tidak jelas ini.

--- Tamat ---


Sumber pict : pinterst
Diubah oleh fitrijunita 20-03-2020 14:26
nona212arganovmarisaken
marisaken dan 70 lainnya memberi reputasi
71
7.2K
173
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
icon
31.3KThread40.9KAnggota
Terlama
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.