wafafarhaAvatar border
TS
wafafarha
Aku Sayang Banget Sama Suamimu
#Aku_Mencintai_Suamimu_Mbak
(4)

"Sebentar. Aku seperti tahu suara lelaki itu. Siapa ya?" Johan berhenti sejenak sambil memegangi helm yang akan ia gunakan.

"Ada apa, Mas? Cepat, kita gak punya waktu. Mana jauh rumah sakitnya." Dewi tidak sabar ingin segera melihat keadaan sang kakak. Pikirannya kalut, berbagai spekulasi tentang Rani berkelabatan di benak. Ia terlalu egois. Kalau saja tahu malam ini adalah jadwal Rani periksa, ia akan rela hati menunda untuk membicarakan apa yang tengah dialaminya pada Johan.

"Nggak." Segera memasang helm setelah sempat tersentak. "Ayo cepat naik."
Sama halnya dengan Dewi, pria tampan itu sangat khawatir pada Rani. Bagaimana jika anaknya kenapa-kenapa? Lagi-lagi rasa bersalah itu datang. Jika saja ia lebih memilih bersama istrinya melihat keaadaan calon bayi mereka, tentu semua ini tidak akan terjadi.

'Kamu bodoh Johan! Sangat bodoh! Tega dan kejam!' Sisi lain hati Johan memaki.

Sayang, cintanya pada Dewi lebih besar dibanding rasa bersalah. Cinta? Ah, entah ia sendiri tak mengerti apa yang ia rasa pada gadis itu. Yang jelas untuk sekarang hingga beberapa waktu sebelumnya, hatinya tak rela berpisah raga dengan adik ipar yang berhasil menaklukannya.

Motor melaju lebih cepat dari biasa, membuat tubuh Dewi yang hanya mengenakan kaos dan rok pendek diterpa angin kencang di atas motor.

Jarak yang biasa ditempuh lebih satu jam, mereka lalui dengan waktu 45 menit. Setengah jam lebih cepat dari biasa.

Tidak membuang waktu, Johan berlari menuju ruang UGD yang dimaksud sang penelpon. Diikuti Dewi, gadis itu bahkan tidak menghiraukan rasa tak nyaman yang menjalar di tubuhnya akibat terpaan angin dan perut kosong sejak siang.

Rani menoleh, begitu Johan datang dengan napas tersengal.

"Mas Johan?"

Cepat mendekati tubuh Rani yang terbaring dan terhubung ke selang infus, Johan segera memegang beberapa bagian tubuh istrinya. Melihat adakah sesuatu yang kurang di sana.
"Kamu gak papa, Sayang?"
Sangat jelas raut khawatir di wajah pria itu.

"Aku gak papa, Mas." Rani memegang erat tangan suami yang ada di kepalanya.

"Anak kita?" Johan mengejar, tak ingin sesuatu terjadi pada dua orang yang dicintainya.

Wanita itu tersenyum. "Gak apa-apa, Mas. Alhamdulillah. Ini berkat doa Mas."

Johan mendesah lega.
"Tapi, kenapa orang tadi bilang kamu kecelakaan?"

"Oyah?" Mata Rani melebar. "Aku cuma syok aja sih. Karena ... karena ...." Ucapannya menggantung saat Dewi masuk.

Gadis itu menghambur ke arah sang kakak lalu memegangi tangan wanita yang tengah hamil itu.
"Mbak, gak apa-apa?"

"Gak papa Dew. Kok kamu di sini?" Rani melepaskan tangannya lalu mengeratkan pegangan ke tangan sang adik.

"Em, itu tadi ... em ...." Johan salah tingkah.

"Tadi Mas Johan hubungi aku Mbak. Kebetulan aku lagi bareng sama temen-temen jadi langsung minta jemput." Mata Dewi berkaca. Sama halnya Johan, hatinya terus saja merutuk, bagaimana bisa ia kencani suami kakaknya sedang sang kakak mengalami kecelakaan.

Rani manggut-manggut. "Dew, tangan kamu anget. Bukan ini panas." Ia mendongak melihat pada adiknya.

"Aku nggak papa, Mbak."
Suara gadis itu terdengar parau.

"Nggak, Dew. Kamu pasti telat makan 'kan. Dan ini, bajumu kaya gini malam-malam, tentu aja bikin kamu masuk angin. Harusnya kamu yang pinter dong Dew. Jangan bikin mbakmu kepikiran ...." Rani mengomel seperti biasa, namun ucapannya terpotong. Dewi menangis, ia memeluk tubuh sang Kakak.
Di saat ia mengkhianati justru kakaknya yang tengah sakit mengkhawatirkan dirinya. Tangis itu semakin deras hingga membuat pundaknya terguncang karena terisak.

"Sudah Dew. Mbak gak papa. Kenapa kamu begini? Sudah ...." Rani mengusap punggung adiknya yang memeluk. Ia biarkan Dewi puas menangis. Wanita itu tahu Dewi perlu merasa tenang, ia pasti sangat khawatir dengan keadaanya. Setidaknya itulah yang Rani pikirkan.

Puas menumpahkan perasaannya, Dewi menarik tubuhnya. Tiba-tiba rasa mual menyerbunya.

"Kan kamu pasti masuk angin deh."
Rani tersenyum. "Sudah, sekarang makanlah. Tadi Farahna membawakan makanan buat Mbak."

"Tap ..."

"Udah, jangan membantah. Kamu mau bikin repot mbak lagi dengan sakitmu?"

"Ya." Dewi bergerak meraih bungkusan di atas nakas.

"Keluarlah, kamu pasti gak bisa makan di tempat seperti ini." Rani menelengkan kepala, memberi perintah pada adiknya keluar.

"Iya, Mbak." Dewi akhirnya keluar, dengan nyeri di hatinya yang terasa terus berdenyut. Sekilas ia melirik Johan dari ekor matanya.

Ini adalah cinta terlarang, cinta yang hadir karena pengkhianatan, bersandiwara adalah cara terbaik agar nafsu yang mereka sebut cinta itu tetap terjaga.

_____________

"Mas." Farahna memulai interogasi pada sang kakak.

"Hem?"

"Mas Farhan bilang Rani kecelakaan?" Farahna bertanya menekan. Tidak mengerti kenapa kakaknya itu mesti berbohong pada Johan.

Pelan pria itu meletakkan gelas berisi kopi yang sudah disesap isinya sepertiga.
"Argh ... nikmatnya kopi ini diminum saat dingin begini."

Farahna masih bersabar, menatap pria denga pakaian casual di meja seberangnya duduk, ia hapal betul bagaimana lelaki itu bersikap. Farhan pasti bukan bermaksud mengabaikan atau mengejek adiknya.

"Kamu mau coba?"

Farahna menggeleng. "Aku tanya kenapa Mas bohong?"

"Na. Kamu tahu 'kan ini hari libur?" Farhan mulai menjawab.

Kening Farahna mengerut. "Apa hubungannya?"

"Apa wajar di hari libur kerja suami Rani masih di kantor dan membiarkan istrinya ke dokter sendiri. Malam-malam pula. Walaupun Rani tipe wanita mandiri, itu gak masuk akal."

"Mas kan gak kenal mereka. Rani sering cerita ke aku. Memang dua bulan terakhir, Johan mengambil lembur dari Bosnya entah di kantor atau di luar kantor. Semua itu untuk biaya persalinan Rani, Mas. Mas tau sendiri kan, sekarang itu untuk bersalin dengan aman masyarakat dituntut memiliki uang yang cukup, karena tunjangan dari pemerintah kita terbatas."

Farhan menggeleng, adiknya adalah wanita cerdas tapi juga polos.
"Kamu gak tau laki-laki, Na."

"Maksud Mas?"

"Nanti kamu juga tau kalau dugaanku benar. Tapi untuk sekarang, setidaknya dengan mengatakan Rani kecelakaan Johan akan cepat datang."

Farahna mendesah, hatinya bertanya apa Farhan
memiliki firasat sama dengannya?

Lelaki dengan kulit bersih itu mengambil kembali cangkirnya sebelum benar-benar dingin untuk disesap, menghabiskan seluruh isinya.

___________

Farahna masuk ke ruangan di mana Rani dirawat, Johan sudah ada menemani wanita yang tengah mengandung 6 bulan itu.
Ia merasa lega. Berharap sepasang suami istri itu terus bersama dan harmonis seperti yang Rani ceritakan selama ini.
"Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam." Rani dan Johan menoleh bersamaan.

"Maaf jika mengganggu. Syukurlah Johan sudah datang." Farhana menyambung salamnya.

"Jadi kamu yang bantu Rani?"

"Bukan, tapi ...." Ucapan Farahna menggantung.

"Mas Farhan yang nolongin Mas. Kalau gak ada dia mungkin aku sudah tidak bernyawa sekarang." Rani menyahut cepat.

"Farhan? O ... pantas saja aku seperti mengenal suaranya." Ada perasaan tak enak mendengar nama itu. Nama lelaki yang pernah menjadi saingan beratnya dulu memperebutkan hati Rani.

"Iya, lain kali jangan biarkan istrimu pergi sendiri. Apalagi menjelang malam seperti tadi."

"Ya, mau bagaimana lagi. Aku harus ambil lembur untuk biaya bersalin," kilah Johan.

"Oya, semoga hasil lemburnya cukup untuk semua biayanya." Ucapan Farahna terdengar datar, lebih tepat sebagai jawaban tak percaya pada apa yang suami Rani katakan.

"Ya. Aamiin. Terimakasih," sahut Johan disusul Rani yang ikut mengaminkan.
"Ya sudah, kalian ngobrol dulu. Mas mau ke belakang."
Suami Rani akhirnya pamit keluar meninggalkan dua bersahabat di ruangan.

_____________

"Mas Johan!" seru Dewi begitu melihat Johan lewat.

Pria itu menghentikan langkahnya, menoleh pada asal suara.
"Dewi?"

"Ayo, Mas. Mas nyari aku 'kan. Kita perlu bicara." Dewi meraih tangan kekasihnya itu. Johan pasrah mengikuti Dewi.

Tak sengaja sepasang mata melihat apa yang tengah dilakukan dua orang itu.

"Dew ... sekarang bukan waktu yang tepat untuk memabahas masalah kita. Kamu tau kan keadaan Rani?"

"Mas ... aku tahu itu. Sekarang aku ingin tau perasaan Mas yang sebenarnya."

"Kenapa harus sekarang Dew? Kita bisa membahasnya lain kali. Pikiranku sedang tak karuan sekarang."

"Iya, justru sekarang Mas bisa menentukan pilihan dengan benar."

"Maksud kamu?"

"Di sini hanya kita berdua. Bahkan di ujung tangga ini tidak ada CCTV."

"Kamu minta Mas gimana?"

"Mas bilang. Melihat kondisi Mbak Rani seperti itu, apa Mas akan tetap pertahanin aku?"

"Kita bisa bahas ini lain kali. Oke?"

"Nggak. Mas. Aku mau sekarang."

"Dew kamu tau kan kondisi Rani. Dia sedang mengandung anakku. Jika Mas harus pilih, Mas akan pilih dia. Mas gak bisa bohongi perasaan Mas. Mas sangat mencintai Rani, Dew ...."

Seketika air mata Dewi meleleh. "Mas tolong jangan tinggalin aku!" Gadis itu memeluk tubuh kekar di hadapan, menenggelamkan kepala ke dadanya. Erat ia memeluk sang pria. Berusaha menemukan kedamaian untuk hatinya yang hancur.

Johan melepaskan pelukan, memegang dua pundak Dewi, tangan kanannya lalu mengangkat dagu gadis itu hingga mata yang kuyub itu beradu dengan mata elang prianya.

"Karena itu jangan paksa Mas memilih," ucap Johan lirih.

"Gak Mas. Aku gak minta Mas ninggalin Mbak Ran. Tapi aku juga gak mau Mas ninggalin aku. Ka-karena ...." Suara gadis itu bergetar. "Karena aku hamil Mas."

"Apa?!" Seperti baru tersengat listrik, Johan terkejut. Begitu juga seseorang yang sedari tadi menguping pembicaraan mereka.

BERSAMBUNG

Terusannya ke sini Gan ...

https://www.kaskus.co.id/show_post/5...d49564c17c2208


Kalau ini bagian sebelumnya ...

https://www.kaskus.co.id/show_post/5...568d01c76d8da2
Diubah oleh wafafarha 29-10-2019 22:57
perihbangetAvatar border
lina.whAvatar border
lina.wh dan perihbanget memberi reputasi
2
1.4K
6
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Buku
Buku
icon
7.7KThread4KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.