• Beranda
  • ...
  • Buku
  • Aku Sangat Cinta Pada Suamimu Mbak (Bagian 2)

wafafarhaAvatar border
TS
wafafarha
Aku Sangat Cinta Pada Suamimu Mbak (Bagian 2)
#Aku_Mencintai_Suamimu_Mbak!
(2)

Di saat hamil, kebanyakan wanita perlu istirahat lebih, tapi buat Rani tidak demikian. Meski ia sudah tidak lagi bekerja di luar, pekerjaan di rumah ternyata tidak ada habisnya, karena ia tipikal wanita yang risih melihat barang berantakan atau ada benda-benda kotor yang bertengger di mana-mana.

Ia terbiasa dengan pekerjaan wanita-wanita dewasa sejak remaja, saat ayah dan ibunya meninggal bersamaan dalam kecelakaan.
Hari itu Rani yang baru berumur 12 tahun harus menguatkan diri, menggantikan peran dua orang tuanya untuk Dewi yang masih balita.

Pagi ini perkakas kotor lebih banyak dari biasa, karena sejak malam ia sengaja membuat makanan yang sekira tahan lama untuk Dewi. Gadis itu jarang sekali memasak, sejak kuliah meski jarak memisahkan, Rani tidak berhenti mengurus banyak keperluannya.

Sedang meletakkan gelas yang sudah dibersihkan, suara ketukan pintu membuatnya berhenti dan segera mencuci tangan. Ketika di tengok seorang perempuan memakai baju syari dengan tas besar di tangannya telah berdiri tepat di depan pintu.

"Assalamualaikum." Wanita itu tersenyum.

"Waalaikumsalam," balas Rani. Senyum wanita hamil itu mengembang.
"Oalah, kok aku lupa ini sudah hari sabtu. Ayo masuk, Na."

"Hayo bumil kok sibuk banget ini. Inget kondisi." Belum apa-apa wanita itu mengomel.

"Ah, biasa ini 'kan tugas negara. Kalau pagi ya emang gini, cuma karena Dewi nginap sini semalam jadi agak banyak yang kotor. Hehe."

"Dewi tidur sini? Kok gak bantuin kakakny dulu?"

"Yah, dia 'kan harus buru-buru. Kuliah, mana siang kerja belum lagi tugas dari dosennya."

"Ya, ya. Kamu belum berubah, selalu manjain adek kamu itu. Makanya suruh nikah, biar ada yang ngurus."

"Nantilah, biar dia kuliah dulu. Oya udah ayo masuk."

Wanita bernama Farahna itu masuk dengan dirangkul sahabat yang menyambutnya. Ia mengeluarkan beberapa tas kecil dan alat-alat bekam yang sudah dipisahkan.

"Loh, ini apa?" Rani nampak heran dengan benda yang tak biasa dibawa sahabat sekaligus terapisnya itu.

"Ini ... hadiah buat bumil, karena udah jaga kesehatan dengan baik." Farahna menyerahkan bungkusan.
Mata Rani menyipit memperhatikan isi bungkusan itu.
"Sudah buka saja. Tidak usah begitu mukanya. Haha."

Tidak sabar Rani membukanya. "Gamis dan kerudung?"

Farahna tersenyum. "Kan baju-baju kamu pada sempit karena debay ini. Sekalian 'kan buat nutup aurat juga." Wanita itu mengusap perut buncitnya.

Rani menaikkan sebelah bibir. "Ck. Jadi aku dipaksa pake baju emak-emak ini."

Farahna masih tersenyum. Ia bersyukur musibah yang menimpa Rani beberapa bulan lalu memberinya banyak kesempatan untuk mendakwahi sahabatnya itu, dengan pertemuan rutin dua kali dalam sebulan. Memeriksa keadaannya dan memberikan resep herbal yang ia ketahui.

"Ck. Untuuung aja kamu yang nyembuhin aku. Jadi yaah ... apa boleh buat."

Farahna terkekeh sebentar, tapi tak lama ia cepat mengubah mimik wajahnya. "Eh, bukan aku yang sembuhin. Tapi Allah, Rani. Allah! Aku ngambek nih, kalau kamu gak paham-paham juga."

"Ish, iya-iya. Maksudnya atas upaya kamu juga."

"Nah, kalau itu masih boleh. Aku takut kamu kufur gara-gara aku." Kini tangan terapis muda itu meletakkan cup-cup bekam dan mengeluarkan pen, lancet juga herbal serta keperluan lain. Dengan piawai ia menyusun sesuai SOP yang berlaku.

"Oya herbalnya mibum rutin kan? Kandungan madu, habbat dan spirulinanya bagus buat kamu sama anak kamu."

"Iya Bu. Rutin."

"Trus. Bagaimana ada keluhan?" tanya wanita berkulit kuning langsat itu sembari meletakkan jarum bekam ke pulpen yang akan digunakan untuk melukai kulit pasien yang sedang bersamanya.

"Ada."

"Ya, apa itu?"

"Kenapa temanku ini masih jomlo juga sampe sekarang. Padahal usianya udah 29 tahun." Rani menggoda Farahna, setelah menutup pintu dan berganti pakaian.

"Hem? Apa kamu buka lowongan buat jadi istri kedua suamimu?"

"Apa?" Rani terkejut dengan pertanyaan dari orang yang digodanya. Kenapa malah ia merasa nyeri walau ucapannya ia tahu hanya bercanda.

"Ish, kenapa malah bengong? Hahaha."

Rani tersenyum miris. Mana rela ia berbagi suami yang sangat ia cintai, apalagi lelaki itu nampak sempurna di matanya.

"Kidding kali Nyonya Johan. Tadi godain sekarang malah tegang begitu. Hahaha."

"Bercandanya gak lucu." Rani mencebik.

"Hahaha. Oya, mana Mas Johan?" Farahna celingukan, gantian ia menggoda. "Hahaha."

"Ish, apaan sih, Na?"

"Eh, serius. Berarti kamu tiap hari sendirian begini tanpa Johan?"

"Dia kan harus kerja, Na. Tadi dia lebih pagi perginya karena harus antar Dewi dulu."

Kening Farahna mengerut.
"Antar Dewi?"

Rani mengangguk sambil sibuk mengenakan pakaian pasien yang terapis itu berikan.

"Apa memang sering mereka bareng begitu, Ran?"

"Nggak juga. Kan Dewi di luar kota. Gak serumah sama kami. Kenapa sih? Biasa aja. Mereka kan juga saudara."

"Kamu kayaknya salah memahami Ran. Walau bagaimana mereka itu bukan mahram, laki-laki dan perempuan dan sama-sama normal. Jadi ada batasan untuk itu. Apalagi boncengan motor jarak jauh. Bisa-bisa setan ...."

"Ah, sudah Na. Kamu berlebihan deh. Udah fokus ke tubuhku aja gih. Ck."

"Ya, ya. Ya udah kalau kamu gak mau percaya. Aku kan cuma ingetin sebagai sesama muslim."

"Haha. Iya, iya ustazah. Maap."

"Dih, malah manggil ustazah." Farahna mendecak. Dalam hati ia berharap apa yang dipikirkannya tidak terjadi.

Rani hanya tersenyum, mana mungkin suami dan adiknya melakukan hal gila. Mereka itu sangat ia sayangi dan keduanya juga menyayanginya. Tidak mungkin.

***

Jarum jam menunjukkan pukul 12.00. Rani membawa tentengan makanan yang ia masak untuk Johan di tempat kerja.
"Wah, baju ini membuatku terlihat seperti ustazah. Mas Johan nanti pasti pangling." Senyum menghiasi bibirnya yang terpoles lipstik tipis.
Di halte sambil menunggu bus, ia memperhatikan pakaiannya hadiah dari Farahna. Terngiang ucapan sahabatnya itu, bahwa mengenakan pakaian seperti ini -hanya memperlihatkan wajah dan tapak tangan- adalah kewajiban setiap wanita yang mengaku dirinya muslimah, mau dia cantik, jelek, kaya, miskin, baik atau buruk, semuanya wajib.

Tidak lama bus yang ditunggu datang, setelah menaikinya, hanya perlu waktu 15 menit untuk sampai di kantor sang suami.

Berjalan dengan hati berdebar, entah kenapa akhir-akhir ini ia sangat rindu pada suami, pikirnya mungkin bawaan bayi, ingin terus selalu dekat dan diperhatikan. Kalau saja bisa.
"Sabar ... dia kan bekerja juga demi aku dan anakku."

Kantor nampak sepi, karena rata-rata karyawan pergi ke luar untuk makan siang. Hanya satu dua orang, di dalam gedung itu.
Wanita berusia 30 tahun itu berjalan memasuki gedung, langkahnya sudah terbiasa menuju ruang kerja suaminya. Meja suami kosong.
"Ke mana Mas Johan? Apa dia tidak ingat ucapanku tadi pagi akan mengantarinya makanan?"

Rani menghela napas. Meletakkan makanan di atas meja, lalu meninggalkannya ke luar. Barangkali suaminya ada di deretan kanti di luar gedung, ia akan menyusul ke sana.

"Mbak." Seorang pria menghampiri wanita itu.

Rani menoleh.

"Wah, saya pangling. Tadinya mau negur, tapi ragu. Istrinya Johan apa bukan." Pria itu berbasa-basi.

Rani tersenyum, orang lain saja melihatnya berbeda, bagaimana nanti reaksi suaminya, rasanya tak sabar ingin mendapat pujian dari kekasih.
"Oya, Masnya lihat suami saya?"

"Loh, malah saya tadi mau nanya."

Alis tebal Rani tertaut mendengar ucapan pria itu.

"Johan kenapa gak masuk kerja?"

"Mas Johan gak masuk kerja?" Rani merasa heran. Bagaimana suaminya bisa tidak ada di tempat sedang tadi pagi ia pamit akan bekerja setelah mengantar Dewi.

***

Di indekos, Dewi menggeliat malas di pelukan Johan. Keduanya menikmati berita ekonomi politik yang sebenarnya membosankan. Bukan hanya BBM, harga sembako juga naik. Bagaimana ia tidak bosan, kesulitan tersebut sangat dirasa bagi pegawai biasa sepertinya, hanya saja gejolak nafsu di antara mereka membuat semua suasana terasa menyenangkan.

"Aku pasti kena omel deh sama dosenku besok." Dewi mengerucutkan bibirnya, membuat Johan gemas melihatnya.

"Habisnya, kamu godain aku terus sejak tadi malam. Chat isinya gak karuan. Untung mbakmu itu bukan orang yang suka berpikiran macam-macam melihat Mas sibuk dan dia bukan pencemburu."

"Ya, gimana ... aku kan udah kangen berat sama, Mas. Duh, gak bisa bayangin. Gimana kalau Mbak Ran tau."

Johan menoleh. "Gak usah dibayangin kalau gitu." Pria itu mengeratkan tangan di pinggang Dewi yang hanya mengenakan lingerie. Saat mendekatkan wajah pada gadis itu, ponselnya berdering hingga urung meneruskan niatnya.

"Siapa Mas?"

"Rani."

Mendengar nama Rani, seketika rasa bersalah menghujam berkali-kali ulu hati Dewi.

BERSAMBUNG
=======

Catatan:

Ipar itu bukan mahram, maka tidak boleh ikhtilat tanpa keperluan syari, apalagi berboncengan motor. Terimakasih untuk krisannya.

Ayat pilihan:

"Dan hendaklah mereka mengulurkan kain kerudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali kepada suami mereka atau ayah mereka, atau ayah suami atau putra-putra mereka, atau putra-putra suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak punya keinginan (terhadap wanita), atau anak-anak yang belum mengerti aurat wanita,". (QS An Nuur [24]: 31).

====


Bagian sebelumnya:

https://www.kaskus.co.id/show_post/5...c38d768f0264b7

Bagian setelahnya:

https://www.kaskus.co.id/show_post/5...568d01c76d8da2
Diubah oleh wafafarha 29-10-2019 16:42
eni050885Avatar border
erikfajar80Avatar border
lina.whAvatar border
lina.wh dan 3 lainnya memberi reputasi
2
1.5K
9
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Buku
Buku
icon
7.7KThread4KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.