sriwijayapuisis
TS
sriwijayapuisis
Senandika Layang Swara

Ilustrasi: Pintarest

Masa

Meresapi semilir angin hari ini anganku berputar cepat. Bumi seakan melumat setiap memori di benak kepala. Perihal kita yang saling mengeja makna. Betapa diriku mencoba melerai segala yang tertera lewat igauan malam. Menembus jauh ke lubuk terdalam hatimu. 

Harumnya napasmu sangat sejuk begitu pantas bersarang di jiwaku. Lewat tembang sunyi kau melagu detakkan jantungku oleh petikan senar gitarmu. Sunyinya hari kita bermain melodi tak seindah puisi tak sebagus syair sang pujangga. Namun retorika rasa mendadak hadir menerobos palung dada senyapkan kita dalam tanya. Adakah getaran yang sama kala bersama.

Lirih suaramu masih terngiang. Tentangmu yang memintaku bersabar, tegar dan kuatkan hati untuk tetap menatap mentari meski awan hitam menutupi sinarnya. Kau bilang, "jangan lelah saat asa menjemput raga. Jadilah orang hebat saat dijatuhkan, jangan gentar hadapi kemungkinan terburuk yang datang dan yakin bila jalan terbentang tidak dari satu arah saja."

Dalam detik yang berlalu anganku masih tertinggal disana. Mengharapkan malam agar tak cepat berlalu menjamu diri dalam sejuknya petuahmu hingga mata terpejam hasrat tetap ingin bersamamu sampai esok pagi menjelang. Andai waktu tak berpulang kepada pagi yang bertandang mungkin waktu itu kau masih di sini. Setia menemani hingga aku berkata pergilah. Sayangnya, kau hilang dalam mimpi tak pernah kembali hingga detik ini. Lalu, kemana harus aku mencari sejengkal bayangmu pun tak ada di ruang ini.
 
Rey

Ilustrasi: Pintarest


Langit bergemuruh seakan akan runtuh. Di bawah jendela ini aku melihatnya ada kilatan kecil memercik seperti lidah api berwarna putih. Ah, aku sebal! Pada langit yang selalu sayu saat netra ini melihatnya. Entah mengapa. Mungkinkah langit tahu bila sudah tiba masanya hujan membasahi tanah gersang ini. 

Rey, akromatik adalah detak kasihmu mengeja makna kehidupan di setiap langkah. Bayang-bayang masa silam masih membenam di sini menyimpan segala gulana yang tak mampu tertuang di cawan ke bersamaan kita. Angin bergemuruh hebat ciptakan gigil yang merancu harap. Meniadakan kata saling merangkul hati dalam asumsi pitutur semusim.

Bilalah esok waktu berlalu begitu lambat. Aku tak ingin malam pergi begitu cepat. Biarkan saja aku bersandar pada bahumu. Menumpahkan segala gulana yang menyiksa jiwa. 

Rey, ada rindu yang membelenggu, tapi tak mampu terucap. Taukah kamu apa yang begitu menyiksa jiwa ini saat rasa itu datang, yaitu saat adamu tak teranggap lagi.

Ya, rindu yang terbuang.

Aku memutar otak. Memori masa silam terulang lagi mengingatkan diri tentangmu.Ya, ini tentangmu yang dirindu, tersayang dan menghilang.

Rey, pitutur senyap membelenggu. Sapa hangatmu kutunggu. Hingga malam menjelang inginku kian merajam. Menusuk tak berperi pada setangkup harap yang ternanti. Kutanya pada sekilas wajahmu yang hadir menyentuh setiap inci gerakan tubuh.

Melantunkan nyanyian kehidupan yang sering kau dendangkan sebagai pelelap malam. Tentang sebuah lembah yang dipenuhi ilalang. Serta semak belukar sebagai penutup telaganya. Lalu, setapak sunyi merangkul diri. Dalam kelamnya hari harmonimu merasuk sanubari.

Membatu.Itulah yang aku lakukan saat mendengar dongengmu. Detak jantungku merancu di keheningan yang bertaut gigil. Suara ini tercekat hingga ke nadir. Terasa desau suaramu memberat, melumat ajimat setiap kata yang terucap. Kelu. Bibir ini mengatup sesaat dan derasnya sentuhmu mencairkan bekuku.

Ilustrasi: Pintarest

Wahai yang menyetujui logis dalam harap. Kutautkan sebidang rindu yang berat padanya sang peluka. Kau tahu jika jalan telah berbeda di persimpangan itu, kami saling membalikkan badan, tanpa lambaian atau ucapan selamat tinggal. Bagai tergantung di mega hitam segala dera telah aku rangkul. Racauan sakti telah porandakan aliran darahku pada nyeri. Untuknya aku berterima kasih.

Masih membatu binar wajahmu terlihat sayu. Mungkinkah racauanku amatlah tak berlogis terkesan sadis dalam senyap yang manis. 

Kau hanya menggelengkan kepala seakan tak mengerti apa-apa, tapi pancaran dari bola matamu mengatakan lain. Ada seutas sesal merajam netramu seolah berkata," Sudah dari dulu kuperingatkan, bahwa ia tak pantas untuk dicinta."

Benar. Aku baru mengingatnya sekarang. Namun siapa aku tanpanya Rey. Jerebu mungkin itulah sebutan yang pantas aku terima.

Aku terseret mengimbangi pada pekat menyerap nikmat. Meski lewat ucap tapi cukup meluapkan hasrat. Hasrat yang membawa diri untuk mengatakan segala amuk jiwa. Tanpa redam tanpa beban. Aku bagai seorang yang lepas dari ikatan. Semua tumpah ruah di bahumu. Tak ada lagi sesak yang menjejal akalku hanya satu semoga bayangnya hilang di benak dan kelopak ini. 

Rey, bila mentari mencumbu permukaan bumi dan hariku serupa kelambu mimpi aku ingin mendekapmu dalam memori. Walau semua yang ada di antara kita telah luruh. Perlahan menghilang dari keberadaan dan saling mengasingkan pada waktu. Tanpa bekas menutup segala cela untuk saling berkata,"Hai." Percayalah kau tetap berada di sini. Tetap ternanti sampai kau kembali sebagai penyenjuk jiwa ini.

Sekali lagi aku menutup tabir jenggala hati. Mengikrarkannya pada sebuah coretan yang tenggelam bersama kenangan antara aku, kau, dan dia. Melerai segala makna dan pada akhirnya sama-sama terluka oleh setapak jejak yang retak di kegersangan bumi. Mungkin itulah akhir dari masa saat tak bisa saling merangkul asa untuk menatap langit yang sama walau di tempat berbeda.

Entah ini layang yang keberapa kali yang terputar dalam kaset usang ini. Seakan menggambarkan suasana hati saat pythagoras membentuk ruang bangun dan terbentuk yang baru. Namun rumusnya masih sama tak berubah sepanjang masa.
Diubah oleh sriwijayapuisis 18-10-2019 15:11
Nazilla876inginmenghilangerina79purba
erina79purba dan 22 lainnya memberi reputasi
23
4.7K
102
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
icon
31.3KThread40.9KAnggota
Terlama
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.