DianAhmadKaskusAvatar border
TS
DianAhmadKaskus
Sebuah Debar


Siang itu, aku sedikit meringis menahan denyut yang kian menyakitkan dari jarum infus yang tertancap di punggung telapak tangan. Mencoba membuka mata perlahan, sambil menyipitkan mata.

'Hei, siapa itu?' pikirku sambil mencoba mengerejapkan mata, berusaha memfokuskan pandangan

Deg! Bram? -- Setengah terkejut, langsung berusaha menggapai pinggir ranjang, mencoba untuk bangkit.

Bram; aku mengenalnya sejak kami masih kecil, tumbuh besar bersama, sampai sama-sama merantau ke Batam, dan sekarang dia bekerja sebagai desainer grafis, di Singapura. Dan dia adalah seseorang yang paling bisa diandalkan.

"No! Ngga usah bangun," cegahnya cepat, sambil mendorong tubuhku untuk kembali berbaring.

"Kamu kapan datang? Mas Indra mana?" Aku memberondongnya dengan pertanyaan, berlomba dengan napas yang seketika menjadi sesak, sambil bola mata sibuk mencari sang kakak kesayangan yang sejak kemarin terus menemani.

"Dokter bilang apa?" tanyanya sedikit acuh dengan pertanyaanku yang lain.

Aku hanya diam, menahan semua gemuruh di dada; rasa rindu, yang pernah kukubur dalam di sana.
Perlahan mataku memanas, mengabur dan tak lama, bulir bening itu pun jatuh satu per satu.

"Heeiii, " katanya perlahan, sambil mengusap bulir bening yang menuruni pipi dengan cepat. Tapi tak kudapati rasa panik sedikit pun; atau mungkin karena dia tahu persis, apa alasannya? Ah, entahlah ....

Setelah perasaan tak keruan itu bisa diatasi, aku bertanya padanya, untuk menetralisir kecanggungan,

"Kapan balik kerja lagi,"

"Sampe kamu sembuh," Dia tersenyum, dan aku hanya bisa diam, tanpa bisa membalas tatapan matanya.

'Sial, kenapa aku selalu terlihat lemah, jika di depan dia.' rutukku dalam hati.

"Besok aku udah boleh pulang, kok. Aku kan harus kerja juga," lanjutku sambil berusaha tersenyum.

Dia hanya tersenyum, dan kembali sibuk dengan ponselnya.
Aku diam-diam mencuri pandang, dan membuang muka, saat matanya balik menatap sekilas.

"Done!"

"Aku minta off sampe Minggu depan, nanti pulangnya aku temenin ya?" katanya tanpa minta persetujuanku dulu. Lagi-lagi aku tak bisa berkata-kata, hanya menatap, sambil mencari sesuatu di bola matanya yang terlihat sedikit lelah.

"Aku pengin minum," pintaku dengan sedikit berdehem, gugup.

Sigap, dia langsung mengambil botol air mineral yang ada di atas meja, membuka tutupnya, dan menyodorkan sekaligus dengan sedotannya.

"Udah minum obat?" tanyanya, dan aku hanya mengangguk, sebagai jawaban.

Kami lebih banyak diam, walaupun sebenarnya banyak yang aku ingin tanyakan padanya; salah satunya, tentang perasaannya kepadaku.

.
Tak berapa lama kemudian, pintu diketuk,

"Maaf, Dokter Alvian tak bisa datang, ada keperluan mendadak, jadi saya, yang menggantikan," kata dokter itu, --ternyata bernama Ryan-- ramah, diikuti dua perawat dengan membawa map berisi rekam medis.

"Tapi besok saya udah boleh pulang kan, Dok?" tanyaku buru-buru, agar bisa diizinkan pulang

"Tunggu besok, sama Dokter Alvian saja ya," katanya sambil tersenyum

"Juga tolong obatnya diperhatikan ya, jika ada keluhan, bisa minta tolong sama perawat jaga di depan," lanjutnya

"Emm, diagnosa sakit istri saya apa ya, Dok?" Bram bertanya dengan nada tegas sedikit cemas

Aku hanya bisa bengong, ketika dia mengatakan "istri saya",
'What the hell? Who do you think you are?' aku memakinya dengan pandangan ekor mata yang terlihat judes.

Bram tersenyum dan mengedipkan sebelah matanya ke arahku, kemudian tampak seksama mendengarkan penjelasan dokter, sesekali dia menganggukkan kepala, dan diakhiri dengan berjabat tangan, dan ucapan terima kasih

Rombongan dokter dan perawat itu pun berlalu, dan ruangan itu pun kembali sunyi,

Sebenarnya aku ingin menanyakan maksud ucapannya tadi, tapi karena kondisi badan masih lemah, dan tak ingin suasana hati makin memburuk. Dan aku hanya manut saja, waktu dia menyodorkan empat pil dari kotak obat.

Saat akan bangkit, dia langsung berusaha untuk menegakkan badan dan menumpuk bantal dua lapis, agar lebih tinggi. Kemudian saat di membetulkan selimut, jarak dia denganku hanya sejengkal saja kurang lebih,

'Damn, aku masih ingat parfume yang dia pakai,' seketika kuhirup habis-habisan aroma tubuhnya yang sangat khas.

"Aku ngga usah ditungguin, biasanya juga sendiri kok," tolakku halus saat dia mengusulkan untuk menemaniku.

"Ngga papa, aku juga ngga lagi sibuk kok," katanya, tanpa peduli sedikit pun pada yang baru saja aku ucapkan.

"Hmm, minta tolong ambilkan HP dong, tuh lagi di charge," kataku sambil memonyongkan bibir.

"Buat apa? Besok aja, sekarang istirahat,"

"Aku udah istirahat seharian," jawabku sedikit kesal

Tak ayal dia pun langsung mengambilnya, dan menyerahkannya kepadaku.

Kubuka aplikasi facebook, menyisir setiap notif yang masuk, dan sesekali membalas komen dan inbox yang beberapa hari, tak sempat terbalas.

Lincah mata mencari sebuah nama di deretan notif dan inbox, juga pesan dan panggilan tak terjawab.
'Ah, ternyata aku tak sepenting itu untuknya' wajahku kembali murung. Saat tak kutemui satu pun pesan, seperti yang aku harapkan.

Adalah Dans, seseorang yang kukenal lewat sosial media. Lelaki yang pandai menulis, sedikit romantis dan lumayan lucu. Yang belakangan banyak menemani kegiatan tulis menulis; hobi baru yang sedang membuatku sedikit "kecanduan"

Bram memperhatikan gerak-gerikku sekilas dengan ekor matanya, meski matanya masih tertuju ke layar laptop, dia masih saja sempat menatap dengan pandangan tak suka, apakah dia cemburu?

Sementara aku terus berharap sebuah kabar dari seseorang yang belakangan kerap menitipkan sebentuk rindu yang membuat hati tak keruan. Namun berujung sia-sia, meski terlihat online, tapi sepertinya dia tidak merasa kehilangan dengan ketidak hadiranku beberapa hari kemarin.

'Sudahlah, Rien, mungkin dia sibuk, atau ketiduran, atau, atau dan ribuan atau yang sengaja kubuat agar bisa menghibur hati yang mulai dipukul rindu'

Kuletakkan dengan kasar HP di atas meja di samping ranjang.
Pikiran menerawang jauh, mencari jawaban atas kerinduan pada seseorang yang mungkin dia hanya menganggapku angin lalu saja. Terus, sampai rasanya kepala terus berdenyut, dan aku memejamkan mata, agar tidak merasa ikut berputar.

'Sial, kenapa aku jadi seperti ini?' aku menjerit dalam hati sambil terus memejamkan mata, terus, dan terus, hingga entah pada menit keberapa, aku tertidur.

---
Aku terbangun, terasa ada sentuhan dingin di tangan kiriku, sayup-sayup terdengar orang sedang mengaji; dari masjid dekat rumah sakit

"Bram? Kok ngga tidur?" tanyaku keheranan, karena dia malah sibuk membersihkan sisa darah yang mengering di bekas jejak jarum infus yang kemarin gagal dipasang.
Dengan telaten dia menggosok-gosok perlahan dengan tissue basah, tanpa menyentuh jarum infusnya sedikitpun, ah rasanya nyaman, sedikit menghilangkan rasa ngilu dan pegal.

Tersadar, aku setengah menarik tanganku,
"Eh, sudahlah ngga usah bersih-bersih, nanti juga aku mandi kok," aku mencoba memberi alasan yang masuk akal.
"eh, jam berapa sih? Udah azan belum?? tanyaku lagi.

Bram tersenyum, aku hanya nyengir, tanpa mengerti apa rasaku terhadapnya sekarang ini. Ah, seandainya ....

---

Seminggu telah berlalu, kesehatanku sudah membaik, meski hasil konsultasi terakhir, dokter menyarankan untuk menambah dosis obat untuk mengantisipasi kejadian yang tak diinginkan seperti yang sebelumnya.

Bram siang ini harus kembali bekerja, walau sebenarnya dia menawarkan untuk menemani lebih lama, tapi aku menolak,
"Aku sudah sehat kok, serius!" kataku sambil mengacungkan dua jari.

--

Selama perjalanan, kami hanya diam, sampai dia menanyakan,

"Rien, Dans itu siapa?" tanyanya serius, yang membuatku kaget setengah mati.

"Maaf, aku lihat di HPmu," lanjutnya pelan

Ya, seperti kebiasaanku, aku selalu mengunci dengan kode tanggal lahir, dan Bram paham betul itu.

Aku tertunduk diam, tak berani menatap sorot mata tajamnya yang seolah ingin menembus jantungku dengan sekali tatap.

"Aku suka padanya!" jawabku singkat,
"Meski aku tak tahu perasaanya padaku," lanjutku dengan suara serak menahan rasa yang entah; teringat ketidakpedulian Dans tentangku selama ini.

Bram terlihat sangat kecewa, dan seperti bercampur marah, berulang kali mencoba mengembuskan napas dengan kasar, dan suasana hening sampai tiba di area parkir.

"Rien, kita sudah saling mengenal, sejak ... ah, mungkin lebih lama dari selamanya. Aku tak pernah meninggalkanmu, and you know that. Aku hanya ingin lebih bisa membahagiakanmu sekarang dan nanti, dan yang paling aku inginkan darimu adalah menemanimu, sampai kita menua bersama."

"Aku tak hanya menginginkanmu di saat kamu sehat, tapi aku, yang akan menjagamu di saat kamu terbaring sakit, lemah, dan tak berdaya."

"Aku juga tak pandai berkata-kata indah, tapi aku bisa menyebutkan semua keindahan yang ada di dirimu, aku mungkin tak memiliki suara merdu, tapi aku bisa mengiringi suara merdumu dengan petikan gitar yang selalu kau bilang lumayan."

"Rien, aku hanya inginkanmu, sekarang dan selamanya. Dan waktu yang tepat itu, bukan dulu, bukan juga nanti, tapi sekarang."

"Aku tahu kamu lebih memakai akal sehat dalam mengambil keputusan, pikirkan semuanya, just take your time," katanya dengan sorot mata yang teduh.

"Jumpai aku sekali lagi, apakah itu nanti akan menjadi pertemuan kita yang terakhir, atau awal dari perjalanan hidup kita berdua, aku tetap menghargai keputusanmu, dan aku akan tetap mencintaimu."

Bram memelukku erat, pelukan yang terasa berbeda dengan sebelumnya; apakah cinta atau sekadar takut kehilangannya sebagai seseorang yang selalu ada, di setiap aku membutuhkan seseorang untuk bersandar?

Aku menangis, membalas pelukannya lebih erat, dan debar ini berdetak dengan lebih cepat, namun menghadirkan kenyamanan. Ah, hatiku menjerit meminta waktu tak berlalu begitu cepat.

Bram melepaskan pelukannya dan melirik jam tangannya sekilas, "Aku harus berangkat sekarang," katanya

Aku menemaninya sampai ke pintu keberangkatan, Bram mengecup pucuk kepalaku, meraih kedua tanganku dan meremasnya, kemudian berlalu dan melambaikan tangan.

Aku terdiam, menatap sepunggung kepergian dari lelaki yang selalu ada, mengisi hari-hari dengan gelak tawa, dan tangis haru juga air mata bahagia.

---

"Mbak, tiket Majestic satu, Indonesian passport!" kataku semringah; menahan rasa bahagia yang membuncah.

.
Ya, hidup adalah pilihan, dan aku telah memilihmu!

.
Di sabtu yang entah, 140919 -14.40
IndriaandrianAvatar border
tata604Avatar border
lina.whAvatar border
lina.wh dan 8 lainnya memberi reputasi
9
890
15
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
icon
31.4KThread41.4KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.