ndinadardanarAvatar border
TS
ndinadardanar
CERITA PENDEK
Amanda menatap sendu dengan lengan terlipat seraya menyenderkan bahunya pada kursi di hadapanku. Ada sorot keraguan berkeliaran di tiap inci bola mata yang ia miliki. Samar, tapi sangat terasa menusuk kalbu. Lirih dia mendesah tanpa memberi penjelasan barang sepatah, kemudian.

Aku bergeming dengan hati tak menentu. Ingin berkata, tapi tak tahu apa yang harus terucap. Tidak kuasa pula sekadar menatap pun menunduk, selain hanya memilih melempar pandang di tempat yang aku tak tahu. Pelan-pelan, ada kekosongan di relung sanubariku di antara sesak.

Kami berada di posisi yang sangat dekat saat ini. Sebuah meja, itulah yang jadi pembatas tubuhku dengannya. Akan tetapi, siapa yang tahu segumpal darah di dalam sana merasa begitu berjarak. Kebisuan seolah menciptakan jeruji yang memenjarakan jiwa kami di tempat berbeda.

Nyali kupecut paksa menatapnya sepersekian detik. Kali ini bukan hanya menyayat, tapi juga berhasil mencabik-cabik rasaku sedemikian hebat. Tidak pula hanya sesal, menyerta jengah yang sungguh sulit kusangkal. Amanda, seandainya kau tahu.

"Sekarang kamu pasti bahagia," ujarnya lirih. Ada kepedihan mengintip di balik mata bening itu.

Menarik napas dalam, kusapu wajah dengan dua telapak tangan dan tak lekas menjawab apa yang Amanda ucapkan. Karena biar bagaimanapun sederhananya kalimat yang keluar dari bibir keluku, rasa sakit itu pasti sama. Mungkin lebih. Bisa saja.

"Kamu tahu arti bahagia?" tanyaku, menetralisir kompas pembicaraan.

"Ketika seseorang menemukan sosok berbeda di tempat lain. Sosok yang mungkin dianggap jauh lebih tepat daripada seseorang sebelumnya!" Tegas dan cepat bibir gadis itu mengurai kekesalan dalam perihnya.

Aku kian tercekat disudutkan pada titik kesalahan. Menolak tidak, hanya enggan membenarkan. Aku pesakitan, Amanda ... bukan pria bersih. Tidakkah ada sedikit pemakluman dari lepas pekikku? Tak bolehkah amarah terlepas? Aku tidak lemah, tapi belum sekuat itu.

"Maafkan, aku menyesal," pamitku, mengakhiri pembicaraan dengan mata terpejam.

Tegar kusanding rapuh mengajak tubuh berlalu meninggalkan Amanda di ruang besuk itu. Jangan tanyakan kepiluan ini, aku hanya malu harus menangis di hadapannya. Bukan ... bukan tiada kepedihan di dalam hati yang membatu, semata tak mengikhlaskan bila ia harus lebih lemah dariku. Itu saja.

***

Aku merutuk diri di balik kisi-kisi besi yang tegak memanjang berdiri, dalam keheningan yang menghalau-halau rinduku pada sosoknya. Bukan pada perempuan yang meremas-remas rasa sakit, tapi raga berbeda yang ternyata ikut terluka.

Aku mengenalnya di persimpangan hidup, setelah menggelayuti dunia menuntut amarah yang memuncak tak berkesudahan. Dialah Amanda, gadis yang tengah terisak di halte penantian seperti biasa. Sementara aku, musisi jalanan yang berkesempatan bersua muka kala itu, kala senja tampak menguning lelah.

Bukan simpati yang menarik hati, sebenarnya. Kesedihan di wajah itu mengingatkanku saat harus memapah luka seorang diri tanpa pegangan, berkali-kali. Terbayang hanya kehilangan yang kumiliki, naluri berkata mencoba. Sekali lagi.

"Seandainya ada banyak manusia menangis di dunia ini, apakah kita masih butuh hujan?" ucapku, sedikit berharap mampu menyentuh hatinya yang mungkin terlalu pedih.

Dia tak acuh, meski hanya ada dua anak manusia di tempat itu; Aku dan Amanda. Namun, manik mataku menangkap pergerakan tangannya menyeka yang berlinang di kedua pipi. Masih terisak, mungkin terlalu sulit dihentikan bendungan air matanya yang telah pecah sempurna.

Kepedihan macam apa yang kau hayati, Nona? Sampai-sampai, sedemikian nikmatnya untuk ditangisi.

"Elegi tak menarik dibicarakan dengan orang asing. Tapi jika berkenan, aku siap menghibur hatimu tanpa bayaran." Kucoba lagi menerobos dinding kebuntuan di antara kami.

Napas Amanda berat terdengar. Akan tetapi, setelah itu terlihat olehku upayanya menegarkan hati kembali. Meski belum sepenuhnya berhasil, aku tahu dia menerima seseorang sebagai teman bicara. Ada senyum yang mulai malu-malu bermekaran di bibirnya.

"Aku Amanda." Lembut suaranya terdengar.

"Kamu bebas memanggilku apa saja, jika itu bisa sedikit membebaskan hati dari belenggu kesal," ujarku, tanpa menatap.

"Apakah kamu sedang memanfaatkan kesempatan dari seorang perempuan yang sedang rapuh?"

"Aku bukan oportunis yang mudah tergoda pada kecantikan," jelasku.

Sedikit membela diri, karena aku mungkin terlihat seperti seorang penggoda. Namun, tak apa jika ia berpikir begitu. Setidaknya, gundah di balik hatinya sedikit bisa ia alihkan. Itu sudah cukup. Sebab aku tahu bagaimana rasanya menangis seorang diri tanpa satu teman menguatkan. Amanda, mungkin saja sedang patah hati.

Itulah mula pertemuan kami. Suatu senja, saat langit menyemburatkan warna jingga. Saat halte yang mulai lengang.

***

Hari-hari setelahnya, cerita mulai berbeda. Aku kerap singgah di tempat yang sama, berharap kembali menemukan wajah itu. Bukan tak menyadari sekat yang membentang antara kami --di tiap senti kehidupan, karena yang kumengerti hanya menawarkan indera meski sekadar mendengarkan.

Tuhan membuka kertas kosong untuk kuisi kembali dengan catatan, tatkala Amanda, ternyata sama mencari teman berbagi cerita. Kami kerap menghabiskan senja dengan sekadar bertukar kelakar, atau kuiringi ia bernyanyi dengan gitar. Meskipun, di tempat tak selayaknya dia berada.

Menikmati segelas kopi dari wadah bijih plastik, aku mendengar celotehnya yang sesekali berhias tawa. Ada yang membekas tak mau pergi dari relung hati, kemudian. Senyumnya, ya ... aku selalu rindu itu.

Lama menutup diri, ternyata hati tak benar-benar mati rasa. Setelah beberapa kali kehilangan, aku kembali menemukan secercah harapan untuk kembali melanjutkan sisa hidup yang selama ini hampir habis terbuang sia. Mungkinkah ini cinta, Amanda?

"Kalau suatu hari aku berharap lebih pada seseorang, apakah itu salah, Raz?" Satu pertanyaan meluncur ke telingaku dari bibir Amanda.

"Dalam hal?"

"Rasa." Singkat saja jawabnya.

"Tidak. Sejauh kamu tahu sebatas apa boleh berharap," jelasku.

"Kamu punya kekasih?"

Aku tersentak, sejenak. Memang, selama ini aku sering ditinggalkan, terabaikan, juga kerap menyecap rasa sakitnya penghianatan. Namun, jelas aku tak bodoh untuk mengerti ke mana anak panah pikirnya mengarah. Haruskah kujawab segera? Dan ....

"Aku mencintaimu." Kuberanikan diri berkata terlebih dahulu.

Amanda menunduk. Segaris senyum melengkung, jelas terlihat dari bibir merahnya. Hatiku berdesir, detak jantung pun berebut denyut. Isyarat bahagia yang hadir seketika, meski ... aku sedikit terkungkung keraguan. Sampai akhirnya ....

"Kamu tak menyesal?" tanya gadis berkulit putih bersih itu.

Aku menggeleng pelan seraya menatap wajahnya lekat-lekat. Rona bahagia memendar dari tatapan Amanda, perlahan-lahan. Sementara aku, tersipu seperti remaja saat pertama kali menyatakan cinta. Bahagia, tentu.

Oh, sesederhana inikah perasaan itu sebenarnya? Yang kutahu, Amor melepas busur panah itu di bawah langit senja pada dua anak manusia yang sedang tersesat.

***

Di tempat yang sama, langit jingga seperti biasa. Api cemburu baru saja membakar hatiku, ketika wajah masa silam itu hadir mengusik tenangnya kebahagiaan kami. Ia mencoba merebut kembali sebentuk cinta yang baru kumiliki.

Menyadari betapa naifnya, tubuh kupaksa menyingkir bersela jarak. Lalu, aku menyamarkan diri di antara wajah-wajah lelah mengeruk dunia yang tengah berada di sana. Langkah kutahan, sekuat apa pun hati berkehendak.

Apakah Amanda masih mencintainya? Entahlah, karena yang kutahu mereka terlihat sangat mesra. Hingga kemudian, satu pemandangan mulai menyadarkanku. Apakah yang paling menyakitkan dari itu? Seseorang yang bukan lagi siapa-siapa, meremas jemari kekasihmu tepat di depan mata. Di depan mataku.

Hanya sedikit berselang setelah sebuah taksi membawa tubuh gadisku pulang, amarah terlepas dari pondasi sabar. Kuhantam lelaki itu berkali-kali sampai tersungkur. Tak peduli, berpuluh pasang mata mengamati keberingasanku yang lepas kendali.

Setelah melampias puas, kutinggalkan ia dengan darah mengalir dari hidung dan mulutnya. Lalu, aku berlari ke mana pun hati kesal membawa. Berkali Cumiik, meludahi diri tersebab malu. Lemas meremas sekujur badan, tak terelak akhirnya. Tersungkur, terlutut aku di sudut jalan buntu.

"Aaaa ...!" teriakku, menolak kenyataan.

Hanya tikus-tikus got yang melirik. Dapat kudengar cicitan merendahkan dari busuk mulut mereka. Inilah kali pertama aku menangis, setelah air mata kukeringkan sekian lama.

Keputusan pun kubuat cepat dengan sangat menyesal. Berlalu ... ya, hanya berlalu membawa rasaku. Lalu mencari tempat sebagai pelampiasan. Aku masih seorang laki-laki, dan jangan pernah memaksa jiwa liar itu kembali. Catat ini, aku pelakon, bukan sekadar penghias romantisme dunia.

***

Waktu menuntun perlahan menuju ke tempat asing yang lama tak kupedulikan. Menyeret untuk bergumul dengan sisi-sisi kelam di sudut kehidupan. Melupakan sakit atau menambah luka? Sudahlah, usah bicarakan itu padaku.

Setidaknya, di tempat ini harga diri ditawar lebih tinggi dari hati. Bukan hanya satu atau dua 'Amanda' yang bersedia berbagi hangat, dan aku lebih dari mampu mendapatkan itu. Maka, kupilih melarikan bentuk kekesalan dengan cara sendiri. Jangan salahkan bila harus begitu. Cinta tak pernah berpihak pada hati yang kerap terkoyak, bukan?

Meski senang itu semu berlumur nista, apa peduli? Siapa yang bersih? Tak Ada. Bahkan, Amanda hanya hadir untuk menambah lubang kekosongan semakin dalam dan menganga. Aku ingin menepi, tapi dunia menenggelamkan kemudian. Cerita tak pernah salah, penulisnya yang kerap tak berhati. Aku lelah.

Halte itu, sudah lupakan. Tak penting lagi untuk sebatas kusebut sebagai kenangan. Aku memiliki dunia yang lebih mengerti bagaimana menelanjangi kemunafikan. Lihatlah, betapa nikmatnya semesta tanpa melibatkan perasaan.

Kukira, hidup akan terus bergulir dan aku akan bahagia berkubang dosa. Sampai akhirnya ....

Suatu malam dalam tercenung seorang diri mempertanyakan makna kehidupan, kerinduan memanggilku. Kenyataan ternyata tak benar-benar mampu mengalihkan ingatan. Amanda, jejaknya masih jelas terbayang. Bahkan, sampai kepada wajah-wajah yang terlentang pasrah kugauli. Mengapa kau tak pergi dari palung hati? Bagaimana cara mengusirmu?

Maka demi desakan kerinduan tak bertuan, kudatangi tempat semula kami bertemu memadu pandang. Menikmati indah dan pedih kenangan yang telah terlewatkan. Ada manis menyerta getir kutelan. Ingin kembali mengulang kenangan? Tidak! Aku enggan mendulang luka yang sama.

"Mang, pernah liat perempuan yang suka bersamaku di halte itu?" Bertanya pada penjaga warung sekitar, berharap mendapat sesuatu yang aku sendiri tak tahu apa menyebutnya.

"Sering. Kadang suka sampai malam. Bukannya dia kekasihmu? Mengapa bertanya pada orang asing?"

Tertampar aku mendengarnya. Benar apa yang pria paruh baya itu katakan. Bukankah seharusnya aku tahu di mana dia berada? Seharusnya cukup mengerti tempatku di hatinya meringkuk. Oh, Tuhan ... berapa lama ia terabai seorang diri?

Dalam kegamangan, beberapa orang berseragam datang menghampiri. Tak acuh, sebab tiada urusan. Namun, perkiraanku salah. Mereka datang bersama wajah bekas lelaki jahanam yang menghancurkan hati Amanda, gadisku yang dulu.

Dia datang bersama aparat penegak hukum untuk menuntut pertanggungjawaban atas apa yang sudah kubuat tercecer dari pembuluh darahnya. Aku, berubah status sebagai tersangka atas tindakan gegabah sendiri.

"Amanda! Namanya Amanda, Mang! Tolong bilang padanya apa yang terjadi!" pesanku saat pergelangan tangan berhias borgol.

Kulihat senyum meremehkan dari wajah lelaki yang kali kedua mengubah alur cerita hidup. Tajam mata itu menatap, dan aku tak kalah mengejeknya. Dasar pecundang! Kenapa tak kau panggil papi mami-mu? Cih!

"Tunggu setelah ini. Kau hanya lelaki lemah!" ancamku, lalu melangkah pasrah.

***

Di tempat inilah tubuh terkekang, sekarang. Dalam ruang sempit yang malamnya siap menusuk tulang belulang. Lantainya dingin, bila siang gerah tak tertahan. Tak ada yang membela, bahkan bila kenyataan yang kulakukan semata memperjuangkan hati sendiri. Cinta memang nyata, tapi tidak bagi seorang yang ditakdirkan harus selalu menuai kecewa.

Namun, seolah belum genap penderitaan, berlembar foto pernah tersaji di hadapan untuk kusaksikan. Tercetak wajah diri dengan seorang perempuan di sana. Dapat kuterka, dari mana itu Amanda dapatkan. Lelaki kaya, terbiasa hidup di dunia lendir, bukan? Geli bila harus dibandingkan. Ia membuang uang, aku menikmati semua cuma-cuma. Justru, diberi bayaran.

Lalu, kepada siapa kuceritakan fakta sebenarnya? Tak Ada sesiapa. Tiada yang sudi mendengar. Aku lengkap dan usai sekarang, tanpa diberi kesempatan untuk mencari jalan kembali.

Dalam kegamangan dan perih sendiri, sebuah keajaiban datang.

"Raziq! Anda bebas. Tuntutan telah dicabut. Ayo, keluar!" Seorang polisi tiba-tiba membuka kunci, lalu mengajak aku meninggalkan ruangan tak berpentilasi itu.

Bebas? Tuntutan dicabut? Proses hukumnya bagaimana? Adakah penjamin? Berbagai pertanyaan menyergap kepala. Senang, meski aku kebingungan.

Usai berpamitan sekadarnya, aku melangkah keluar dari hotel prodeo dengan mantap. Tak lagi menoleh, sebab tinggal di dalam sana tak pernah semenyenangkan menghirup udara bebas. Namun, siapakah yang membelaku? Siapa yang masih peduli padaku?

Sebuah kendaraan berwarna kuning metalik berhenti di depanku memaku diri. Dua wajah yang kukenali keluar dari mobil mewah itu seraya tersenyum. Ya, mereka adalah Amanda dan lelaki lamanya. Aku tersentak dengan hati bergelut perih. Oh, apa lagi ini?

"Raz, ikutlah bersama kami," ajak Amanda.

"Iya, Raz. Kita perlu bicara," timpal lelaki di sebelahnya.

Aku coba berdamai dengan kepedihan, berteman badai rasa sakit yang sulit tergambarkan. Hancur bukan main, bahkan masih lebih baik aku berada di dalam sana. Namun, baiklah ... mengalah sekali lagi tak ada salahnya. Aku turuti saja permintaan mereka.

***

Di sebuah tempat, lelaki itu meninggalkan kami. Tak asing, karena masih jelas dalam benakku bagaimana cerita itu bermula dari sini. Di suatu senja, ketika langit merah saga.

Mataku mengamati bagaimana Amanda menggamit lengan, lalu mengajak duduk di sana. Menyandarkan kepala di bahu kananku, tak henti bibir itu tersenyum. Seolah tercerabut sudah penderitaan dari akarnya. Aku meremas erat jemari tangan halus Amanda.

Tak ada suara untuk beberapa lama. Hanya pikiran yang melayang entah ke mana, mengenang begitu rumit sekadar mengecup rasa bahagia bersama seseorang yang jadi pilihan hati. Apakah ini ujung perjalanan penuh onak? Aku tak tahu. Karena sejenak saja, biarkan aku kembali melepas rasa dahaga yang penat di kerongkongan.

Tak ada yang perlu ia jelaskan, bila semua telah diungkapkan lelaki itu saat kami meluncur bersama. Meski tak habis pikir, tapi akhirnya tersadar diri sesekali perlu menjaga nalar. Sebab cinta kerap membutakan mata, terlebih bila itu baru bersemi. Salahnya, langkah sedikit kupercepat mengalahkan akal. Emosi dan cemburu terlebih dulu.

Kenyataan di balik kejadian itu di luar dugaan. Selama ini, ia kerap mengintaiku, lalu berniat memberi pelajaran. Tak pernah benar-benar tahu siapa dia, membuat mata kalap. Sedangkan lelaki itu ternyata berhati bersih, bukan penyebab luka di hati Amanda. Meski, sebenarnya ia masih cinta.

"Sulit sekadar percaya bagi yang terlalu banyak kehilangan, tapi kamu menyadarkanku bahwa masih ada cahaya sebagai keniscayaan. Yakinlah, hanya pada hatimu aku ingin pulang."

"Raz, maafkan kekeliruanku," sesalnya yang kusambut anggukan.

Bertafakur menikmati romansa yang kembali mencipta melodi menjadi kidung-kidung bahagia, kukecup kening Amanda seraya memejam mata. Bulir-bulir runtuh setelah bergelantungan cukup lama di pelupuk sana. Ada haru bernafiri menyambut pertemuan kedua bibir kami, sejenak. Bolehkah aku menangis cukup lama, Amanda?

"Aku mencintaimu," bisikku.

Ia mengangguk percaya, lalu tersenyum penuh makna. Kesekian kali lagi, aku jatuh cinta padanya. Gadis halte yang kujumpa saat tak mampu menyembuyikan pedih sebuah luka. Ah.

Beranjak, kulepas perlahan genggaman tangan dimana jemari kami saling mengayam. Menatapnya cukup lama, mengumpulkan keberanian kedua kali untuk kembali berbicara. Hening, Amanda menatap dengan sorot mata menelisik apa yang kupikirkan.

"Amanda ... kamu mau menungguku?"

"Untuk apa, Raz?" Pelan ia menjawab.

"Untuk kembali lagi ke halte ini menjemputmu sebagai permaisuriku, tentu."

"Raz, apakah wajahku tak terlihat cukup lelah menghadapi perpisahan?"

"Untuk 'Amanda Raziq', aku akan mempercepat kembali perjumpaan!" tegasku.

Memutar tubuh, kuhela napas dalam-dalam. Tak kuasa jika harus melihat air mata Amanda mengalir, yang sebentar lagi akan menjelma isak sempurna. Namun, aku harus melakukannya.

"Ingatlah, apa pun yang aku lakukan ... semua demi kamu," tutupku.

"Raz ...."

Tak menoleh, aku melangkah meninggalkan Amanda dengan senyum dan deraian. Hanya untuk kali ini, berkati aku berjuang mengubah cerita hidup. Sampai siap kembali ke tempat ini. Sampai menjelma sebagai seorang lelaki yang hanya mengerti bagaimana sejatinya cara mencintai perempuan.

"Aku pamit." Dalam hati berbicara. Lalu mencari jalan berbeda untuk dapat kembali lagi. Sebagai cinta yang mencari arti kesempurnaan.




Ada yang mau ini jadi cerbung?
Diubah oleh ndinadardanar 14-10-2019 03:38
rykenpbAvatar border
anasabilaAvatar border
someshitnessAvatar border
someshitness dan 5 lainnya memberi reputasi
6
2.1K
10
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
icon
31.4KThread41.4KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.