lapautekchy01Avatar border
TS
lapautekchy01
Rinai dan Senja
Bab 1

Aini sudah tidak bisa bersahabat dengan sabar. Tingkah Rinai putri tunggalnya mulai di luar batas etika seorang ‘Gadih Minang’. Seperti senja ini, ketika ayam berlarian ke kandang, dan ketika suara kodok ‘tingkah-bertingkah' dengan jangkrik menunggu purnama datang. Rinai seperti acuh tak acuh dengan kumandang azan yang terdengar dari corong mik Surau Darek.

Gadis itu memilih duduk di kursi teras memandang gumpalan awan di langit, dari pada berlari ke sumur untuk berwudu seperti masa kecilnya dahulu. Aini menahan emosi dengan mengucap Istigfar berkali-kali, lalu melaksanakan salat magrib meskipun tidak khusyuk.

Selesai salat, Aini memanggil gadis itu dari dalam. Namun, tidak ada jawaban. Aini terlihat jengkel, tapi janda Datuak Sati itu tetap memanggil dengan suara lemah lembut. ‘Meskipun harimau di dalam perut, tetap kambing jua yang dikeluarkan’.

“Rinai! Kamu tidak salat, Nak? Magrib ini terlalu singkat untuk kita lalaikan,” tegurnya sambil melipat mukenah.

Tidak ada jawaban, melainkan dengus kasar beserta entakkan langkah menuju sumur. Tak lama, terdengar suara pintu di banting. Aini terlonjak. Suara itu pun membuat Inyiak Murai yang sedang mendaras Al-Quran di kamarnya keluar dengan langkah tertatih.

“Ada apa Aini?” tanyanya bingung.
“Rinai bertingkah lagi, Nyiak. Entah apa sebabnya. Beberapa hari ke belakang kuperhatikan ia mulai lalai akan kewajibannya pada Tuhan,” jawab Aini lemah.

Wanita tua bungkuk itu menarik napas panjang, lalu berujar,” Mungkin ada sesuatu yang mengganjal pikirannya, atau karena dia mau datang bulan? Sehingga emosinya melonjak sampai ke ubun-ubun?”

Aini menggeleng dan menjawab,” Entahlah, Nyiak. Kenapa Rinai seperti lupa di mana ia berpijak, lupa pada petuah yang selama ini ‘ambo dan Uda Sati tanamkan. Apa karena usianya yang mau beranjak remaja, ya, Nyiak? Sehingga Rinai sulit mengendalikan emosi? Atau dia sedang mencari jati diri?”

“Aini ... Ssst! Biarkan Rinai salat dulu. Nanti setelah makan kita tanya apa maunya. Barangkali ada sesuatu yang diinginkannya.”

Inyiak Murai melihat tubuh jangkung Rinai dari balik pintu belakang. Agar jangan terjadi lagi keributan antara dua orang anak berinduk itu, Inyiak Murai meminta Aini menyiapkan makan malam dan membiarkan Rinai masuk ke kamarnya untuk salat.

Mata Aini berembun menahan sebak saat menuju meja makan yang terletak di bagian belakang rumah yang sekarang mereka huni. Rumah peninggalan suaminya yang di titipkan kepada Inyiak Murai, ibu kandung Sati.

Rumah permanen yang lumayan besar, ada tiga kamar, lengkap dengan ruang tamu, ruang tengah, dan dapur. Kini Aini tidak kawatir dengan tempat tinggal dan mata pencarian. Harta peninggalan Sati cukup untuk mereka bertiga. Harta itu meliputi kebun karet, kebun coklat dan cengkeh. Dari hasil panen tanaman tersebut, setidaknya Aini bisa menyekolahkan Rinai ke mana ia mau. Tetapi kini masalahnya Rinai seperti lupa diri dan sedang labil.

Aini menarik napas panjang, membuang kegelisahan melalui angin yang keluar dari hidung. Pikirannya mulai mengembara ke masa kecil Rinai. Tingkah Rinai sekarang bak bumi dan langit, itu yang membuat embun di mata Aini berubah menjadi butiran hujan air mata. Hidung Aini tersumbat dan memerah. Kesedihan dan kecewa bercampur dalam jiwa, bergemuruhlah dada Aini.

“Rinai, ayo makan!” Terdengar panggilan Inyiak Murai dari depan pintu kamar anak itu.
“Rinai tidak lapar, Nyiak,” tukasnya dari dalam.

“Tidak elok memperturutkan hati besar. Nanti membuat kau susah sendiri, bukankah seorang ksatria tidak boleh ‘manggok',” rayuan maut Inyiak Murai membakar hati Rinai.

Meskipun anak itu memperlihatkan wajah keruh, akhirnya ia keluar kamar juga. Tanpa senyum, hanya helaan napas berat.

Di meja makan pun, Rinai banyak melamun. Entah apa yang membebani pikirannya. Melihat tingkah Rinai, Aini menegur. Namun, ditahan Inyiak Murai.

“Barundiang setelah lapeh arak!” Inyiak Murai memandang teduh ke Aini.

Aini tentu paham maksud kalimat di atas, tidak boleh berunding ketika makan. Bisa menimbulkan perdebatan sengit, karena perut belum di isi.

Selepas makan malam, Inyiak Murai mengajak Rinai duduk di tikar pandan yang terhampar di ruang tengah. Sambil menyirih, wanita tua bungkuk itu mengajak Rinai bercakap.
“Sebenarnya ada apa, Nai? Kenapa kau seperti ayam termakan ‘kajai'?”

Rinai tetap bergeming.
“Ayo cerita, mana tau Inyiak bisa bantu,” ucapnya dengan mulut tetap mengunyah sirih.

“Rinai mau Hp seperti punya Bunga, Nyiak. Tetapi ibu tidak mau membelikan. Sementara ibu sendiri punya, kemarin Rinai lihat,” adunya.

Inyiak Murai tersenyum, lalu berkata,”Nanti Inyiak belikan.”

“Benar Nyiak,”tanyanya semangat.

Wanita itu mengangguk, “ Berapa harganya?”

“Dua Juta, Nyiak.”

Mendengar jawaban Rinai, mata Inyiak Murai membesar. “Dua Juta? Benda apa itu? Mahal sekali.”

“Telepon genggam, Nyiak. Bisa untuk internet, mainan, belajar dan lain-lain,” terangnya dengan mata berbinar.

Aini yang sedari tadi mendengar percakapan nenek dan cucu itu, tidak bisa lagi menahan diri. Selama ini ia tidak mau membelikan Rinai Android karena takut putrinya terpengaruh. Sedangkan tidak ber-Android saja, Rinai sudah lupa cara bicara yang baik. Bagaimana Jika nanti dibelikan.

“Tidak boleh, Nyiak. Semakin ‘Sumbang Kurenah’ si Rinai nanti. Sekarang saja dia tidak lagi peduli dengan adat. Lihat cara berpakaiannya, tertutup tapi telanjang!” cerca Aini.

“Maksud ibu apa?” Suara Rinai meninggi.

“Kamu belum boleh pakai Android, ibu tidak izinkan!”

Mendengar kalimat tegas yang mengucur dari mulut ibunya, Rinai meradang. Gadis kecil berambut panjang itu segera berdiri, berlari menuju kamar. Rinai meluapkan emosi dengan meninju dan menendang pintu kamarnya.

Melihat itu semua, Aini semakin emosi.
“Hentikan Rinai! Kamu keterlaluan. Untuk apa kau belajar mengaji dan silat, jika tidak bisa mengontrol emosi, hah?!.” hardik Aini berang.

“Ibu tidak mengerti apa yang kumau. Selama ini aku ibu kekang. Tidak boleh ini, tidak boleh itu. Harus begini, harus begitu! Rinai sudah besar, Bu!” teriaknya dengan suara bergetar. Air mata mengalir di pipinya.

Aini mendekati putrinya, berusaha merangkulnya ke dalam pelukan. Namun, ditepis kasar anak itu.
“Ibu jahat, ibu tidak peduli dengan keinginan Rinai. Selama ini aku selalu menuruti apa yang Ibu mau,” teriaknya.

Mendengar Rinai memaki ibunya, Inyiak Murai terkesiap. Wanita bungkuk itu berdiri dengan bertumpu di lutut.
“Rinai! Mau surga kau hilang karena melawan ibumu?" bentaknya.

Rinai berada di posisi yang salah, kedua wanita terkasih yang dulu memanjakannya, kini menjadi lawan baginya. Tanpa sepatah kata sebagai jawaban. Gadis itu masuk dan mengempaskan pintu.

Aini menekuri lantai, mengurut dada. Jika dilanjutkan, bisa saja dia mengumpat anaknya tersebut. Dan itu sama saja mendoakan keburukan untuk Rinai dan Aini tidak mau semua itu terjadi. Tapi, wanita itu bingung menghadapi sikap anaknya yang beranjak remaja.

Kita tunggu lanjutannya.
Diubah oleh lapautekchy01 11-10-2019 23:19
0
544
3
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Buku
BukuKASKUS Official
7.7KThread4KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.