rykenpbAvatar border
TS
rykenpb
[True Story] Tersesat Di Antara Gunung Kembar dan Bayangan Hitam


Dunia Lain Itu Horor Banget



Quote:




***

Written by. Ryken pb

Aku dongkol melihat ulah para lelaki itu. Perut mulai keroncongan. Matahari pun sudah mulai menanjak ke titik tengah. Namun, mereka masih saja asyik nongkrong sambil minum.

"Ugh! Menyebalkan." Aku merutuk sambil mengunyah roti yang sempat kubawa tadi sebagai persiapan.

"Ini jadi pergi gak sih, Dar? Kenapa malahan santai dan minum sirup gitu? Terus tuh apa lagi?" Cerocosku terhenti pas lihat bubuk putih dalam bungkus kertas yang dituang LL ke segelas sirup.

"Tunggu bentar lagi!" Hanya jawaban itu yang kudengar dari bibir Darna. Kelihatannya dia pun rada kesal sampai garuk-garuk kepala.

"Emang kemarin rencananya bagaimana sih? Kenapa mereka kayak ogah-ogahan gitu?" tanyaku heran.

"Udah tenang aja, Ry!" pungkas sahabatku Darna yang berkulit hitam eksotik seperti warna kulit Afrika.

Aku pun menunggu sambil menghabiskan roti yang tersisa. Benak masih saja liar mencari tahu jawaban perihal bubuk putih tadi.

"Yuk. Kita berangkat!" ajak Darna.

"Akhirnya!" seruku.

Awal petualangan dimulai. Aku pun menarik napas sebab ini adalah pengalaman pertamaku berpetualang di alam.

Sebelum perjalanan dimulai. Kami melingkar sambil berpegangan tangan dan berdoa. Tanpa LL dalam lingkaran itu. Mungkin ia masih asyik dengan minumannya.

***

Sepanjang perjalanan di desa yang kami lalui ada satu kegiatan masyarakat. Tepatnya di lapangan sepak bola. Pertunjukan kuda lumping sedang berlangsung. Aku memilih berhenti sejenak dan ini pertama kali kutonton kuda lumping. Kengerian kurasakan atas apa yang terlihat dari salah seorang pemainnya. Ia mengunyah pecahan beling. Lalu mengupas kelapa hanya dengan menggunakan gigi. Ayam pun disantap mentah. Matanya menyala merah seolah mencari-cari sesuatu. Rasa heran, takut sekaligus takjub melingkupiku. Budaya yang eksotik,pikirku.

"Tapi kok gak berdarah yah tuh bibirnya?" Entah aku bertanya pada siapa sebab sebagian kawan telah mendahului dan sepertinya tak tertarik dengan acara tersebut. Mungkin sudah terbiasa melihat kuda lumping terlebih itu tradisi budaya mereka.

"Itu dirasuki roh halus." Satu suara sontak buatku menoleh.

Oh ya ampun. Dia lagi. Nih orang satu apa maunya sih sejak tadi mepet-mepet melulu. Aku mengomel dalam hati.

Dia adalah Keny--lelaki yang tingginya melebihi tinggi tubuhku kala itu yaitu 154 cm. Warna kulitnya agak kecoklatan, sedikit lebih gelaplah. Ingat es krim Magnum? Serupa itulah warnanya. Rambut gondrong lurus berwarna hitam. Tak pirang seperti LL. Salah satu ciri khasnya adalah memakai topi.

Aku tak peduli dengannya dan lebih memilih memperhatikan pemain yang dirasuki roh halus sedang jongkok mengunyah beling sambil memelototi siapa pun. Matanya nyalang seakan ingin menelan penonton mentah-mentah. Beberapa anak kecil berlarian sebab ketakutan.

Hingga pandangannya bersirobok denganku. Kami saling menatap  lama. Ini mengerikan aku saling bertatapan dengan roh. Pandangannya tak lepas dariku. Serasa ingin menelanku bulat-bulat. Aku bergidik. Jujur bulu kudukku meremang. Dada dag dig dug. Aku mematung. Satu tepukan di bahu membuatku lepas dari ketegangan itu.

"Ayo jalan. Ntar kamu juga kerasukan bila saling tatap gitu." Aku menuruti ajakan Keny. Bulu kudukku masih saja meremang. Rasa takut masih bersisa.

Sepanjang perjalanan, mata merah penuh misteri masih saja bercokol di otakku. Bulu kudukku merinding terasa sekali pada tengkuk juga kedua lengan. Kedua tangan kulipat menyilang di dada. Hawa aneh begitu terasa di sekitarku. Perasaaan diikuti pun menghantui. Apa roh itu mengikutiku? Tapi ah! Gak mungkin. Ini kan siang hari. Pikiran di benak berkecamuk menciptakan sedikit getaran gelisah di dada.

Demi membuat perasaan lebih nyaman. Kualihkan pandang ke sepanjang jalan yang terlalui, menatap perkampungan yang sebagiannya merupakan wilayah persawahan.

***

Dalam separuh perjalanan, satu sosok yang kukenal muncul dari sebuah lorong dan bercakap dengan Darna. Namanya Rohim. Teman SMP. Pernah sekelas denganku. Ia asli penduduk desa tempat kami berpetualang. Setelahnya LL juga menampakkan diri bersama seorang remaja.

"Eh. Dia nyusul juga akhirnya. Apa dia tak oleng? Tapi kayaknya dia masih baik-baik saja." Keningku bertaut memikirkan LL sejenak.

LL adalah lelaki tampan pertama dalam kelompok kami. Berwajah kiyut plusmemiliki warna kulit putih, rambut ikal, tinggi tubuh sekitar 169 cm. Terlihat agak kurus sih. Sayangnya satu julukan yang paling melekat darinya adalah playboy kelas kakap.

***

Kami mulai memasuki area hutan. Rasa heran membuatku bertanya.

"Kok hutan? Katanya kita mau ke air terjun."

"Air terjunnya dalam hutan, Non  ... dan melewati gunung," jawab Chaidir.

"Apaaa ... terus jauh gak? Menginap gak?" Rentetan pertanyaan juga suaraku yang agak keras membuat Chaidir bengong.

"Daaarnaa... kenapa tidak bilang-bilang sih. Kalo tahu gini. Aku buat persiapan lebih. Kupakai sepatu kets. Liat saja kakiku. Hanya pakai sendal. Oh ya ampun! Ini bener-bener konyol!" cerocosku menahan emosi.

"Lupa. Lagian aku juga sama. Nih!" elaknya sambil memamerkan sendal jepit birunya. Hanya kata itu yang keluar dari bibir Darna.

"Whaaat!" Aku melongo, "dasar Darna! Kamu 'kan sudah biasa. Nah aku?!"

Ia hanya terkekeh menimpali kemarahanku.

Aku mendengus dengan wajah tertekuk.

"Ayo lanjut! Mau jalan kagak nih? Sudah mulai sore," teriak Rohim dengan medok Jawa-nya.

***

Teman lainnya sedang menanti di pinggir hutan. Sepanjang pandangku terlihat pepohonan jati juga jenis pohon lainnya terhampar. Suasana sejuk yang dipancarkan tumbuhan dan semilir angin mampu melebur kekesalanku barusan. Cicit burung-burung saling bersahutan seakan menyambut kedatangan kami.

"Sebelum masuk hutan. Kalian harus berdo'a dan yang paling perlu kalian ingat. Jangan berisik, berulah atau merusak hutan. Satu lagi jangan memanggil nama teman," ucap salah seorang teman yang lebih tahu tentang area itu.

Aku yang aslinya cuek. Tak terlalu peduli dengan peringatan itu. Bahkan berdo'a pun tak kulakukan. Saking semangatnya aku lebih dahulu merambah hutan.

***

Suaraku yang berisik terkadang bernyanyi juga heboh karena takjub. Sambil sesekali teriak memanggil Darna membuat beberapa kawan menoleh ke arahku. Hal itu kulakukan karena merasa tak nyaman berada di antara lelaki tak kukenali sedangkan Darna jauh di depan.

"Ssssst!" seru mereka berbarengan.

Aku hanya manyun dengan reaksi mereka.

Tak terasa langit yang sebelumnya disinari mentari telah berganti hiasan arakan mega mendung, pekat menggantung.

Tiba-tiba titik air mulai menetes satu persatu. Kian detik rinai bertambah dari langit. Gerimis mulai membasahi bumi.

Perjalanan yang dilalui pun mulai menanjak. Berkelok-kelok. Tanah mulai becek dan licin. Akar-akar besar yang mencuat, pohon tumbang dan batang sisa penebangan terkadang menghalangi perjalanan kami.

Sekujur tubuh mulai basah oleh keringat bercampur rinai hujan yang kian saat bertambah deras. Kaos tipis dan ketat yang melekat di tubuh semakin terlihat transparan. Guyuran hujan membuatku khawatir, akhirnya melepas alas kaki dan menentengnya.

"Kenapa makin mendaki?" tanyaku sambil menyeka air di wajah. Rambut sudah basah.

"Kita sudah di gunung," jawab LL bersamaan Keny.

Sepanjang perjalanan, kami saling bercerita untuk menghalau rasa lelah, hening dan suasana alam gunung yang mulai pekat dan gelap.

Sisi-sisi jalan yang dilalui merupakan jurang terjal. Kekhawatiran, rasa takut dan ngeri menggelayuti benakku. Sesekali aku memberanikan diri melongok ke bawah jurang yang membuat jantung berdetak kencang.

Kami mempercepat langkah. Sesekali ada teman yang bersiul di antara derap kaki dan kecipak rinai yang memantul di tanah.

Namun, tiba-tiba rinai hujan yang deras terkikis habis. Langit tampak cerah lagi. Wajah kaku kedinginan berganti rona bahagia. Tanah pada setapak masih basah. Dan tiba-tiba aku terpeleset.

"Aaaaa ...!"

Jeritanku memenuhi keheningan gunung. Berada di jurang sekitar empat meter dari bibir jurang membuatku berpikir tentang kematian. Keringat dingin menjalari sekujur tubuh. Untunglah tangan sempat menggapai akar pohon dan aku tersangkut pada akar yang jauh lebih besar.

Terasa wajahku kelu dan dingin. Jantung berdetak kencang. Dalam keadaan seperti itu aku hanya bisa istighfar. Wajah keluarga terlintas dan dari sudut mata, setetes gumpalan bersatu dengan sisa hujan yang belum sempat kuseka. 

Aku menengadah dan apa yang kulihat teman-teman hanya terdiam melongo dengan wajah tegang.

"Hei. Tolong bantu dong. Kok hanya diam gitu. Tanganku gak kuat!" teriakku membuyarkan keterkejutan mereka.

Beberapa dari mereka memberi akar pohon yang telah disambung. Aku berusaha menggapai dengan satu tangan. Mereka menarikku. Setelah dekat, tangan LL dan Darna juga Keny berusaha menggapai.

"Kamu tak apa-apa?" Darna bertanya dengan raut wajah cemas.

"Alhamdulillah hanya berdarah sedikit." Aku memperlihatkan siku dan lengan yang terkelupas berdarah. Jantungku masih berdegub kencang.

Keny membersihkan tanah yang menempel di luka dan lengan. Sedang Darna mengibas tanah yang melekat pada pakaianku.

"Tapi aku jengkel, kenapa kalian hanya diam melongo. Aku hampir mati!" rutukku. Mereka hanya terdiam. Tapi aku sadar mereka juga tentu terkejut dan takut.

Setelah beberapa saat dan memastikan aku baik-baik saja. Perjalanan pun dilanjutkan.

***

Jarak di antara kami agak berjauhan. Di depanku beberapa meter masih terlihat Darna juga Rahman. Mereka sepasang yang mulai bersemi. Kami melewati sungai yang dangkal. Airnya jernih. Sepanjang sungai, ada beberapa akar pohon melintang di atasnya. Batu besar serta kecil memenuhi dasar sungai. Tapak kakiku terasa sakit, perih dan mulai lecet.

"Apa tak ada jalan lain, Keny?

"Hanya ini satu-satunya jalan biar kita tak tersesat?"

Aku memeriksa kaki yang mulai berdarah saat menginjak batuan cadas. Apalagi betis dan mata kaki juga terasa sakit. Mungkin sebab terjatuh tadi, terbentur di akar dan batuan cadas. Baru terasa sakitnya. Lagi-lagi Keny berempati.

"Aku gendong yah?" ucapnya menawarkan bantuan.

Aku terdiam menatapnya. Ah gak. Ia nanti mengambil kesempatan,pikirku.

"Tak usah!" Aku menolak lalu melanjutkan perjalanan. Ia mengikuti di belakang. Tak beberapa lama telah berada di sisiku.

Sepanjang perjalanan kami berbincang apa saja dan tanpa sadar kami kehilangan jejak kawan lainnya.

Aku kebingungan sedangkan Keny tak menampakkan raut cemas sedikit pun.

"Ayo kesini!" ajaknya.

Aku hanya bisa mengikuti karena berpikir ia penduduk daerah itu, pastilah tahu arah. Kami memasuki area hutan lagi. Sepanjang setapak itu terdapat beberapa jalan sempit dan ditumbuhi belukar.


"Kita harus lewat mana?" Aku mulai cemas memperhatikan beberapa jalan aneh yang bercabang.

"Lewat sini," ajak Keny.

Aku hanya bisa mengikutinya lagi. Di tengah hutan kami bertemu seorang lelaki gondrong duduk di pondok. Dia menatap ke arah kami. Aku hanya melempar senyum.

Aku heran mengapa ada orang tinggal di hutan. Mungkin hanya seorang penebang pohon, pikirku.

Lalu kami melanjutkan perjalanan. Hal aneh terjadi, kami melewati jalan yang sama. Tapi aku berpikir positif. Mungkin memang sama. Dan lagi-lagi kami bertemu orang yang sama sebelumnya. Rasa aneh mulai menghantuiku. Aku menoleh ke arah Keny di belakangku.

"Kenapa kita di sini lagi?" tanyaku.

Tapi dia hanya diam. Pikiran negatif mulai bercokol pada benakku. Astaga. Aku tersadar. Wanita di antara dua lelaki asing dan berada di hutan. Alarm di otak membuatku lebih waspada. Dan aku tak tahu, lelaki di pondok benaran manusia atau bukan.

Birahi yang ranum mungkin sedang berpendar di otak keduanya. Itulah pikirku. Entah apa yang ada pada tempurung kepala mereka. Ini sungguh menakutkan. Kecemasan demi kecemasan menggelayutiku. Aku hanya bisa berdo'a dalam hati.

Saat itu cuaca mulai gelap meskipun masih sore hari. Aku memberi kode kepada Keny untuk berpamitan dan meminta izin untuk lewat pada orang itu. Orang itu tak bersuara hanya mengangguk. Kami pun berlalu dari situ. Sesekali aku menoleh untuk memastikan apakah dia manusia atau bukan. Orang itu masih terlihat. Rasa lega pun menyeruak di dada.

Anehnya kami kembali berada di setapak bercabang untuk ketiga kalinya. Keadaan itu membuatku tersadar bahwa kami tersesat.

Aku menoleh lagi ke belakang. Selama ini, dia selalu berada di belakang. Mungkin ia menjagaku.

"Kita tersesat Keny. Sudah tiga kali kembali di tempat sama." Aku merasakan wajahku kelu, tegang di antara keringat yang membasahi wajah. Kulihat Keny pun mulai pias. Dia hanya bisa diam.

"Coba lewat sini!" ajaknya untuk melewati salah satu setapak kecil penuh belukar dan aku sekali lagi mengiyakan.

Lagi-lagi kami hanya berputar di tempat sama.

Aku benar-benar ingin menangis saat itu. Aku bersama lelaki asing. Kekhawatiran tentang Keny berlaku mesum menambah kencang detak jantung dan gelisah di dada. Apalagi langit kian gelap.



Kepalaku mulai pusing disebabkan kelelahan, takut juga bingung. Tiba-tiba sesosok bayangan hitam tampak di antara belukar dan pohon yang seakan memperhatikanku. Oh tidak! Bayangan apa itu? Aku menutup mata lalu mengalihkan pandangan ke tempat lain dan berusaha menepisnya. Rasa takut kian kuat mulai menjalariku.

"Ryyyyy ...." Terdengar suara memanggil.

Aku menoleh ke Keny dan bertanya, "Apa kamu memanggilku juga melihat sesuatu yang hitam?" Hanya kudapatkan gelengan kepala darinya.

Lalu itu bisikan siapa? Aku bergidik menghadapi kenyataan ini. Hal yang tak pernah kualami sebelumnya. Tersesat di antara lelaki baru kukenal juga sesuatu mengerikan.

"Ryyyyy ...."

Suara panggilan itu terdengar lagi.

"Keny ... cari di mana jalannya. Aku takut. Suara itu memanggil namaku lagi. Apa kamu tidak dengar yah?"

Aku mulai merengek pada lelaki menyebalkan itu. Rasanya ingin menghambur di pelukannya tapi kutahan. Jangan konyol, Ry. Berpikirlah normal. Kamu 'kan punya Tuhan.Terdengar satu bisikan di hati. Itu membuatku terbantu berada dalam kecaman rasa takut dan hari mulai terlihat kian gelap dari sebelumnya ataukah ada sesuatu lain yang memanipulasi waktu. Pertanyaan-pertanyaan itu saling berebut di antara rasa takut dan keringat dingin yang mengucur.

Lalu, aku mengusap wajah, menarik napas panjang, memejamkan mata serta mulai mengingat tentang apa pun yang kuketahui apabila tersesat. Meski rasa khawatir ada, apabila seketika Keny berlaku mesum di saat ku menutup mata.

Pikiranku kocar. Aku terus mencoba. Dalam keadaan mencekam, begitu susah untuk mencerna. Akhirnya teringat satu cara.

Aku lalu berdo'a dan membaca alfatihah 21 kali. Dan kutekankan pada ayat ke-6. Setelahnya ku membuka mata.

"Lewat sini, Ry!" ajak Keny kemudian.

Aku menolak dan berjalan terus. Kulihat Keny berdiri mematung.

"Ikuti aku!" perintahku dan ia hanya mengikuti di belakang. Tak kupedulikan suara-suara memanggil dan bayangan hitam sejak tadi mengikutiku. Kumantapkan langkah seraya tetap fokus berdo'a.

Akhirnya kami tak berada di tempat sama lagi. Suasana yang semula gelap tiba-tiba berubah terang. Suara dan bayangan itu, kini hilang. Aku bernapas lega. Lalu suasana gelap tadi? Oh tidak! Ternyata hal mengerikan baru saja kualami.

Aku mengucap syukur dan merilekskan otot yang kaku.

"Tadi kita tersesat. Apa benar kamu tidak dengar namaku ada yang memanggil juga tentang bayangan hitam?" Aku bertanya sekali lagi untuk memastikan.

"Tidak!"

Jawaban itu benar-benar membuatku tertegun. Aneh! Kenapa cuma aku yang bisa melihat sosok gelap itu. Aku bertanya-tanya pada diri sendiri.

***


Aku mengeluh lelah berjalan. Lagi-lagi Keny menawari untuk menggendong. Kujitak saja kepalanya tapi ia menghindar.

Akhirnya kami bertemu teman lainnya.

"Kalian dari mana saja? Kami mencari ke mana-mana," todong Darna.

"Kalian juga kemana. Tiba-tiba menghilang?" Bukannya menjawab aku malah balik bertanya.

Kulihat Keny berbicara dengan LL. Lalu LL menjawab pertanyaan Darna, "Mereka tersesat."

"Benar begitu?" Darna bertanya penasaran sekaligus cemas.

Aku dan Keny mengangguk, "Ceritanya panjang Dar," jawabku.

"Makanya jangan ribut dan teriak memanggil. Sudah di peringatkan 'kan," sahut Rohim.

Aku hanya diam mendengar pernyataan itu. Sekarang aku benar-benar paham bahwa hutan atau gunung ada penghuninya dan kita harus menghormati tata krama juga larangan.

"Sudah sore untuk ke induk air terjun. Waktu kita tak banyak dan hari sudah mulai malam," ucap salah seorang dari kami.

"Kita ke anak air terjun saja!" ajak yang lain.

"Ini pasti karena aku yang tersesat!" ucapku memelas.

"Yang penting kamu selamat. Itu penting. Untuk ke induk air terjun bisa lain waktu." Ucapan Sholeh menenangkanku.

Suara serupa lolongan anjing terdengar dari satu sudut. Dua teman memegang benda pipih panjang yang tajam muncul.

"Itu mereka dari mana?" Aku bertanya pada Chaidir yang berada tepat di depan.

"Mereka pun mencarimu," jawabnya.

Aku terharu mendengarnya. Ternyata mereka sangat peduli padaku. Aku benar-benar merasakan rasa persaudaraan juga solidaritas meski di antara kami beberapa tak saling mengenal.

***

Kami menghabiskan hari yang tersisa setelah suasana mencekam itu, melepas penat dan menceburkan diri di sungai juga mengguyur tubuh pada air terjun. Meski disebut anak air terjun. Namun, tetap indah dengan batuan hitam yang cadas dan kokoh menjulang tinggi dialiri air dari atas tebing. Pepohonan hijau begitu menyegarkan.

Diubah oleh rykenpb 30-09-2019 15:45
zafinsyurgaAvatar border
swiitdebbyAvatar border
dieq41Avatar border
dieq41 dan 39 lainnya memberi reputasi
40
16.1K
331
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
The Lounge
The Lounge
icon
922.6KThread81.8KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.