yuni.wahyuni114
TS
yuni.wahyuni114
Aku Tak Ada Niat Mengganggu, Jangan Ikuti Aku!


Jangan baca sendirian!


Awalnya, aku hanya ingin merasakan punya pengalaman mendaki sebuah gunung. Terutama tentang aneka rumor yang sering terdengar dari banyak orang tentang kisah teror, misteri, hingga perwujudan nyata dari makhluk dunia lain.

Sebagai anak yang masih berumur belasan tahun, aku pun tak terlalu menggubris apa kata orangtua saat meminta izin untuk mendaki bersama ketiga sahabatku dan tiga pendaki senior lainnya.

"Apa nggak lebih baik kamu jalan-jalan aja di sekitaran kota, Nduk? Gunung itu bahaya!" Pesan Emak yang hanya kuanggap gurauan belaka.

"Mak, aku hanya mau mendaki. Apa salahnya Emak sama Bapak izinkan saja?" bantahku yang akhirnya membuat Bapak angkat bicara.

"Soal kamu mau pergi kemana, bapak tak akan melarang. Hanya saja, jiwamu masih begitu menggebu, Nduk," ucap Bapak terus menyeruput kopi hitam yang telah Emak hidangkan. "Apa tidak lebih baiknya kamu urungkan saja dulu, niat mendakimu bersama kawan-kawan?"

Aku mendengus kesal. Membiarkan semua tatapan mereka mengantarku menuju kamar.

"Itulah sebabnya, kalau bapak suka manjakan anak wadon!" cetus Emak masih mampu kudengar dari balik pintu kamar.

Mataku sembab. Membayangkan mereka berenam akan pergi tanpa aku ketika nanti, waktu yang telah ditentukan itu pun datang.

Klunting!

[Di rumah nggak?] Pesan Arfi masuk tanpa aba-aba atau bahkan salam.

[Nggak usah banyak nanya. Kayak nggak tahu aku aja!] balasku sewot, sesewot kalau mau datang bulan.

[Oke. Aku sama Mas Raffa mau ke rumahmu sekarang!]

Tak ada lagi balasan. Mataku mengerjap sekian kali, sebelum akhirnya pintu depan diketuk pelan.

"Assalamualaikum, Li-na!" panggil suara Arfi dengan lantang.

"Waalaikumussalam. Liinnn ... temanmu datang tuh!" ketuk Emak dari balik pintu kamar. Aku menggamit jilbab panjang yang tergantung rapi di dekat lemari belajar.

"Waalaikumussalam, masuk, Fi, Mas!" sapaku dengan senyum sedikit terkembang."

"Mukamu nggak enak banget, Lin. Kenapa sih?" tanya Arfi pelan.

"Enggak kenapa. Eh, aku buatin minum dulu, ya? Kalian tunggu sebentar."

"Oke," jawab mereka kompak seperti koor.

***

Izin pada kedua orangtua untuk naik ke gunung sudah ada di tangan. Saatnya perjalanan panjang dimulai dengan beberapa kekhawatiran.

"Kamu kenapa, Lin? Kayak nggak semangat gitu," tanya Arfi memastikan.

"Aku hanya sedang datang bulan, Fi. Apa nggak apa kalau aku tetap ikut naik?"

Arfi nampak tengah berpikir, sebelum akhirnya dia pun berbisik.

"Nggak apa. Asal jangan buang sampahmu sembarangan."

Aku mengangguk paham. Seolah semuanya akan sesuai dengan yang telah direncanakan.

"Fi, Lin!" panggil Mas Aji sambil menepuk bahu kami.

"Berdoa dulu kita!" tegasnya yang membuat kami berdua akhirnya senyum-senyum kemudian.

"Kamu sih, Lin! Asyik ngajak ngobrol aja," sambut Arfi sambil mencubitku di lengan.



"Sebelum kita masuk kawasan gunung, alangkah lebih baiknya, kita sama-sama berdoa menurut kepercayaan masing-masing. Berdoa, dimulai!"

Cukup lima menit kami melakukan doa bersama. Langkah demi langkah menyusur Gunung Sumbing kian pasti. Meski di beberapa titik kami mengambil waktu untuk berhenti.

"Kenapa berhenti di sini, Mas?" tanyaku pada pendaki senior lain.

"Ini belum ke pos satu. Kita masih akan melewati beberapa perkebunan. Baru setelah itu kita akan melewati namanya air terjun. Nah, saat lewat air terjun nanti, jangan ada yang bersiul, ya?"

Pendengaranku benar menangkap apa yang tengah dijelaskan. Namun pandangan mataku menangkap sekelebat bayangan hitam yang ada di belakang.



"Siapa, ya?" tanyaku sendiri dan yakin tak ada yang mendengar.

Dengan langkah yang pasti, kulangkahkan kaki menjauh dari rombongan.

Semakin dikejar, bayangan sosok hitam tersebut kian jauh. Perlahan tapi pasti, aku mundur. Menjangkau kembali kewarasan.

"Aku datang tidak untuk mengganggumu, pergilah. Jangan ikuti aku!"

Teriakanku belum membuahkan hasil. Sosok hitam yang awalnya hanya bayangan, kian memperjelas kewujudan.

"Kamu lihat apa, Lin?" tanya Mas Aji sambil mengguncang badan.

"Eh, Mas!" kataku gugup, tapi telunjukku menunjuk arah bayangan hitam itu menghilang.

"Apa? Kenapa?" tanya mereka kompak.

Aku tak menjawab apa pun. Sampai mulai di pertengahan jalan ....

"Lin!" panggil Arfi sedikit berbisik.

"Apa, Fi?" jawabku pelan sebab menahan hawa dingin.

"Kamu nggak kenapa-napa kan, Lin?"

"Nggak pa-pa, Fi. Tenang aja," kataku mantap, seraya membalik badan dan tersenyum.

Sosok hitam itu ada lagi di barisan belakang!

Aku bungkam. Membuang semua pemikiran buruk tentang apa pun yang sungguh tak masuk akal.



Sekitar pukul sebelas malam, kami sampai di pos pertama. Mendirikan tenda, lalu mencari sumber air yang ada di bawah.

"Lin, mau ikut sekalian nggak?" tanya Mas Aji bersama Mbak Upit yang sudah siap dengan ember dan senter.

Aku mengangguk. Sebelum akhirnya minta izin ambil pembalut.

"Jangan lama-lama. Keburu hujan, nih!" teriak Mas Aji sudah berada lumayan jauh dari tenda.

Mbak Upit setia menungguku. Meski beberapa kali, aku lihat, bayangan-bayangan obor dari jalur pendakian lain.

"Mbak, apa kalau malam begini, masih ada pendaki yang melanjutkan perjalanan?"

"Ada," jawabnya singkat lalu menarik lenganku supaya berpegangan erat.

"Yang kuat megang tangan, Mbak. Turunan di sini licin," katanya masih dengan sebelah tangan yang lain memegang senter.

"Maaf merepotkan ya, Mbak?" ujarku tulus setelah kembali ke tenda.

Mas Aji, Arfi, dan yang lain telah siap memasak air. Membuat mie rebus, hingga akhirnya hujan turun tanpa dengan lebatnya tanpa permisi.

"Kalian masuk tenda gih!" perintah Mas Aji yang masih asyik dengan suapan mie.

"Mas Aji nggak sekalian?" tanya Mbak Upit meyakinkan.

Mas Aji menggeleng. Membiarkan tersisa kami berempat di bawah tenda sederhana sebagai dapur untuk memasak.

"Lin, Mas boleh tanya?" ujarnya mengawali percakapan.

"Boleh, Mas. Tanya aja."

"Tadi, setelah masuk ke area gunung, dan sebelum sampai di pos satu ini, kamu kenapa?"

Dua sahabatku yang sedari tadi diam ikut menimpali.

"Iya, Lin. Kami takut tahu! Kamu tiba-tiba teriak, tiba-tiba diam pas ditanya."

Aku menghela napas. Membuang semua ketakutan yang mulai merayap.

"Tadi itu, aku lihat bayangan hitam di bawah, Mas. Setelah kita doa, dan juga waktu mau ambil air."

"Masih ngikutin juga?" sambungnya yang membuat kami bertiga saling lempar pandangan.

"Mas Aji bisa lihat?"

Dengan mantap, Mas Aji pun menjawab, "Iya. Aku bisa melihat mereka. Lagian, sudah kuduga dari awal, kejadian kayak gini pasti akan terjadi di grup kita."

"Kenapa, Mas?" tanya Arfi mewakili rasa penasaranku juga.

"Rumor soal anak perempuan tidak boleh naik gunung waktu menstruasi, pernah dengar?"

"Pernah, Mas," jawabku mantap.

"Nah, sebab itulah. Makanya sosok hitam itu menampakkan wujudnya ke kita."

Seperti tak ada beban, Mas Aji melanjutkan ceritanya. Meski ketika dirasa-rasa, bulu kudukku sudah merinding ke mana-mana.

"Nggak usah takut. Mereka sama kayak kita, kok. Hanya beda alam saja."

"Itu kan bagi, Mas Aji. Lha bagi kami?" Protes Arfi, lagi-lagi mewakili suara hati ini.

"Ya, sebab mereka ada. Bukan untuk mengganggu. Tapi untuk menguji seberapa kuat iman kita," jelasnya terus mengusap dada.

Kami mengangguk. Membenarkan apa yang barusan Mas Aji jelaskan.

Tepat tengah malam, hujan kembali mengguyur. Banjir melanda tenda yang kami tempati. Mas Aji terjaga.

"Belum tidur, Mas?" tanya pendaki lain yang ada di dekatnya. Sontak, aku pun terbangun. Mencari sumber suara. Tak ada siapa-siapa di sana.

'Suara yang barusan? Ah, entah itu apa!'

***



Pagi telah menampakkan sebagian sinar mentari. Kami bergegas bangun, mencari sumber air untuk cuci muka dan keperluan yang lain.

"Fi, Mbak, nanti ikut naik ke puncak ndak?" tanyaku pada mereka.

"Ndak, Lin. Perutku sakit, kayaknya mau tunggu tenda aja," jawab Mbak Upit sambil memegangi perut.

"Aku juga ndak mau ikut naik ke puncak, Lin. Takut nggak kuat, malah nanti ngerepotin. Sana kalau kamu mau ikut!" jawab Arfi terus tersenyum geli.

"Kenapa senyummu nyebelin gitu?" tanyaku mulai kesal.

"Ndak kenapa. Jangan lupa bawa pembalut untuk ganti nanti hihihi," jawab Arfi cekikikan yang disambut cipratan air dingin dari Mbak Upit juga aku.

"Kaliaaannnn ...!!" teriak Arfi yang membuat kami bahagia bersamaan.

***

"Jadi, siapa saja yang mau nerusin ke puncak?" tanya Mas Aji saat kami berkumpul.

"Saya, Mas," jawab dua pendaki senior.

Mas Aji menatapku.

"Nggak ikut, Lin?"

"Pengen ikut, Mas. Tapi ...."

"Tapi datang bulan? Nggak apa. Sudah pagi dan mau siang ini!" katanya yang berhasil menciptakan pelangi di bibir ini.

"Ikut, ya?" tanya dua pendaki senior sekali lagi.

Aku mengangguk mantap. "Iya, Mas."



Beberapa pos sudah terlewati. Perjalanan panjang telah juga kami lalui. Bersama tiga pendaki senior, aku jadi satu-satunya perempuan yang naik sampai titik ini.

"Ini namanya pos Pasar Watu. Di sinilah biasanya banyak terjadi badai kalau mau hujan atau pun setelah turun hujan. Beruntung kita naik sudah pagi, jadi sampai di puncaknya nanti. Kita nggak kesorean."

"Puncaknya masih jauh, Mas?" tanyaku penasaran.

"Nggak. Tuh!" Tunjuknya pada sebuah gundukan berupa bebatuan terjal.

"Eh, busyet! Beneran harus muterin itu batu biar sampai ke puncak, Mas?"

"Ya, beneran," jawabnya mantap tanpa senyum gurauan.



"Nanti kalau jatuh gimana?" sekali lagi, aku bertanya, penasaran.

"Bismillah saja!"

***

Pukul satu siang, kami sudah kembali turun ke pos awal. Tempat dimana tenda kami tinggal.



Sungguh, bukan jalan yang mudah bagi pemula sepertiku kala itu. Harus penuh kehati-hatian supaya tidak jatuh atau bahkan salah jalan.

"Pelan-pelan saja turunnya. Jangan lari-lari. Tak akan kemana gunung di kejar!"

Aku dan dua pendaki senior hanya mengangguk, paham.

"Bismillahirrahmaanirrahiim ...."

***

Sesampainya di pos satu--tempat tenda kami berada--seluruh perlengkapan sudah siap dirapikan.

Tinggal beberapa sajian sederhana untuk kami berempat makan.

"Makan siang dulu, gih! Sebentar lagi kita pulang."



Seluruh jalan sudah ditempuh. Semua tempat telah kami kunjungi. Saatnya menerapkan:

Quote:


Beberapa foto lain sebelum sampai di basecamp!



Suasana menjelang sore hari, mulai mendung lagi.



Ngerasain kaki mulai cenut-cenut setelah perjalanan๐Ÿ˜…๐Ÿ˜…๐Ÿ˜…๐Ÿ˜…



Sejauh apa pun kamu pergi, jangan lupa jalan pulang!



Tetap semangat, lanjutkan perjalanan, dan jaga kelestarian lingkungan!

Spoiler for Video untuk penenang hehehe:



Taiwan, 27 September 2019

Sumber cerita: pengalaman pribadi
Sumber gambar: Instagram dan dokumen pribadi
Diubah oleh yuni.wahyuni114 26-09-2019 19:38
sebelahblogsomeshitnesszafinsyurga
zafinsyurga dan 19 lainnya memberi reputasi
20
6.4K
58
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
The Lounge
The Lounge
icon
922.4KThreadโ€ข81.2KAnggota
Terlama
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
ยฉ 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.