elvici
TS
elvici
Dendam Santi, Si Penunggu Jurang Gunung Tujuh
Quote:


“Kita dirikan tenda di sini. Ilham, bantu, ya. Cewek-cewek udah kelihatan capek.” Atman menurunkan carrier-nya.

“Oke.” Ilham menjawab singkat. Mengeluarkan tenda domemiliknya dan langsung mendirikannya sendiri.

Sadiq dan Yadi berinisiatif mengumpulkan ranting dan potongan kayu kering yang berserakan, untuk menyalakan api mengusir dingin malam nanti.

Aku membantu Sadiq dan Yadi. Sedangkan Ira dan Santi yang tampak kelelahan menurunkan ransel mereka masing-masing lalu duduk di atasnya.

Pegal membungkuk memunguti patahan ranting, aku berjongkok memandang sekeliling. Di hutan, gelap cepat sekali turun. Angin berembus sesekali. Atau perasaanku saja? Setiap menyapu kulit, pori-poriku berontak.

Tenda selesai tepat saat matahari menghilang dan berganti gelap malam. Aku, Ira dan Santi memasukkan barang bawaan ke tenda Atman, lalu menyusun carrier para cowok ke dalam tenda Ilham. Yadi sudah menjerang air di api unggun kecil yang dibuat sekaligus menerangi tenda. Sadiq dan Ilham duduk berjejer mengelilingi api, menyiapkan makan malam. Mereka berdua hobi memasak. Sehingga setiap kali kami mendaki, mereka otomatis menjadi koki dengan senang hati. Kami para cewek malah tak diberi tugas apa-apa.

Atman duduk di pintu tenda yang tersibak, sibuk mengutak-atik kamera DSLR-nya, lalu memeriksa tripot kecil. Aku menghampiri.

“Man, ini bukan tempat yang biasa dipakai pendaki untuk bermalam.”

“Dari mana kamu tahu?” Atman menghentikan aktivitasnya.

“Kulihat ranting-ranting yang kukumpulkan tadi, ada banyak sekali di sekitar sini. Aku nggak lihat ada jejak kaki di tanah atau ranting yang patah terinjak.” Aku menjelaskan dengan suara pelan. Khawatir mengganggu Ira dan Santi di tenda sebelah. Kupikir, mereka kelelahan, jadi sejak sore tak banyak bicara, hanya menurut saja pada rombongan.

Atman diam. Aku sedikit tak suka reaksinya itu. “Atman, menurutmu, apa kita aman bermalam di sini?” desakku.

“Memangnya apa yang kaupikirkan? Kita, kan, memang tak mengikuti jalur pendakian. Sudah, hilangkan pikiran burukmu.”

Aku diam. Atman ada benarnya. Kami tak mengikuti jalur mendaki karena satu alasan. Pendakian kali ini bukan untuk menuju puncak, tetapi berburu foto flora langka. Selain pendaki, kami juga anggota komunitas fotografi kampus.

Kali ini misi kami adalah mengambil foto berbagai jenis anggrek. Gunung Tujuh di Kabupaten Kerinci, Jambi, dengan danau kaldera di atasnya, adalah pilihan tepat. Aku tak sabar ingin menemukan bunga kantong semar (Lt. nepenthes boschiana), memotret keindahan sekaligus keunikannya.

“Firasatku tak enak, Man. Aku—“ Ucapanku menggantung. Atman memandangku dingin dengan bibir rapat, gerakan tangannya yang sedang membersihkan lensa kamera terhenti.

Aku cepat berdiri meninggalkannya. Terlepas dari dia sebagai kepala rombongan dan kepemimpinannya selama ini bisa diandalkan, Atman juga bisa sangat menyebalkan. Tak elok bertengkar di tengah hutan begini, di mana sepertinya malam ini hanya kami yang ada di sini. Atau, hanya kami yang sedang menumpang di daerah ini.

“Duduk, Ta. Kamu nggak kedinginan, ya?” Yadi memanggilku sambil beringsut memberiku tempat. Aku mengurungkan niat ke tenda dan berjalan menuju para cowok dekat api unggun.

Jantungku berdetak kencang karena terkejut. Ada empat orang mengelilingi api. Kapan Atman duduk di sana? Bukankah sebentar ini aku baru saja meninggalkannya? Aku berbalik dan menoleh cepat ke arah tenda Atman. Tak sadar aku mundur dan terjatuh. Atman masih di posisi duduknya tadi.

Sepasang tangan menyentuh pundakku, membuatku menjerit tertahan. “Hati-hati. Kamu kenapa?” Yadi memandangku cemas sambil membantuku berdiri. “Mukamu pucat banget.”

“Itu ... itu tadi ...” Aku tergagap ketakutan. Mataku mengedar sekeliling, hanya ada Yadi, Sadiq dan Ilham. Tak ada orang keempat. Sadiq membantuku duduk di sepotong kayu.

Ilham menyodorkan cangkir berisi air kepadaku. “Minum, Ta. Kamu abis lihat apa?”

Baru saja aku membuka mulut, suara jeritan minta tolong terdengar dari belakang tenda cewek. Semua berhamburan menuju sumber suara. Aku yang masih ketakutan pun menyusul segera, tak mau ditinggal sendiri. Suara Ira.

“Santi ... Santi hilang.” Ira keluar setengah berlari dari balik pepohonan.

“Hilang?” Atman yang terakhir tiba berteriak di belakangku. Aku terlonjak kaget. “Bagaimana bisa hilang?” teriaknya lagi.

Aku menyongsong Ira yang menangis. “Santi minta ditemani buang air. Aku kira tak jauh, makanya aku tak minta tolong kalian. Santi bilang ada air terjun di dekat sana.” Ira menunjuk ke kegelapan hutan. “Santi berjalan duluan, aku biarkan saja karena kupikir ia kebelet banget. Aku udah susul dan cari-cari di sekitar sana, tapi aku nggak ketemu Santi.”

“Ayo. Kita cari!” Atman berbalik ke tenda, disusul Yadi dan Ilham. Aku tertegun bingung, tak tahu harus berbuat apa. Hanya memeluk pundak Ira dan mengelus menenangkannya. Padahal, aku sendiri masih gemetar, belum hilang syokku tadi. Ada apa ini?

Para cowok kembali membawa senter di masing-masing tangan. Kami bergegas. Sadiq yang membawa parang berjalan duluan, menebas belukar, mengikuti arah jalan yang ditunjuk Ira tadi. Aku dan Ira mengikuti mereka, sejujurnya aku diselimuti ketakutan yang pekat, sepekat kelam yang menyelimuti hutan ini. Cahaya senter tak banyak membantu.

Suara teriakan kami memanggil Santi bergaung, hutan mendadak ramai karena gema suara kami bersahutan.
Ilham yang pertama menyadari hal itu. Sehingga kami berhenti memanggil-manggil.

Kengerian mencekam ketika gema suara terakhir berhenti, berganti kesunyian. Bahkan suara jangkrik dan serangga malam pun tak ada. Santi tak ditemukan. Kami sudah berjalan berputar-putar.

“Di mana air terjun di sini? Santi bilang begitu, dari mana dia tahu?” Ilham berkata berbisik. Kami semua memandang Ira. Cahaya meredup. Senter Yadi dan Ilham padam kehabisan baterai.

“Aku nggak tahu.” Suara Ira tercekat di tenggorokan.

Sebelum ia kembali menangis, kami memutuskan kembali saja. Sudah tengah malam. Tak ada yang mau membayangkan terjebak dalam hutan tanpa penerangan dan tanpa peralatan apa pun. Kami kembali ke arah tenda diterangi dua senter Atman dan Sadiq.

Bekas tebasan belukar sedikit membantu arah. Kami kembali dalam diam, tak ada yang berbicara. Semua sibuk dengan pikirannya—atau ketakutannya masing-masing. Atman berjalan di depan, beriringan kami, dan Sadiq paling belakang. Akhirnya nyala api unggun terlihat.

Aku menjerit kaget ketika tiba-tiba Atman berlari kencang menyongsong sesuatu. Kami tertegun sesaat melihat ke arah api unggun. Santi duduk memeluk lutut, tubuhnya berayun-ayun ke depan dan ke belakang. Segera kami menyusul Atman.

“Santi! Kamu ke mana tadi?” Ira berteriak histeris bercampur lega. Kami merubunginya. Santi tak menjawab seolah tak mendengar.

Aku menarik kembali tanganku ketika hendak memeluk Santi, melepaskan kecemasan. Dingin sekali. Telapak tanganku basah. Kami semua baru menyadari bahwa sekujur tubuh Santi basah kuyup, pakaiannya lekat ke kulitnya, dan rambutnya pun tergerai basah. Poninya masih meneteskan air dan sebagian mengalir ke wajahnya.

Santi seolah tak menyadari kehadiran kami. Ia tetap diam dan tubuhnya masih berayun-ayun. Ia terlihat menggigil kedinginan. Matanya kosong memandang nyala api. Ira mengguncang-guncang tubuh Santi sambil menangis. Aku menengahi.

“Bawa masuk saja, Ra. Tolong kau ganti bajunya. Santi tak akan bisa ditanyai sekarang.”

Ira menurut. Ia memapah Santi masuk ke tenda. Aku berjalan melewati Sadiq dan Ilham yang berjongkok membereskan makan malam kami yang tumpah. Sial. Perutku langsung terasa perih.

Aku menarik tangan Atman. “Apa kubilang, firasatku benar. Kita berada di tempat yang salah! Kamu nggak dengarkan aku!” kataku berteriak tertahan.

Atman mengusap lengannya yang sakit kucengkeram. “Lalu bagaimana? Kita tak bisa pergi malam ini. Kita mesti tunggu pagi.” Arman tak kalah tertekan. “Kamu istirahat saja. Biar kami cowok berjaga.” Atman melunak, mengerti melihat aku yang masih syok.

Aku pergi melihat keadaan Santi. Ia sudah berganti pakaian. Ira duduk memijat-mijat lengan Santi, menemaninya yang masih diam. Pandangannya masih kosong, tapi sudah terlihat lebih tenang. Tahu tak bakal bisa tidur, aku menyibak pintu tenda terbuka agar kami bisa mengawasinya, lalu bergabung duduk mengelilingi api unggun.

Yadi melemparkan sepotong kayu ke nyala api. Percikan bara beterbangan. Aku memandanginya. Sudut mataku berkali-kali menangkap pergerakan di balik bayangan pepohonan. Aku mengerti ada 'sesuatu' di sekitar kami. Indraku sensitif akan hal-hal dimensi lain. Biasanya Atman melibatkan aku mengambil keputusan dalam setiap ekspedisi rimba kami.

Kami berbincang-bincang kaku. Namun, jelas, tak ada yang berani membahas kejadian tadi. Malam bakalan panjang. Ditambah, kami melewati malam ini dengan perut kosong.
*


Quote:

*

“Tata! Bangun, Tata!” Aku membuka mata. Wajah Sadiq memenuhi pandanganku. Ia sedang memercikkan air ke wajahku. “Maaf, kau susah dibangunkan. Kamu mimpi dan menjerit-jerit.”

Sudah pagi. Tenda sudah dibongkar. Bekas api unggun tadi malam sudah ditimbun tanah. Atman datang membawakan ranselku. “Ekspedisi kita batalkan. Kita pulang saja. Santi panas tinggi.”

Aku berdiri. Sepotong kayu yang kududuki semalam menarik perhatian. Ada noda darah.
*

Dalam bus perjalanan pulang, kudengar Ira menanyai Santi yang duduk di sebelahnya. Santi menceritakan kejadian yang dialaminya malam itu.

“Aku bertemu Santi.” Ia menjawab singkat.

“Apa? Santi?” Ira terkejut heran. “Kamu Santi.”

Santi menggeleng. “Aku bertemu Santi. Ia mengajakku mandi dan bercerita bahwa ia dibunuh kekasihnya. Ia didorong ke jurang itu setelah dibujuk memisahkan diri dari rombongan mendaki."

Aku merapatkan diri ke mereka berdua. Berusaha mencocokkan mimpiku dengan cerita Santi.

"Ia tak terima dan membalas dendam. Santi yang membuat kekasihnya tersandung ketika melarikan diri setelah melakukan perbuatannya. Kepalanya terbentur. Kejadiannya adalah di tempat kita bermalam.” ***
(Tamat).


Ilustrasi gambar: geulgram
Diubah oleh elvici 03-05-2020 15:17
sebelahbloginfinitesoulzafinsyurga
zafinsyurga dan 31 lainnya memberi reputasi
32
6.9K
95
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
The Lounge
The Lounge
icon
922.4KThread81.3KAnggota
Terlama
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.