lapautekchy01Avatar border
TS
lapautekchy01
Hijrah Terakhir
Hijrah Terakhir

Mami mematung dengan napas memburu. Baru kali ini beliau begitu marah pada keputusanku. Padahal selama ini Mami selalu mendukung apa pun kegiatanku, termasuk di luar pendidikan formal.

“Mami tidak setuju!” Matanya merah menahan marah.

“Tapi, Mi!”

“Tidak ada tapi-tapi-an! Mami mau kamu melanjutkan kegiatan kamu di sanggar tari, titik!” Wajah Mami terlihat garang, baru kali ini aku melihat Mami begitu berang dengan keputusanku.

Mami meninggalkanku sendiri di ruang tamu. Aku berharap Papi segera pulang. Jadi, aku bisa berkeluh kesah pada beliau. Setidaknya Papi tentu bisa menekan amarah Mami, karena sejak awal Papi tidak suka aku ikut sanggar tari dan Papi pernah mengutarakan keberatan itu.

“Papi tidak mau kamu ikut menari. Nanti pakaian kamu lebih terbuka dan ditonton banyak orang. Papi tidak mau masuk neraka hanya karena anak Papi tidak menutup aurat.”

“Kan tari daerah Pi, pakaiannya sopan-sopan.” jawabku enteng.

Papi mengembuskan napas berat, beliau masih keberatan.
“Suatu saat kamu pasti akan menari klasik, tari kreasi dan sebagainya. Setiap anak didik akan mengikuti aturan sanggarnya, dan Papi yakin bajunya pasti mengikuti tema pertunjukan.”

“Tapi, Pi. Ini cita-cita Azi dari kecil lho, Pi. Ingin jadi penari terkenal.” ujarku lirih.

Bagaimana pun alasan yang kuberi, Papi tetap keberatan. Hingga akhirnya Mami menguatkan aku dengan satu kalimat efektif.
“Papi mau anaknya drop, karena kemauan dan hobinya terhalang?” Mata Mami menatap tajam ke Papi.

Lelaki pertama dalam hidupku tersebut menunduk. Menentang Mami, berarti menimbulkan neraka di rumah ini. Karena pertikaian akan menghancurkan kebahagiaan sebuah rumah tangga, meskipun hanya gara-gara anak.

“Ya, sudah! Dengan catatan harus sopan dan tidak boleh terbuka!”

“Yeeees!” Aku jingkrak-jingkrak, lantas memeluk tubuh Mami yang proporsional. Mami kan mantan pramugari, ya, pastilah kece badai.

**
Pergantian musim kulewati bersama entakkan kaki dan gemulainya tubuh mengikuti ritme musik pengiring. Aku tumbuh menjadi salah satu di antara penari berbakat di sanggar.

Banyak perlombaan yang membuatku semakin terkenal. Apalagi wajahku yang oriental membuat namaku semakin melambung. Tidak hanya di koran, di sosmed dan di media pemberitaan lainnya, namaku selalu muncul sebagai pemenang bahkan fotoku selalu ikut ambil posisi di setiap postingan.

Siapa yang tidak kenal Azizah Kiflay, penari berbakat sanggar Batu Jonggi dan pemenang debat bahasa inggris tingkat SLTA se propinsi. Rambutku yang hitam panjang, jika digerai sampai ke betis, dan jika terpapar cahaya matahari atau sinar lampu akan berkilau indah. Semua kelebihan fisik itu, ikut mendongkrak popularitasku sebagai penari.

Tapi kini, semenjak kegiatan rohis masuk sekolah mulai kuikuti. Aku mengalami titik balik yang luar biasa merubah pikiran. Ternyata Papi benar. Seorang wanita wajib menutup auratnya kalau dia sayang pada ayahnya. Dan aku tidak ingin Papi masuk neraka karena diriku yang masih mempertontonkan aurat di hadapan banyak mata yang bukan mahram.

Ya, Rabb.
Apa yang kucari di dunia ini? Apa yang bisa kubanggakan? Sementara akhirat jauh lebih abadi dari semunya dunia.

Air mata luruh membasahi pipi, tubuhku terguncang hebat. Aku terisak di sudut ruangan ketika muhasabah berlangsung selesai shalat dzuhur.

Inikah hidayah? Inikah rasanya jatuh cinta pada Mu? Ketika aku malu pada diriku, ketika aku baru sadar kalau apa yang menjadi cita-citaku bisa melemparkan Papi ke neraka.

**

Setelah Mami menghilang di balik pintu kamarnya, aku pun masuk dan mengurung diri di kamar dengan air mata berlinang. Menunggu Papi pulang dari kantor.

Aku sangat berharap, sepulangnya Papi langsung ke kamar dan mengajak makan malam bersama. Setidaknya gencatan suara antara aku dan Mami akan berakhir di meja makan melalui penasehat terbaik di rumah ini, yaitu Papi.

Mami pun sepertinya tetap pada pendiriannya, tidak memedulikan aku yang kelaparan. Biasanya Mami pasti rewel, jika aku tidak makan. Ah, sudahlah mungkin Mami perlu menenangkan diri.

Teringat pertengkaranku dan Mami tadi siang membuat air mata yang membayang luruh ke pipi, segera kuangkat wajah, biar air itu tidak semakin membanjiri wajah.

Awalnya Mami tidak peduli, ketika aku memintanya menemani membeli hijab dan gamis ke toko Muslimah.

“Kalau sesekali bolehlah, kan kamu ada kegiatan keagamaan juga.” Katanya ikut memilih hijab yang terpajang di ruangan toko.

“Mami mau warna apa?” tanyaku ketika aku sudah berada di jejeran hijab dalam.

“Mami entar aja. Kamu pakai yang sebatas dada ini saja, akan lebih bagus jika pakai gamis brokat.” Mami menyodorkan sehelai jilbab warna maron dengan pinggiran coklat muda.

“Nggak, ah. Azi mau yang warna navy atau hitam aja,” jawabku, tetap memilih hijab berukuran besar.

Kata ustadzah, pakaian juga akan di hisab. Jadi, aku memilih warna netral untuk penghematan. Maksudnya biar jangan sering gonta-ganti pakaian, takutnya tidak terpakai. Aku tidak mau timbangan amal jelekku berat hanya karena pakaian.

“Azi. Cepetan dong. Bukannya hari ini kamu jadwalnya latihan untuk festival kesenian daerah!” Suara Mami mengagetkan.

Gawat, kalau saat ini langsung kukatakan. Bisa berantakan dagangan orang, “ bentar, Mi!” sahutku.

Tiga potong hijab, gamis, kaus kaki dan kaus tangan kusodorkan ke kasir untuk dihitung.

“Satu juta lima ratus enam ribu rupiah, dek.”

“Sebentar, Kak!”

Celingak-celinguk mencari Mami, ternyata beliau lagi memilih gamis pesta.
“Mami ... udah,” panggilku, sambil melambaikan tangan.

Sesampainya di kasir, Mami tercengang.
“Kamu beli yang seperti apa sih, Zi. Banyak begini kok murah amat?”

“Yang simple-simple aja, Mi. Biar ngga gerah,” alasanku meyakinkan.

Mami belum juga membayar belanjaanku, tangannya meraih pakaian yang teronggok di meja kasir. Matanya melebar, mulutnya ternganga.

“Azi! Ngapain kami beli yang kampungan gini? Kamu itu publick figure! Pilih yang agak elegant kenapa?”

Aku menunduk, tidak kuasa menatap Mami. Pasti beliau tidak membolehkan aku memakai pakaian murahan, selera Mami terlalu tinggi dibandingkan aku.
“Mami, bayar aja dulu! Azi maunya yang ini. Nanti Azi jelaskan di mobil
“pintaku pelan.

Tidak enak ribut di toko orang, mana pembeli sedang banyak berada di sana. Aku tidak mau reputasiku hancur karena ulah Mami.

Dengan tatapan kesal, akhirnya Mami mengeluarkan uang juga. Setelahnya, tanganku ditarik kasar menuju mobil, aku yakin Mami pasti tidak sabar mencecarku dengan pertanyaan.

Prakk.
Pintu mobil dihempaskan kasar, Mami duduk di belakang setir dengan wajah ditekuk. Tidak ada senyum, tidak ada guyonan seperti biasa ketika kami jalan bareng.

Perasaanku semakin campur aduk, ingin bicara, takut Mami semakin berang.
“Azi, sekarang kamu jelaskan ke Mami. Apa maksud kamu dengan semua ini?” Mata Mami melebar.

“Maafkan Azi, Mi. Kemarin Azi menolak ikut festival. Soalnya Azi dapat tari kreasi dengan busana kurang sopan. Azi tidak mau Papi menanggung dosa akibat aurat yang dilihat banyak orang,” jawabku lirih.

Plak.

Mami memukul setir keras, napasnya memburu. Tak lama Mami menoleh, aku menunduk menahan air mata.

“Mami kecewa sama kamu!”

“Mami, izinkan Azi hijrah, Mi.” Air mata mulai menetesi pipi, perlahan kuhapus dengan punggung tangan.

Kekecewaan Mami terukir di wajah. Ah, andai saja Mami berpikiran sama dengan Papi, pasti saat ini aku tidak perlu meneteskan air mata. Papi pasti langsung mengucap hamdalah lalu memelukku.

Mami tidak sama dengan Papi, mereka memiliki pemahaman berbeda dalam kehidupan, tapi Papi tetap berusaha menjadi tongkat keluarganya menuju jannah. Meskipun mereka sering perang sekamar.

“Mi, jadi terkenal bukan hal yang penting dalam hidup Azi sekarang dan untuk selanjutnya. Azi hanya ingin membawa kebaikan untuk Mami dan Papi. Bukankah menutup aurat itu kewajiban semua muslimah?”

“Tapi, tidak harus sekarang juga Azizah! Di saat kamu mulai terkenal, kamu menjatuhkan masa depanmu sendiri.” Suara Mami semakin tinggi.

Kekesalan Mami mewarnai laju mobil yang dikemudikannya. Kencang tidak beraturan, aku berdoa semoga Allah melindungi kami sampai ke rumah.

Di rumah pun, Mami masih uring-uringan dan terus menggerutu. Mau melawan, aku takut berdosa. Akhirnya aku hanya bisa diam dan beroda dalam hati semoga Mami mengizinkan aku berhijab.

“Azi, sekali lagi Mami tekankan. Tidak boleh!” Tangannya menunjuk kepalaku, setelahnya Mami melangkah tergesa ke kamar.

Sampai pukul sebelas malam, Papi belum juga pulang. Akhirnya aku tertidur dalam balutan rasa tidak menentu.

**
Cahaya matahari membias dari kaca jendela, mata terasa perih. Aku berusaha bangkit dari sajadah yang terkembang di lantai. Selepas subuh aku ternyata tidur kembali, baru bangun setelah mentari meninggi dan menerobos masuk.

Baru saja duduk. Tiba-tiba kepalaku pusing, tubuh sempoyongan. Aku tidak ingat apa-apa lagi.

**

“Azi ...! Bangun, Nak. Ini Papi, Azi harus kuat, Papi yakin Azi bisa bertahan!” Kalimat itu kudengar berbisik di telinga. Tapi, aku sangat sulit membuka mata.

Belaian lembut di rambut masih bisa kurasakan, sayang, aku tidak bisa melihat tangan siapa yang melakukannya. Mungkinkah Mami?

Sepertinya bukan Mami, karena suara tangis kudengar agak jauh. Mami menangis. Tapi, kenapa?

“Sudahlah, Mi. Mungkin ini cobaan untuk kita. Mami harus belajar ikhlas,” ujar Papi.

“Mami ... Mami, minta maaf, Pi. Seharusnya semalam Mami melihat keadaan Azi, bukan malah mendiamkan dia. Ini semua salah Mami, huhuhu.”

“Mi, Azi anak yang kuat. Papi yakin dia sanggup bertahan. Iya, kan sayang? Azi bangun Nak, pasti, semalam Azi nungguin Papi pulang. Sekarang Papi di sini, Azi buka matanya, Sayang ....” Getaran suara Papi terdengar menahan isak. Sebenarnya apa yang terjadi? Kenapa aku tidak bisa membuka mata? Kenapa tubuh ini terasa kaku?

“Azi ... bangun, Nak. Bangun, Sayang! Mami sudah izinkan Azi hijrah, Mami izinkan Azi berhenti menari. Tapi, Mami mohon, Azi sadar. Lihat Mami, Sayang!” Tubuhku terasa digoyang kuat.

Maafkan Azi, Mi. Azi tidak bisa membuka mata. Tubuh Azi terasa kaku, ujung kaki pun terasa dingin. Azi kenapa, Mi? Azi kenapa, Pi? Pertanyaan itu tidak bisa terucap, air mata terasa meleleh dari sudut mata.

“Seharusnya dari awal Mami sudah sadar, kalau Azi sakit, Pi. Kenapa baru sekarang kita tahu, kalau Azi menderita kanker otak. Kenapa juga Azi langsung drop? Huhuhu.” Tangis Mami terdengar lebih keras.

Tubuh Mami terasa sangat dekat, benar saja. Mami memelukku sambil menangis.
“Mi, ikhlas. Mungkin ini yang terbaik. Allah menyayangi Azi, melebihi kita. Mami ikhlas, ya.” Aku tahu Papi menahan tangisnya. Tetapi, beliau tetap berusaha sabar dan ikhlas.

Papi dan Mami terdengar saling menguatkan. Tubuhku terasa semakin kaku. Dingin juga mulai menjalar ke bagian tubuh atas. Tiba-tiba muncul sosok tubuh berjubah putih, dia tersenyum lembut.

Tangannya terulur. Tiba-tiba saja aku bisa melihat Mami dan Papi. Mereka menangis di samping tubuhku. Sosok berjubah putih menarik lembut tanganku, memperlihatkan sebuah tempat yang indah di belakangnya.

Di sana banyak anak seusiaku yang berhijab dalam, mereka bermain di padang rumput datar dengan sinar mentari yang lembut. Aku ingin ke sana segera.

“Maafkan, Azi. Mi, Pi. Azi harus pergi, sepertinya di sana menyenangkan. Mereka semua berhijab, Azi ingin bersama mereka,” gumamku.

Ketika aku mengangguk, sosok berjubah putih menarik tanganku lembut. Kami berjalan bergandengan, meninggalkan Papi dan Mami menuju tempat indah yang tadi ditunjukkan kepadaku.
0
339
3
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Buku
BukuKASKUS Official
7.7KThread4KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.