adie.scottlang
TS
adie.scottlang
GADIS BERKERUDUNG SENJA (1)
Quote:


Spoiler for GADIS BERKERUDUNG SENJA:


PROLOG


Malam itu, pukul 21.00 WIB. Rembulan sempurna hilang tertutup awan hitam nan gelap.

"Bawa semua barang-barangmu! Pergi kau dari sini, rumah ini bukan lagi menjadi tempatmu!" Bapak melontarkan kata terkasarnya yang baru pernah aku dengar. Ibu dan adikku yang masih menginjak usia sebelas tahun, berusaha menghentikan aksi Bapak yang bagai kerasukan iblis, menendangku dan melemparkan tas ransel milikku ke depan rumah.

Aku tersungkur, memegang tas ransel—berisi pakaian serta ijazah SMP-ku, dibalik hujan yang mengguyur, gelap, dan gemuruh petir yang mencekam di malam itu. Bapak mengirimkan kata-kata sumpah serapahnya, "Kau sudah memalukan martabat keluarga, kau tidak pantas hidup disini, sudah kesekian kalinya Bapak ngomong, dan kau sama sekali tak ada perubahannya. Pergi kau dari sini. Pergi! Dasar anak tak tahu diuntung!" Suara keras Bapak bahkan mengalahkan dentuman petir dan derasnya hujan yang jatuh.

Aku menangkap ekspresi wajahnya yang begitu marah, aku paham betul, sepertinya Bapak tak akan bisa memaafkanku lagi. Ibu berusaha menenangkan hati Bapak, tapi tetap saja, sia-sia. Bapak tetap berpegang teguh pada prinsipnya, yakni mengusirku, menganggapku sebagai anak tak berguna, anak haram, atau mungkin, anak durhaka.

Adikku terlihat menangis melihat kejadian yang baru pernah terjadi di dalam keluarga yang sebelumnya baik-baik saja, harmonis, dan tentram. Ibu ikut menangis, menyaksikan kepergianku. Aku mulai berdiri, mengambil tas ransel yang mulai basah.

"Tunggu apa lagi, pergi kau! Jangan pernah datang kesini lagi! Dasar anak tak tahu diuntung!" Bapak melotot, matanya hampir keluar.

"Baik. Aku akan pergi dari sini, dan aku berjanji, aku tidak akan datang lagi ke rumah ini, aku akan pergi jauh, dan aku berjanji, kalau aku bisa menjadi orang baik dan sukses, suatu saat nanti." Aku membalikan badan, melangkah dengan gontai, membuka pagar rumah. Dari kejauhan, terlihat, bibi ikut menangis, melihat kepergianku.

Sebelum aku diusir dari rumah, Ibu sempat memberikan sejumlah tabungannya untuk perbekalanku. Tidak banyak, tapi cukup untuk makan kurang lebih seminggu. Aku mulai berjalan menyusuri gelapnya gang. Hujan semakin deras, gemuruh petir masih terdengar diatas sana. Jam sembilan malam, di hari senin, malam selasa, aku mulai pergi dari rumah, entah kemana arah tujuanku kali ini, masih belum jelas. Satu hal yang membuatku sedih—yakni—sebentar lagi menginjak bulan suci Ramadhan, dan ramadhan tahun ini, sepertinya aku tak bisa menikmati sahur dan buka bersama bareng keluarga. Sudah pasti, tidak mungkin.

Malam itu, aku memutuskan untuk tidur di balai bambu setempat, menunggu pagi dan hujan reda. Aku mulai menemukan rencana, untuk pergi ke rumah Paman yang tinggal di salah satu kota besar, di Jawa Timur. Mungkin, Paman masih mau menerimaku, dan belum tahu soal masalah yang sedang terjadi didalam keluargaku.

Balai bambu malam itu sangat sepi, tak ada warga yang hadir di sana—mungkin karena hujan. Biasanya balai bambu selalu dijadikan tempat nongkrong bagi warga, entah itu kakek-kakek-lah, anak muda, bapak-bapak, bahkan kadang ibu-ibu yang suka ngerumpi. Aku sedikit bersedih kala harus meninggalkan balai bambu yang setiap saat bisa mengerti keadaanku, berkumpul dengan mereka, bermain kartu atau catur, ada yang main gitar, ada pula yang sekedar nonton TV sembari minum kopi. Mereka semua sudah bagai keluarga sendiri. Dan mungkin malam ini merupakan malam perpisahanku dengan mereka.

Hujan masih turun deras. Sesekali suara petir terdengar, kilatan cahaya berkilau. Udara mulai dingin, di tambah posisi pakaianku basah.

"Assalamualaikum. Hey, kamu ngapain di sini, hujan-hujan, sendirian pula?" seru seseorang dibalik lebatnya hujan. Aku lekas bangun dan menoleh ke arah suara itu berasal.

Terlihat Pak Ustad yang baru pulang mengajarkan murid-murid mengaji menggunakan koko berwarna putih, sarung kotak cokelat dicincing, bau harum khas misik, dan menggunakan payung hitam sebagai pelindung dari hujan. Pak Ustad melangkah naik ke dalam balai bambu, menaruh payung di sisinya.

"Apa yang terjadi? Kenapa kau bawa tas ransel?" Pak Ustad menatapku binggung.

"Aku diusir dari rumah, Pak Ustad."

"Diusir? Kenapa?" Pak Ustad membetulkan tempat duduknya.

"Ceritanya sangat panjang Pak Ustad."

"Baik, ceritakanlah padaku, barangkali Pak Ustad dapat memberikan jalan keluar." Pak Ustad mulai antusias, memasangkan telinganya rekat-rekat. Mendengarkan ceritaku yang tak patut dicontoh bagi siapapun di dunia ini.

"Oh ya, sebelum kau bercerita, kebetulan aku bawa sesuatu." Pak Ustad mengambil teh hangat yang ditaruh didalam termos alumunium, yang selalu beliau bawa kemanapun beliau pergi.

"Kau pasti kedinginan kan? Diminum dulu?" Pak Ustad memberikan termos itu kepadaku. Aku lekas meneguknya.

"Terima kasih, Pak Ustad."

"Yah, sama-sama, jadi, bagaimana ceritanya?"

Aku mengambil nafas panjang sebelum bercerita panjang lebar kepada Pak Ustad, seorang tokoh agama di kampung ini—yang berkali-kali sempat menegurku, tapi aku tak pernah menggubrisnya.

Quote:
Diubah oleh adie.scottlang 07-10-2019 12:20
KnightDruidanasabilasomeshitness
someshitness dan 7 lainnya memberi reputasi
8
11.5K
100
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
icon
31.3KThread40.9KAnggota
Terlama
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.