mbak.far
TS
mbak.far
Misteri Jodoh


Cerbung Cinta


love


PART 1 - Pertemuan

Cinta dan jodoh adalah dua definisi berbeda. Terkadang, cinta tak berjodoh. Ada pula yang ditakdirkan bersama meski sebelumnya tidak pernah memiliki indikasi cinta. Saat cinta direkatkan oleh takdir, senyum yang menghiasi bibir adalah kebahagiaan yang tak dibuat-buat.



Sepasang kekasih dipertemukan di atas pelaminan mewah, berhias bunga-bunga dan kerlap-kerlip lampu disko. Riuh tamu undangan mengular naik ke dekor untuk bersalaman dengan pengantin, membawa senyum dan ucapan selamat, serta kado-kado.


Kursi-kursi ditata melingkari meja bundar dengan sajian beragam kudapan maupun minuman untuk jamuan para tamu yang hadir, salah satu di antaranya adalah Naras. Perawan desa Alas Suko yang kemanisan wajahnya menurun dari sang emak.


Sound systemdengan lagu dangdut koplo disetel keras sebagai penanda dan kekhasan sebuah hajatan besar digelar. Tidak terlalu mengganggu sekalipun sesama tamu terpaksa sedikit teriak saat saling cakap.


Perawan itu sedikit menunduk, duduk di antara teman-temannya yang sama-sama hadir saling lempar gurauan bagai acara alumnian. Bedanya, ada yang datang membawa suami. Ada pula yang membawa bayi yang baru dilahirkan, bahkan beberapa telah membawa serta dua anaknya.


Mereka teman sekelas Naras sewaktu SMA, tetapi setelah bertahun-tahun tak sua, keadaan Naras seperti orang asing yang kikuk sekadar berucap sapa. Alasan yang paling mendasari itu adalah, karena hanya ia yang sampai sekarang masih sendiri. Tidak ada suami, terlebih anak.


Sekar yang menikah itu, bahkan sudah menyelesaikan pendidikan magister di luar negeri, berkarir di kota, lantas menikah. Sementara Naras, ia tetap gadis desa yang polos, tidak banyak bicara, nilai-nilai akademiknya yang dulu selalu menjadi paling baik di sekolah tidak lantas pantas dijadikan bahan bagi teman-temannya untuk mulai berbincang. Tidak (lagi) penting.



"Apa kabar, Naras?" Suara sapa itu, sukses mencipta dentuman keras di dada Naras. Ia tertarik menoleh sekejap ke sumber suara. Seorang laki-laki gagah dengan kharismanya yang tak lekang oleh waktu. Semakin menarik ditunjang dengan lengannya yang kekar. Ia tersenyum. Elok nian.


Fikar, kakak senior di kampus yang dulu secara diam-diam sempat menaruh perasaan istimewa kepada Naras. Tetiba sekarang, perempuan itu dibuat semakin salah tingkah oleh pertemuan yang tak disengaja ini.


"Baik, Fik." Ketahuilah, betapa kaku cara Naras menjawab. Ia hanya berupaya menyembunyikan kekakuan itu dengan bersikap biasa. Meski gelagat tersebut tak dapat disembunyikan. Jemarinya yang lentik tidak lekang dari meremasi ujung kerudung. Napas yang sengal berkali dihela kuat.


"Naras anaknya sudah berapa?" timpal Novi yang duduk di pojok sambil menetek anaknya. Beberapa orang sepantaran yang duduk berjajar seketika mengalihkan pandang, fokus ke arah Naras.


Pertanyaan demikian sukses menciptakan perasaan tertekan di dada Naras. Ia ragu berucap. Ada mata yang menatap sinis, mengandung hinaan merendahkan. Wajah tirus perawan itu menatap setiap jengkal sudut dengan tatapan mata yang blingsatan hanya demi menyembunyikan rasa rendah diri yang menyudutkan dan membuatnya mengutuk diri, mengapa ia harus menolak pinangan beberapa lelaki?


Agar tidak mendapat gelar 'tidak laku', haruskah ia menceritakan bagaimana selama ini sebenarnya tidak sedikit laki-laki telah datang ke rumahnya membawa niat serius membina rumah tangga?


Namun, Fikar dengan segera menyikut lengan Novi karena mungkin ia lebih peka bahwa pertanyaan tadi telah menyinggung perasaan Naras. Sejak dulu, ia masih sama, Fikar yang selalu membela Narasnama.


Dan beruntungnya lagi, Sekar dengan gaun pengantin mewah datang menghampiri sekadar menyapa ringan dan mempersilahkan menikmati jamuan. Naras merasa selamat, karena penampilan pengantin itu berhasil mencuri perhatian semua orang.


"Cantik sekali kamu." Puja-puji dilayangkan untuk pengantin berpostur semampai dan berparas Jawa itu. Semakin anggun ketika bibir merah jambunya melempar seulas senyum hingga menampakkan deretan gigi putih
miji timun.


"Ayo, silahkan dinikmati jamuannya." Lunak suaranya dan sesekali ia menyapa satu persatu teman-teman lamanya. Berjalan di antara tamu undangan ditemani seorang dayang yang memegang gaun belakangnya yang sangat lebar agar tidak menyapu tanah.


Setelah puas, ia kembali ke atas dekor, menemui suami tampannya yang rapi mengenakan jas abu dengan dasi kupu melilit leher. Bidikan kamera berkali-kali menghujani sepasang mempelai dan gaya romantis keduanya sukses membuat kaum perjaka maupun perawan bukan main iri.


"Kamu tidak ingin menikah?" bisik Fikar sekilas merapat seberang telinga Naras. Perawan itu terhenyak sekaligus tergugu. Kurang setuju dengan sikap laki-laki yang mencuri-curi kesempatan, Naras memilih menggeser duduk. Ia berupaya menjaga jarak, yang artinya, menahan rasa.


"Aku normal, kok," balas Naras datar, lantas menyesap teh hangat demi mengalihkan suasana.
Sekiranya jawaban itu tidak berlebihan. Naras melihat kedua mempelai yang bergandengan menatap kamera dengan bahagia, sudah cukup menggelitik hatinya untuk berkeinginan menikah. Bahkan jauh sebelum menyaksikan pengantin itu, sejak lama ia telah memimpikan pernikahan. Ia perempuan dengan jiwa yang normal. Menikah, memiliki anak, dan menjadi ibu rumah tangga adalah harapannya yang tidak berlebihan.


"Kapan? Sudah ada calon? tanya Fikar pelan sambil sesekali menatap lamat wajah wanita itu dari samping.


Naras membisu, sekejap saja mengangkat muka. Ia tidak memiliki pilihan selain diam. Wajahnya tetap tidak berani menoleh ke arah laki-laki tampan yang diam-diam masih dikagumi. Manik matanya terpaksa keras mengalihkan tatapan ke sejumlah onde-onde yang disusun berjajar dengan roti klemben dan masirat.


Sikap Fikar yang sopan, dewasa, dan selalu memperhatikan hal-hal kecil dari wanita itu, sungguh mampu menaklukkan hati Naras. Ia memiliki sikap yang bertentangan dengan suami emak Naras. Ia, laki-laki yang berbeda.


"Kamu pasti telah menolak banyak lelaki. Iya, kan?" tebak Fikar penuh percaya diri seolah tahu segalanya tentang wanita yang pernah singgah di hatinya itu. Ia menatap kembali Naras dari samping. Hidung mancung yang sama, sepasang mata sayu yang sama, bibir berisi yang sama, alis nanggal sepisan yang sama, Narasnama Reswara yang sama.


Dan perasaan untuknya yang samar-samar terasa nyaris masih sama.


"Aku memilih yang terbaik." Nadanya merendah, sebatas pernyataan ala kadarnya. Desah panjang terdengar kuat sekalipun suara sound system meraung keras, Fikar yang berada di sebelahnya masih dapat mendengar samar.


"Kamu memang terbaik, Ras, tetapi harus kamu ingat bahwa terkadang kita menganggap buruk sesuatu yang bisa jadi baik buat kita." Suaranya dalam, mengesankan wibawa. Naras mendengar takzim.


Ah, Fikar yang sama, memiliki seribu cara untuk membuat Naras merasa nyaman. Nasihat-nasihatnya yang selalu Naras dengar, yang tidak pernah ia dapat dari bapaknya. Ia tidak pernah bisa menaruh hati kepada laki-laki, selain Fikar. Perasaan yang sejak lama hanya bisa dilukiskan dalam diam, sebagaimana cinta Fatimah kepada Ali.


Cinta tak selalu beruntung, misalnya dengan berakhir bersama menjadi pasangan. Hati yang saling terikat tidak cukup mampu membujuk takdir supaya menyatukan dua insan dalam ikatan suci pernikahan. Mereka harus mengalah terhadap takdir, dan terpaksa mengamini nasihat lama, bahwa cinta tak harus memiliki.


Meski cinta mereka tak pernah terucap dari bibir, tetapi sejak lama hati keduanya sama-sama telah merasakan hakikatnya. Di bawah langit malam, di antara keramaian pesta perkimpoian, sayup-sayup getaran di dada terdengar keras mengalahkan suara raungan sound system. Getaran yang saling terhubung, antara satu hati dengan hati yang lain, mencipta indah. Terkadang perlu waktu untuk memahami mengapa perasaan itu bersemi kembali, atau masih menyala hingga sekarang.


Fikar sengaja menautkan ujung telapak kakinya yang beralas selop ke telapak kaki kanan Naras yang beralas kets. Seketika getaran semakin kencang mendera dada wanita itu. Sekali-kali laki-laki berdada bidang itu mencuri pandang dan mencondongkan badannya yang tegak ke arah Naras.


Naras bisa merasakan, gerakan-gerakan itu menandakan sinyal cinta. Perasaan yang lama terpendam, layu oleh jarak dan waktu yang tak memberi kesempatan sua, perlahan kembali subur.


Seandainya Naras milik Fikar, laki-laki gagah itu sudah pasti meremas jemari lentik milik sang pujaan yang tergetar saling bertaut. Tetapi apa daya, ia hanya laki-laki biasa yang ditakdirkan telah beristri sewaktu bertemu dan bahkan mulai menyuka Naras.


"Mas Fikar, ayo pulang!" seru seorang perempuan berparas ayu, dengan lembut menjatuhkan telapak ke pundak laki-laki yang dimaksud. Kedatangannya yang mendadak sudah tentu mengejutkan Fikar. Ia kelabakan, dan sedikit menyesali mengapa istrinya muncul di waktu puncak asmara bergelora indah. Wajah laki-laki tampan itu mendadak pucat pasi sehingga menjadi perhatian wanitanya.


Perempuan semampai itu mencurigai ada yang tidak beres dengan tubuh Fikar. Ia tempelkan telapak tangan ke kening sang suami. "Kamu sakit?" tanyanya sedikit panik. Tanda betapa ia teramat menyayangi lelakinya.


Di sebelah, rasa cemburu mendera jiwa Naras. Demi cemburu yang seperti apa? Untuk mengalihkan cemburu yang tak semestinya ada, tangan Naras yang bergetar menjulur, berniat memungut satu buah onde-onde isi kacang hijau di atas meja, tetapi malah sikunya tanpa sengaja menyenggol nampan berisi gelas-gelas.


Suara gemerincing gelas kaca yang bersinggungan terjatuh ke lantai, sukses membuat beberapa orang yang ada menatap terkejut lantas saling berbisik, meski Naras-lah yang paling terkejut. Dan malu.
Ia berjongkok untuk membereskan ulahnya. Beruntung tak ada satu pun yang pecah. Memungut satu-satu, di detik ke tiga seorang perempuan cantik turut berjongkok untuk membantu. Sejenak Naras tertegun, dan sekilas menatap dalam wajah perempuan itu.


"Wiwik, biar kubereskan sendiri," ucap Naras tidak enak sambil memegang tangan perempuan itu bermaksud menghentikan.


"Tidak apa-apa, Ras," balas perempuan bernama Wiwik sambil melempar senyum simpul. Senyum milik Fikar seorang.


Entah apa yang dirasakan Fikar, melihat istrinya dan perempuan yang dicinta tampak bergaul dengan rukun. Dua perempuan yang sama-sama sudah saling mengenal sejak SMA, sebab dulu mereka satu kelas. Sebuah kebetulan yang menyakitkan.


Terkadang Fikar terjebak dalam pertanyaan yang seolah menghujat takdir, mengapa perjodohannya dengan Wiwik harus terjadi?
Fikar tidak pernah memiliki perasaan apapun terhadap Wiwik, bahkan sampai detik ini. Ia hanya mencoba menjadi anak yang patuh terhadap perintah orang tua, dengan menerima perjodohan yang sebenarnya bertentangan dengan hatinya.


Pertemuan dengan Naras di satu kampus yang sama membuat Fikar merasa tersudut dengan takdir yang telah digariskan. Ia harus mencinta gadis yang tak mungkin lagi bisa dimiliki seutuhnya.


Oh, butuh keberanian besar untuk mengikhlaskan urusan hati seperti ini.


Kedua perempuan itu sudah selesai membereskan gelas-gelas kaca. Mereka berdiri dan Naras memegang lengan Wiwik untuk mengucap terima kasih.


"Iya, sama-sama, Ras. Tidak menyangka kita bisa bertemu di sini setelah bertahun-tahun. Terakhir kali kita ketemu di kampus suamiku, kan?" Wiwik membalas dengan memegang telapak Naras sebagai bentuk kehangatan yang tak dibuat-buat. Naras memaksa senyum meski terbilang hambar. Apalagi ketika teman sekelasnya itu menyebut kata, 'suamiku'.


"Lama sekali tak mendengar kabarmu. Kamu sudah nikah?" tanya Wiwik tiba-tiba. Dan mendengar pertanyaan itu, mendadak sesak kembali menghujani dada. Sesak sebab merasa tertekan.


Jika sudah demikian, Naras merasa memiliki harapan justru setelah sekilas menatap Fikar yang diam-diam menyimak percakapan dua perempuan itu. Entah mengapa, tak ada rasa takut dan tertekan usai melihat wajahnya.


Senyum laki-laki itu mampu melepas sesak yang mendera dada. Tatapannya yang sayu dan hangat mampu meredam gelisah. Getaran yang mengalun indah mencipta rasa aman yang tak dapat ditukar dengan apapun.


Naras mengangguk, tetapi kali ini dengan senyum yang tercermin dari hati.


"Hmm ... Semoga segera dipertemukan dengan jodohnya, ya. Perempuan sepertimu mana ada laki-laki yang tidak kepincut. Ya, kan, Mas?" Wiwik menjawil paha Fikar. Laki-laki itu mengangguk meski kelabakan.


Dan Naras menunduk sambil menangkupkan jemari ke bibir untuk menyembunyikan senyum geli atas tingkah Fikar yang hanya bisa dimengerti olehnya serta laki-laki itu sendiri.


Usai berbincang hangat, Wiwik mengajak Fikar berpamitan dan pulang. Tak ada yang dapat mencegah, sekalipun Naras yang apalagi sebatas mencinta dalam diam. Pertemuan singkat yang tak sengaja dibuat memang cukup mampu mengobati rindu. Namun, perpisahan yang terjadi kembali menciptakan rasa kehilangan. Apa yang paling menyakitkan dari kehilangan? Terhadap sesuatu atau seseorang yang merasa dimiliki. Meski perasaan memiliki itu, sekali lagi sebatas dalam diam.


Fikar menyalami Naras. Getaran-getaran di dada semakin kuat bergejolak. Tetapi melepaskan hati yang tak sepemikiran dengan takdir adalah perkara yang tidak mudah.




sad

Fikar berjalan di sisi Wiwik yang menggamit lengan suaminya kuat. Semakin menjauh dan menyisa luka batin bagi Naras. Ia menyeka pelupuknya yang sedikit basah, sebab tak tahan air matanya nyaris tumpah.


Laki-laki itu bukan bapak Naras. Tak sedikitpun sikap bapaknya ia temukan dalam diri Fikar. Ia, laki-laki berbeda. Ia bukan laki-laki di luaran sana yang hampir semua adalah selayaknya sang ayah. Bagi Naras, memiliki Fikar adalah impian besar yang nyaris mustahil terlaksana. Adakah Fikar-Fikar lain di dunia ini?


Tangis itu, sebatas bulir air mata dalam diam. Mereka menaiki motor, dan Wiwik melingkarkan tangannya di perut Fikar.
___o0o___



Alas Suko yang sederhana dan bersahaja, lelap dalam buai malam dengan bulan lonjong yang cahayanya membentuk bayang temaram di atas tanah pelataran. Aku memelankan laju dan mulai mengarahkan sepeda motor ke ruang belakang sebelah dapur. Ini untuk kali pertama aku berkendara sendiri di malam hari. Cukup memberi pengalaman yang mendebarkan, terutama sewaktu melewati tanah perkuburan maupun jalan lintang tengah ladang yang terkenal angker. Beruntungnya, aku tidak benar-benar sendiri. Beberapa tetangga yang pulang dari kondangan juga menaiki motor. Ramai-ramai.


Helm yang membukus kepala kulepas pelan. Tertegun, dada ini bergetar elok. Di setiap sudut, bayang sosok Fikar hadir di pelupuk seperti tiada henti. Mengingatnya, selalu membuat dadaku bergetar tak karuan. Terkadang aku menyesal mengapa harus kembali dipertemukan dengan orang yang berusaha kulupa. Di sisi lain menyesal sebab rindu ini sekarang kembali terbentang menyakitkan.


Hanya melalui angin bisa kusampaikan rindu kepada orang yang tak pantas dirindu. Menjinjing tas dan kardus buah tangan, aku melangkah menuju rumah melalui pintu belakang.


Cukup melelahkan seharian ini. Kuseka pelipis yang basah, tetapi langkahku tertahan oleh suara ribut yang terdengar samar.


"Masih pura-pura enggak ada apa-apa, hah?" Marah emak, kepada suaminya. Entah meributkan apa lagi mereka di ruang tamu. Berniat menguping atau tidak, aku tetap saja dapat mendengar.
Bapak membisu. Tidak mendapat balasan, entah sebab laki-laki selalu kalah jika dihadapkan mulut wanita, atau karena tuduhan emak yang berdasarkan fakta?


"Kalau kalian enggak ada apa-apa, ngapain kamu waktu itu malah melepaskan tali pengikat helm Santi, padahal helm-ku sendiri tali pengikatnya sulit dilepas. Jangankan membantuku melepas, kamu malah asyik bercanda dengan Santi. Di muka umum. Mengapa? Ada apa? Kalian ada hubungan apa, hah?" Rasa kecewa mendalam terdengar dari suara emak yang mencerca meski dengan amukan tertahan yang mungkin sebab tak ingin didengar anak-anaknya.


Santi. Nama itu? Kedua pangkal alisku secara perlahan saling tertaut. Itu bukan nama yang terlalu asing di telinga. Bahkan terkesan familiar.


Dari kemarahan emak, kubayangkan kejadian yang pernah menimpanya. Sebuah perselingkuhan, kah? Astaga. Aku mengelus dada. Luapan benci perlahan meningkat terhadap sikap bapak kandungku sendiri, Laki-laki yang tak memiliki perasaan terhadap perempuan yang selama ini banting tulang demi menunjang kemalasan suaminya.


Di mana perasaan laki-laki paruh baya itu? Mungkinkah semua laki-laki memiliki perangai seburuk itu? Habis manis sepah dibuang. Jika demikian, bagaimana caraku menerima laki-laki sebagai pasangan jika pada akhirnya kelak semua akan disakiti seperti emaknya?


Tanpa perasaan semangat, aku menjatuh-ambrukkan badan lunglai ke ranjang bambu yang seketika berderit menahan beban 48 kilo. Berkali sikap bapak memberiku kesimpulan bahwa semua laki-laki pada akhirnya adalah sama.
Kecuali Fikar.


Dalam wajah mendung dengan mata yang sudah berkaca-kaca, kutatap langit-langit. Di sana tergambar wajah Fikar. Pria dewasa yang diterima hatiku dengan baik sebagai sosok pengecualian dari definisi laki-laki. Di saat terhadang masalah, sejak dulu aku kerap bercerita dan berkeluh kesah kepadanya yang telah memberi rasa nyaman. Aku bisa bercerita segalanya sebab rasa nyaman telah membawaku kepada kepercayaan tak terbantahkan. Dan Fikar adalah pendengar serta pemberi solusi yang baik. Sebab ia, bukan bapak.


"Ingat, sudah usia berapa kamu sekarang? Ingat, kamu punya anak perempuan. Mengapa tidak bisa menahan diri? Aku ini kamu anggap apa?" Suara Bu Nis melemah, diiringi isak yang lagi-lagi tertahan.


Tidak terdengar satu kata balasan pun dari sang suami yang mungkin mengakui perbuatan sebatas dalam diam. Atau, malu?


Yang pasti Bu Nis terlanjur sakit hati atas suaminya yang telah beristri, tetapi menilik wanita lain. Tidak ada perempuan yang sanggup diselingkuhi. Karena perselingkuhan adalah pengkhianatan terhadap ikatan suci pernikahan. Naras bisa merasakan itu.


Naras menutup mata. Ia membayangkan saat berada di posisi emaknya. Sungguh tidak akan sanggup. Ia menggeleng kecil, dan dalam pejam tetiba teringat istri laki-laki yang membuat hatinya berbunga.


" ... Wiwik," desah Naras seketika membuka mata. Mengingat nama itu, rasa tidak nyaman segera mendera bersama napas yang lagi-lagi sesak tertekan.


PART2 - DOSA TERINDAH
Diubah oleh mbak.far 10-12-2019 23:22
KnightDruidsomeshitnessnona212
nona212 dan 28 lainnya memberi reputasi
29
9.9K
136
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
icon
31.3KThread40.7KAnggota
Terlama
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.