dheyantiAvatar border
TS
dheyanti
Ronggeng Maut


Ronggeng Maut


Riuh tepuk tangan penonton menandakan berakhirnya pertunjukan yang dipersembahkan oleh para penari ronggeng dari kampung linggamanik, palabuhanratu. Wanita cantik yang menjadi primadona dalam kelompok tari itu pun kini menjadi incaran para lelaki hidung belang, namanya Ningsih. Tingginya yang semampai dan lekuk tubuhnya yang bahenol membuat kaum pria menjadi terpesona hingga berani untuk membayar berapa pun agar bisa menghabiskan waktu bersama wanita cantik itu dalam semalam.

“Neng sama Abang, yuk!” ajak Karta kepada Ningsih, sambil menarik lengannya dengan sedikit kasar.

Lelaki yang berprofesi sebagai juragan tanah itu sangat bernafsu ketika melihat wanita incarannya turun dari panggung.

Namun, Ningsih mengepiskan tangan lelaki itu. “Abang apaan, sih? Ningsih perempuan baik-baik, ya. Lagi pula Ningsih sudah bersuami,” tolak Ningsih dengan tegas kepada lelaki bernafsu bejat itu.

Karta tidak menyerah, dia terus mendesak Ningsih agar mau ikut bersamanya. Namun, Ningsih masih berusaha mempertahankan kehormatannya agar tidak menjual diri kepada para manusia durjana hanya demi uang.

“Neng!” panggil seseorang kepada Ningsih yang berhasil membuat wajah Karta menjadi merah padam. Juragan tanah itu dengan tajam menatap lelaki tampan yang menghampiri wanita incarannya.

Ningsih tersenyum senang dengan kedatangan lelaki tampan itu. “Bang Agus,” serunya menyambut Agus dengan pelukan.

Ningsih akhirnya bisa lolos dari paksaan Karta karena kedatangan suaminya, Agus. Wanita itu pun segera pulang, tapi tak disadari oleh mereka ada sorot mata tajam yang sedang menatap ke arahnya sambil tersenyum sinis dengan niat yang jahat.

🍁🍁🍁

Malam berikutnya, Agus sedang berjalan untuk menjemput istrinya. Seperti biasa, lelaki jangkung itu melewati jalan pintas menuju tempat Ningsih biasa manggung. Namun, saat melintas di kawasan sepi, Agus mendengar suara tangisan.

Lelaki itu celingukan mencari asal suara, hingga matanya tak sengaja melihat ke arah seorang wanita yang sedang duduk sendiri di atas batu di keremangan malam. Akhirnya dengan sedikit ragu Agus menghampirinya.

“Neng?” pekik Agus ketika dekat, dilihatnya wanita itu masih berpakaian penari ronggeng, tapi sangat lusuh. Seluruh tubuhnya kotor dan rambutnya juga acak-acakan. Ningsih yang sedari tadi menutupi wajahnya dengan telapak tangan pun mendongak melihat Agus. Wanita itu langsung menghambur memeluk suaminya.

“Kamu kenapa, Neng?” tanya Agus khawatir. Namun, Ningsih masih menangis dan tidak menjawab pertanyaan suaminya.

Akhirnya Agus pun membawa Ningsih pulang, tapi saat sampai di rumah wanita itu masih membisu dengan tatapan kosong. Sebagai suami, Agus sangat mengkhawatirkan keadaan istrinya. Namun, lelaki itu tetap membersihkan tubuh Ningsih yang kotor tanpa bertanya apa pun.

“Neng ..., “ lirih Agus pelan, tapi Ningsih masih bergeming.

Agus membuang napas kasar tak mengerti, sebenarnya apa yang terjadi kepada istri yang sangat dicintainya itu.

Dia membelai lembut rambut Ningsih dan mengecup pelan dahi istrinya, akhirnya wanita itu pun menatap sendu ke arah suaminya. Terlihat bulir bening mengalir dari mata Ningsih, yang membuat Agus semakin khawatir.

“Sebenarnya apa yang terjadi kepadamu, Neng?” tanya Agus untuk yang kesekian kalinya, tapi Ningsih tetap tak menjawab. Wanita itu malah memeluk suaminya dengan erat. Agus pun tak bertanya lagi, dia membalas pelukan istrinya hingga mereka pun akhirnya tertidur.

🍁🍁🍁

Ayam jago berkokok memecah keheningan, sebagai pertanda kalau waktu subuh telah datang. Malam sunyi akan berganti dengan pagi yang cerah disambut dengan mentari yang terbit dari ufuk timur.

Agus mengucek kedua matanya, dia meraba ke atas ranjang yang semalam ditiduri Ningsih. Namun, wanita itu sudah tidak ada. Lelaki itu pun bangun untuk mencari keberadaan istrinya di seluruh rumah, tapi dia tetap tak menemukannya.

“Ke mana, Ningsih, ya?” gumamnya bertanya-tanya sambil menggaruk kepalanya yang tak gatal.

Agus pun segera berpakaian, kemudian pergi keluar untuk mencari Ningsih. Dia mendatangi satu persatu teman sesama penari istrinya itu, tapi satu pun dari mereka tidak ada yang melihat wanita cantik itu. Bahkan ada yang bilang kalau kemarin malam Ningsih juga tidak manggung.

Matahari sudah tinggi dan terasa panas, tapi Agus belum menemukan istrinya. Akhirnya dia pulang dan terduduk lesu. Lelaki itu menutupi wajah dengan telapak tangannya, kemudian menangis.

“Ke mana kamu, Neng?” lirihnya dengan perasaan khawatir dan bingung ke mana lagi harus mencari istrinya itu.

Namun, tiba-tiba saja Agus ingat dengan tempat di mana semalam dia menemukan Ningsih yang sedang menangis. Kemudian lelaki itu langsung bergegas pergi ke sana. Agus celingukan mencari, berharap bisa menemukan istrinya. “Neng!” teriaknya memanggil Ningsih, tapi tetap tak ada jawaban, yang ada hanya keheningan karena tempat itu sepi. Jauh dari pemukiman.

Agus pun terduduk lesu, dia termenung hampir putus asa mencari istrinya hingga matahari mulai terbenam, dan azan magrib pun berkumandang dari kejauhan. Lelaki itu bangun dari duduknya, dengan gontai dia melangkahkan kaki hendak pulang.

“Abang!” Tiba-tiba suara yang tak asing memanggilnya.

Agus menoleh, senyumnya mengembang saat yang dilihat adalah wanita yang sangat dicintainya.

“Neng,” seru lelaki itu kemudian berlari menghampiri Ningsih dan memeluknya. “Ke mana saja kamu, Neng? Abang hampir putus asa mencari.”

“Ningsih gak bisa bilang sama Abang, tapi ... ikutlah dengan Ningsih, Bang!”

“Ke mana, Neng?”

Ningsih tak menjawab, dia hanya menarik lengan Agus untuk membawanya ke suatu tempat, dan sesampainya di tujuan, Agus sangat terkejut karena Ningsih membawanya ke atas tebing. Bukan itu saja, wajah Ningsih pun berubah menjadi pucat dengan tubuh berlumuran darah.

“Neng ... a-apa yang te-terjadi? Ke-kenapa denganmu, Neng?” Agus tercekat, dia bertanya kepada istrinya dengan terbata.

“Bang, maafkan Ningsih, ya. Seandainya saja Ningsih nurut sama Abang, untuk meninggalkan pekerjaan sebagai penari. Mungkin nasibku tidak akan seperti ini,” ucap Ningsih penuh penyesalan, dari mata wanita itu keluar air mata darah yang membuat Agus gemetar, lidahnya terasa kelu. Wanita di hadapan lelaki itu menangis sendu, tapi kali ini Agus bergeming karena dia masih tak percaya dengan penglihatannya.

Ningsih memeluk Agus, jantung lelaki itu berdetak semakin kencang. “Bang, Ningsih ingin pergi dengan tenang. Tapi tubuhku terjebak di sini, tolong Ningsih, Bang!” Ucapan istrinya membuat Agus semakin tak mengerti, lelaki itu hanya terdiam.

Ningsih menyentuh pipi Agus, hawa dingin dirasakan lelaki itu. Rasa takut yang tadi menyelimutinya, kini berubah menjadi tangisan pilu. Agus pun memeluk istrinya yang berlumuran darah dengan erat.

“Neng, Abang tidak mengerti, sebenarnya apa yang terjadi kepadamu.” Pertanyaan Agus lagi-lagi tak mendapat jawaban.

“Pulanglah, Bang. Maafkan Ningsih karena belum menjadi istri yang baik.” Hanya itu yang dikatakan Ningsih sebelum dia pergi untuk selamanya.

🍁🍁🍁

Tubuh itu kini terbujur kaku dengan kafan yang membalut. Wanita cantik yang menjadi primadona di antara penari ronggeng lainnya kini hanya tinggal nama meninggalkan suami yang sangat mencintainya.

Agus hanya menangis melihat tubuh istrinya masuk liang lahat, tapi dia pasrah dan ikhlas dengan apa yang terjadi kepada Ningsih.

Di tempat lain, sebuah jasad lelaki menggantung dengan lidah terjulur ditemukan. Dia adalah Karta, sang juragan tanah yang mati bunuh diri. Ternyata lelaki bejat itulah dalang dibalik kematian Ningsih.

Agus memejamkan matanya, mengingat kejadian di tebing. Malam itu, setelah Ningsih pergi, lelaki itu pun pulang ke rumah dengan kesedihan yang mendalam dan menyisakan tanda tanya tentang apa yang menimpa istrinya.

Hingga seorang wanita datang menemui Agus, dia adalah teman istrinya sesama penari. Wanita itu datang dengan gemetar, dan memberitahu Agus semua kejadian yang menimpa Ningsih.

Ningsih mati dibunuh Karta, malam sebelum Agus bertemu dengan arwahnya yang sedang terduduk di atas batu. Wanita itu pergi untuk selamanya karena berusaha mempertahankan kehormatan. Jasad Ningsih ditemukan di atas tebing, terkubur di sana dengan berlumur darah yang sudah mengering.

Teman Ningsih menangis tersedu, karena dialah yang sudah merencanakan itu dengan Karta. Hanya demi uang, wanita itu rela menghianati Ningsih. Mendengar itu Agus murka, jika dia tidak ingat kepada Tuhan, mungkin wanita itu juga sudah mati di tangan Agus. Lelaki itu hanya menangis meraung-raung, karena merasa gagal untuk menjaga Ningsih.

Wanita itu kini berada di penjara, sedangkan Karta tidak kuat menahan malu. Hingga dia mengakhiri hidupnya.

Ningsih kini sudah tenang, meninggalkan Agus sendiri dengan penyesalan. “Maafkan Abang, Neng. Karena belum menjadi suami yang baik,” batin Agus menahan perih dengan berlinang air mata.

End

Dede Apriyanti









KangmatasuryaAvatar border
Richy211Avatar border
Richy211 dan Kangmatasurya memberi reputasi
2
728
5
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
icon
31.5KThread41.6KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.