gebolextreme
TS
gebolextreme
Mengobati Indonesia Yang Sakit Dengan Pendidikan

Ketika membicarakan pendidikan Indonesia, pasti selalu banyak masalah yang terjadi, ada banyak sekali usaha – usaha dalam mewujudkan pendidikan Indonesia yang lebih baik, tapi pada praktiknya ada banyak sekali yang masih jauh dari ekspektasi.

Sebenarnya sebelum menentukan standar kualitas pendidikan Indonesia, alangkah baiknya kita menentukan terlebih dahulu syarat – syarat, ataupun indikator yang dapat dinilai tentang pendidikan Indonesia. Apakah harus mampu membaca? Punya nilai yang baik? Mampu mempraktekkan ilmunya dengan baik?

Mari kita kesampingkan terlebih dahulu standar – standar tersebut karena akan ada banyak sekali standar yang bisa digunakan untuk menentukan standar intelejensi manusia, tapi saya akan befokus, secara garis besar, apa yang sebenarnya menjadi masalah utama, dan dalam praktiknya, apa yang bisa dilakukan untuk mencapai tingkat yang lebih baik?


Berdasarkan opini saya pribadi, berdasarkan observasi yang saya lakukan, setidaknya ada 3 masalah besar terhadap keterlambatan perkembangan pendidikan Indonesia.

1. Biaya dan reachability siswa dalam mendapatkan pengetahuan
2. Terbatasnya jumlah pengajar dan banyaknya pelajaran yang dipelajari
3. Standar evaluasi dalam menilai pengetahuan dan pemahaman siswa.
 
1. Biaya




Saya akan membahas sedikit tentang biaya, setelah sekolah negeri diwajibkan gratis sampai jenjang SMA (yang mana saya rasa cukup baik) pada kenyataannya apa yang diterima siswa jauh dari kata cukup, dimana ada banyak sekali resources yang tidak dicover dengan adanya “sekolah gratis”, belum lagi fasilitas pendukung yang notabenenya bukan dicover oleh pemerintah melainkan oleh sekolah secara langsung, dahulu, keberadaan uang pangkal dan SPP bisa menutup itu semua, sekarang, ada banyak fasilitas yang terbengkalai jika sekolah terus menerus tidak memberlakukan biaya bagi siswa didiknya.

Dalam mendapatkan ilmu pengetahuan pun, sulit rasanya mempelajari sebuah bidang keilmuan menggunakan sebuah standar literatur yang sulit dipahami, sejujurnya, dari yang saya alami, memahami buku gratis yang disiapkan pemerintah lebih sulit dipahami dibandingkan dengan mempelajari buku – buku mahal seperti cetakan Erlangga ataupun Yudistira.

Pada kenyatannya pun, berbagai fasilitas non-akademis seperti ekstrakulikuler dan organisasi pun ikut terbengkalai jika tidak memiliki biaya yang bisa ditutupi, berbagai fasilitas yang harusnya disediakan untuk menjadi wadah berkembangnya pengetahuan non-akademis pun dipersulit dengan harusnya memiliki peralatan pribadi yang memiliki harga yang cukup fantastis.

Fasilitas seperti laboratorium yang sangat vital bagi pembelajar Ilmu Pengetahuan Alam dalam memahami secara langsung apa yang dipelajari dalam kelas pun menjadi terhambat karena  banyak dari fasilitas tersebut yang sudah uzur maupun tidak bisa digunakan secara optimal.

2. Terbatasnya Tenaga Didik




Ketika membicarakan kompetensi guru, saya tidak ingin mendiskreditkan apa yang disebut sebagai guru yang tidak berkompeten, pada dasarnya setiap guru punya standar masing – masing, bahkan pemerintah sudah menyediakan berbagai pelatihan dan sertifikasi agar guru memiliki kompetensi yang lebih gemilang.


Tapi pada kenyataannya adalah, saya melihat kondisi guru seperti seorang buruh yang dipaksa kerja terus menerus, bayangkan dengan gaji guru yang terbatas (apalagi jika honorer) guru diwajibkan untuk mengerti setiap materi yang diajarkan, belum lagi harus juga mengurusi kenakalan – kenakalan muridnya, harus selalu ada di sekolah dari pagi hingga siang, bagaimana jika guru tersebut memiliki kesibukan atau hobi di luar pekerjaan? Apa yang harus dilakukan jika sang guru punya tanggung jawab di luar sekolah? Atau butuh uang tambahan untuk kebutuhan lain sehingga harus mencari pekerjaan tambahan di luar mengajar?


Ada banyak faktor yang bisa diungkapkan disini, tapi pekerjaan guru adalah salah satu pekerjaan terberat yang ada di negeri ini, dengan standar gaji yang cukup rendah, belum lagi kesulitan mengajar pun terus diuji dengan berbagai kenakalan remaja yang harus diurusi oleh mereka juga, belum lagi harus melakukan evaluasi terhadap peserta didik, bukannya akan melakukan evaluasi secara baik, justru malah terjadi burnout dan seringkali keliru ataupun gagal menilai kemampuan peserta didik dengan baik.


Belum lagi dengan persebaran wilayah Indonesia yang sangat luas, membuat ada banyak daerah juga yang belum tercover dengan tenaga pendidik maupun fasilitas pendidikan. Dalam perspektif yang lain, dengan terbatasnya tenaga pendidik menyebabkan sisi – sisi peserta didik yang seringkali diabaikan, hal – hal yang menjadi vital namun jarang menjadi perhatian adalah Kesehatan Mental, ataupun soft skill, hal – hal yang tidak bisa dinilai secara kuantitatif namun menjadi penting dalam proses pendidikan.
Dalam kasus tersebut, ketika kita membandingkan kualitas pendidikan kita dengan negara – negara maju pun menjadi tidak relevan, bagaimana dengan standard living negara tersebut, ataupun rasio jumlah tenaga yang ada, membuat banyak sekali sistem pendidikan yang sudah ada di negara maju tidak bisa diaplikasikan di negara kita.

3. Sistem Evaluasi


Seperti yang sudah dibahas sebelumnya, keterbatasan waktu, tempat, dan kurang efisiennya tenaga pendidik membuat ada banyak penilaian evaluasi pendidikan menjadi tidak aktual, ada banyak sekali penilaian yang berujung nilai tersebut tidak mewakili kemampuan siswa secara real.

Adapun konsep lain yang sering terjadi adalah Intellectual Bias dimana para peserta didik seringkali salah memahami tentang informasi yang mereka ketahui, dimana banyak yang hanya mengetahui secara sekilas dan saat – saat sebelum ujian saja namun tidak memahaminya secara mendalam. Hal tersebut selain diakibatkan kesalahan sistem ujian, faktor lain seperti banyaknya pelajaran yang harus dipelajari dan sistematika pembelajaran yang tidak sesuai dengan bagaimana sistem otak bekerja seringkali menjadi kesulitan. Anak didik tidak diajarkan bagaimana mempelajari sebuah ilmu hanya seperti dicucuk seperti kambing, hal lain adalah bagaimana peserta didik tidak memiliki waktu dan resource yang cukup untuk memahami secara mendalam dikarenakan waktu mereka dihabiskan dengan stream of information yang sangat banyak, dengan cara yang tidak menarik, dan banyak sekali distraction yang menghampiri mereka untuk memecah fokus mereka.

Dengan buruknya sistem evaluasi, kondisi kemampuan pendidikan sangat dipertanyakan berada di titik mana, nilai yang didapat tidak mencerminkan kondisi kualitas pendidikan secara aktual yang menyebabkan recovery maupun penyelarasan pendidikan seringkali berjalan tidak mulus. Anggapan bahwa sekolah 12 tahun sudah cukup sangat berbanding terbalik dengan kondisi di lapangan yang banyak sekali sekolah 12 tahun namun tidak bisa memiliki pemahaman yang baik tentang berbagai bidang keilmuan, pendidikan yang banyak dan beragam nyatanya tidak menyebabkan setiap individu di Indonesia menjadi paham setiap bidang, yang ada justru sebaliknya, hanya mengingat sebagian kecil  saja disebabkan oleh Intellectual Bias tadi.

Dengan pemahaman tersebut, seharusnya ada perbaikan yang signifikan terhadap poin – poin di atas, bagaimana setiap peserta didik berhak akan fasilitas yang memadai akan pengetahuan, memiliki tenaga pendidik yang supportive dan cukup, dan sistem evaluasi yang cermat sehingga bisa dilakukan oleh tenaga pendidik yang terbatas, namun bisa mencerminkan kualitas pendidikan secara utuh sehingga perbaikan bisa terus dilakukan.

Solusi

Ketika membicarakan solusi saya berada disini bukan sebagai hakim, saya adalah seorang mahasiswa biasa yang cukup concern terhadap pendidikan Indonesia, meskipun tulisan saya masih sangat raw dan belum dibubuhi dengan data lebih lanjut, pada dasarnya tulisan saya hanya mengajak untuk berpikir lebih dalam apa yang bisa kita lakukan sebagai warga negara yang baik dalam mewujudkan pengembangan SDM seperti yang digemborkan pada HUT RI ke 74 kemarin
.
1. Edtech


Pertama membicarakan soal Biaya dan Reachability, sejujurnya ada banyak sekali solusi yang bisa digunakan dalam mengatasi masalah ini, terutama adalah EdTech alias Educational Technology. Dengan mengaplikasikan teknologi dalam pendidikan seperti banyak yang sudah ngetren di berbagai media sosial maupun televisi, selain harganya yang jauh lebih murah, kualitasnya pun jauh lebih baik dengan resources yang ada.

Salah satu kekurangannya adalah terkadang meskipun harganya sudah jauh lebih murah, kebanyakan mindset tentang pendidikan yang masih kuno tentang pemanfaatan buku dan sekolah yang menyebabkan masih banyak yang tidak memanfaatkan media ini dengan baik, disamping ada beberapa bagian lapisan masyarakat yang masih awam ataupun masih menganggap biaya yang dikeluarkan itu mahal, belum lagi biaya lain seperti biaya pembelian gadget ataupun data internet.

Hal itu bisa diakali dengan support dari pemerintah dalam menciptakan ekosistem yang baik dalam pendidikan modern, sebagai contoh pemerintah bisa melakukan rekomendasi kepada peserta didik untuk menggunakan fasilitas tersebut, atau melakukan kerjasama langsung sehingga sekolah – sekolah negeri bisa memanfaatkan sumber daya tersebut, ataupun bisa bekerjasama dengan operator telekomunikasi sekaligus dengan penyedia layanan edtech sehingga bisa dibuat bundle yang lebih murah yang bisa dijangkau oleh kalangan pelajar.

Atau, penyedia bisa menekan harga, lalu menciptakan layanan premium untuk menghasilkan laba.

2. Shared Facility


Dengan banyaknya hal yang harus tercover, mungkin akan sulit bagi pemerintah menemukan “sweet spot” dalam menciptakan fasilitas yang bermanfaat dan mandiri sekaligus. Banyak dari program pemerintah tidak berjalan sebagaimana yang direncanakan hanya karena funding untuk project tersebut berhenti ataupun tergantikan dengan keberadaan project yang lain.
Sedangkan, memanfaatkan private facility seperti lab khusus sebuah sekolah terkesan tidak productive, mungkin lab tersebut hanya digunakan oleh siswa disana yang mungkin akan sering tidak terpakai.

Oleh karena itu, seharusnya pemerintah melakukan sebuah kerjasama per daerah, dengan menggunakan sistem zonasi, sistem tersebut dapat digunakan untuk melakukan kerjasama beberapa sekolah yang masuk dalam daerah tersebut, untuk menciptakan fasilitas bersama, yang dibiayai bersama dan diatur secara ketat tentang perawatan fasilitas, sekaligus setiap sekolah anggota bisa menggunakan fasilitas tersebut.

Seperti disebutkan diatas, masalah funding seringkali menjadi masalah yang pelik, mungkin secara konsep inilah hal yang ideal yang bisa dilakukan, keberadaan fasilitas ini mungkin seperti kolam renang, atau lapangan futsal,  sehingga tidak hanya setiap siswa memiliki hak akan fasilitas yang advance, funding dalam perawatan pun bisa ditekan sekaligus bisa menghidupi fasilitas tersebut tanpa menggantungkan diri pada pemerintah.

Dan cara tersebut bisa digunakan untuk fasilitas yang memiliki harga cukup mahal, seperti laboratorium, perpustakaan, ataupun fasilitas olahraga. Dalam perpustakaan pun bisa saja kemudian melakukan kerjasama dengan edtech sehingga pengaksesan disediakan gratis dengan pembiayaan anggota, dengan gadget dan alat yang tersedia sehingga sekali lagi, meningkatkan reachability bagi para peserta didik. Uangnay pun bisa digunakan untuk membeli berbagai buku yang lebih baik untuk diakses, ataupun, menyediakan berbagai ebook yang harganya jauh lebih terjangkau lagi dibanding buku fisik.

Hal tersebut memang terkesan too good too be true, karena akan banyak potensi korupsi yang bisa terjadi, oleh karena itu siapapun yang melaksanakannya harus berdedikasi untuk menciptakan iklim pendidikan yang baik.

3. Rework Tugas Guru


Sesaat setelah mengikuti kuliah, saya tersadarkan apa yang salah terhadap pendidikan indonesia, tugas guru sangat rumit, tidak efisien, dan tidak efektif.

Sistem kuliah sangat terstruktur, tetapi sangat efisen, walaupun beberapa dosen masih menggunakan sistem dikte, dan pengajaran langsung, tapi cukup banyak yang menggunakan sistem diskusi.

Sistem pengajaran langsung hanya menghabiskan banyak waktu dan terkesan sangat membosankan, ada banyak guru yang cerdas tetapi tidak bisa membawa kelas dengan baik, dan meskipun guru tersebut sangat baik mengajar, berapa banyak yang bisa dia ajar dalam satu waktu? 20-40? Bahkan dengan angka seperti itu efektivitas mengajarnya pun tetap dipertanyakan.

Namun problematikanya adalah, bagian ini tidak bisa diwujudkan, jika siswa tidak memiliki akses yang baik terhadap pendidikan, siswa masih terbataskan biaya, jarak dan waktu tentang mendapatkan sebuah sumber literatur yang berkualitas, tidak semua orang mampu membeli buku yang mahal, tapi setidaknay, ketika mereka memiliki akses terhadap buku terbaik, maka akan ada sesuatu yang bisa didiskusikan di dalam kelas.

Sistem jumlah pelajaran yang sangat banyak dan tak terkondisikan dengan baik, juga menyiksa guru maupun murid, murid sulit menyambungkan hubungan satu pelajaran dengan pelajaran yang lain, guru pun tersiksa karena harus selalu masuk mengajar tanpa henti dan seberapa kerasnya pun dia berusaha tetap saja jumlah efektivitas pengajarannya pun masih sangat minim.

Hal yang harus dipertimbangkan kembali adalah tugas guru sebagai teman siswa, dengan banyaknya tugas guru, sulit jika guru harus mengurusi hal – hal lain di luar pelajaran yang pasalnya sangat penting seperti soft skill, dan kesehatan mental. Dengan mengurangi tugas guru dalam pengajaran langsung, guru menjadi lebih leluasa dalam memahami perkembangan siswa, dan juga menjadi punya lebih banyak waktu untuk mendengar keluhan – keluhan siswa mengenai permasalahan siswa, sehingga siswa menjadi lebih produktif dalam mempelajari bidang keilmuannya, bukan tugas guru untuk mengajar hal – hal yang kurang efektif, sudah saatnya guru menjadi sosok yang memahami siswa, mendorong dan memotivasi siswa, tugas mereka selesai ketika siswa mampu mempelajari bidang yang mereka sukai.

4. Sistem Evaluasi Yang Baru


Sistem evaluasi adalah bagian yang kompleks tentang bagian penilaian siswa, ada banyak bagian yang harus dinilai sekaligus diketahui, dan kemudian bagaimana setelah nilai tersebut diketahui bisa dilakukan perbaikan maupun peningkatan kualitas.

Sistem evaluasi yang ada sangat bobrok, meskipun tidak menutup kemungkinan bahwa sistem tersebut masih cukup dipercaya sebagai bagian dari penilaian kecerdasan siswa.

Sebenarnya ada setidaknya dua permasalahan yang ada dalam penilaian kecerdasan yang ada
Yang pertama, Intellectual Bias, dan yang kedua, modern problems, require modern solution

Pertama adalah intellectual bias, dengan menggunakan sistem yang ada sekarang, pada kenyataannya siswa dipaksa dinilai berdasarkan hasil ujian, bukan kemampuannya dalam memikirkan sebuah permasalahan dengan kemampuan otaknya sendiri.




Dalam artian, anda boleh bodoh, tapi ketika ujian anda bagus, anda cerdas. Ini sangat rancu, karena menilai hanya berdasarkan ujian tidak lebih dari bergantung pada keberuntungan anda ketika ujian, apakah anda mampu menjawab ketika ujian atau tidak, selepas ujian, anda mau bisa atau tidak itu bukan menjadi masalah.


Padahal kunci dari kesuksesan adalah mampu memahami secara mendalam sebuah subjek, kalau seandainya nilai hanya ditentukan berdasarkan ujian, sekaligus jumlah pelajaran yang sangat banyak, kita menjadi kurang memiliki kesempatan untuk mendalami suatu bidang yang amat kita sukai, dan sekaligus, pengetahuan yang kita miliki hanya akan berhenti dalam memori jangka pendek dan akan terlupa seiring berjalannya waktu, kecuali mungkin beberapa pelajaran yang membutuhkan subjek tersebut.


Masalah yang kedua adalah, modern problems, require modern solutions.Apakah sistem pendidikan sekarang masih relevan dengan tantangan hidup yang ada? Dengan masuknya era disrupsi sekarang, seharusnya sudah tidak relevan lagi menguji “Apa yang diketahui”, alih – alih “Apa yang bisa dilakukan dengan ilmu tersebut”. Masalah modern, membutuhkan daya analisis yang tinggi dan kreativitas, sehingga mengetahui saja tidak cukup, hafal saja tidak cukup, tetapi butuh sebuah pengetahuan yang mendalam terhadap sebuah subjek, kemudian bisa mengambil sebuah pilihan hidup yang krusial.


Contoh klasiknya adalah pelajaran sejarah, apa penting mengetahui siapa yang menjajah tahun sekian, siapa dan lahir dimana? Hal tersebut tidak sebegitu pentingnya dibanding dengan pertanyaan, mengapa kejadian tahun sekian terjadi? Bagaimana negara A bisa menjajah negara B? Apa dampak politik sosial terhadap negara B? Menghafal memang penting, tapi ada yang jauh lebih penting, kalian mungkin masih ada waktu untuk membaca dari buku jika kalian lupa, dan pada dasarnya manusia memang adalah makhluk yang pelupa, tapi kalian butuh menggunakan otak kalian untuk menemukan korelasi ataupun bisa menjelaskan sebuah kejadian terjadi, dan hal tersebut bisa menjadi lebih bermanfaat. Semisal apa yang bisa dipelajari dengan kejadian perang dunia pertama dan apa yang bisa kita lakukan untuk menghindari hal tersebut?


Dengan berkaca pada hal tersebut, evaluasi harus diciptakan dalam bentuk analysis, sehingga kecerdasan seseorang memang dinilai berdasarkan kemampuannya memahami subjek secara mendalam, sepertinya menggunakan waktu yang singkat, menekan siswa dengan tekanan batin larangan menyontek adalah hal klise, tetap saja banyak yang menyontek, tapi tidak ada yang bisa memalsukan daya analysis, tidak ada yang bisa memalsukan sebuah pemahaman yang mendalam. Dan tidak usah memaksa siswa tidak boleh membaca ketika mengerjakan, seolah lupa itu adalah kelemahan, padahal lupa itu sangat wajar, bahkan dalam dunia kerja ketika lupa sebuah rumus ataupun bagan tidak ada larangan untuk melihat kembali.


Namun sekali lagi, nomor 4 sangat bergantung pada nomor 3, ketika nomor 3 sudah dilaksanakan dengan baik, maka guru bisa memiliki waktu yang lebih untuk mengoreksi dan menilai hasil analisis dari para siswanya,

Diubah oleh gebolextreme 31-08-2019 07:25
0
232
1
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Education
Education
icon
22.4KThread13.2KAnggota
Terlama
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.