- Beranda
- Berita dan Politik
Ekspor Hingga Manufaktur RI Vs Vietnam, Siapa Pemenang?
...
TS
anarchy0001
Ekspor Hingga Manufaktur RI Vs Vietnam, Siapa Pemenang?
Quote:
Ekspor Hingga Manufaktur RI Vs Vietnam, Siapa Pemenang?
NEWS - Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
13 August 2019 15:45
NEWS - Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
13 August 2019 15:45
Foto: Buruh bekerja di pabrik mobil Vinfast pada kesempatan upacara pembukaannya di kota Hai Phong, Vietnam 14 Juni 2019. REUTERS / Kham
Jakarta, CNBC Indonesia - Indonesia dihadapkan dengan kondisi yang sedang sulit, di eksternal dihajar pada riisiko dampak perang dagang AS-China, di internal masalah defisit transaksi berjalan atau CAD masih menggelayuti.
Sedangkan negara lain macam Vietnam punya kinerja yang ciamik di atas kertas untuk manufaktur hingga kinerja ekspor. Indonesia perlu menengok capaian Vietnam, terutama di bidang manufaktur.
Bank Indonesia (BI) melaporkan Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) kuartal II-2019 mengalami defisit sebesar US$ 1,98 miliar. Pada kuartal II-2019, defisit transaksi berjalan/current account deficit (CAD) menembus level 3% dari Produk Domestik Bruto (PDB), tepatnya 3,04%. Padahal pada kuartal I-2019, CAD hanya berada di level 2,6%. Secara nominal, CAD pada kuartal II-2019 adalah senilai US$ 8,44 miliar.
CAD pada kuartal II-2019 juga lebih dalam ketimbang CAD pada periode yang sama tahun lalu (kuartal-II 2018) yang sebesar 3,01% dari PDB.
BI menyebut pembengkakan CAD tersebut dipengaruhi beberapa faktor seperti, repatriasi dividen dan pembayaran bunga utang luar negeri, dampak perlambatan ekonomi dunia, dan harga komoditas yang berguguran.
Harga batu bara dan minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) dua komoditas ekspor andalan Indonesia memang tidak sedang bagus. Harga batu bara sepanjang semester I-2019 anjlok hampir 40%, sementara harga CPO turun 7,5%.
Jika dilihat harga rata-rata dua komoditas ini juga menunjukkan penurunan. Rata-rata harga batu bara di enam bulan pertama tahun ini turun 13,7%, dibandingkan harga rata-rata semester I-2018. Pada periode yang sama harga CPO lebih rendah 4,8%.
Berdasarkan laporan BI, dua komoditas tersebut memiliki pangsa ekspor sebesar 25%, dengan harga yang tidak bersahabat, maka sudah sepantasnya mengalihkan fokus ekspor ke sektor manufaktur yang memiliki nilai tambah lebih tinggi.
Untuk mendongkrak pertumbuhan ekonomi, ekspor tidak bisa lagi mengandalkan komoditas barang mentah.
Pembengkakan CAD terjadi karena ada penurunan kinerja pada hampir semua pos transaksi di dalamnya, seperti transaksi barang, transaksi jasa, dan pendapatan primer. Sementara pos pendapatan sekunder mengalami perbaikan kinerja.
Dari sektor transaksi barang memang masih mencatat surplus sebesar US$ 187 juta, tetapi mengalami penurunan dari surplus US$ US$ 277 juta di kuartal II-2018. Penurunan ekspor-impor ini terjadi akibat harga-harga komoditas yang mengalami penurunan.
Berdasarkan rilis BI, ekspor produk primer secara riil mengalami kontraksi 3,8% year-on-year(Y0Y) di kuartal II sementara produk manufaktur kontraksinya lebih besar lagi sebesar 5% YoY.
Dengan kondisi harga-harga komoditas yang sedang tidak stabil, sektor manufaktur seharusnya bisa digenjot untuk mendongkrak ekspor. Namun apa daya, sektor pengolahan ini masih belum bisa berbicara banyak, bahkan kondisinya semakin memburuk.
Foto: Buruh bekerja di pabrik mobil Vinfast pada kesempatan upacara pembukaannya di kota Hai Phong, Vietnam 14 Juni 2019. REUTERS / Kham
Indonesia Perlu Belajar Dari Vietnam
Badan Pusat Statistik mencatat pertumbuhan sektor manufaktur pada kuartal II-2019 sebesar 3,54% YoY. Pertumbuhan tersebut lebih rendah dibanding kuartal II-2018 sebesar 3,88%.
Dari 7 kelompok industri manufaktur, hanya tiga antaranya membukukan percepatan pertumbuhan ekonomi pada kuartal II-2019, yakni industri kimia farmasi dan obat tradisional, tekstil dan pakaian jadi, serta kertas dan barang dari kertas.
Sementara industri makanan dan minuman masih mengalami pertumbuhan meski melambat dari sebelumnya. Tiga industri lainnya mengalami kontraksi di kuartal II-2019 yakni industri batu bara dan pengilangan migas, alat angkutan, serta industri karet barang dari karet dan plastik. Padahal ketiga industri tersebut di kuartal II-2018 masih mencatat pertumbuhan.
Kembali ke tiga industri yang mengalami percepatan pertumbuhan, dua di antaranya terbantu gelaran Pemilu 2019 yakni industri tekstil dan pakaian jadi (tumbuh 6,48% YoY), serta kertas dan barang dari kertas (tumbuh 12,49% YoY). Namun, dengan usainya Pemilu, momentum pertumbuhan dua industri tersebut sudah mulai surut, dan diprediksi akan kembali melandai.
"Pada kuartal III kira-kira istilahnya masih flat, kalau ada lonjakan tidak terlalu mempengaruhi," kata Ade Sudrajat, Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API). Ade juga menyoroti perang dagang menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi industri tekstil.
Pangsa ekspor produk tekstil mencapai 8,1% di tahun 2018 dan 8,6% di tahun 2019 berdasarkan proyeksi BI, terbesar ketiga setelah ekspor batubara dan minyak nabati.
Namun sayangnya ekspor tekstil di kuartal II-2019 berkontraksi 7,1% YoY. Bahkan industri ini sudah mengalami kontraksi kuartal-II 2018, yang berarti kontraksi sudah terjadi dalam empat kuartal beruntun.
Masalah perang dagang dan pelambatan ekonomi global agaknya tidak harus selalu dijadikan kambing hitam. Negara tetangga, Vietnam masih terus menunjukkan peningkatan ekspor sejak perang dagang berkecamuk.
Data dari International Trade Center menunjukkan ekspor Vietnam selalu meningkat sejak tahun 2015, bahkan di tahun 2018 terjadi peningkatan yang signifikan. Ekspor Indonesia menurun pada periode 2014-2016, dua tahun terakhir baru menunjukkan peningkatan, tetapi jauh lebih rendah dari Vietnam.
Di tahun 2014, ekspor Vietnam masih kalah dibandingkan Indonesia, tetapi setelahnya Vietnam terus di atas Indonesia.
Apa saja produk ekspor Vietnam?
Lima besar produk ekspor Vietnam yakni Mesin/Peralatan Listrik (HS 58), Alas Kaki (HS 64), Mesin/Pesawat Mekanik (HS 84), Pakaian Jadi Bukan Rajutan (HS 62) dan Pakaian Jadi Rajutan (HS 61). Semua produk ekspor tersebut selalu menunjukkan kenaikan dari tahun ke tahun, yang memberikan gambaran bahwa pangsa pasarnya besar dan permintaannya kuat.
Bandingkan dengan tingkat ekspor Indonesia dengan produk yang sama dengan Vietnam cenderung mendatar, dan nilainya sangat jauh di bawah Vietnam. Bisa berarti produk-produk manufaktur Indonesia tidak punya daya saing melawan produk dari Vietnam, sehingga kalah telak.
Memang produk ekspor andalan Vietnam berbeda dengan Indonesia. Vietnam mengandalkan sektor manufaktur sebagai ekspor, sementara Indonesia masih mengandalkan komoditas barang mentah yang belum memiliki nilai tambah.
Selain nilai tambahnya rendah, menggantungkan diri kepada komoditas mentah sebagai produk ekspor utama juga tidak baik karena harganya yang begitu berfluktuasi.
Foto: Buruh bekerja di pabrik mobil Vinfast pada kesempatan upacara pembukaannya di kota Hai Phong, Vietnam 14 Juni 2019. REUTERS / Kham
Niat Gejok Manufaktur Sudah Ada, Eksekusi Bagaimana?
Indonesia perlu belajar dari Vietnam untuk mendongkrak ekspor dengan barang manufaktur. Hal ini tentunya sesuai dengan pernyataan Presiden Jokowi yang mengatakan berakhirnya menggantungkan pada era komoditas barang mentah, "Kejayaan minyak dan kayu sudah selesai, kejayaan komoditi SDA sudah hampir selesai"
Berdasarkan persentasi BI dengan tema "Economic Transformation Policy for Manufacturing Development" pada Senin 12 Agustus, salah satu masalah yang dihadapi Indonesia adalah tingginya rasio Incremental Capital Output Ratio ( ICOR ).
ICOR merupakan rasio antara investasi di tahun yang lalu dengan pertumbuhan output regional. ICOR bisa menjadi salah satu parameter yang menunjukkan tingkat efisiensi investasi di suatu negara. Semakin tinggi nilai ICOR semakin tidak efisien suatu negara untuk investasi.
Data dari persentasi BI menunjukkan ICOR Indonesia di tahun 2018 sebesar 6,3%, jauh lebih tinggi dari Vietnam 4,31%.
Dengan tingkat ICOR sebesar 6,3% pertumbuhan ekonomi yang dicapai Indonesia di tahun 2018 sebesar 5,17%, sementara Vietnam dengan ICOR 4,31% mencatat pertumbuhan ekonomi sebesar 7,08%.
Nilai ICOR yang efisien, secara umum berada di kisaran 3%-4%, yang artinya untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi atau produk domestik bruto (PDB) 1% di suatu negara, dibutuhkan tambahan investasi hingga 3%-4%.
Semakin kecil nilai ICOR, mengindikasikan efisiensi dalam proses investasi, sebaliknya nilai ICOR yangsemakin besar menggambarkan tingginya inefisiensi investasi.
Indonesia sudah memiliki modal barang mentah yang bisa diolah untuk memberikan nilai tambah. Batubara misalnya, ekspor terbesar Indoensia ini bisa diolah untuk memberikan nilai tambah.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan, akhir tahun lalu mengatakan batu bara bisa digunakan lebih baik daripada dijual hanya secara mentah.
"Perspektif internasional sekarang sudah tidak ada lagi coal company, yang ada coal energy company, karena batu baranya itu bisa dikonversi ke bentuk lain. Batu bara harus ada konversinya nilai tambahnya," kata Jonan dalam acara International Energy Agency Coal Forecast 2023 di Ritz Carlton, Jakarta, Selasa (18/12/2018) sebagaimana dikutip detik.com.
Batu bara dikatakan bisa dikonversi menjadi bahan bakar avtur seperti yang ada di China. "Jika kita ke China, mereka punya konversi batu bara jadi jet fuel (bahan bakar pesawat). Dia bisa ubah (batu bara) jadi avtur buat bahan bakar pesawat terbang sehingga kompetisinya makin kuat," katanya.
Selain itu wacana B50 yang dimunculkan Presiden Jokowi juga bisa memberikan nilai tambah bagi CPO. Indonesia merupakan negara produsen minyak sawit terbesar di dunia, sehingga memiliki bahan baku yang melimpah untuk bisa dimanfaatkan.
"Saya ingin kurangi ketergantungan pada energi fossil dan paling penting kurangi impor minyak. Kalkulasi kala kita konsisten B20 ini, kita bisa hemat kurang lebih US$ 5,5 miliar per tahun. Ini angka yang gede banget," ujar Jokowi, dijumpai usai Rapat Terbatas soal evaluasi pelaksanaan mandatory biodiesel di kantornya, Senin (12/8/2019).
Melihat angka tersebut, Jokowi pun ingin B20 buru-buru pindah ke B30 di 2020 mendatang. "Dan selanjutnya di akhir 2020 sudah loncat lagi ke B50," kata dia.
Tidak hanya memberi nilai tambah, pengolahan minyak sawit menjadi B30 dan B50 tentunya juga dapat mengurangi beban impor migas, dan tentunya bisa lebih meringankan beban neraca Transaksi Berjalan.
Pembangunan smelter juga bisa digenjot lagi untuk memberikan nilai lebih bagi produk logam.
Memang sudah sepatutnya pemerintah membuat industri manufaktur bergairah lagi, guna menggenjot ekspor yang memberikan nilai tambah dan tidak lagi mengandalkan komoditas mentah.
Guna meningkatkan ekspor dan memperbaiki Transaksi Berjalan, sektor manufaktur harus digairahkan kembali. Perusahaan-perusahaan yang bergerak di sektor manufaktur harus diberi insentif yang bisa mendorong mereka untuk memasarkan produknya di luar negeri.
Cara yang paling mudah adalah dengan memberikan insentif fiskal. Selama ini, insentif fiskal yang diberikan pemerintah berupa tax holiday dan tax allowance bisa dibilang tidak maksimal, bahkan hampir tak ada dampaknya sama sekali.
Untuk periode 2017, Menteri Keuangan Sri Mulyani bahkan menyatakan bahwa tak ada satupun perusahaan yang mengajukan diri untuk mendapatkan tax allowance dan tax holiday.
Ternyata hal tersebut terjadi akibat persyaratannya terlalu sulit dipenuhi. Pemerintah seakan tak tulus memberikan insentif bagi pengusaha.
Kini, Jokowi diketahui telah menandatangani Peraturan Pemerintah (PP) nomor 45 Tahun 2019. Ini merupakan aturan 'Super Deductible Tax' atau pengurangan pajak di atas 100%. PP Ini merupakan perubahan atas peraturan pemerintah nomor 94 tahun 2019 tentang penghitungan penghasilan kena pajak dan pelunasan pajak penghasilan.
Poin baru dalam aturan ini adalah fasilitas pembebasan atau pengurangan pajak penghasilan badan dan fasilitas pengurangan penghasilan neto dalam rangka penanaman modal serta pengurangan penghasilan bruto dalam rangka kegiatan tertentu, demikian dikutip CNBC Indonesia dari PP Nomor 45 Tahun 2019, Selasa (9/7/2019).
Namun, kalau peraturan turunan dari PP yang diteken Jokowi itu masih saja sulit dipenuhi persyaratannya, hasilnya akan sama saja. Sektor manufaktur akan tetap tak bergairah dan permasalahan bernama defisit transaksi berjalan alias current account deficit(CAD) tak akan bisa diatasi.
TIM RISET CNBC INDONESIA (pap/pap)
Quote:
Wah kita tertinggal dari negara Nguyen..
nama pabrik lokal otomotifnya keren juga VINFAST...
Padahal kualitas manufaktur kita mantul gan..
Tas aja sekelas Hermes..
Mai Phuong Thuy
https://www.instagram.com/maiphuongthuy68/
Nguyen Tran Huyen My
https://www.instagram.com/ngtran_huy...
Nguyen Thuy Tien
asdad
Quote:
Di tahun 2014, ekspor Vietnam masih kalah dibandingkan Indonesia, tetapi setelahnya Vietnam terus di atas Indonesia.
nama pabrik lokal otomotifnya keren juga VINFAST...
Padahal kualitas manufaktur kita mantul gan..
Tas aja sekelas Hermes..
Spoiler for Bonus Gadis Vietnam:
Mai Phuong Thuy
https://www.instagram.com/maiphuongthuy68/
Nguyen Tran Huyen My
https://www.instagram.com/ngtran_huy...
Nguyen Thuy Tien
asdad
Diubah oleh anarchy0001 13-08-2019 09:41
0
1.4K
Kutip
10
Balasan
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Berita dan Politik
669.9KThread•40.2KAnggota
Terlama
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru