Jakarta, 2014
Pada suatu malam yang terasa lebih dingin dari malam-malam sebelumnya bagi seorang lelaki yang sedang berdebar-debar dadanya. Dari sudut ruangan dia melempar pandang ke luar. Hujan deras mengguyur selatan Jakarta. Rintik-rintik air menampar-nampar kaca jendela di depan wajahnya. Dialihkannya pandangan ke arloji di tangan kiri. Sudah pukul 8 lewat 10 menit. Sedikit terlambat dari waktu yang dijanjikan.
Taka mulai gelisah. Duduknya tak nyaman. Beberapa kali dia menggeser kursi mendekat ke meja, lalu memundurkannya lagi. Sesuatu yang sesungguhnya tidak perlu dilakukan. Dia hanya sedang mencoba menenangkan diri, walaupun tampaknya tidak terlalu berhasil. Dan ketika ponsel pintarnya bergetar, dia sedikit kehilangan kontrol. Tangan kanannya gemetar membuka pesan yang masuk.
From: Hana
Aku udah di parkiran.
Dengan sigap Taka membalas.
From: Taka
Ditunggu ya.
Taka menaruh ponsel di meja. Digosokkannya kedua telapak tangan supaya lebih hangat, tapi dia tetap saja kedinginan. Ini adalah hari yang penting untuknya. Dia tidak boleh terlihat gugup. Dia tidak ingin malu di hadapan perempuan itu. Seharusnya AC restoran ini diganti saja dengan kipas angin, dia mengomel dalam hati.
Pintu depan terbuka. Seorang perempuan melangkah masuk. Salah satu pegawai restoran datang menyambut. Sejenak mereka berbincang, lalu si petugas menunjuk ke meja Taka. Ke situlah perempuan itu melangkah.
Taka tersenyum menyambut kedatangan Hana.
“Maaf, aku telat,” kata Hana.
“Enggak apa-apa. Yang penting kamu datang.”
Ketika akhirnya mereka berdua duduk berhadapan, Taka mengingat lagi hari ketika pertama kali mereka bertemu.
*
Jakarta, 2013
Di dalam bioskop. Film sudah selesai dan lampu-lampu mulai dinyalakan, tetapi sebagian besar penonton masih duduk setia menunggu
after credit scene yang memang biasa tayang di bagian akhir film.
Hari itu Taka datang sendiri. Teman-teman kantornya sudah lebih dulu menonton ketika film itu diputar pada hari pertama penayangannya di bioskop. Studio penuh. Taka kebagian duduk di kursi pada deretan tengah.
"Hei,” orang yang duduk di sampingnya memanggil. Selama film diputar, Taka sama sekali tidak tahu siapa yang duduk di kanan kirinya. Selain gelap, dia juga fokus pada film. “Nonton film Marvel kok pakai kausnya DC?”
Otomatis Taka menatap kausnya sendiri. Dia baru sadar memakai kaus putih dengan logo huruf ‘S’ khas pahlawan super dari planet Crypton, Superman. Superman adalah karakter pahlawan super milik DC Comics, sementara film yang ditontonnya hari itu berasal dari semesta Marvel.
“Kirain fan DC enggak suka filmnya Marvel,” lanjut perempuan itu.
“Aku suka dua-duanya, kok. DC ataupun Marvel, sama-sama bagus,” Taka berkilah dan menutupi kenyataan di kantor dia kerap beradu argumen dengan rekan kerjanya yang merupakan fan garis keras Marvel mengenai film mana yang lebih baik, DC atau Marvel. “Lagian perkara kaus doang. Memangnya kalau nonton Marvel harus pakai kaus Marvel juga?”
“Iya, dong. Lihat aku, nih.” Perempuan itu menunjuk kausnya yang bergambar perisai milik Captain Amerika.
Taka cuma nyengir. Orang-orang mulai beranjak pergi.
“Coba aku tes,” lanjut si perempuan. “Sebagai fan DC, apa aja yang kamu tahu tentang Avengers? Coba sebutkan karakter-karakter pahlawan super yang ada di semesta Marvel. Minimal sepuluh. Bisa?”
Taka menarik napas panjang. Kalau sudah ditantang, pantang dia menyerah. “Captain America, Iron-Man, Hulk, Thor, Black Widow, Hawkeye, Scarlet Witch, Vision, Black Panther, Ant-Man, Spider-Man, dan Doctor Strange.”
Perempuan di hadapannya tampak terkejut. Dia bertepuk tangan lalu mengacungkan kedua jempol tangannya. “Oke juga. Kamu udah bisa gabung ke klub Marvel. Ngomong-ngomong, namaku Hana.”
*
Hana seorang jurnalis politik di salah satu media cetak ternama. Dia sudah menggeluti profesi itu selama hampir empat tahun. Dia terbiasa mengejar berita bahkan ke daerah jauh sekalipun.
Taka hafal gaya berpakaian Hana yang kasual dan terkesan cuek. Karena itu dia terkejut malam ini Hana mengenakan
maxi dress merah muda lembut dan
strappy pumps berwarna senada. Dengan rambut tergerai di kedua bahu, sempurnalah penampilannya malam ini.
“Kenapa? Heran lihat aku enggak pakai kaus dan celana jins?” Hana seolah menerawang ke dalam kepalanya.
Taka hanya menggeleng pelan. Dia sudah menghabiskan suapan terakhir santapan malamnya. Tanpa sepengetahuan perempuan di seberang meja, Taka sering meraba pada saku celana panjangnya untuk memastikan kotak itu masih di sana. Dia beberapa kali menepuk kotak itu, seolah ingin mengatakan pada benda di dalamnya untuk bersabar dan menunggu waktu yang tepat.
Bukan hal mudah untuk melakukan ini. Butuh persiapan yang matang dan waktu berpikir yang lama sebelum akhirnya dia memutuskan bahwa ‘Hana-lah orangnya’. Kiranya satu tahun waktu yang cukup untuk Taka mempertimbangkan segala sesuatunya. Malam ini, dia memutuskan untuk melamar Hana.
Taka sama sekali tidak bisa berkonsentrasi pada percakapan sepanjang menyantap makanan. Dia memikirkan banyak hal. Ketakutan, keinginan, dan harapan berbaur menjadi satu di kepalanya. Untung saja saat itu restoran menampilkan pertunjukan musik langsung. Di tengah ruangan ada sebuah panggung kecil dengan hanya satu kursi di atasnya. Seorang gitaris klasik asyik memainkan jari-jarinya di atas senar, menciptakan lantunan lagu yang menenangkan.
“Aku enggak tahu kamu suka musik klasik,” suara lembut Hana membuat lamunan Taka buyar. Taka menaikkan kedua alisnya, pertanda dia tidak mengerti maksud Hana. Perempuan di hadapannya mengedikkan kepala ke arah gitaris di atas panggung.
“Oh,” Taka tertawa pelan. “Aku suka semua yang disajikan restoran malam ini.”
Hana balas tersenyum. Meja mereka berada di sudut ruangan, jadi posisi gitaris saat itu membelakangi mereka. Hana sampai harus memutar badan untuk melihat penampilan sang gitaris. “Jago ya dia mainnya.”
Taka anggukkan kepala. “Aku jadi ingat, dulu punya teman yang juga jago main gitar di sekolah.”
“O ya? Jangan bilang dia yang ngajarin kamu main gitar.”
Taka tertawa. “Sejujurnya, iya. Dia yang ngajarin aku main gitar. Aku masih ingat, lagu pertama yang diajarkan waktu itu lagunya Peterpan yang berjudul Mimpi Yang Sempurna.”
“Jadulnya,” komentar Hana disusul tawa mereka berdua. “Gimana, sih, lagunya? Yang kayak gini bukan…
Mungkinkah bila kubertanya, pada bintang-bintang. Dan bila ku mulai merasa, merasa kesunyian… Gitu?”
Taka menjentikkan jari.
“Aku dan semua yang terluka karena cinta…”
“Aku ‘kan menghilang dalam pekat malam. Lepas kumelayang. Biarlah kubertanya pada bintang-bintang, tentang arti kita dalam mimpi yang sempurna…”
Mereka bernyanyi bersama dengan suara cukup keras. Praktis perhatian semua pengunjung tertuju pada mereka. Menyadari perbuatannya sudah mengganggu orang-orang, Taka menangkupkan tangan tanda meminta maaf.
“Kamu, sih, yang mulai!” Bisik Taka.
“Tapi kamu juga ikut nyanyi. Suaranya keras pula!”
Mereka tertawa cekikikan.
Taka senang mendapat pengalih perhatian. Setidaknya kedua lututnya sudah tidak lagi bergetar. Saat itu hampir pukul sembilan malam. Taka merasa sudah sampai pada waktunya. Baru saja dia hendak mengatakan sesuatu, ketika gitaris di atas panggung berdiri lalu membungkuk hormat ke semua penjuru disusul tepukan tangan para pengunjung. Saat itulah dada Taka berdebar kencang. Dia sampai berdiri untuk melihat dengan jelas sosok di atas panggung.
“Kenapa, Ka?” Hana yang penasaran memutar badan. “Kamu lagi ngelihatin siapa?”
“Gitaris itu,” Taka menunjuk. “Aku yakin kenal sama dia.”
“O ya? Jangan-jangan dia temanmu di sekolah, yang baru aja kamu ceritain.”
Taka menganggukkan kepala dengan cepat. “Iya. Aku yakin. Kamu tunggu sebentar ya. Aku mau nyamperin dia.”
Hana hanya menganggukkan kepala.
Taka berjalan dengan langkah lebar menyusul gitaris yang kini sedang bersalaman dengan seseorang yang tampaknya manajer restoran.
“Gugun,” Taka memanggilnya. Kedua lelaki di hadapannya menoleh. Selama beberapa detik Taka bingung. “Maaf, saya teman lama gitaris ini,” katanya pada manajer restoran.
Taka mengamati baik-baik sosok itu. Dia tidak mungkin salah. Walaupun tampak banyak sekali perubahan dibandingkan sosok yang dikenalnya semasa sekolah dulu, tapi tidak mungkin dia keliru. Dia tidak menyangka akan menemukan Gugun, sahabatnya, dalam situasi seperti ini.
Gugun yang diingatnya memang bertubuh tinggi, tetapi kali ini dia tumbuh lebih tinggi lagi. Rambutnya yang keriting panjang diikat ke belakang. Teman-teman dulu memanggilnya Guling alias Gugun Keling, julukan yang merujuk pada kulitnya yang cukup gelap. Sahabatnya itu memang gemar beraktivitas di luar rumah sejak kecil, main layang-layang, mandi di sungai, sampai jadi kuli bangunan meski orang tuanya melarang. Namun sekarang Gugun terlihat jauh lebih bersih dan cerah.
“Teman lama?” Gugun bertanya.
“Iya. Ini gue, Taka. Kita selalu duduk satu bangku dari kelas 3 sekolah dasar.”
Gugun mengernyitkan dahi. Dia tampak berpikir sejenak lalu mengangkat kedua bahu. “Gue enggak ingat.”
“Maaf, mungkin Bapak salah orang?” Manajer restoran bertanya dengan nada penuh kesopanan pada Taka.
Salah orang? Taka menjadi ragu untuk sesaat, tetapi melihat wajah di hadapannya, dia kembali yakin. “Enggak mungkin salah. Saya kenal dia dari kecil,” Taka sambil menjulurkan tangan berusaha memberi gambaran tinggi seorang anak pada umumnya, “sampai SMA. Rumah kami enggak bersebelahan tapi di gang yang sama. Saya enggak mungkin salah ingat. Begitu pun Gugun. Iya, kan?”
“Dari mana lu tahu nama gue?”
Taka diam sejenak, lalu meledaklah tawanya. Gugun sedang bercanda, pikirnya. “Oke. Lawakan yang bagus. Gimana kabar lu?”
“Maaf. Kayaknya lu beneran salah orang.”
Ketiga lelaki itu sama-sama diam. Menyadari situasi menjadi canggung, Taka akhirnya mengalah. “Oke. Mungkin saya salah orang.”
Dia pamit dan kembali ke meja. Hana yang memang sejak tadi memperhatikan, bertanya padanya. “Ada apa?”
Taka menggeleng. “Katanya aku salah orang.”
“Maksudnya, dia enggak kenal sama kamu?”
Taka hanya menganggukkan kepala.
“Kok gitu, sih? Katanya kalian teman lama?”
Taka mengangkat bahu. Diperhatikannya Gugun yang melangkah keluar dan lenyap di balik pintu. Dia benar-benar terkejut dengan respon dari Gugun. Dia pejamkan mata, berusaha mengingat dengan lebih baik, dan keyakinannya tidak berubah. Dia adalah Gugun, tukasnya. Dia tidak mengerti mengapa Gugun tak mengenalinya.
Apakah ini ada hubungannya dengan kejadian sepuluh tahun lalu? Mungkinkah Gugun masih menyimpan dendam selama itu?
Taka termenung.
“Manusia bisa berubah,” kata Hana prihatin. Dia tersenyum seraya menggenggam sebelah tangan Taka di atas meja. “Mungkin sahabatmu benar-benar lupa, atau dia sengaja bersikap begitu dengan alasan tertentu. Hati manusia memang enggak bisa ditebak.”
Taka menarik napas panjang. Dia balas tersenyum pada Hana, lalu kembali merenung. Hatinya telanjur gelisah. Akhirnya malam itu Taka memutuskan untuk menunda lamaran. Setibanya di kosan, dia merebahkan diri di atas kasur dan otaknya menggali kembali ingatan yang lama tertimbun di masa lalu. Gugun adalah salah satu sosok penting dalam hidup Taka. Mengingat Gugun, berarti mengingat lagi sosok-sosok lain yang mengisi hari-harinya pada masa itu.