LaditachudaAvatar border
TS
Laditachuda
Dear, Kakak Pembina
Kenangan tak terlupakan



Quote:



sumber : google


"Ladita?" Tiba-tiba sebuah suara membuyarkan hafalan kanji di kepala. Beberapa anak di kantin juga serentak menegakkan wajah ketika mendengar suara itu.

Sontak aku menoleh ke sumber suara, dan langsung terpana ketika bertatapan mata dengannya. "Eh, iya. Ada apa? Apa ada sesuatu?" berondongku penasaran. Bagaimana tidak penasaran kalau dua orang kakak pembina secara ajaib muncul di hadapanku. Dan, salah satunya adalah Sembada, kecenganku. Ami yang duduk di sebelahku juga kelihatan terkejut.

"Kamu udah kita daftarin, yah, jadi ismaya," ucap pemuda berambut gondrong itu.

"Eh? A-apa. Ismaya?" tanyaku gagap. Setahuku itu julukan untuk tim kesehatan di penerimaan mahasiswa baru.

"Yaaa. Karena yang ditugasi kebanyakan anak-anak pramuka yang tidak aktif. Kamu enggak aktif, 'kan?" Sembada menimpali, sedikit menyindir.

"Latihannya mulai besok sore di lapangan sebelah mesjid. Jangan sampe lupa!" Pemuda di sebelah Sembada mengacungkan jempol ke arahku. Namanya Budi, dan dia favorit cewek-cewek di kampus. Kecuali aku tentunya, karena hati ini lebih memilih Sembada. Kemudian, dua pemuda itu pergi begitu saja tanpa menunggu jawaban.

Aku hanya bisa melongo tanpa bisa protes. Kenapa juga aku tiba-tiba dimasukkan ke seksi ismaya?

"Entah kenapa kamu itu suka si Sembada," celetuk Ami, "padahal dia kerempeng, kalah ganteng sama Budi. Pendiem lagi, terus---."

"Bla bla bla," timpalku kesal, memotong perkataan Ami. Yang langsung dibalas dengan cengiran lebar olehnya.

"Enggak kerasa, yah. Udah mau setaun aja kita di kampus ini," ucap Ami sambil mengaduk jus jeruk. Matanya mengikuti Sembada dan Budi yang meninggalkan kantin jurusan.

Aku setuju dengan perkataannya. Memang waktu berjalan begitu cepat. Tak terasa sudah hampir setahun juga aku mengamati Sembada diam-diam. Walau kurang aktif di kegiatan pramuka, tapi aku selalu mengikuti setiap sesi latihan mereka. Entah akan ada apa di sore hari besok. Mudah-mudahan aku tidak memalukan di latihan ismaya nanti.



Cukup banyak juga anak-anak yang dikumpulkan para kakak pembina, dan tidak hanya dari keanggotaan yang tidak aktif saja ternyata. Kata Ami, sepertinya ismaya kurang peminatnya, jadi memberdayakan anggota pramuka yang vacum. Lagi-lagi aku setuju dengan pendapatnya itu.

"Hai, Dita, kamu ikut ismaya juga ternyata." Tiba- tiba sebuah suara mengalihkan perhatianku dari kesibukan di pinggir lapangan. Andi dan Erik melambaikan tangan dari bawah pohon.

"Dua orang penggemar setiamu," bisik Ami seraya membalas lambaian keduanya. Aku merengut, menyebalkan sekali melihat kedua orang itu di tempat ini. Ami nyengir menyadari kekesalanku.

Sementara itu di tepi lapangan, para kakak senior dan pembina tengah berdiskusi. Rupanya, seksi ismaya ini memberdayakan anak-anak pramuka untuk membantu latihan. Aku melihat tongkat-tongkat pramuka bertumpuk di pinggir lapangan. Tali-tali juga terlihat di tumpuk di atasnya. Tumpukan kayu-kayu juga berjejer rapi di sebelahnya. Mungkin itu untuk api unggun. Sedangkan tenda-tenda yang akan dipasang masih terlipat rapi di atas rumput.

"Ayo, kumpul! Kumpul!" seru Seno ketua senat sambil membentuk corong dari kedua tangannya.

Serentak anak-anak yang masih mengobrol maju ke tengah lapangan. Ami menunggu di tepi lapangan. Enak banget dia engga kena kewajiban,gerutuku dalam hati. Itu karena Ami anggota paduan suara dan bukan pramuka, jadi terselamatkan dari kegiatan ini.

"Hari ini kita akan melakukan latihan pertama sebelum kegiatan yang sebenarnya nanti," seru Seno, "kalian pasti sudah membaca selebaran yang dibagikan tadi pagi, 'kan?"

Jujur, aku sama sekali belum sempat membacanya. Berdasarkan indera pengintaiku, ternyata selebaran itu berisi teori latihan hari ini. Sial! Jangan sampe aku bikin malu diri sendiri di depan Sembada. Keringat dingin dengan bandelnya bermunculan di keningku. Latihan hari ini pasti ada tali temalinya, karena ada tumpukan tongkat di pinggir lapangan tadi. Hik, aku payah kalau soal tali-temali. Mataku langsung meneliti penghuni lapangan, mencari keberadaan makhluk gondrong itu. Namun, hanya Budi yang tertangkap retinaku. Dimana Sembada?

Setengah jam kemudian pertanyaan itu kunyatakan sebagai keberuntungan. Karena ternyata aku benar-benar payah dalam urusan tali temali. Anggota yang satu grup denganku susah payah berusaha menahan dongkol karena simpul yang kubuat pasti longgar. Padahal, untuk membuat tandu, simpul-simpul talinya harus kuat.

"Siapa yang membuat simpul ini?" tanya Budi penasaran sambil menggoyang tandu. Serentak, tiga telunjuk mengarah padaku.

Wajahku langsung memerah ketika melihat Budi menggeleng-gelengkan kepala. Emang hasil kerjaku sejelek itu? Protesku dalam hati.

Sebuah suara tiba-tiba mengejutkanku. Sembada berseru, memerintahkan tandu-tandu disingkirkan. Rupanya, akan ada sesi latihan membuat tandu cadangan dari tangan. Tandu seperti ini antisipasi kalau tandu utama sedang dipakai semua.

"Cari pasangan kalian! Satu grup berdua saja," seru Sembada lagi.

Sontak lapangan jadi kacau. Aku celingak-celinguk mencari pasangan, tapi tak ada yang berminat satu grup denganku. Andi sebenarnya dengan penuh kerelaan bersedia menjadi pasanganku. Hanya saja niat baiknya itu terjegal protes Erik sahabatnya.

"Kau tega ninggalin diriku sendirian?" protes Erik dengan logat Medan yang kental. Tangannya langsung menyambar lengan Andi. Menahan langkahnya yang sedang menuju tengah lapangan.

Aku pasrah. Berharap tidak perlu mengikuti latihan selanjutnya. Sayangnya, itu hanya harapan belaka.

"Ladita," sapa Sembada, "kamu satu grup denganku."

Aduh. ini diluar ekspetasiku. Mana mungkin aku satu grup dengan cowok yang aku sukai?

"Kita akan jadi model nanti," ucapnya lagi sambil terus menerangkan apa-apa yang akan dilakukan nanti.

Jelas saja jantungku berdebar kencang. Bukan karena jadi pusat perhatian yang lain. Tapi karena tanganku nanti bisa menyentuh kulitnya. Oh, my God. Sementara di tepi lapangan, Ami melambai-lambai penuh semangat. Entah apa maksudnya, padahal semangatku sedang turun saat ini. Mempermalukan diri sendiri di hadapan Sembada sama sekali bukan prestasi yang mengagumkan menurutku.

"Kalian semua berhadapan dengan pasangan masing-masing," seru Sembada sambil memperagakan contohnya.

Malu-malu, aku mengikuti gerakannya. Ikut merentangkan tangan kanan ke depan. Sedangkan tangan kiri memegang erat daerah siku tangan kananku.

"Sekarang tangan kanan kalian memegang lengan kiri pasangan kalian. Pegang yang dekat daerah sikunya." Sembada kembali melanjutkan memberi perintah.

Aku benar-benar gemetaran. Ya, Tuhan. Ternyata dia benar-benar memesona kalau dilihat sedekat ini.

"Ini adalah tandu darurat. Jaga-jaga kalau tandu utama sedang dipakai semua," seru Sembada lagi.

Selanjutnya, kami diminta ganti pasangan. Sekarang aku jadi pasien yang pura-pura pusing dan diangkut oleh tandu darurat itu. Lagi-lagi, aku malu. Karena Sembada dan Budi yang jadi tandu daruratnya. Dear, kakak pembina, aku takkan melupakan kejadian indah hari ini.



Setelah latihan membuat tandu, kami diajari membuat api unggun. Ternyata, membuatnya tidak semudah yang aku bayangkan. Pertama, kami harus mengumpulkan daun-daun kering, juga ranting-ranting kecil yang kering. Setelah itu, kayu bakar yang tidak keras dipotong sedikit-sedikit. Diambil kayunya berbentuk serpihan panjang. Sedangkan kayu yang keras dipisahkan dulu.

"Ranting-ranting ini bisa disusun dengan berbagai bentuk. Intinya, daun keringnya yang jadi pemicu api." Budi menerangkan sambil mempraktekkan. "Kalau daun dan rantingnya sudah menghasilkan api, baru kita bisa menambahkan serpihan kayu yang tadi kita potong ke atasnya. Susun dengan baik, jangan sampai membuat padam api di bawahnya," lanjutnya lagi.

Budi dan Sembada memberi contoh menyusun kayu satu persatu. Kurasa, dari semua latihan, membuat api unggunlah yang paling sulit. Bahkan, grupku pun (yang kebetulan Andi dan Erik ada di dalamnya) kesulitan ketika berusaha menyalakan apinya. Pengorbanan Erik yang rela membiarkan kaus kakinya dibakar pun tidak jua menghasilkan api.

"Kalian akan kedinginan nanti kalau menyalakannya lama seperti itu," tegur Sembada. Kemudian berjongkok mengambil alih kayu dari tangan Andi.

"Gimana caranya nanti menghalau dingin, Kak?" tanya Andi sambil berdiri.

"Sambil menunggu api unggun nyala, kalian bisa menggosokkan kedua tangan secepat dan sekuat mungkin. Gesekannya akan menghasilkan panas." Budi menjawab seraya memberikan contoh pada kami.

"Setelah menggosokkan kedua tangan kalian bisa menempelkannya pada pipi," seru Sembada yang tengah sibuk menyalakan api grup kami.

Aku mencobanya, dan ternyata benar. Kedua tanganku jadi panas ketika saling digosokkan. Pipi juga jadi terasa hangat ketika ditempeli kedua tangan.

"Selain itu, kalian bisa saling meremas tangan teman di sebelah," ucap Sembada lagi. Dia lalu berdiri dan meraih tanganku. "Coba kamu remas tangan Andi," perintahnya sambil meremas-remas tanganku.

Ya, Tuhan. Jantungku langsung dag dig dug tak keruan karenanya. Sementara itu Andi dengan sukarela menyodorkan tangannya agar diremas olehku. Erik terkekeh-kekeh di sebelahnya. Entah apa yang dianggap lucu oleh mereka.

Tiba-tiba saja aku merasa mual ketika meremas tangan Andi. Sontak, kutarik tangan dari genggamannya.

"Hei, aku masih kedinginan, nih!" protes Andi, diikuti tawa geli Erik.

Dengan sebal kucibirkan bibir pada mereka. Enak aja! Ngambil kesempatan dalam kesempitan,gerutuku.

Sesi latihan hari ini pun berakhir sempurna. Sepertinya, terlalu sempurna. Karena aku terus-menerus tersenyum simpul di hari-hari berikutnya. Kejadian dengan Sembada terlalu indah untuk dilupakan.

"Kayaknya, si Andi juga sulit melupakan tanganmu. Hihi," celetuk Ami sambil menyikutku. Memberi isyarat agar melihat Andi yang tengah mesem-mesem memandangku.

"Hampir seminggu, tuh orang kayak gitu terus," gerutuku sebal sambil mendelikkan mata pada Andi.

Ami cekikikan. Dia benar, Andi rupanya kegeeran. Aku dengan terang-terangan menunjukkan rasa sebal padanya. Memasang wajah kusam, mencibir, mendelikkan mata. Dan, usaha lainnya, yang penting dua orang itu segera enyah dari hadapanku. Seminggu yang menyebalkan bagiku. Lalu, ketika waktu latihan kedua tiba, aku tidak melihat Andi lagi.

"Kemana koncomu?" tanyaku pada Erik yang tengah siap-siap latihan.

"Lagi pulang kampung," jawabnya ketus, "patah hati katanya sama seseorang." Erik lalu ngeloyor begitu saja dari hadapanku.

Pret. Patah hati segala, hinaku dalam hati. Siapa suruh juga kegeeran kayak gitu?

"Mmm. Dita. Lihat itu." Ami menarik-narik lengan baju dengan panik, memintaku melihat sesuatu.

Lalu, kuarahkan pandangan ke tempat yang ditunjuk Ami. Seketika jantungku melambat detaknya, berhenti malah. Itu karena aku berhenti bernafas. Saking terkejutnya melihat Sembada tengah merangkul senior yang selama ini digosipkan sebagai pacarnya. Oh, tidak!




Sumber : Google





anasabilaAvatar border
someshitnessAvatar border
tien212700Avatar border
tien212700 dan 27 lainnya memberi reputasi
28
8.1K
106
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
icon
31.4KThread41.4KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.