IdhamahdIAvatar border
TS
IdhamahdI
Ngobrol Lintas Bahasa di Bandung
Normalnya ketika kita menjamah tempat baru, bahasa merupakan persoalan utama bagi para pendatang, tapi enggak di sini. Gue gak perlu khawatir soal perbedaan bahasa di Bandung, karena selain lingkungan perantauan gue bukan terletak di pelosok daerah yang masih menempel dengan bahasa daerahnya yang totok, kampus gue juga sangat multikultural. Malahan dibanding orang Sunda asli, kampus gue lebih banyak diisi oleh kaum pendatang. Selain dari Jabodetabek, pendatang di sini lebih banyak didominasi oleh orang Padang dan Jawa. Ini yang membuat gue kuliah di Bandung tapi kayak gak kuliah di Bandung.

Perbedaan kultur ini membuat sedikit banyak pengaruh terhadap bahasa percakapan antarmahasiswa. Untuk beberapa mahasiswa yang berasal dari daerah, penggunaan kata ‘aku’ dan ‘kamu’ merupakan hal yang biasa. Tentunya ini agak asing bagi gue yang semasa di Bekasi dan Jakarta terbiasa dengan bahasa ‘lo-gua’-nya. Rasa canggung dan segan saat berkenalan dengan orang-orang baru membuat gue harus menyesuaikan dengan penggunaan kata ganti orang tersebut pas awal-awal kuliah.

Sebenernya ada plus-minus dalam menyesuaikan dengan kebiasaan seperti ini. Selain bisa berkenalan dengan budaya baru, tentu poin plusnya adalah suasana intim dan akrab yang terbangun ketika gue berbicara dengan cewek, apalagi dengan gebetan. Ngomong ‘aku-kamu’ dengan cewek yang disukain di luar status pacaran adalah hal yang gak pernah gue dapetin semasa sekolah dulu. Boro-boro ngomong 'aku-kamu', berdiri 10 meter di belakang gebetan aja gue mimisan.

Ketika gue kuliah, es pembatas itu mencair seketika. Gue bisa merasakan sensasi pacaran hanya dari percakapan ‘aku-kamu’ dengan gebetan. Ya cuman sensasi, pacaran beneran sih enggak. Sebagai cowok yang belom pernah pacaran selama 24 tahun, ini aja udah menjadi kesenengan tersendiri bagi gue. Bener-bener menyedihkan. Dari mulai cinta monyet a la anak kecil yang dilarang oleh orang tua ampe sekarang udah dibolehin, gue emang belom pernah ngerasain yang namanya pacaran. Kayak rada aneh kalo misalnya gue ngebandingin omongan Emak ke gue waktu kecil ama pas sekarang.

Pas gue kecil

Emak : Kamu tuh pacaran kalo udah gede aja...

Gue : Ya...

Sekarang

Emak : Kamu sekarang udah boleh pacaran kok... mana pacar kamu?

Gue : Yah...

Ada plus, pasti ada minus. Plusnya kalo gue ngomong 'aku-kamu' dengan cewek. Minusnya adalah ketika gue harus berinteraksi dengan lawan gender tersebut, yaitu cowok. Ngomong ‘aku-kamu’ ke cewek yang dari daerah emang terasa menyenangkan, tapi ketika gue melakukan itu ke temen cowok gue, itu bakalan terasa homo abis. Emang gak semua cowok menggunakan sebutan 'aku' sebagai kata ganti orang pertama, tapi beberapa dari mereka masih memegang budaya komunikasi daerahnya. Otomatis gue gak bisa mengelakan model percakapan ‘aku-kamu’ dengan mereka. Awalnya emang kerasa canggung, tapi setelah berusaha untuk menyesuaikan, akhirnya kebiasa juga. Namun terlalu terbiasa justru bukanlah sesuatu yang baik bagi gue. Nyesek-nyeseknya gue dikatain homo ama temen-temen. Emang sih, kalo ngebayangin percakapan sehari-hari gue ama temen cowok diisi dengan kata ganti ‘aku-kamu’ rasanya bakalan salah abis.

Contoh:

Gue : Eh, kamu udah makan belom? Makan bareng yuk.

X : Wah, boleh, tuh, di kantin aja yuk.

Gue : Ih, kebetulan, aku juga mau ngajak kamu ke kantin. Kyaa... kyaa...

Kemudian kita jalan ke kantin dengan rambut kepang dua dan rok mini sambil jingkrak-jingkrakan sampe sempak renda-rendanya keliatan.

Dunia menggelinjang.

Pokoknya, sejak gue dicengin gara-gara gue ngeladenin bahasa ‘aku-kamu’-nya temen cowok dari daerah, gue jadi gak pernah ngomong ‘aku-kamu’ lagi ama cowok.

Persoalan bahasa dalam perbedaan budaya ini tentu gak hanya itu. Roaming adalah masalah paling esensial dalam perbedaan bahasa ini. Kita pernah berada dalam situasi seperti kehilangan sinyal saat terjebak dalam lingkaran obrolan yang berbahasa asing, dan itulah yang sering gue rasakan semasa di Bandung. Uniknya, roaming yang gue rasakan justru bukanlah ketidakterjangkauan pemahaman gue terhadap bahasa Sunda yang notabenenya merupakan bahasa lokal di Bandung, melainkan terhadap bahasa Padang dan Jawa. Ini sering banget terjadi.

Misal waktu gue lagi diskusi kelompok sama si Irsyad dan Okta yang kebetulan sama-sama orang Jawa tulen. Dengan posisi yang tepat berada di tengah-tengah mereka yang lagi ngobrol make bahasa Jawa, gue cuman bisa bengong tanpa nyawa. Ketika mereka berdua lagi ngomongin topik tugas kuliah, pikiran gue malah mengawang ngebayangin nenek-nenek lagi breakdance. Di khayalan gue, nenek tersebut lincah banget. Handstand, pala muter-muter kayak gasing, pokoknya doi melakukan gerakan-gerakan yang berada di luar akal sehat manusia dengan gampilnya. Gue langsung terbangun dari khayalan ketika dalam bayangan tersebut, si nenek mulai melakukan gerakan ngangkang. Butuh 3 minggu untuk memulihkan otak gue dari trauma karena khayalan tersebut.

Ikatan kekerabatan mahasiswa daerah di Telkom sangatlah erat. Masing-masing memiliki komunitas budayanya. Sebagai mahasiswa satu suku, tentu paling nyaman adalah mengobrol dengan dialek daerahnya. Itu bagus. Bahkan gue sedikit iri dengan orang-orang daerah yang menguasai bahasa sukunya masing-masing di samping bahasa nasional. Mereka seperti mempunyai atribut istimewa yang gak dimiliki oleh orang pada umumnya. Ketika berada di tengah-tengah mereka, roaming sering terjadi, gue gak paham apa-apa. Sebenernya gue gak terlalu mempermasalahkan hal tersebut. Mereka punya bahan obrolan dan gue juga gak perlu sok-sok pengen nimbrung. Tapi kan ngobrolnya gak usah pas di tengah-tengah proses diskusi kelompok juga kali... Sekarang siapa yang mau tanggung jawab ama trauma otak gue gara-gara abis ngebayangangin nenek-nenek ngangkang.

Culture gap emang udah banyak melahirkan dampak dari segi bahasa. Bayangin hanya dari dua budaya yang berbeda aja bisa mengakibatkan pergeseran makna yang luas. Misal kita tau kata ‘bujur’ secara umum dapat diartikan sebagai garis khayal yang menghubungkan titik-titik kutub bumi. Tapi begitu udah nyampe di Sunda, arti kata tersebut berubah total menjadi ‘pantat’. Itu padahal ruang lingkupnya masih Indonesia, gimana Asia? Gimana Dunia? Belom kalo misalnya kita bicara soal aksen. Aksen Padang, Sunda, Jawa, Papua, dan lain-lainya sangat berbeda. Setiap dialek daerah memiliki kekhasan intonasinya masing-masing. Kayak misalnya di Sunda yang sangat kental dengan fonem ‘eu’ atau ‘ǝ’-nya. Arti kata ‘perut’ dalam bahasa Sunda gak bisa diucapkan dengan artikulasi ‘beteng’, melainkan ‘beuteung’. Hal ini berlaku juga dengan kata ‘hideung’, ‘peupeus’, atau ‘peuyeum’.

Contoh lain dari keunikan gaya komunikasi daerah adalah Medan yang identik dengan pengucapan ‘e’-nya yang kental. Sebuah pengalaman lucu masih teringat di otak gue tentang orang Medan yang sedang berada di tanah Sunda. Itu adalah kejadian saat gue ospek dulu. Kata orang, ospek merupakan kenangan yang tak ternilai harganya. Padahal gue mau aja ngejual kenangan ospek gue seharga satu milyar.

Tapi emang bener, bagi gue ospek merupakan pengalaman yang sulit untuk dilupakan. Gue yakin semua mahasiswa Telkom angkatan 2010 juga gak akan bisa ngelupain momen di mana mereka bangun jam setengah empat, lari-lari ke kampus, push up di lapangan, ngegelinding ke kubangan... Oke, yang ngegelinding ke kubangan itu cuman gue.

Panitia ospek secara garis besar dibagi menjadi dua peran, yaitu tatib atau tata tertib dan mentor atau memen... Mentor gak ada singkatannya ya? Tugas tatib adalah jelas, menegakan tata tertib dan berperan antagonis. Mereka berusaha sekeras mungkin untuk menampilkan image yang intimidatif di hadapan para peserta ospek. Di satu sisi, mentor lebih berperan sebagai ‘kakak-kakak yang baik’. Merekalah yang menjadi teman, tempat diskusi, tempat ngobrol santai, tempat ngopi, tempat benerin motor, tempat service AC, dll.

Semasa ospek, kita ditekankan oleh para senior terhadap budaya kata sapaan yang sebenernya rada kurang sreg untuk diterima ama gue. Kita diajarkan untuk memanggil senior laki-laki dengan sebutan ‘Abang’ dan senior perempuan dengan ‘Teteh’. Pokoknya tiap senior lewat, kita harus nyapa, “Pagi, Bang...” Gue bukannya gak sudi untuk menyapa para senior cowok dengan sebutan ‘Abang’. Yang gue gak sudi adalah ketika gue yang berbalik menjadi senior dan dipanggil ‘Abang’ oleh para junior. Maksudnya ini kan Bandung, kenapa pangggilannya gak ‘Akang’ atau ‘Aa’ aja, sih? ‘Abang’ itu kan sangat Betawi?! Gak enak banget pas dari kejauhan gue rame-rame dipanggil “Bang! Bang!” ama junior-junior. Gue berasa kayak tukang susu murni yang lagi diuber-uber ama bocah-bocah kampung. Kan kalo dipanggilnya ‘Aa’ kedengerannya lebih enak aja. Apalagi kalo dipanggilnya sama sama adek-adek lucu dengan nada suara yang manja, “Aa Idhaamm...”

Ngilu kan gue.

Budaya panggilan sapaan ‘Abang-Teteh’ hasil perpaduan antara Betawi-Sunda tersebut pada akhirnya diadaptasi juga oleh kita mahasiswa pendatang yang berasal dari daerah yang beragam, termasuk oleh si orang Medan yang menjadi tokoh kunci di cerita ini. Jadi pada hari terakhir ospek, kita semacam ada sesi tesimoni gitu. Beberapa peserta yang terpilih akan disuruh maju ke depan untuk memberikan kesan-kesannya sepanjang ospek. Ya ini terbilang biasa, calon mahasiswa dan mahasiswi diberikan kesempatan untuk melukiskan kata-katanya dalam bertestimoni di depan peserta ospek yang lain.

Yang gak biasa adalah ketika si orang Medan tersebut memberikan beberapa patah kata terkait kesannya terhadap ospek ini. Ohiya, sebelomnya gue mau ngasih clue bahwa si orang Medan yang gue ceritain ini berjenis kelamin lelaki. Oke, sekarang kita lanjut lagi. Jadi di depan anak-anak, si orang Medan ini ngomong,

“Saya sangat senang untuk bisa berada di sini, semuanya sangat baik, Abang dan Tete sekalian”

Hah?

Tunggu, tunggu, dia bilang apa barusan?

*replay adegan dengan slow motion*

"Teee... teeeeeeeee........."

Tete.

Barusan dia bilang Tete...

TT.

TETE.

Sontak suasana langsung diramaikan dengan gelak tawa peserta dan panitia ospek.

Kesempatan berbicara belom selese, semua udah pada pecah duluan. Si orang Medannya pun cuman bisa ikut ketawa dengan muka yang memerah. Gue tau, maksud dia pasti pengen bilang ‘Teteh’, cuman ejaan ‘e’ khas Medan yang sangat medok plus artikulasi ala orang Prancis yang kerap menghilangkan konsonan di belakang membuatnya jadi terdengar ‘Tete’. Ini bener-bener bisa mengundang kesalahpahaman tingkat tinggi. Maksudnya apa yang berusaha diutarakannya saat laki-laki akil baligh ini bilang bahwa dia SENANG SAMA TETE ABANG-ABANG????

Rancu abis.

Sebenernya kata ‘Teteh’ sendiri merupakan kata yang sangat umum dan tidak asing didengar di Indonesia, sama halnya dengan ‘Abang’ dari Betawi dan ‘Mbak’ dari Jawa. Namun mungkin faktor frekuensi pemakaian kata itu di kampung halamannya yang nol sama sekali membuat pengucapannya sedikit membutuhkan effort untuk menyesuaikan. Ternyata urusan pronunsyia... pronunsesy... pro... pronunciation juga bisa menjadi masalah pada tata bahasa lokal di negara sendiri. Tuh, kan...

Dear, Diare...

Kali ini gue baru aja ngelewatin pengalaman berharga mengenai keberagaman budaya. Gue belajar bahwa tiap daerah mengemban identitasnya masing-masing. Ada yang kayak begini, ada yang kayak begitu, ada yang gini, dan ada yang gitu. Semuanya ini sangat menarik, gue sangat suka biji kenari. Ohiya, terakhir... tulisan ini gak ada maksud menyinggung budaya daerahnya masing-masing loh yaa... pokoknya no sara, no dewi, just peace... ngeheheh... *tawa mesum*

Diubah oleh IdhamahdI 09-07-2019 08:57
someshitnessAvatar border
someshitness memberi reputasi
1
1.4K
0
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
B-Log Personal
B-Log Personal
icon
6.1KThread9.2KAnggota
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.