Sumber gambar : doc.pri



Ini seperti yang saya rasakan pagi itu. Ketika acara workshop pertama komunitas penulis fiksi Wong Ayu, yang juga penulis Kaskus, di Pesantren Putri Wahid Hasyim kota Bangil akan digelar. Pagi buta, lepas subuh saya ke luar rumah untuk membeli sesuatu terkait pelaksanaan. Jalanan lengang, masih sepi, hanya kendaraan besar yang lewat, beberapa sepeda motor dan mobil melintas pula dengan kecepatan tinggi.

Workshop pertama Komunitas Penulis Fiksi " Wong Ayu."

Tiba-tiba di Lampu merah sepeda saya mogok, tak bisa dijalankan lagi. Panik karena waktu terus berputar, kutengok bahan bakar, masih penuh. Tapi tak bisa kustarter. Maka minggir menjadi pilihan kemudian. Kutuntun sepeda motor dengan harapan ada bengkel atau tambal ban yang buka. Sekedar menengok ada apa dengan sepeda motor saya? Kalaupun sulit diperbaiki, rencana saya, akan saya taruh saja sepeda motor tersebut di tempat itu. Naik ojol, segera pulang untuk segera melaksanakan kegiatan.

Masih sepi, tak ada satupun yang buka. Saat mendorong itulah, satu sepeda motor berhenti di depanku. Pengendaranya seorang pemuda. Dengan sopan dia menawarkan bantuan. "Alhamdulillah" Syukur pada Tuhan ku panjatkan, dikirim seseorang yang berkenan memberikan bantuan.

Maka saya beritahukan padanya perihal mogoknya sepeda motorku. Dengan ringan kakinya turun menuju sepedaku. Melihat kerusakan, mencoba memperbaiki dengan alat yang dia bawa. Ah, saya suka tapi takut mengganggu waktunya. Syukurlah dia katakan bahwa dia dalam perjalanan pulang usai kerja, dari kota Surabaya menuju Pasuruan.

Saat helmnya dilepas baru sadar bahwa dia masih unyu unyu, seusia anak saya mungkin. Tampan, dengan senyum sopan dia memberikan bantuan. Tampan rupa, hati dan perilaku. Ini luar biasa bagi saya. Usia segitu jarang mempunyai kepedulian menolong sesama. Pasti dia anak istimewa. Didikan bunda yang penuh kasih pada sesama. Menancap dalam sanubari diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Menciptakan empati.

Sumber gambar: doc.pri

Kuyakin begitu karena dia jawab, akan pulang ke rumah untuk bertemu ibu. Untuk bunda dia persembahkan hidupnya. Kerjanya. Kerinduan pada bunda selalu mendorongnya pulang. Maka jarak tempuh Surabaya Pasuruan serasa dekat saja, tak ada lelah di badannya. Surga ibu di telapak kaki sepertinya dia resapi.

Sembari ngobrol, dia mengutak atik sepedaku, masih tak bisa nyala mesinnya, disimpulkan ada yang kotor dengan saluran bahan bakar, maka bengkel adalah tempat terbaik untuk memperbaik sepedaku itu. Lalu dia sarankan aku menaiki sepeda motorku tanpa perseneling, di nolkan. Dengan kaki dia mendorong laju sepedaku.

Ini pengalaman pertama, tak kusangka dia bisa melakukannya. Kaki dijejakkan pada badan sepeda motorku, dia mendorong sepeda motorku melaju pelan, agak deg degan juga. Akhirnya sampai pula aku ke rumahku.

Lega, itu yang kurasakan, bisa sampai ke rumah dengan selamat, perkara barang yang belum sempat kubeli, akhirnya aku meminta tolong orang untuk membelikan. Satu hal yang kupelajari dari datangnya pemuda itu. Yakni, ditolong itu sungguh membahagiakan, apalagi saat keadaan darurat, hingga muncullah rasa terimakasih tulus itu. Dengan doa untuk kebaikannya. Terlihat sepele, tapi memunculkan satu energi kebaikan berlipat, apalagi ini Ramadhan, tentu kebaikan akan dilimpahkan berlipat pula. Terkhusus bagi yang menolong.

Ada niat muncul dari peristiwa itu. Demi membahagiakan orang, aku ingin berbuat sesuatu seperti yang dia lakukan. Sikap penolong yang dia perlihatkan, membuatku ingin menolong orang lain pula, dalam bentuk lain, dalam kesempatan berbeda. Karena aku tahu, doa orang yang ditolong itu begitu sangat manjur. Maka apa salahnya bila kita ambil bagian menjadi penolong pula. Membantu orang, membahagiakan orang, bisa membahagiakan diri kita pula. Yakinlah, segala urusan kita akan dimudahkan bila dalam hati kita suka menolong orang.