rykenpbAvatar border
TS
rykenpb
(SFTH) Based On The True Story "Suara-Suara Langit"




Quote:


Nekat adalah caraku melawan ketidakmampuan

Entah pikiran dari mana. Aku memilih merantau ke tanah kelahiranku--Sulsel. Setelah resign dari tempat kerja. Tiga bulan waktu yang cukup singkat untuk bertahan di toko kelontong tersebut.

Kala itu usiaku kurang dua bulan menuju 19 tahun. Tiga bulan setelah kelulusan dari SMK. Aku  langsung menekuni dunia kerja.

Dan pada suatu siang yang terik ....

"Ma, saya ingin ke Sulsel?" ungkapku sembari duduk di sofa kulit berwarna biru.

"Mau apa?" tanya ibu heran. Keningnya mengernyit.

"Jalan-jalan. Bosan di sini!"

Jawaban yang separuh jujur. Padahal sesungguhnya aku telah muak dengan bara yang terkadang memanggang otak-otak penghuni rumah.

"Uang dari mana? Biaya menyebrang tak sedikit."

"Ry punya uang dari gaji kerja. Mama tak usah pusing. Kalo kurang paling hanya tambah," ucapku ngotot.

Entah kenapa hatiku begitu kukuh. Setelah perbincangan singkat tersebut yang dibumbui pergolakan batin ibu sebab tak rela aku jauh dari rumah, sendirian merantau dan untuk yang pertama kalinya. Akhirnya izin dalam genggaman.

***

Siang itu, suasana dalam bis begitu gerah. Bis yang kutumpangi sesak dipenuhi para penumpang. Tumpang tindih, bahkan di kursi bagian belakang berjejal penumpang dan muatan barang yang tak cukup muat dalam bagasi bis.

Suara tangisan bayi, celoteh banci kaleng yang rempong ditambah kokok ayam jago yang ikut menyumbangkan kisah journey-nya menambah gerah dan bising suara deru mesin bis yang sudah mulai memasuki masa pensiun. Tapi semua itu tak terlalu mengusikku. Toh, aku bukanlah si nona muda yang selalu peduli dan ribet masalah hal seperti itu, sibuk dengan kuku-kuku yang terkelupas atau pun dengan bau peluh yang menyengat.

Kupalingkan pandang ke jendela. Kenop di dinding bis kuputar beberapa kali. Kaca jendela perlahan-lahan bergeser ke bawah dari posisi semula. Semilir angin mencipta kesejukan di antara dekapan panas. Kuseka beberapa bulir keringat di pelipis yang mulai menetes.

Ibu di samping hanya duduk terdiam. Meskipun sebelumnya ikut berbincang dengan sesama penumpang. Tak ayal bahasa daerah dengan aksennya yang kental memenuhi gendang telingaku dalam beberapa jam. Bahasa yang sejak kecil, aku hanya bengong bila disuguhi. Entah mengapa aku tak pernah tertarik mempelajari bahasa daerah dan pelajaran Bahasa Indonesia di sekolah.

Sangat bertolak belakang dengan kebutuhanku saat ini. Dan satu yang pasti kini satu penyesalan mengakhiri kemalasanku pada waktu itu. Aku baru menyadari, memahami dan menguasai berbagai bahasa lokal maupun bahasa asing adalah suatu kebutuhan. Apalagi demi menunjang kegiatan menulis yang kulakoni baru-baru ini.

***

Beberapa deretan pohon enau, satu dua pohon kelapa dan pisang menjadi pemandangan yang menemani perjalananku.

Kepingan-kepingan kenangan menjadi siluet di benakku. Perihal sahabat-sahabatku. Tentang daerah tempatku dibesarkan sejak masih bayi mungil merah hingga tahu bagaimana cara menentang sesuatu yang mengusik egoku. Jiwa pemberontak merupakan salah satu yang mendominasi pribadiku.

Tentang aku yang selalu pulang larut malam bahkan dini hari menjelang azan subuh. Tentang aku yang bergaul dengan kebanyakan lelaki alkoholik, pengguna narkotika, pun bertato. Namun, pergaulan tersebut tak menjadikanku larut sejiwa dan selaku (satu kelakuan) dengan mereka.

Semua itu bukannya tanpa alasan. Kekerasaan sejak kecil yang kualami menjadikan diriku takluk pada arogansi. Menentang ketidakadilan tentang apa pun yang berhubungan diriku adalah deretan paling tertinggi dalam standar jiwaku. Sikap kritis terkadang menggerogoti laman bungkamku. Bahkan ketidakadilan di luar diriku pun sesekali aku kritisi. Tetapi itu jika aku memilih untuk berkoar. Terkadang rasa jemu dan muak menjadikanku bungkam tentang semua itu.

Mengenang semua itu membuatku tak tega untuk berucap selamat tinggal. Bahkan kepergianku tanpa pamit kepada sahabatku. Sungguh egois. Entahlah semua terjadi ibarat di luar nalarku. Menjalani takdir kemana membawaku itulah poin jawaban tertinggi dari semua asumsi tersebut.

***

Sedikit kugeliatkan tubuh yang jengah bersandar, sedangkan ibu sibuk mengunyah kacang goreng setelah menghabiskan satu buah jeruk mandarin. Aku tak berminat untuk mencecap sesuatu pun. Mengisi perut hanya akan membuatku mual.

Pandanganku mengitari seisi bis. Suasana hening tercipta. Cuap-cuap keriting dari penumpang ternyata telah menutup usia. Hanya tampak beberapa orang tertidur pulas, lainnya sibuk dengan pikiran masing-masing.

Hingga mataku tertumpu pada sepasang mata sipit. Mata itu menatapku dengan binarnya. Sesungging senyum imut  tersampir pada pandangku. Aku mengernyit. Satu tanda tanya bertengger di otak. Mungkin senyum itu bukan buatku.

Kutolehkan pandang ke belakang. Tak ada siapa-siapa kecuali lelaki matang kira-kira berumur 45 tahun sedang tertidur pulas dengan suara dengkuran kecilnya.

Bola mataku menyisir apa pun di belakangku. Tetap tak ada siapa-siapa yang terjaga. Aku baru menyadari hanya aku satu-satunya penumpang gadis di bis itu. Untung aku tak cantik. Bila tidak mungkin aku sudah menjadi bahan gombalan lelaki seisi bis.

Kualihkan pandang ke cowok itu. Ia masih saja menatapku. 'Apa ia tersenyum padaku?' Tetapi aku tak tertarik untuk menanggapinya lebih. Meskipun ia memiliki tampang oriental.

Tak kupungkiri ia memang lumayan, berkulit putih, senyum manis terkesan imut, rambut lurus gondrong sebatas leher ditutupi topi baret warna hijau lumut---salah satu warna kesukaanku, hidungnya mancung. Hanya saja tubuhnya mungil. Tak tampak maskulin sedikit pun. Mungkin karena usinya yang masih remaja.

Kulempar sebuah senyum datar yang entah mungkin terlihat terpaksa. Aku tak pernah peduli dengan lelaki. Beberapa kisah hitam lebih mengangkangi pikiran benciku. Ya, jujur aku membenci lelaki. Namun, itu dahulu. Saat ini berangsur-angsur rasa penerimaan mulai membuka jalur negosiasi.

***

Menjelang magrib. Kesibukan malam hari tampak mewarnai pelabuhan penyebrangan Kolaka.

Kini aku sedang menunggu jadwal keberangkatan pada pukul 20.15 WITA.

Sejuk semilir angin laut dan debur ombak adalah aroma kenangan yang tak terlupakan hingga saat ini. Aku menyukai laut. Sangat menyukai dibanding senja. Aku sangat merindukan suasana laut. Laut sangat jauh dari tempat tinggalku saat ini. Butuh perjalanan empat jam, berjarak kurang lebih dua ratus Km untuk bersua dengan laut serta harus melintasi hutan lebat nan angker, tebing terjal, juga jalan berkelok-kelok. Bukan perjalanan mudah bila hanya untuk menikmati nuansa laut.

***

Riuh pikuk tampak dalam kapal yang terang benderang dengan penerangan dan segala kesibukannya. Para ABK dan penumpang lalu lalang di sekitarku. Aku dan ibu sibuk dengan barang bawaan kami. Setelahnya mengambil tempat untuk melepas lelah setelah seharian duduk di bis.

Kapal yang oleng disebabkan ombak yang kuat malam itu. Alhasil membuatku gelisah dan tak bisa tidur. Kondektur bis yang sejak tadi menatapku tak kupedulikan. Aku hanya sibuk memasang tampang judes. Penampilannya membuatku waspada. Rambut ikal gondrong sepinggang mengingatkanku pada perampok. Meskipun ia sempat menyapaku beberapa kali.

Jengah mendapat tatapan tanpa berpaling sedikit pun. Akhirnya kuputuskan turun di dek kapal.
Aku berpas-pasan dengan cowok tadi. Ia tersenyum. Kali ini ia memakai topi kupluk warna hitam. Ia memberi jalan di sampingnya. Tubuh kami hampir bersisian. Hanya beberapa inci. Beberapa orang menambah sempit. Rasanya agak kikuk juga. Jalur kami berbeda. Ia hendak naik sedang aku menuruni tangga.

Aku akhirnya berdiri di dek kapal. Debur ombak memecah pada pinggir dasar kapal menampilkan lukisan abstrak nan indah. Malam itu sedikit gerimis. Semilir kian menambah gigil yang menusuk. Aku lupa mengambil sweater. Shirtputih dan jeans biru tak mampu menahan rasa dingin. Aku hanya menikmati sebentar lalu beranjak dari situ.

***

Kami masih bersama dalam bis antar kota, sejak para penumpang dan sopir singgah mengisi perut yang keroncongan hingga perpisahan. Cowok itu masih sering menatap dan mencari perhatian. Jujur aku tak suka karakternya. Tampak childish. Namun, hingga kini wajahnya masih kuingat jelas. Rasanya kini aku menyesal tak sempat berkenalan saat itu. Mungkin saat ini ia sudah berkeluarga.

***

Sengkang

Kuhirup udara kota kelahiranku. Suasana panas siang itu tak menyurut inginku untuk menikmati sejuknya angin mamiri.

Kini aku dan ibu berdiri di satu titik jalan A. Magga Amirullah. Rumah berlantai lima berarsitektur eropa modern yang menjadi tujuan, berdiri megah di hadapanku. Kaca mika berwarna biru, orange menghiasi jendela. Lantai paling bawah merupakan toko. Tertera papan bertuliskan Toko Sutera Indah di atas pintu masuk.

Pertemuan hangat pun terjadi. Saling pelukan dan bertanya kabar. Teletubbies kata anak zaman now.

Singkat cerita aku bekerja membantu usaha tekstil tante dan nenek yang sudah merambah ke seluruh Indonesia.

***

Anggota keluarga tante yang perempuan seluruhnya berhijab. Jadwal pengajian rutin tiap selasa dan kamis malam selalu diadakan dan itu bergilir. Kadang di rumah ustad terkadang di rumah tante.

Suasana religius dalam keluarga tante membuatku canggung. Pakaian seksi yang terkadang kukenakan tak ayal jadi titik perhatian. Belum lagi pandangan para anggota pekerja lelaki.

Kuhabiskan hari-hariku untuk kerja. Setelahnya aku dan para sepupu juga pegawai lain melepas lelah menikmati suasana malam di lantai lima---lantai paling atas. Santap camilan sambil menatap orang dan kendaraan lalu lalang di bawah. Satu kebiasaan burukku adalah duduk di tepi atap rumah yang terbuat dari beton. Mengingat itu, aku yang saat ini phobia ketinggian merasa ngeri.

Sesekali pun aku duduk di tangga mendengar kajian islam dan lantunan ayat suci Alquran dengan beberapa sepupu yang ikut kerja. Tapi mereka hanya modus. Tujuan mereka adalah mengintip sosok calon ustad muda yang tampan.

Hingga suatu waktu ....

"Ry, mau ikut ngaji ?" Seorang sepupu bernama Ati bertanya padaku.

"Saya tak punya kemeja panjang dan rok panjang hanya jeans," tukasku.

"Tak apa nanti kupinjami," ucapnya menimpali.

"Saya tak punya kerudung!" sanggahku sekali lagi.

Semua itu demi menutupi ketidaksiapanku untuk ikut pengajian.

Ia merayuku hingga beberapa kali yang pada akhirnya aku luluh.

Setiap hari selain kerja. Aku sibuk ikut pengajian. Pakaian seksi dan ketat yang sering melekat di tubuhku berganti kain longgar, rok panjang. Rambut yang biasa terurai telah tertutupi kerudung.

Masa-masa itu merupakan masa-masa paling tenang dan bahagia dalam hidupku. Masa di mana aku tak mengenal kata cinta untuk lelaki.

Aku teringat pada satu mimpi sebelum ku merantau. Satu mimpi indah yang membawaku ke dunia baru, jiwa yang tak lagi kelam. Malam itu aku bermimpi satu tangan besar memberiku pilihan antara memilih bunga anggrek ungu ataukah anggrek pink.

Dalam mimpi itu aku bertanya bunga itu untuk apa dan warna apa yang paling indah.

Terdengar suara dalam mimpiku berucap, "Pilihlah yang menurutmu indah. Keduanya baik."

Dan saat itu aku berpikir mimpi itu adalah pertanda panggilan hidayah dari Allah.

Quote:


Quote:


GIF

:terimakasih:terimakasih:terimakasih


emoticon-I Love Kaskusemoticon-I Love Kaskusemoticon-I Love Kaskus


kumaniaksAvatar border
nona212Avatar border
dieq41Avatar border
dieq41 dan 31 lainnya memberi reputasi
32
8.9K
133
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
icon
31.4KThread41.4KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.