lin.dwija
TS
lin.dwija
Mimpi Sederhanaku







Ketika mimpiku ternyata hanya menjadi tawa bagi semua, tak banyak yang kulakukan selain tersenyum menanggapi ucapan mereka. Mungkin lebih tepatnya hinaan mereka. Kepribadianku yang humoris menjurus gila membuat mereka tak ada yang mempercayai jika aku mengutarakan mimpi itu tetapi tidak masalah, yang harus dilakukan adalah mewujudkannya dan menyumpal mulut berisik mereka. Hahaha ketawa jahat.

Kebiasaanku yang suka berkumpul kapan pun dan kadang bisa di mana pun membuat banyak warga kampung merasa tidak nyaman. Katanya jika aku datang, keributan pasti terjadi. Kebisingan menggema sehingga mengganggu mereka. Padahal, jika tidak ada yang mengusik, aku pun baik-baik saja. Kalau soal berisik, pasti terjadi karena anak muda memang selalu begitu.

Seperti saat ini, aku sedang berkumpul dengan para anak muda di kampung. Apalagi malam ini adalah malam minggu, Wakuncar (Waktu Kunjung Pacar) sedihnya aku tak punya. Ah sayang sekali!

"Farid! Gimana udah pedekate sama si cantik Delisa?" Ledekan pemuda di depanku membuat tawa ini keluar.

"Belom nih. Terhalang Pak Ustad." Ucapanku disambut tawa para pemuda lain. Aku hanya menyengir dengan menggaruk kepala.

"Mimpi loe kejauhan, Rid. Berat, loe harus bisa baca Al-Qur'an." Aku meringis kecil.

Delisa Aisyah, gadis paling cantik yang ada di kampung. Bukan hanya wajah, tetapi kepribadiannya membuatku jatuh cinta. Dengan berpakaian yang tertutup, tutur kata lembut, dan senyum yang menawan berhasil meraih hati ini. Kesulitan untuk mendekatinya adalah karena gadis itu anak dari seorang ustad. Sedangkan aku, pemuda berandalan yang berharap bisa menjadi calon imamnya.

Pribadi Delisa yang ramah, ia tidak memilih dengan siapa dia bicara atau dengan siapa gadis itu berteman. Semua ia perlakukan baik dan membuatku semakin meleleh bagai sebuah lilin.

***
"Dek Delisa!" Kupanggil sang gadis pujaan saat melihatnya berjalan sendiri. Berlari menghampiri gadis itu lalu berdiri di depannya.

"Eh, Bang Farid." Suaranya begitu lembut. Senyum indah terukir di bibir cantik itu. Seketika hatiku menghangat karena dia mau menjawab sapaanku.

"Mau kemana?" tanyaku. Tatapan Delisa tiba-tiba seperti orang terkejut. Entah apa yang terjadi kepadanya. Aku terdiam dengan menebak apa yang menjadi keresahannya.

"Delisa." Panggilan lain membuatku dengan cepat membalikan badan. Ternyata ada Pak Ustad Royi di belakangku. Pantas saja ekspresi Delisa seperti itu.

"Pulang, Nak." Suara pelan namun terdengar bijaksana membuatku kaku dengan susah payah kutelan saliva. Delisa berpamitan kepadaku dan pergi berlalu.

Kutatap Pak Ustad Royi dengan cengiran di bibir. Terlihat kepalanya menggeleng lalu ia mengulurkan tangannya.

"Saya tidak pernah memandang siapa pun. Pria kaya, miskin, baik atau nakal semua sama di mata Allah Subhanahu Wa'Taala. Yang membedakan adalah ibadah mereka." Ucapan Pak Ustad Royi membuatku terdiam. Tak mengerti maksud dari ucapannya. Lalu sebuah tasbih kecil Pak Ustad Royi sodorkan kepadaku. Aku menerimanya.

"Saya sudah mendengar rumor di kampung ini. Jika kamu bersungguh-sungguh, berubahlah. Perbaiki diri dan ibadah kamu." Setelah mengatakan itu Pak Ustad Royi meninggalkanku yang terdiam membeku mendengar ucapannya. Kutatap tasbih kecil yang ada di tangan lalu senyum lebar terukir di bibir.

Aku akan berubah!
Aku janji!


***
"Sodaqallahul 'adhim." Kuakhiri belajar ngaji hari ini. Dibantu oleh Adam, anak kecil yang mengaji di mushala tempat Pak Ustad Royi mengajar. Aku belum berani bergabung mengaji di sana karena kemapuan mengaji yang belum baik juga takut mempermalukan Pak Ustad Royi karena calon menantunya belum bisa mengaji. Aku juga memperbaiki solat lima waktu. Sebisa mungkin tak kulewatkan kewajiban itu.

Kini sudah jarang aku berkumpul dengan para pemuda di malam hari, aku lebih memilih terus membenarkan mengajiku yang pasti akan berakhir indah daripada harus berkumpul yang tidak ada gunanya. Banyak dari para teman-teman menanyakan perubahan yang terjadi padaku. Mereka mengejek dan kembali menghina tetapi aku tidak peduli. Biarkan saja. Mereka tak tahu apa-apa.

Aku berjalan pulang setelah selesai mengaji di rumah Adam. Melewati pos ronda tempat biasa berkumpul. Pandangan mata tertuju kepadaku. Berjalan santai lalu menghampiri mereka. Aku meminta salah satu teman memberikan tempat untuk duduk. Tidak ada yang bicara beberapa detik. Sampai tiba-tiba, tawa menggelegar membuat telingaku berdengung.

"Udah tobat loe, Rid? Sumpah ngakak gue!"

"Baju apa yang loe pake? Biasanya juga pake baju sama celana robek. Sekarang pake baju koko sama peci loe!"

"Rid, jangan mimpi deh. Loe pikir dengan gini loe bisa dapetin Delisa?"

Suara tawa, ucapan ejekan dan hinaan terdengar begitu puas. Aku hanya diam dan menanggapinya dengan senyum. Sebenarnya ini bukan pribadiku tetapi, entah kenapa sejak ucapan Pak Ustad Royi waktu itu tak lagi memikirkan semua ejekan mereka.

Aku menjitaki kepala mereka dengan gemas setelah diam beberapa saat. Tawa mereka sangat puas membuat tanganku gatal. Suara ringisan terdengar dari mulut kelima orang pemuda.

"Seharusnya loe dukung gue. Bukan malah ngejek!" Tawa itu terdengar kembali tetapi tidak lama. Mereka berlima tiba-tiba mendekati wajahku secara bersamaan.

"Loe seriusan udah tobat?" tanya salah satu temanku.

"Kita nggak tau kapan bakalan mati, bisa aja besok atau lusa, atau hari ini. Makanya, Sob, kalian harus berubah. Gunain waktu yang Allah berikan untuk melakukan hal baik," ucapku yang justru menyemburkan tawa dari bibir mereka. Aku hanya diam dengan melipat kedua tangan.

***
Berjalannya waktu, aku seperti menemukan jati diri juga bisa dekat dengan Delisa, wanita yang sangat dipuja. Melihat perubahan yang terjadi padaku, membuat binar bahagia terlihat di mata gadis itu. Jika boleh menebak, aku yakin jika Delisa juga mempunyai perasaan yang sama. Sungguh bahagia hati ini jika memang itu benar.

Hari ini, rasa gugup menjalar ke hatiku. Detakan jantung berdetak abnormal. Bagaimana bisa tenang, jika saat ini di depanku ada Pak Ustad Royi yang tengah menatap intens. Susah payah aku menelan ludah.

"Masih ingin melanjutkan niatmu?" tanya Pak Ustad Royi. Aku menatapnya. Tatapan lembut itu sedikit membuatku tenang. Pria paruh baya di depanku ini benar-benar berbeda dari yang lain.

"Ma-masih, Pak Ustad," ucapku terbata. Aku mengelap keringat yang mengucur di kening.

"Katakan padaku apa niatmu?" Aku terbelalak. Tubuhku seketika gemetar mendengar ucapannya. Namun, inilah kesempatanku. Aku tidak boleh ragu!

"Menjadi imam untuk Delisa," ucapku mantap. Kulihat senyum terukir di bibirnya. Aku mengembuskan napas lega tetapi apa artinya itu?

"Terus belajar mengaji. Iqra, Juz'Amma dan Al-Qur'an. Hafalkan surat Al-Kahfi dan bawakan itu sebagai mahar." Ucapan Pak Ustad Royi membuatku tak percaya. Aku terdiam sesaat sebelum akhirnya mencium tangannya berkali-kali.

Akhirnya, mimpi sederhanaku sebentar lagi terwujud. Pujian rasa syukur terus keluar dari bibirku.
Aku akan terus berusaha.
Agar mimpiku benar-benar tercapai.

-Tamat-
Diubah oleh lin.dwija 14-05-2019 04:48
bekticahyopurnoKnightDruidanasabila
anasabila dan 19 lainnya memberi reputasi
20
4.3K
46
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
icon
31.3KThread40.9KAnggota
Terlama
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.