Namaku
Larasati Kinawa. Ayahku memberikanku nama Larasati yang diambil dari nama tokoh pewayangan Dewi Rarasati, berarti "pejuang yang kuat". Sementara, Kinawa merupakan kata sifat dalam bahasa Toraja yang berarti "baik". Karakterku sendiri pun kurang lebih cukup tersampaikan dari namaku. Entah nama tersebut telah memberikanku roh ataukah memang aku terlahir dan tumbuh menjadi wanita yang mandiri dan senang berkawan. Sejak aku berhasil masuk Fakultas Hukum Uniersitas Indonesia, duniaku semakin ceria dan aku begitu sibuk dengan seluruh kegiatan kemahasiswaan. Aku aktif dalam beberapa organisasi dan mengikuti konferensi internasional, bahkan mengikuti kompetisi ilmiah. Sejak saat itu, aku berkenalan dengan teman-teman dari berbagai pulau, bahkan lintas negara.
Kini, aku bekerja sebagai Head of Legal di salah satu perusahaan real estate terbesar di Jakarta. Kira-kira sudah sekitar sebelas tahun sejak aku menjadi seorang Sarjana Hukum. Baru-baru ini aku mendapatkan email dan pesan teks di semua media sosialku dari seorang pria Jepang yang sudah lama ku kenal. Ya dia adalah Yukata. Cerita ini adalah kisahku dengannya, mulai tentang pertemuanku dengannya saat aku masih menjadi seorang mahasiswi semester akhir di Universitas Indonesia dan dia pun seorang mahasiswa semester akhir di Keio University, Jepang.
- - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -
Sudah seminggu ini aku berada di rumah karena libur semester. Sebenarnya libur ataupun tidak, hal itu tidak jauh berbeda. Aku lebih sering di rumah menyelesaikan skripsiku karena aku sudah di semester akhir dan berharap aku dapat wisuda di akhir tahun 2008, sehingga aku ke Depok hanya jika ingin bertemu dengan dosen pembimbing.
Belakangan cuaca di Jakarta sangat panas. Biasanya saat berada di rumah aku hanya akan memakai hotpants dan tanktop. Pakaian yang sangat dibenci oleh abangku, Mitcel. Baginya, pakaian tersebut sangat tidak sopan dan elegan. Tentu hal itu tak pernah ku dengarkan apalagi di cuaca yang begitu panas. Pikirku busana tersebut sangat pantas kok untuk waktu santai apalagi dipakai saat berada di rumah.
Quote:“Hey, Ras, ngapain sih mondar-mandir kayak setrikaan, baju lo gitu lagi, ntar ada tamu kan gak sopan”, kata Bang Mitcel setengah berteriak karena kesal.
“Aku mo keluar ntar sore abang ganteng, jadi aku perlu nyetrika okay?”, jawabku menggodanya
“oh ya, lagian aku kepanasan di rumah, kan gak harus aku pakai daster kayak tante-tante dong”, tambahku sambil membalikka badanku padanya dan membuat mimik wajahku sedikit menyebalkan, lalu langsung berlari masuk kamar.
“Ihh, bandel banget sih kalo dibilangin, childish tau gak?”, kata bang Mitcel tersenyum dan berdiri berusaha mengejarku.
Begitulah abangku, Ia terkadang akan tersenyum atas sikapku yang selalu menggodanya. Tapi kalau mood dia sedang kesal aku akan diam saja.
Siang itu, Aku mempersiapkan baju yang akan ku pakai ke pernikahan Ayumi malam nanti. Aku mencoba tiga gaun secara bergantian dan memastikan gaun mana yang cocok denganku untuk nanti malam dengan terus berputar-putar di depan cermin. Ini sudah tentu kebiasaan yang dilakukan oleh semua kaum Hawa saat mencoba gaun mereka.
Quote:drrrttt...drrrttt...drrrttt...
“Yes, hadir”, sapaku
“Hai Ras, bentar lagi ketemu jam 4 ya di Kampus UI Salemba”, kata Rika
“Hah? Aku belom siap lagi. Ini udah jam berapa sih?”, aku kaget sambil melirik jam di meja belajarku
“Seriusan? Astaga, ini udah setengah tiga Ras, kan kita mesti jemputin teman-temanku dulu di tempat Ayumi”, jawab Rika kaget
“Haha, wo wo, slow, sorry, aku cepat aja deh dandan ala cowboy, aku deketlah ke salemba, semenit juga nyampe”, kataku bercanda
“ye ye ye, bener ya hahaha, jangan pakai jeans tapi”, kata Rika tertawa karena tahu aku suka lama kalau sudah ketemu cermin dan jika menyerah dandan, dia dan Zacky biasanya akan melihatku dengan dandanan yang super duper cuek memakai jeans saat menghadiri acara apapun.
“Ha ha ha, okelah mak cik, bye”, kataku dengan logat Melayu menggodanya.
“eih, beneran kamu dress-up ya Ras, ada cowok cakep temenku”, kata Rika menghentikanku untuk menutup telpon.
“Masa? Gak suka Nippon tapi, weekk. Udah ah biar aku siap-siap nih”
“Ha ha ha, oke deh. Bye”, jawab Rika lalu menutup telponnya.
Aku melihat dua gaun yang ada di atas tempat tidurku, lalu kembali melihat ke dalam cermin memperhatikan gaun yang sedang kupakai. Dahiku pun berkerut sambil menghela nafas karena aku seketika bingung menentukan gaun mana yang akan kupakai.
“Aha, kalau begini sebaiknya aku pakai cara cermat ala Larasati Kinawa”, dengan senyum yang mengembang aku pun memulai ritual memilih gaunku. Telunjukku pun mulai menunjuk gaun yang sedang aku pakai dan gaun lainnya secara bergantian. “Pakai, ngak, pakai, nggak, pakai, nggak, pakai,nggak,pakai”. Akhirnya pilihanku pun jatuh pada gaun berwarna pastel yag sedang kukenakan.
“Aduh kenapa harus gaun ini sih, ini kan terlalu biasa dibanding yang lainnya. Tapi ya udahlah, kelamaan deh Laras”, sambil ngedumel sama diri sendiri dan menyerah terhadap gaun pastel yang lebih terlihat seperti short dress yang manis untuk pesta cocktail ketimbang untuk acara malam. Aku pun bergegas menggunakan make-up yang seadanya. Lalu rambut aku.... Aku membuka gulungan rambutku satu demi satu dan hasilnya rambutku terlihat curly.
Hal yang selalu kulakukan pada saat itu adalah menggulung rambutku dengan kertas koran agar hasilnya curly. Rambutku yang panjang sebahu pun akan menjadi ikal dan curly-nya terlihat alami setelah aku membuka ikatan kertas koran satu demi satu. Ini menggelikan, Aku bahkan tidak pernah memberitahukan hal ini kepada siapa pun bagaimana aku membuat rambutku yang mereka kagumi itu bisa menjadi curly. Tentu saja aku malu, bahkan mengingatnya saja membuatku tertawa terpingkal-pingkal. Tetapi aku sangat menyukai hasilnya, dibandingkan menyetrika rambutku seperti teman-teman yang lain pada saat itu.
Quote:Sekarang sudah pukul 16.10 WIB, aku sudah memarkir mobil selama 20 menit, namun Rika belum juga terlihat, Ia bahkan tidak mengangkat telponku.
drrrttt...drrrttt...drrrt...
“Ras, kamu di mana, sorry aku gak bisa angkat telpon tadi soalnya aku jadinya naik motor”, kata Rika dengan napas tersengal-sengal.
“Ah, pantesan. Aku ada di parkiran depan kok ini, pas dibawah pohon biar adem. Kamu di mana?
“Oh, keluar aja kalau gitu, aku di pintu keluar nih. Aku tunggu di sini ya.” Rika mengarahkanku keluar. Posisinya berdiri sudah terlihat dari kaca spion mobilku. Aku pun segera menuju pintu keluar kampus dan menghentikan mobilku tepat di depan Rika.
“Wuihhh, panas-panas jilbaban tapi tetep wangi ya jeng”, kataku sambil tertawa menyambutnya saat membuka pintu mobil.
“Ah iya nih, semprot dulu biar gak bau matahari. Sorry banget ya Ras, tadi agak padat depan rumah, untung ada ojek lagi markir”
“Santai aja. Sekarang ke mana nih kita?”, jawabku tersenyum dan mulai melajukan mobil ke jalan utama.
Rika pun membuka ponselnya mencoba mencari sesuatu di sana sambil bergumam.
“Aku juga belum pernah ke sana nih. Katanya rumahnya di Kemang. Alamatnya di sini nih, tau gak?” katanya sambil menunjukkan pesan yang berisi alamat tersebut.
“Oh oke, aku tau gak jauh dari ranchmarket nih”, kataku sambil kembali memperhatikan jalan.
“iya bener, kata Ayumi juga gitu. Katanya ada pizza marzano juga di dekatnya”, jawab Rika lega mendengarkan jawabanku tadi.
“Oh iya Ras, ngapain aja belakangan, Zacky ternyata lagi liburan ya?” kata Rika mengganti topik sambil menatapku.
“Hmm...Cuma sibuk sama skripsi aja nih. Iya Zacky gak lama sejak kalian balik dari Amrik langsung liburan gitu. Katanya mau cari inspirasi buat proposal judul penelitiannya. Dia nyuruh Aku tungguin biar wisuda bareng tapi aku bilang aja gak mau” ceritaku panjang dan kami pun tertawa.
“Oh ya, Rika, ini temanmu yang mau married orang Jepang ya?, tanyaku mengenai Ayumi yang sebenarnya tidak aku kenal.
“Oh iya, jadi Ayumi ini orang Indonesia kok”. Rika pun menggeser posisi duduknya agar cukup serong ke kanan dan bisa melihatku lalu meneruskan penjelasannya. “Jadi, Ayumi ini lahir dan hingga sd tuh di Tokyo. Papanya dosen di Fakultas Kedokteran UI. Dulu dia ke Jepang sekolah di sana. Mereka juga orang dari Makassar lho”.
Mendengar penjelasan Rika, aku langsung berpaling dengan antusias. “Masa? Kuliah di mana dia?”, tanyaku antusias. Aku selalu antusias apabila mengetahui ada teman-teman yang berasal dari Makassar, apalagi daerah Toraja. Aku, Zacky, dan Rika, secara kebetulan adalah orang-orang yang berasal dari Sulawesi Selatan. Kami bertiga juga saat SMU di kota Makassar. Aku suku Toraja, sementara Zacky dan Rika adalah orang suku Bugis-Makassar. Jadi, meskipun aku mengenal Rika belum begitu lama, namun kami bisa langsung akrab. Di samping itu, aku memang sangat terbuka dengan siapa pun untuk berteman. Aku juga tidak keberatan menemani Rika dan menolongnya meski Zacky sedang berlibur. Lagi pula, Rika anaknya smart dan baik. Selalu menyenangkan berbicara dengannya.
Quote:“Ayumi lagi ambil master degree di Jepang sekarang. Dulu S1-nya di ITB. Calon dia juga anak ITB”
“Wah, keren. Terus kamu kenalnya gimana?”, tanyaku lebih lanjut.
“Jadi, Aku dan Ayumi ketemunya lewat program magang FASID, foundation dari Jepang tahun lalu yang diadain di kabupaten Takalar di Sulawesi, Ras. Program magang itu diikuti oleh mahasiswa Jepang dan mahasiswa Indonesia. Kita buat program bantuan untuk masyarakat di desa sana, karena masih cukup tertinggal. Kita juga tinggal di sana selama dua bulan, dan tinggalnya di rumah penduduk. Masing-masing mahasiswa punya orang tua angkat gitu.”
“Ihh, gila keren banget, Kok aku gak tahu ya ada program itu. Kalau tahu aku juga ikut daftar. Banyak gak yang ikut?”, tanyaku terkagum dan antusias mendengarkan kisah magang Rika, karena Aku selalu tertarik dengan kegiatan akademis dan organisasi sosial.
“Iya, lumayan. Anak Jepangnya ada sepuluh orang dan Indonesia juga gitu. Nah ini mereka yang mau kita jemput nih Ras. Tapi aku belum pasti siapa aja yang datang. Katanya sih temanku yang namanya Yuki dan Yukata yang datang. Terus ada juga temen Ayumi yang bareng dia di AIESEC”.
“Oh gitu?? AIESEC apalagi tuh?”, tanyaku kebingungan. Lalu melanjutkan, “Jadi yang dijemputin banyak nih? Muat gak ya di mobil?”, tanyaku mulai panik. Mobil yang aku bawa adalah mobil jeep, Suzuki Vitara.
“Ha ha ha, tenang, harusnya sih muat, soalnya Ayumi minta tolong cuma satu mobil kok.” Kata Rika sambil menepuk pundakku mencoba menenagkanku. “Well, AIESEC tuh organisasi mahasiswa internasional, anak-anak muda gitu untuk pengembangan jaringan dan potensi leadership. Kemarin aku diajakin Ayumi juga buat perkenalkan organisasi ini di kota Makassar ke mahasiswa yang lain. Tapi temen-temen dia yang datang sih aku belum kenal juga”.
“Ckckckck, waduh, hebat euy Rika. Kyaknya Aku harus keluar Fakultas Hukum deh, gak berorganisasi di situ lingkunganku doang. Aku ikut organisasi internasional tapi khusus mahasiswa hukum aja”. Aku masih terkagum dengan cerita Rika. Aku bahkan tak habis pikir bisa melewatkan informasi kesempatan magang yang demikian, padahal selama ini aku selalu aktif mencari informasi-informasi kegiatan kemahasiswaan, bahkan ke rektorat pun aku update informasinya. Bener-bener bukan rejeki nih, kataku dalam hati sendiri.
“Eh kita udah di ranchmarket nih”, kata Rika kaget. Rika melihat ke sebelah kiri dan memintaku untuk berbelok sebelum pizza marzano.
“Wah bener, keasyikan cerita kita. Untung kamu lihat”, timpalku dengan tertawa.
Saat kami tiba di pos satpam kami sedikit ragu, karena rumahnya terlihat besar dan ada beberapa rumah bermodel cluster di dalamnya, seperti town house mini. Rika pun bertanya kepada satpam lalu menghubungi Ayumi. Rupanya semua itu adalah milik orang tua Ayumi. Tamu-tamunya yang berasal dari luar kota dan manca negara tinggal di enam rumah tersebut.
“Rika, duh gak bilang kalo si Ayumi ini gini amat. Kayaknya bakal rame nih dan baju aku teramat-sangat....phffff...”, aku tersenyum malu dan tidak melanjutkan perkataanku, lalu meneruskan masuk ke dalam kompleks tersebut dan memarkir mobil di depan rumah sebelah kiri dengan halaman luas yang ditunjukkan satpam.
“wa ha ha ha, makanya aku bilangin tadi jangan ampe pakai jeans ya. Untunglah gak pakai. Yang ini oke kok, Ras, cute”, kata Rika sambil membelai pundakku.
“Kok cute sih, kondangan harusnya anggun bukan. Tapi bener, oke sih, kalo aku pakai gaun yang sebelumnya, bisa disangka temen-temen Ayumi aku mau nyaingin pengantin dan gak menghormati yang punya hajatan. Secara banyakan tamu internesyenel ya jeng”, kataku sambil tertawa geli. Tiba-tiba, aku mendengar Rika memanggil sesorang, “Yuki-chan, it’s been so long”. Rika segera turun dari mobil dan berlari ke arah wanita yang juga berteriak histeris dari teras rumah.
Aku kemudian ikut turun dan melihat, wanita muda yang kira-kira sebaya denganku dan Rika, bertubuh tinggi, berkulit putih, dan mengenakan pakaian tradisional Jepang berwarna pastel dengan kembang-kembang yang hampir senada dengan gaunku, berdiri di teras sambil melambai-lambaikan tangannya ke arah Rika. Pakaian yang dipakainya aku tidak begitu mengerti terlihat seperti kimono tetapi lengannya menjuntai panjang, mungkin pakaian itulah yang dinamakan
Furisode. Teman-teman Jepang-ku pernah menjelaskan beberapa busana tradisional Jepang saat malam cultural exchange pada konferensi mahasiswa hukum se-Asia Pasifik di Seoul, Korea, yang ku hadiri tahun lalu. Setiap malam cultural exchange yang diadakan tiap tahunnya pada konferensi internasional, mahasiswa hukum dari berbagai negara akan memakai baju tradisionalnya.
Quote:“Rika-chan, ooow, I miss you. Yes, It’s been a long time”, Katanya dengan logat Jepangnya dan gaya menggemaskan lalu langsung memeluk Rika erat, sepertinya kangen berat.
Melihat yang terjadi di depanku, aku langsung menyimpulkan, pasti wanita inilah yang bernama Yuki, teman FASID Rika dan Ayumi.
Quote:“Yuki, you look so beautiful. It’s my first time see you wearing this dress. When did you arrive?”, kata Rika sambil menggenggam tangan Yuki dan melihat pakaian yang dikenakannya.
“Thank you Rika. I arrived last night with Yukata. Ayumi, picked us up at the airport. Ow, I’m so happy to see you again”, katanya masih sangat gemas melihat Rika yang ada di hadapannya.
“Ow yeah, where is Yukata?”, tanya Rika setelah mendengar nama itu disebutkan Yuki. Lalu tersadar dan menoleh ke arah ku yang berada persis di belakangnya dan seperti terhilang beberapa menit sejak mereka berpelukan dan larut dalam suasana bahagia.
“Ow Yuki, this is my friend, Larasati Kinawa. Laras, this is Yuki Takahashi that I told you before”, kata Rika memperkenalkan kami berdua
“Hai, I’m Laras”, lalu aku menjabat tangannya dan ia pun menjabat tanganku dan memperkenalkan dirinya juga, “Hai, I’m Yuki. Oh your name sounds Japanese name, ne?”, katanya dengan suara melengking dan tatapa ramah sambil tersenyum lebar.
"Ow, Kinawa is Torajanese name", jawabku dengan bahagia saat ia menanggapi namaku.
"Oh, so you are torajanese? I want to go there this time", katanya bersemangat.
"Oh, really? well I can help you, if you need my help" jawabku antusias
"Oh thank you, Larasu", jawab Yuki senang
Lalu hampir di waktu yang bersamaan Rika pun ribut lagi sepertinya ada suara laki-laki yang menyapanya dan datang dari arah belakangku. Lalu aku pun segera berbalik ke arah datangnya suara itu.Tidak jauh di depanku, sekitar dua meter, ada pria berkulit putih yang berjalan dari tempatku memarkir mobil, kira-kira tingginya sekitar 170 cm, memakai kemeja kotak-kotak didominasi warna krem dan celana kain berwarna coklat. Rambutnya panjang hampir sebahu, wajahnya tirus, dan sedang memegang rokok. Ia berjalan ke arah kami berdiri dengan wajahnya yang datar dan serius dan melihat tepat ke mataku. Ia menghisap rokoknya sekali lalu membuang puntung rokoknya di tong sampah yang berada satu meter dari tempat kami berdiri. Saat ia berdiri tepat di depan Rika, ia langsung mengulurkan tangannya menjabat Rika dan berkata,”Hai Rika, long time no see”, suaranya terdengar ramah tapi serius.
Quote:Rika pun menjawab,”Hai, Yukata. Yes, long time no see”, balas Rika sambil menjabat tangannya. Lalu Rika melihat ke arahku, “this is my friend, Laras. We will use her car to the building, maybe Ayumi has told you about that”, kata Rika menjelaskan tentangku mengapa aku ada di sana.
“Hai, I’m Yukata, nice to meet you”, sapa Yukata dengan ramah, masih dengan wajahnya yang terkesan serius.
“Oh hai, I’m Laras, nice to meet you as well”, jawabku
“I think we should go now, because it’s already 6.00 pm now”, lanjutku mengajak mereka untuk beranjak.
“owh, yeah”, jawab mereka bertiga hampir bersamaan
“Yuki, only two of you? I thought there are other guess?”, tanya Rika
“Mmm, they already left. They went to the building with taxi. But I and Yukata decided to wait for you”, jelas Yuki ramah sambil meegang kepala Rika yang jauh lebih pendek darinya. Tinggi badan Yuki hampir sama dengan Yukata, kurang lbih mungkin saja tingginya 166 atau 167 cm. Sementara tinggi badan Rika kira-kira 156 cm dan aku sendiri 160 cm.
“Oke deh kalo gitu, jalan yuk Rik, takutnya macet ke Hotel Sultan”, kataku kepada Rika.
“Oke, let’s go guys!”, ajak Rika kepada Yuki dan Yukata.
Kami pun bergegas ke mobil dan meninggalkan rumah Ayumi menuju Hotel Sultan tempat resepsi berlangsung. Selama perjalanan Rika, Yuki, dan Yukata terus mengobrol. Sesekali mereka melibatkanku dalam obrolan. Sepanjang perjalanan aku bisa menilai bahwa Yuki seperti wanita-wanita Jepang yang umumnya ceria. Sementara Yukata, ia tidak begitu banyak bicara, terkesan serius, tetapi cukup mengikuti alur pembicaraan.
Quote:“Ups, ow, sorry, I’m really sorry”, kataku kepada Yukata yang duduk di sebelahku. Aku sangat kaget karena tanpa sengaja saat ingin ganti perseneling mobil, tanganku menyentuh pahanya yang tepat berada di sebelah tuas perseneling. Aku benar-benar bingung harus bersikap bagaimana.
“Oh, it’s oke, it’s oke”, jawabnya cepat dan juga sedikit kaget lalu memperbaiki posisi duduknya.
Kami pun melanjutkan cerita yang sempat terhenti karena insiden tuas perseneling mobil itu. Butuh waktu bagiku sekitar lima menit untuk kembali bisa terlibat dalam obrolan. Untungnya Yuki dan Rika tetap sibuk mengobrol saat kejadian itu sehingga tidak memperhatikan aku dan Yukata.
“O my God, sorry, I’m really sorry”. Aku kembali menyentuh paha Yukata saat menetralkan posisi perseneling karena harus berhenti di lampu merah. Aku benar-benar kaget dan rasanya pucat dan malu. Kali ini Yuki dan Rika sedang diam, sehingga suaraku sangat kencang terdengar.
“Oh, it’s oke, jawab Yukata lagi cepat dan kembali membenarkan posisinya.
“What’s wrong?” Kata Rika kepadaku dan Yukata
“Oh, nothing, it’s oke”, jawab Yukata dengan cepat.
Entah kenapa waktu itu kami berempat hanya diam untuk waktu yang lama. Aku dan Yukata pun semakin merasa canggung dan tak ada sepatah kata pun yang terucap selama lampu merah lalu lintas menyala. Seandainya aku bisa berteriak aku ingin, aku malu dan suasananya terasa jadi aneh. Kami menjadi awkward. Dan insiden tuas perseneling ini pun terjadi hingga tiga kali. Aku kesal pada diriku sendiri dan rasanya ingin turun saja dari mobil.