SpnewsAvatar border
TS
Spnews
Quick Count Pemilu, Butuh Rp 1 Miliar


Kredibilitas lembaga survei yang menggelar quick count Pilpres 2019 sempat dipertanyakan. Bahkan calon presiden (capres) nomor 02, Prabowo Subianto, menuding lembaga survei yang memenangkan capres 01, Joko Widodo, membohongi publik. Surabaya Pagi pun menelusuri berapa besar biaya untuk quick count atau hitung cepat Pemilu. Ternyata, anggarannya menggiurkan. Sebab, untuk sekali quick count bisa Rp 700 juta hingga Rp 1 miliar. Sedang pendanaan survei, ada yang menyebut dari dana corporate social responsibility (CSR), ada pula yang mengatakan dari partai politik.
-----

Peneliti senior Surabaya Survey Center (SSC) Surokhim Abdussalam mengungkapkan lembaga-lembaga survei berbeda sumber pembiayaannya. Termasuk dalam operasional untuk keperluan hitung cepat. Selain dana CSR, pada umumnya lembaga survei menggunakan laba yang disisihkan dari hasil riset yang berhubungan untuk kepentingan publik. "Nah, laba-laba yang disisihkan itu dimanfaatkan untuk proses quick count," sebut Surokhim yang juga Dekan Fisib Universitas Trunojoyo ini saat dihubungi Surabaya Pagi, Minggu (21/4/2019).

Surokhim lantas membeberkan perincian pembiayaan quick count. Untuk interviewer, menurut dia, nilai pasarannya Rp200 ribu per orang. Untuk keperluan quick count, minimal jumlah sampelnya 2.000 Tempat Pemungutan Suara (TPS). Jadi, Rp200 ribu dikali 2000 TPS sama dengan Rp400 juta. Itu hanya biaya untuk membayar interviewer. Ditambah koordinator daerah dan biaya operasional lain, paling murah untuk bisa ikut quick count adalah sekitar Rp700 juta.

"Kalau bekerjasama dengan televisi, nutuplah biaya segitu. Kecil Rp700 juta untuk lembaga survei dari Jakarta," ungkap Surokhim.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Surabaya Consulting Group (SCG) Didik Prasetiyono memberi petunjuk tentang tarif lembaga survei. Hanya saja, dia enggan membeberkan secara detail hitung-hitungannya. Menurut, apabila survei (elektabilitas) digelar sebelum Pemilu, pada umumnya dana lembaga survei berasal dari partai politik. “Kalau untuk biaya quick count, lembaga-lembaga survei menggunakan pembiayaan mandiri,” tandas Didik yang juga mantan anggota KPUD ini.

"Kurang lebih mirip (biaya) dokter begitu, semakin kredibel lembaganya semakin mahal biayanya," lanjut Didik.

Post-Truth
Meski begitu, baik Surokhim maupun Didik menjamin hasil riset lembaga survei bisa dipertanggungjawabkan. Sebab, pada dasarnya kerja mereka merupakan kerja ilmiah. Hanya saja, hasil kerja lembaga survei saat ini dicoba dimentahkan dengan opini melalui media sosial secara massif.

Surokhim menilai keadaan ini disebut dengan istilah post-truth yaitu politik pasca-kebenaran. Post-truth sendiri adalah budaya politik yang perdebatannya lebih menggunakan emosi alih-alih objektifitas. "Sekarang itu sebuah fakta bisa kalah oleh persepsi. Nah, lembaga survei sendiri itu berdiri di atas objektifitas. Metodologinya sudah berlaku puluhan, bahkan ratusan tahun," papar Surokhim.

Ia menambahkan, selama tiga kali perhelatan pemilu langsung sebelumnya, lembaga-lembaga survei telah menujukkan akurasinya dalam publikasi quick count. Sebagian besar lembaga survei sendiri telah membangun reputasinya selama belasan tahun. Oleh sebab itu, Surokhim meyakini publikasi hitung cepat lembaga survei itu sahih (benar). "Apalagi, hasil hitung cepat mereka dirilis oleh banyak media," papar Surokhim. "Terlalu berisiko menggadaikan reputasi mereka," lanjutnya.

Alumnus Unair ini menyarankan, mestinya sebelum merilis hasil quick count, sederet lembaga survei mempublikasi metodologi, margin error, jumlah dan sebaran sampel, terlebih dahulu. "Jika dirilis jam tiga sore, bisa jam satu hingga jam tiga mempublikasi metodologinya. Dengan begitu, publik bisa lebih meyakini angka-angka yang dirilis itu valid adanya," sebut Surokhim.

Kerja Ilmiah
Hal senada diungkapkan Didik Prasetiyono. Menurutnya, survei atau metode penelitian kuantitatif adalah penerapan aplikatif dari ilmu statistika. Metode tersebut banyak digunakan dalam penerapan ilmu sains dan merupakan hal yang lumrah dalam keilmuan.

Menurut Didik, dalam survei di lapangan, terdapat dua hal yang harus diperhatikan, yaitu reliabilitas dan validitas. Reliabilitas atau keandalan adalah konsistensi dari serangkaian pengukuran, sementara validitas adalah derajat ketepatan alat ukur dalam penelitian atau survei tersebut. "Sejauh lembaga survei menerapkan metodologi ilmiah tersebut, maka mereka dapat diandalkan dan dipedomani sebagai hal ilmiah," ungkap Didik.

Bila ada pihak yang meragukan hasil penelitian, sambung Didik, maka lembaga penelitian tersebut harus siap memaparkan data secara terbuka karena menyangkut informasi publik. "Sebaiknya pihak yang menuduh (lembaga survei abal-abal) sebaiknya juga membuka datanya secara terbuka agar fair dan tidak terjadi saling tuduh," imbau Didik.

Buka-bukaan Metodologi
Pakar Statistika yang juga anggota Dewan Etik Perhimpunan Survei Opini Publik (Persepi), Prof Dr Asep Saefuddin, meyakini pengelola lembaga survei yang terdaftar di Komisi Pemilihan Umum (KPU) memiliki integritas tinggi dan bekerja secara profesional. Menurut Asep, sebanyak delapan lembaga survei yang melakukan hitung cepat atau "quick count" pada Pemilu 2019 melakukan kerjanya berdasarkan metodologi ilmiah. Akan tetapi, dituding melakukan rekayasa.

Asep menegaskan hitung cepat dilakukan berbasis ilmu pengetahuan dengan metodologi ilmiah. Hal inilah yang membuat lembaga-lembaga survei tersebut berani untuk "buka-bukaan" dan siap dibedah seputar pemetaan sampel, pemilihan sampel, metologi, serta mekanisme penghitungannya. "Saya memberikan apresiasi kepada lembaga-lembaga survei tersebut. Itu menunjukkan mereka memiliki integritas tinggi dan profesional," ujar Asep.

"Ketika ada tuduhan negatif dan lembaga-lembaga survei tersebut siap diaudit, ini menunjukkan mereka memiliki integritas tinggi," lanjut dia.

Sebagai guru besar ilmu statistik di IPB, Asep mengaku bangga terhadap pengelola lembaga survei yang kredibel karena telah menerapkan ilmu statistik dengan benar. Ia juga mengingatkan lembaga-lembaga survei untuk tetap tenang dan menunjukkan sikap profesional merespons tuduhan negatif hasil hitung cepat.

Tunggu KPU
Terkait kegaduhan hasil lembaga survei, KPU Jatim juga mengimbau masyarakat untuk tidak terburu-buru menyimpulkan penghitungan suara sudah final. Soalnya, baru-baru ini beredar informasi hasil rekapitulasi yang mengatasnamakan KPU Jatim. Padahal, KPU belum pernah merilis satu pun hasil penghitungan suara dari wilayah mana pun. "Kami tegaskan, KPU belum pernah merilis hasil rekapitulasi suara, kecuali via website resmi. Jadi, informasi yang mengatasnamakan KPU Jatim itu hoaks belaka," tegas Komisioner KPU Jatim bidang Teknis Penyelenggaraan Insan Qariawan kepada Surabaya Pagi, Minggu (21/4/2019).

Menurutnya, mulai tanggal 18 April - 4 Mei 2019, proses rekapitulasi berlangsung di tingkat kecamatan. Kemudian, tanggal 20 April hingga 7 Mei adalah masa penghitungan di tingkat kabupaten/kota. "Pada 22 April hingga 12 Mei proses penghitungan berlangsung di tingkat provinsi," ungkap Insan. "Nah, baru pada tanggal 11 atau 12 Mei itu ada rilis dari KPU Jatim."

Sebelumnya, Prabowo Subianto, mengklaim memenangi Pilpres 2019 dengan suara 62 persen. Dia mempertanyakan kredibilitas lembaga survei yang memenangkan Jokowi-Ma’ruf Amin. "Saudara-saudara percaya enggak lembaga survei abal-abal? Hei tukang bohong-bohong, rakyat tidak percaya sama kalian. Mungkin kalian harus pindah ke negara lain," ucap Prabowo.

Sumber : http://www.surabayapagi.com/read/186...-1-miliar.html
Diubah oleh Spnews 22-04-2019 04:26
anasabilaAvatar border
anasabila memberi reputasi
1
1.5K
8
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Pilih Capres & Caleg
Pilih Capres & Caleg
icon
22.5KThread3.1KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.