• Beranda
  • ...
  • Buku
  • (REVIEW) Max Havelaar : Pandangan Baru tentang Penjajah Belanda

museonindonesiaAvatar border
TS
museonindonesia
(REVIEW) Max Havelaar : Pandangan Baru tentang Penjajah Belanda
“Saya terpaksa memohon agar Yang Mulia memecat saya dengan hormat dari tugas melayani pemerintah.” Begitulah tulis Max Havelaar kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda setelah rasa muaknya tak terbendung lagi terhadap pemerintahan. Sebelumnya, Havelaar diberi kesempatan oleh pemerintah untuk menempati jabatan sebagai Asisten Residen Ngawi, namun dia menolaknya dan lebih memilih mundur dari pemerintahan. Bagi saya, penolakannya itu membuat bulu kuduk berdiri. Betapa tidak, Havelaar menolak “memperbaiki sikap” dan tetap teguh dalam pendiriannya untuk membongkar kebiadaban pemerintah Belanda terhadap rakyat Indonesia.
Mungkin kita mengira bahwa orang-orang Belanda yang menjajah Indonesia dulu seluruhnya kejam. Akan tetapi, saya kira, setelah membaca Max Havelaar, kita akan mendapatkan pandangan baru bahwa tidak semuanya orang Belanda itu keji. Kita bisa mengatakan, tidak semua para “pesinggah” itu datang ke bumi pertiwi untuk melakukan penindasan dan perampasan terhadap rakyat Indonesia. Semua pengisapan dan perampokan hanya dilakukan oleh manusia yang tidak beradab. Dari Multatuli, kita bisa menyebut bahwa masih ada “pesinggah” yang memiliki perasaan.

           

Max Havelaar ditulis oleh Eduard Douwes Dekker dengan nama pena Multatuli (1820-1887). Setelah pengabdiannya selama 18 tahun sebagai pegawai pemerintah Hindia Belanda, Multatuli menulis MaxHavelaar. Multatuli menulis Max Havelaar berangkat dari pengamatannya atas sistem tanam paksa yang mempraktikan perampasan dan penindasan pemerintah Belanda terhadap bumiputra.  Hati nuraninya terusik karena melihat kekejaman pemerintah Belanda yang menyebabkan ribuan pribumi menderita kelaparan dan kemiskinan. Dalam Max Havelaar, kita akan melihat bagaimana pemerintah Belanda menumpuk kekayaannya dengan memeras rakyat Indonesia. Kita akan dibuat tercengang, sebab pemerasan tidak manusiawi itu berdalih “memberadabdkan” rakyat Indonesia atas nama agama.

           

“Kewajiban-kewajiban yang harus kita penuhi terhadap orang-orang kafir (rakyat Indonesia) yang malang itu… (hlm. 193)” kata Dominé Wawelaar, yang merupakan seorang pendeta Belanda. Dalih tersebut digunakannya untuk “mencerahkan” rakyat pribumi dari “ketidakpercayaan, takhayul, dan kebejatan moral” (hlm. 193). Akan tetapi, Multatuli menganggap dalih itu hanyalah pembenaran naif demi pengisapan tanah Indonesia. Multatuli mengatakan, “…aku menyerang Tuhan Yang Maha Kuasa, padahal aku hanya menyerang tuhan yang mereka ciptakan menurut gambaran mereka sendiri… (hlm. 462)” itu menyiratkan bahwa kekejaman tetaplah kekejaman, tidak bisa dibenarkan atas nama apapun. Sayangnya, suara kemanusiaan yang digemakan oleh Multatuli itu tidak didengarkan oleh pemerintah Belanda. Tak terelakan, getir terasa. Bagaimana tidak, Multatuli justru “ditenggelamkan” karena dia tidak ingin seia-sekata dengan pemerintah Belanda.

           

Menurut saya, yang menarik dalam Max Havelaar adalah sudut pandang penceritaannya. Biarpun Havelaar merupakan tokoh utama dalam novel ini, dia dinaratori oleh tokoh bernama Batavus Droogstoppel. Si narrator itu sering menyebut dan menegaskan dirinya sebagai “lelaki terhormat dan makelar kopi”. Di awal cerita, kita akan diberitahu bahwa Max Havelaar telah menyelamatkan dirinya. Pada titik itu lah cerita dimulai.

           

Havelaar mendatangi Droogstoppel dengan memberikan dokumen-dokumen, semacam rekam-jejaknya semasa menjabat sebagai Asisten Residen di Hindia Belanda. Pada awalnya, Droogstoppel menolak karena menganggap Havelaar sebagai orang tidak bermoral−dalam sudut pandangnya. Akan tetapi, ada suatu dokumen penting yang dia anggap memiliki nilai-jual, yaitu dokumen tentang kopi.  Atas dasar itu lah Droogstoppel bersedia menerbitkan tulisan-tulisan Havelaar. Di situ kita akan melihat betapa kikirnya Droogstoppel. Perhatiannya hanya tertuju pada dokumen-dokumen tentang perkopian, sedangkan dokumen-dokumen lainnya dia sering cela sebagai dokumen-dokumen tidak bermoral. Khususnya dia sangat merendahkan puisi-puisi yang ditulis oleh Havelaar. Tulisan sastrawi baginya hanyalah berisi kebohongan. Si narator itu akan sering membuat kita tidak nyaman, sebab dia mencela tindakan heroisme Havelaar, termasuk tindakannya dalam melawan kezaliman pemerintah Hindia-Belanda. Padahal, Droogstoppel mengklaim dirinya memiliki semboyan “Kebenaran dan Akal-sehat”. Seolah-olah kehadiran Droogstoppel sebagai narator itu hendak mengusik dan menenggelamkan kita ke dalam heroisme Havelaar.

           

Pada akhirnya, ternyata bukan hanya pembaca yang merasa terusik oleh kehadiran si narator, melainkan juga penulis buku itu sendiri, Multatuli, merasa terganggu oleh perangai si narator yang nampak absurd itu. Kita akan tersentak di ujung cerita karena si pengarang tiba-tiba menginterupsi;

Stop!!! Wahai, produk menyedihkan dari ketamakan kotor dan kemunafikan terkutuk! Aku menciptakanmu. Kau telah tumbuh menjadi monster di bawah penaku. Aku merasa jijik dengan ciptaanku sendiri… Ya, aku, MULTATULI, ‘yang telah banyak menderita’, aku mengambil alih pena.” (hlm. 461)

           

Bukan tanpa alasan jika Multatuli merasa jijik pada tokoh ciptaannya itu. Bukan sekadar tokoh rekaan, melainkan juga Droogstoppel itu adalah representasi dari perangai orang-orang dari pemerintahan Belanda yang tidak tahu malu atas kebobrokannya. Kemarahannya pada tokohnya itu dapat dipahami sebagai ketidakmampuannya untuk terus menghayati bagaimana menjadi manusia yang tidak punya perasaan. Lewat Droogstoppel, Multatuli ingin agar orang-orang berkaca; sikap acuh yang diperagakan Droogstoppel itu sangatlah keterlaluan.

Bagi saya pribadi, epilog novel ini adalah bagian yang sangat menarik. Di perjalanan cerita, kita disuguhkan kisah-kisah yang memilukan dan keberpihakan Max Havelaar terhadap rakyat Indonesia. Akan tetapi, Havelaar kalah. Dia tidak bisa berbuat apa-apa untuk membongkar bobroknya pemerintah Belanda. Biarpun begitu, Multatuli tidak patah. Seperti yang dia katakan, “Buku ini adalah sebuah pendahuluan…” (hlm. 464). Maksudnya, perjuangan belum usai. Dengan kata lain, dia akan terus mengusik rezim tiranis pemerintah Belanda. Tidak tanggung-tanggung, Multatuli secara terang-terangan menulis, “Karena kepada Andalah buku ini saya persembahkan, wahai WILLIAM KETIGA” dan seperti yang kita tahu bahwasannya William Ketiga itu adalah seorang Raja di Negeri Belanda.

           

Multatuli juga menulis, “Aku akan dibaca! Ya, aku akan dibaca!” dan Max Havelaar memang telah dibaca oleh banyak orang. Kutukannya terhadap kezaliman pemerintah Hindia-Belanda telah menginspirasi pergerakan-pergerakan emansipasi di negri Belanda sendiri. Yang paling terkenal, Pramoedya Ananta Toer menyebut bahwa Max Havelaar adalah “kisah yang membunuh kolonialisme’.

           

Di situlah kenapa novel Max Havelaar menjadi buku bacaan wajib. Tidak hanya bagi pemerhati sastra Indonesia, melainkan juga semua kalangan mesti membaca novel yang pernah menggemparkan pemerintah Belanda semasa penjajahannya di bumi Indonesia.

Kepustakaan

Multatuli. 2017. Max Havelaar (diterjemahkan oleh Ingrid Dwijani Nimpoeno).

Bandung: Qanita

Penulis Arip Apandi
Editor Minfadly Robby


review versi website
1
1.1K
9
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Buku
Buku
icon
7.7KThread4KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.